Hampir setiap tahun, selalu ada pro kontra terkait boleh tidaknya
mengucapkan selamat Natal buat penganut Kristiani, termasuk tahun 2015
ini. Alasan pelarangan, perayaan Natal merupakan ritual keagamaan
non-Muslim yang tidak dibenarkan bagi umat Islam untuk mengikutinya.
Namun
Natal tahun ini terasa spesial lantaran jatuh tepat sehari setelah
perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada 24 Desember kemarin.
Sejak
dulu sebenarnya masalah seperti ini sudah menjadi polemik di tengah
masyarakat Indonesia yang majemuk. Ada sebagian yang menilai haram, ada
juga yang tidak. Nah, untuk memperkaya referensi, ada baiknya anda tahu
bagaimana pendapat KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur soal masalah ini.
Gus
Dur pernah menulis artikel di Koran Suara Pembaruan pada 20 Desember
2003 berjudul: Harlah, Natal dan Maulid. Menurut Gus Dur, kata Natal
yang menurut arti bahasa sama dengan kata harlah (hari kelahiran), hanya
dipakai untuk Nabi Isa al-Masih belaka.
Jadi ia mempunyai arti
khusus, lain dari yang digunakan secara umum seperti dalam bidang
kedokteran ada istilah perawatan pre-natal yang berarti "perawatan
sebelum kelahiran".
Dengan demikian, maksud istilah 'Natal'
adalah saat Isa Al-Masih dilahirkan ke dunia oleh 'perawan suci' Maryam.
Karena itulah ia memiliki arti tersendiri, yaitu saat kelahiran anak
manusia bernama Yesus Kristus untuk menebus dosa manusia.
Sedangkan
Maulid, Gus Dur menjelaskan, adalah saat kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Pertama kali dirayakan kaum Muslimin atas perintah Sultan Shalahuddin
al-Ayyubi atau dalam dunia barat dikenal sebagai Saladin, dari Dinasti
Mamalik yang berkebangsaan Kurdi. Tujuannya untuk mengobarkan semangat
kaum Muslimin, agar menang dalam perang Salib (crusade).
Dia
memerintahkan membuat peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad, enam abad
setelah Rasulullah wafat. Peristiwa Maulid itu hingga kini masih
dirayakan dalam berbagai bentuk, walaupun Dinasti Sa'ud melarangnya di
Saudi Arabia. Karya-karya tertulis berbahasa Arab banyak ditulis dalam
puisi dan prosa untuk menyambut kelahiran Nabi Muhammad itu.
Dengan
demikian, Gus Dur melanjutkan, dua kata (Natal dan Maulid) mempunyai
makna khusus, dan tidak bisa disamakan. Dalam bahasa teori Hukum Islam
(fiqh) kata Maulid dan Natal adalah "kata yang lebih sempit maksudnya,
dari apa yang diucapkan" (yuqlaqu al'am wa yuradu bihi al-khash).
Penyebabnya adalah asal-usul istilah tersebut dalam sejarah perkembangan
manusia yang beragam. Artinya jelas, Natal dipakai orang-orang
Kristiani, sedangkan maulid dipakai orang-orang Islam.
Menurut
Gus Dur, Natal dalam kitab suci Alquran disebut sebagai "yauma wulida"
(hari kelahiran, yang secara historis oleh para ahli tafsir dijelaskan
sebagai hari kelahiran Nabi Isa, seperti terkutip: "kedamaian atas orang
yang dilahirkan (hari ini)" (salamun yauma wulid) yang dapat dipakaikan
pada beliau atau kepada Nabi Daud. Sebaliknya, firman Allah dalam surat
al-Maryam: "Kedamaian atas diriku pada hari kelahiranku" (al-salamu
'alaiyya yauma wulidtu), jelas-jelas menunjuk kepada ucapan Nabi Isa.
Bahwa
kemudian Nabi Isa 'dijadikan' Anak Tuhan oleh umat Kristiani, adalah
masalah lain lagi. Artinya, secara tidak langsung Natal memang diakui
oleh kitab suci al-Qur'an, juga sebagai kata penunjuk hari kelahiran
beliau, yang harus dihormati oleh umat Islam juga. Bahwa, hari kelahiran
itu memang harus dirayakan dalam bentuk berbeda, atau dalam bentuk yang
sama tetapi dengan maksud berbeda, adalah hal yang tidak perlu
dipersoalkan.
"Jika penulis (Gus Dur) merayakan Natal adalah
penghormatan untuk beliau (Isa) dalam pengertian yang penulis yakini,
sebagai Nabi Allah SWT."
Dengan demikian, Gus Dur melanjutkan,
"menjadi kemerdekaan bagi kaum Muslimin untuk turut menghormati hari
kelahiran Nabi Isa, yang sekarang disebut hari Natal. Mereka bebas
merayakannya atau tidak, karena itu sesuatu yang dibolehkan oleh agama.
Penulis ( Gus Dur) menghormatinya, kalau perlu dengan turut bersama kaum
Kristiani merayakannya bersama-sama."
Dalam litelatur fiqih, Gus
Dur mengimbuhkan, jika seorang muslim duduk bersama-sama dengan orang
lain yang sedang melaksanakan peribadatan mereka, seorang Muslim
diperkenankan turut serta duduk dengan mereka asalkan ia tidak turut
dalam ritual kebaktian. Namun hal ini masih merupakan ganjalan bagi kaum
muslimin pada umumnya, karena kekhawatiran mereka akan dianggap turut
berkebaktian yang sama.
"Karena itulah, kaum Muslimin biasanya
menunggu di sebuah ruangan, sedangkan ritual kebaktian dilaksanakan di
ruang lain. Jika telah selesai, baru kaum Muslimin duduk bercampur."
Ada
pengakuan dari Romo Antonius Benny Susetyo. Di tengah sakit yang
mendera pada 25 Desember 2009, seperti biasanya Gus Dur masih
menyempatkan diri menelepon untuk mengucapkan "selamat Natal dan Tahun
Baru", sekaligus menyampaikan salam kepada Romo Kardinal dan teman-teman
sejawat lainnya. Demikian tulisan pembuka Romo Antonius Benny Susetyo,
Pastor dan Aktivis dalam buku berjudul: Damai Bersama Gus Dur.
"Saya
menanyakan kondisi beliau yang oleh beberapa media sudah dikabarkan
sakit. Beliau menjawab bahwa dirinya sehat-sehat saja dan saat itu
berposisi di kantor PBNU (juga sudah menanyakan sudah makan bubur),"
kata Romo Benny yang juga pendiri Setara Institute, itu.
Cerita
Romo Benny itu cukup menggambarkan betapa Gus Dur masih teguh memegang
prinsip toleransi antar umat beragama di negeri yang majemuk ini. Sikap
Gus Dur itu ada baiknya diingat kembali ketika sekarang sedang
ribut-ribut komentar ulama di Aceh yang mengharamkan umat Islam
mengucapkan selamat Natal dan memperingati Tahun Baru Masehi.
Sampai
kini perayaan Tahun Baru Masehi memang masih menuai pro dan kontra di
kalangan ulama Islam. Ada yang berkukuh melarang, ada pula yang
membolehkan. Bagi sebagian ulama yang membolehkan bisa dilihat dari
berbagai kegiatan malam Tahun Baru Masehi yang digelar di Indonesia,
misalnya kegiatan zikir nasional.
Contohnya zikir nasional untuk
menyambut Tahun Baru Masehi yang diadakan pada malam hari setelah salat
Isya. Acara itu dipandu oleh Ustaz Muhammad Arifin Ilham bertempat di
Masjid At-Tin Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Acara zikir berjamaah
itu menjadi salah satu warna tersendiri dalam menggambarkan kiprah kaum
Muslim di Indonesia dari masa ke masa.
Jadi, apakah anda sepakat
dengan sebagian ulama yang mengharamkan perayaan Tahun Baru atau justru
sepakat dengan yang membolehkan? Hal itu merupakan kemerdekaan anda
sebagai muslim dalam memilih sikap. "Gitu aja kok repot..!!!"
sumber : merdeka.com
Kamis, 24 Desember 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar