Masukan Nama Penyanyi - Judul Lagu

Mesin Cari Free Download Mp3 Gratis

Translate To Your Language

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

Senin, 26 Desember 2016

Wawancara Pakar Bahasa-Bahasa Nusantara Manu W Padmadipura Wangsawikrama




Pada tanggal 28 Oktober 1928 para pemuda dari berbagai organisasi kesukuan berkumpul dan merumuskan satu bahasa bersama yakni Bahasa Indonesia. Itulah satu tonggak penting bagaimana sebuah cita-cita yang semula terbatas pada ikatan primordial atau pun agama terumuskan menjadi satu kesatuan bersama yakni Indonesia.

Namun, barangkali tak banyak generasi hari ini yang tahu bahwa bahasa nasional yang dijadikan pilihan adalah Bahasa Melayu Pasar, sebuah bahasa yang tumbuh oleh aktivitas perdagangan di Nusantara. Sebagai bahasa dagang, karenanya, bahasa tersebut tentunya hanyalah turunan atau penyederhanaan dari akar bahasanya, Melayu Tinggi, yang menyimpan ratusan tahun kekayaan sebuah peradaban

Sejak 1928, bahasa, yang kemudian disebut sebagai Bahasa Indonesia ini terus berusaha mengembangkan dirinya. Menyerap kosakata dari bahasa-bahasa daerah dan juga bahasa-bahasa asing.

Apa sebenarnya yang dipertaruhkan oleh bahasa baru ini, kerja besar macam apa yang mesti terus digerakkan di masa-masa mendatang, wartawan Koran Jakarta, Eko S Putra, mewawancarai pakar bahasa-bahasa Nusantara, Manu W Padmadipura Wangsawikirama, di Yogyakarta, Rabu (26/10). Berikut petikan selengkapnya.

Sebagai pakar bahasa-bahasa Nusantara dan juga menguasai bahasa-bahasa asing, bagaimana Anda melihat peristiwa Sumpah Pemuda?

Itu sejarah kita sebagai sebuah negara bangsa. Semua catatan sejarah, apa pun itu tentunya hal yang penting. Secara politis menggalang nasionalisme melawan kolonialisme dari yang sebelumnya sifatnya sporadis di tiap daerah. Sumpah Pemuda adalah tonggak penting nasionalisme kita.

Hanya saja sebenarnya masih perlu penggalian lebih lanjut terhadap persoalan Bahasa Indonesia ini. Saya kira terpilihnya Bahasa Melayu Pasar pada waktu itu barangkali sebuah langkah win win solution. Bahasa yang bisa dipakai komunikasi oleh seluruh orang di Indonesia, ya Bahasa Melayu itu. Tapi harus diingat, itu adalah Melayu Pasar. Karena bahasa perdagangan bahasa yang dipilih ini kosakatanya miskin.

Melayu Pasar ini menjadi masalah ketika harus dipakai untuk membahasakan masalah-masalah peradaban, kebudayaan, diplomasi politik, ideologi, etika, bangunan sosial, dan seterusnya. Akibatnya kemudian, ketika para tokoh pergerakan nasional mesti merumuskan bangunan negara bangsa, berdiplomasi dengan bangsa asing, harus meminjam kata-kata asing, terutama Belanda. Karena Bahasa Indonesia tidak bisa memberikan padanan untuk komunikasi ideologi dan politik pada saat itu. Inilah yang harus kita sadari untuk terus disempurnakan.

Nah pertanyaanya, penyempurnaan itu harus ditopang oleh bahasa apa? Semestinya kan ya menggali dari akarnya sendiri yakni bahasa-bahasa daerah. Beberapa kali dilakukan, mengambil kosakata dari berbagai bahasa daerah, sayangnya kosakata itu diambil dan dilepas dari sistem bahasanya yakni roh bahasanya.

Apa yang dimaksud dengan roh bahasa?

Semula bahasa perdagangan itu tidak punya nuansa semantik yang bisa kita sebut sebagai rasa bahasa. Bahasa di kepulauan Nusantara ini, semuanya memiliki rasa bahasa. Bali, Madura, Bugis, semuanya kental dengan rasa.

Yang dimaksud dengan rasa di sini bukan rasa pahit atau manis, tapi penghayatan estetik yang terkandung dalam kosakata itu yang menunjukkan hubungan-hubungan antar kita semua di semesta ini. Di dalam estetika itu tersimpan seluruh pengetahuan, apakah itu etika, moral, dan sebagainya. Nah itu yang tidak dimiliki Bahasa Melayu Pasar.

Apa akibat dari bahasa yang tidak punya ‘rasa’ ini?

Sebelumnya mari kita melihat sistem pendidikan di Nusantara yang namanya asrama, ada metodologi pengajaran yang namanya upanished. Arti harafiah duduk di kaki guru. Relasinya demikian erat, berelasi membicarakan segalanya.

Pada pertengahan abad 19 oleh pemerintah kolonial diubah menjadi klasikal seperti yang kita kenal sekarang. Pada saat itu setiap suku bangsa yang memiliki bahasa daerah diwajibkan mengajarkan bahasanya. Memberi pengajaran Sunda pada orang Sunda, Bahasa Jawa ke orang Jawa. Hanya masalahnya, cara mengajarkannya dengan metodologi mereka. Dengan tata bahasa struktural. Ada subjek, predikat, objek, keterangan. Konsep struktural ini secara semena-mena diadopsi ke bahasa Nusantara. Kalau di Bahsa Jawa subjek menjadi jejer, predikat wasesa, objek lisan, dan keterangan menjadi katerangan.

Sejak itu mindset kita berubah menjadi mindset structural, seperti itu. Para pemuda pelajar saat itu, termasuk mungkin yang menginisiasi Sumpah Pemuda, masih bisa berbahasa daerahnya tetapi mulai melihat bahasanya sendiri dengan mindset kolonial.

Apa sebenarnya beda utama bahasa Nusantara dengan bahasa Barat?

Inti dari semua bahasa lokal kita adalah semantik. Di Jawa, ada anjing, kirik, asu. Ada cemeng, ada kucing. Untuk menyebut beras saja ada pari, gabah, beras, menir, yang masing-masing menandakan hubungan-hubungannya yang berbeda dengan diri manusia dan alam.

Orang Jawa tidak pernah belajar kalimat. Yang diajarkana adalah kosakata. Ketika tahu kosakata maka akan dengan sendirinya terbentuk sebuah dunia, karena kosakata diajarkan dengan sistem rasa, yakni makna yang menjelaskan hubungan rasa antar semuanya. Itulah hubungan bahasannya.

Bahasa kolonial yang terpenting adalah struktur subjek predikat objek, di mana manusialah subjek dan alam adalah objek yang harus dikuasai. Dalam kosakata Bahasa Jawa, alam dan manusia kedudukannya sejajar, horizontal, tidak ada subjek atau objek, tidak ada eksplitasi subjek atas objek melainkan satu kesatuan yang utuh.

Gradasi rasa yang semula horizontal ini kemudian divertikalkan sehingga seolah jadi sangat feodal. Padahal, feodal itu kan cara Barat mengerti dunia Nusantara memakai bahasa yang mereka kenal. Mereka tidak faham dengan penghayatan estetik atas relasi antara manusia dan sesamanya serta seluruh alam ini.

Nah, sejak kita mengenal bahasa ibu, kita sendiri dengan mindset kolonial yang disebarkan lewat sistem pendidikan klasikal, sejak itu dunia kesadaran kita sebenarnya sudah runtuh. Kita menjadi berpikir seolah seperti mereka, namun menggunakan bahasa kita sendiri. Tentu saja akan susah untuk menandingi mereka.

Apakah akar bahasa subjekpredikat- objek itu berbeda dengan akar bahasa Nusantara?

Semula kita memiliki bahasa kuno. Bahasa Jawa Kuno, misalnya. Sansekerta tumbuh oleh bangsa Indo Arya dari lembah Sungai Reins yang kemudian hidup dan tinggal di India. Bahasa di dunia saat ini banyak yang akarnya dari Bangsa Indo Arya itu.

Kalau melihat teknologi kapal yang berkembang di sini dan tidak ada teknologi kapal yang berkembang dari India maka bangsa Jawa lah yang kemungkinan melakukan perjalanan ke India dan membawa pulang kekayaan Bahasa Sansekerta. Maka 60 persen Bahasa Jawa Kuno adalah Bahasa Sansekerta, sisanya adalah kosakata yang tumbuh di Nusantara sendiri.

Bahasa juga berkembang bersama ekologi manusianya. Iklim tropis dan tanah kita yang subur membuat peradaban kita cukup maju seperti tersimpan dalam sejarah pertanian, artefak arkeologis, teks-teks yang berisi kekayaan kosakata kita.

Masuknya bangsa Barat ke Nusantara menjadi sejarah berikutnya yang kemudian keberhasilan penguasaan mereka atas kita, ratusan tahun mereka di sini, salah satunya membawa perkembangan filsafat dan bahasa di sana yakni filsafat strukturalisme. Saya menduga Revolusi Prancis - saya belum pernah meneliti ini sendiri, saya tahu dari penelitian beberapa teman saja – menjadi awal dari berkembangnya seluruh bangunan masyarakat Barat ini. Yang di dalam bahasa tersimpan dalam struktur subjek predikat objek tersebut.

Tapi kesadaran baru masyarakat Barat tersebut, yang memang membawa keberhasilan tertentu dalam teknologi yang menjadikan alam sebagai objek dan manusia sebagai objek itu, kalau mau melihat sejarah panjang peradaban sebenarnya belum bisa dikatakan sebagai peradaban yang benarbenar unggul. Baru berapa ratus tahun sih Barat menguasai dunia, kita lihat alam sudah sedemikian rusak.

Nah, kita bisa mulai lagi membuka kekayaan masa lalu kita melalui penelusuran sejarah dan bahasa kita sendiri. Membuka lagi bagaimana manusia berhubungan dengan sesamanya dan alam semesta karena mereka pun, bangsa Barat itu, mengambil begitu banyak kekayaan pengetahuan kita sesuai dengan kesadaran mereka atas alam dan seluruh isinya.

Dalam teks-teks Ronggowarsito di abad 19, belum ada struktur bahasa Barat SPOK itu. Kita harus bergerak sampai akar untuk mengerti diri kita sendiri. Kalau sudah tidak ada yang peduli dengan akar lagi, kita akan selamanya kulakan gagasan tentang dunia ini dari Barat. Mereka yang merumuskan, membuat, menjual eceran kepada kita. Dan kita hanya akan jadi konsumen gagasan dan produk turunan dari mereka. Kalau identitas saja tidak punya bagaimana mau punya tujuan?

Bagaimana peran negara dan kampus selama ini terkait dengan akar Bahasa Indonesia itu sampai saat ini?

Saya kira kita mesti prihatin. Saat ini percakapan paling dominan adalah politik dan ekonomi. Politik yang ditopang oleh fondasi ekonomi yang merusak alam. Kampus, yang sistemnya sudah menganut klasikal Barat itu, di mana ilmu-ilmu dipecah dalam jurusan-jurusan yang masing-masing berdiri sebagai subjek sendiri itu, ya tidak lagi berurusan dengan bangunan dasar peradaban.

Keterpecahan studi tersebut tidak dikenal di studi asrama dengan sistem uphanisad, di mana kita bisa baca sekarang dalam semua teks kuno pasti mengandung lima unsur yakni pengetahuan, teknologi, religiusitas, seni, dan intelektualitas. Tapi semua sudah tidak mau peduli.

Peran balai bahasa bagaimana?

Saya juga tidak tahu balai bahasa itu kerjaannya apa saja. Memasukkan kosakata daerah ke kamus iya, tapi ya tidak ke manamana. Bahkan saat kita sekarang disuguhi buku-buku orang asing yang tidak mengerti bahasa kita saja semua diam saja. Elizabeth Inandiak, menafsir Serat Centini padahal dia tidak bisa Bahasa Jawa juga kita diam saja malah dijadikan rujukan puluhan mahasiswa.

Peter Carey, orang Inggris, membuka teks Diponegoro dalam Bahasa Belanda, padahal Carey juga tidak fasih Bahasa Belanda apalagi Bahasa Jawa, juga dijadikan kanon utama mengenai Diponegoro. Jadi seolah semua studi mereka itu tentang kita itu kita terima saja sebagai kebenaran tentang diri kita, tentang masa lalu kita.

Tapi bukannya sejarah perang antar kerajaan kita sendiri membuat kita hancur, yang memudahkan devide et impera?

Makanya ayo kita pelajari bersama. Konflik kerajaan, mana teks kita yang menceritakan itu ayo kita buka. Atau itu sebenarnya teks yang dibuat oleh para orientalis. Kata musuh saja Bahasa Jawa itu tidak punya. Perebutan tahta sejak Kediri, Ken Arok, Majapahit diserang lalu hancur, perang bubat, teksnya mana yang mengatakan begitu?

Kita musti banyak belajar lagi. Pelajari diri kita sendiri. Pertama, tentunya melalui bahasa, kembali belajar bahasa-bahasa kuno kita yang menyimpang software identitas kita


Sumber :  http://www.koran-jakarta.com/manu-w-padmadipura-wangsawikrama/

Sabtu, 24 Desember 2016

Telolet Dan Kita



Fenomena "Om Telolet Om" ini berawal dari video yang beredar di media sosial mengenai kebiasaan anak-anak di sekitar Jepara, Jawa Tengah yang meminta supir bus yang melintas untuk membunyikan klaksonnya. Bahkan ada juga yang sengaja menulis tulisan besar "Om Telolet Om" agar dibaca oleh supir bus.

Sejak itu, video "Om Telolet Om" menjadi viral di dunia maya. Tidak hanya di tanah air, tapi juga sampai ke telinga selebritas mancanegara seperti Zedd, Martin Garrix, DJ Snake, Alesso, dan The Chainsmokers yang terlibat dalam perbincangan seputar "Om telolet Om" dalam akun resmi media sosial mereka.
Situs tangga lagu Billboard bahkan menanyakan arti "Om telolet Om" yang sedang ramai di Indonesia. Billboard menduga ramainya perbincangan para DJ kenamaan terkait dengan bunyi klakson bus itu identik dengan suara efek instrumen elektronik yang biasa mereka pakai.

" Billboard Dance melihat klip video telolet, dan memang terdengar seperti instrumen elektronik. Kami bisa membayangkannya menjadi lagu tema sebuah festival," tulis Billboard dalam situsnya.
Hal ini kalau kita cermati sebenarnya menarik, karena sebuah bunyi klakson yang sebenarnya nadanya sederhana bisa disukai banyak anak-anak. Sebenarnya anak-anak menyukai hal ini bukanlah hal yang baru, sekitar 2 tahun yang lalu anak saya sudah sering duduk di pinggir jalan raya depan rumah untuk memberi kode pada para sopir Bus Pariwisata, agar membunyikan klakson “telolet”nya. Setelah itu dia meng-upload foto-fotonya di akun Media Sosialnya dengan hastag #telotet.

Mengapa anak-anak menyukainya? Jawabannya bisa beragam.  Barangkali hal ini bisa dikaji dalam berbagai analisis ilmiah. Psikologi anak, kajian tentang bunyi, dan filsafat. Dari apa yang saya lihat, kegembiraan anak-anak itu mengisyaratkan 2 hal yaitu spontanitas untuk keluar dari rutinitas dan kesederhaan yang menghibur. Anak-anak sekarang membutuhkan sebuah hiburan yang sederhana untuk bisa keluar dari rutinitas mereka sekolah dan berbagai kegiatan les tambahan pelajaran yang membelenggu, termasuk hiburan-hiburan yang membosankan seperti menonton televisi dan main game di handphone.

Maka ketika ada sebuah hiburan di luar rumah yang sederhana yaitu bunyi Telolet, maka mereka  dengan serta merta menyukainya. Ada sebuah interaksi sederhana antara mereka dengan sopir bus, yang menyadarkan kita semua bahwa dunia anak-anak adalah dunia interaksi komunikasi dan dunia penuh canda tawa. Dunia yang tidak bisa dibatasi oleh pelajaran-pelajaran yang membelenggu pada masa kecil mereka. Maka tugas kita semua bagaimana membuat hiburan-hiburan yang sederhana di anatara rutinitas sekolah yang mereka jalani.

Sedangkan dari tinjauan Filsafat pernah di tulis oleh Prof. Tommy F Awuy pada akun medsos Twitternya bahwa  .kalo pake teori biopolitik michel foucault, "telolet" itu reproduksi dari relasi power suara marjinal dengan kapitalis bus pariwisata. Menarik sekali jika hal ini kita diskusikan. Ada sebuah  ironi di dalamnya, bahwa hiburan kaum anak-anak marginal ini adalah hasil produiksi dari kapitalisme. Kapitalisme bus pariwisata di satu sisi membuat banyak orang yang tidak punya modal atau capital menjadi penonton di industri Bus pariwisata, atau hanya men jadi pekerja-pekerja (buruh) di industri tersebut. Tetapi di sisi yang lain menghasilkan hiburan bagi anak anak marjinal. Apakah hal ini disengaja oleh industri-industri Bus Pariwisata?

Komunitas Bismania mengatakan asal usul klakson bus telolet dari Arab Saudi dan dibawa pengusaha perusahaan otobus (PO) Indonesia ke sini. Di Indonesia, klakson telolet itu dipasang pada armada bus untuk memberikan ciri khas."Jadi sekitar tahun 2002-2004 yang lalu, owner kita, Teuku Erry Rubihamsyah katakanlah tertarik dengan suara klakson yang ada di negeri Arab (Saudi) sana untuk klakson bus atau truk kendaraan besar, nggak cerita detil sih ya, singkatnya tertarik dengan klakson itu, coba dibeli dan dibawa ke Indonesia dipasang di busnya beliau, seperti itu," tutur Manajer Komersial PO Efisiensi, Syukron Wahyudi kala berbincang dengan detikINET, Kamis (22/12/2016).

Yang pasti, imbuhnya, klakson aslinya terdiri dari 3 corong dengan bunyi te-lo-let yang bila dipencet lama bisa berbunyi telolet-telolet. Saat awal-awal bus dipasang klakson telolet itu, banyak masyarakat merespons negative.Namun, rupanya kegemaran masyarakat berubah sejak 4 tahun terakhir. Klakson telolet tersebut digemari, warga malah meminta membunyikan klakson itu. "Itu hampir di setiap daerah dekat-dekat dengan sekolahan biasanya anak-anak yang minta. Pokoknya tiap ada sekolahan minta dibunyikan, anak-anak melambaikan tangan itu di daerah jalur bus reguler kami Cilacap, Jogja, Purwokerto," jelas dia.

Hal ini adalah kreatifitas dari sebuah industri  transportasi, dan ketika ada efek samping yang positif yaitu memberikan hiburan bagi anak-anak, tentu bisa dijadikan bahan kajian yang menarik. Tugas pemerintah dan kita semua tentunya adalah bagaimana membuat anak-anak nyaman dan aman dalam menikmati hiburan ini. Karena berdiri di pinggir jalan raya dalam kondisi bus yang kadang kencang melaju, tentu bisa membahayakan anak-anak.  Memang fenomena “Telolet” ini membuat kita semua terhenyak, bahagia bagi anak-anak itu ternyata sederhana. Mungkin  bahagia kita sebenarnya  juga sederhana.

TELOLET.


Arif Gumantia
Ketua Majelis Sastra Madiun.