Kalau kita cermati, ada sebuah fenomena menarik pada tubuh manusia di
abad 21 ini, yaitu terjadinya fenomena paradoks pada tubuh manusia. Pada
sisi ekstrim di satu sisi tubuh begitu dipuja dengan berbagai citraan
yang di konstruksikan oleh mesin bernama iklan. Pada sisi ekstrim yang
lainnya secara filosofis, sebenarnya manusia sudah kehilangan hak atas
tubuhnya, karena harus menuruti citraan-citraan secara sosial,
komersial, dan religius dan telah kehilangan tubuh secara real.
Kita
seakan di kepung oleh citraan-citraan, dan disergap berbagai iklan
tentang tubuh yang ideal. Dimanapun kita berada, selalu ada visualisasi
tentang tubuh. Pada baliho, billboard, spanduk, koran, majalah, media
Televisi, internet, dan disegala tempat, dan tubuh pun menjelma menjadi
bahasa komunikasi yang masif dan intensif, hingga iklan pemberantasan
korupsi menggunakan tubuh untuk menyampaikannya, dengan parameter
estetika iklan aktornya harus “ganteng” dan “cantik”, dan terbukti para
aktor iklannya justru menjadi pelaku korupsi. Sungguh sebuah ironi.
Karena
konstruksi yang dijejalkan oleh iklan telah menyergap begitu gegap
gempita, tak heran jika tujuan olahraga pun sekarang bergeser, tidak
untuk menjaga kebugaran dan kesehatan tubuh, tapi untuk menaklukan dan
mengatur tubuh agar sesuai dengan citraan iklan.baik latihan fisik
sampai tentang neurotik seperti fitness, aerobik, diet, bahkan menjadi
anoreksia. Sehingga kadang justru tidak menjadikannya bugar dan sehat,
tetapi menjadi terobsesi akan tubuh hingga menderita sakit secara fisik
dan psikis. Dan dari titik tolak fenomena tubuh inilah menjadi menarik
membicarakan Gender dan kesetaraan.
Istilah Gender bagi
banyak orang digeneralisasikan sebagai jenis kelamin. Kesalahan secara
substansi ini dapat kita maklumi karena jarang sekali ada penjelasan dan
pemahaman yang diberikan oleh instansi-instansi resmi pemerintah,
lembaga swasta, maupun media. Kalau kita baca di wikipedia, definisi
gender adalah : gender merupakan kajian tentang tingkah laku perempuan
dan hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan. Gender berbeda dari
seks atau jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis.
Ini disebabkan yang dianggap maskulin dalam satu kebudayaan bisa
dianggap feminin dalam budaya lain. Dengan kata lain ciri maskulin atau
feminin itu tergantung dari konteks sosial budaya bukan semata-mata pada
perbedaan jenis kelamin.
Jadi secara simplikasi bisa
dikatakan gender adalah jenis kelamin sosial, budaya, politik, serta
keagamaan yang didasarkan pada fisik perempuan dan laki-laki. Seperti
dogma yang mengatakan pemimpin itu harus laki-laki, karena fisiknya
kuat. Ini adalah salah satu contoh konstruksi sosial budaya yg
berdasarkan perbedaan jenis kelamin untuk menjadi pemimpin dan bukan
karena kapasitas leadershipnya. Atau bisa juga di katakan dalam kamus
bahasa inggris “sex” adalah kelamin biologis, sedangkan “gender” adalah
kelamin sosial.
Karena ada sex dan gender, tentunya ada
juga orientasi sex. Dan kalau kita elaborasi secara mendalam ketiga hal
tersebut mempunyai keterkaitan. Karena jika definisi dari orientasi sex
adalah kecenderungan seseorang untuk melakukan pilihan seksualnya, maka
untuk melakukannya tentunya dipengaruhi sex dan gender.artinya apabila
seseorang yang memiliki kecenderungan seksual sebagai seorang gay,
lesbi, atau heteroseks, itu didorong oleh sex dan gender. Karena itu hal
yang mendasar dan penting adalah apa yang menjadi pendorong utama
orientasi sex seseorang, hingga kita bisa beropini dengan argumentasi
yang obyektif.
Apabila orientasi seks ini disebabkan oleh
faktor-faktor yang bersifat biologis atau dikalangan feminis dengan
istilah determinisme biologis seperti susunan hormonal dan sifat-sifat
biologisnya, maka apakah seseorang itu menjadi homoseks, lesbian, atau
lainnya itu bersifat kodrati sebagai perspektif kekuasaan Tuhan, dan itu
diluar kekuasaan manusia. Namun apabila orientasi seks ini dimunculkan
oleh faktor non biologis, misal karena faktor sosial, budaya, politik,
ataupun yang lainnya maka hal itu sama dengan gender.
Dari
paparan di atas, yang bisa memberikan benang merah dalam upaya
perjuangan keadilan dan demokrasi adalah adanya kesetaraan. Seperti yang
di katakan K.H. Abdurrahman wahid (Gus Dur), Kesetaraan, bersumber dari
pandangan bahwa setiap manusia memiliki martabat yg sama di hadapan
Tuhan. Kesetaraan meniscayakan perlakuan yang adil, ketiadaan perilaku
diskriminatif dan juga ketiadaan subordinasi. Dengan demikian kesetaraan
ini juga mencakup perlakuan yang adil terhadap semua manusia apapun
jenis kelamin dan orientasi seksnya.
Tanpa membedakan
laki-laki atau perempuan, harus ada kesetaraan perlakuan di hadapan
Konstitusi, laki-laki dan perempuan punya hak yang sama atas tubuhnya
sendiri. Jadi dalam sebuah ikatan pernikahan sekalipun, perempuan tetap
punya hak atas tubuhnya, dan tubuhnya bukanlah milik suaminya, seperti
dogma ataupun doktrin agama atas penafsiran teks kitab suci yang sempit,
hingga mengakibatkan adanya eksploitasi yang bersifat patriarkhis. Juga
maraknya perda-perda syariah yang secara politis punya tujuan
terselubung untuk mendapatkan simpati konstituen islam garis kanan.
Aturan-aturan yang dimunculkan adalah perspektif yang sangat
patriarkhis, seperti misalnya pemerkosaan terjadi karena perempuan
memakai rok mini dan keluar malam. Bukan karena laki-laki yang tidak
kuat menahan syahwatnya. Sehingga ada semacam joke yang mengatakan :
begitu susah menjadi perempuan di indonesia, sementara laki-lakinya
bertindak begajulan.
Karena sering kita jumpai banyak orang
berkeyakinan bahwa perbedaan biologis dipahami sebagai sumber dari
perbedaan perilaku dan peran pada tingkat kehidupan budaya, sosial dan
politik antara laki-laki dan perempuan. Ide ketidaksetaraan ini tidak
hanya muncul di kalangan agamawan (ulama), tetapi juga berhembus dari
kalangan pemimpin adat, atau politisi dengan berbagai motif dan
interest pribadi yang terselubung. Bahkan yang lebih mengherankan banyak
juga dari kalangan perempuan namun memiliki pemikiran yang patriarkhis.
Dukungan
terhadap kesetaraan laki-laki dan perempuan sebenarnya sudah ada di
konstitusi kita, yaitu Undang-Undang Dasar. Karena UUD kita memberikan
hak dasar berupa kesetaraan ke seluruh warga negara tanpa memandang
jenis kelamin, ras, agama, dan latar belakang lainnya. Di bawah UUD kita
juga memiliki serangkaian peraturan yang mendukung kesetaraan. Seperti
UU ratifikasi CEDAW ( convention on ellimination of all forms of
discrimination against women) menjadi UU sejak tahun 1986, instruksi
presiden no. 9 tahun 2000 mengenai pengarusutamaan gender. Kita juga
memiliki UU PKDRT sejak tahun 2003.
Namun seperti yang
selalu terjadi peraturan yang bagus tidak cukup untuk mengubah keadaan.
Selalu terjadi kesenjangan antara kondisi yang seharusnya dan realitas
yang terjadi. Mengutip apa yang di katakan GUS DUR: “ karena keadilan
tidak sendirinya hadir di dalam realitas kemanusiaan maka harus
diperjuangkan, begitu juga kesetaraan harus juga diperjuangkan. martabat
manusia hanya bisa dipenuhi dengan adanya keseimbangan, kelayakan, dan
kepantasan dalam masyarakat karena membela kelompok masyarakat yg
diperlakukan tidak adil, karena ini merupakan tanggung jawab moral
kemanusiaan.
Maka dalam kondisi adanya kesenjangan antara
kesetaraan yang sudah seharusnya ada di negara ini, dan kenyataan yang
terjadi, maka yang paling bisa mengambil peranan untuk memperjuangkan
kesetaraan adalah kita semua, dengan melakukan pengawasan atau advokasi
pada masyarakat, dimulai dari lingkup terkecil, lingkungan kita
sendiri. Agar negara kita ini tetap bisa menjadi Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan “Bhinneka Tunggal Ika” tidak hanya menjadi slogan
atau sekedar dipajang di ruang tamu kita.
Arif Gumantia
Ketua Majelis Sastra Madiun
Jumat, 04 September 2015
Tubuh, Gender, dan Hak Perempuan atas Tubuhnya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar