Senin, 22 Maret 2010
"Merah Yang Meremah" Kumpulan sajak 10 Penyair perempuan di Facebook
Sajak adalah sebuah organisme, sesuatu barang hidup, yang bila diletakkan di atas meja analisis untuk diuraikan dengan pisau ilmu bedah ilmu sastra, atau untuk disinari dengan sinar roentgen intelek, ia akan menjadi barang mati! Tapi hal demikian tetap akan berguna demi pendekatan ilmiah terhadap sastra, demi pencerdasan apresiasi puisi, demi sumbangan untuk menumbuhkan dan memelihara iklim sastra, demikianlah sebuah uraian dari penyair Sitor Situmorang.
Begitu juga sajak-sajak yang kita temukan pada buku 10 penyair Perempuan di Facebook, “Merah Yang Meremah”. Sajak-sajak dari Dewi maharani, Faradina Izdhihary, Helga Worotijan, Kwek li Na, Nona Muchtar, Pratiwi Setyaningrum, Shinta Miranda, Susy Ayu, Tina K, Weni Suryandari, terasa bagai organisme hidup, tumbuh dari situasi dan kondisi budaya para penyairnya. Tentunya para penyair perempuan ini mencerap segala rupa jenis kesan yang ada disekitarnya, dan yang dialaminya dan diberinya bentuk sastra. Penyair dengan segala sifat ke-perempuannya berfungsi sebagai medium, hingga terasa sekali tema dan diksi-diksi yang diambilnya.
Seperti puisi dari Dewi Maharani, dari purworejo, jawa tengah, yang sehari-hari bekerja sebagai buruh migran di singapura, yang menjadi judul buku kumpulan puisi ini, “merah yang meremah”, ada sebuah kepedihan dan juga keterasingan di dalamnya, terasa sekali perasaan seorang perempuan:
Masihkah harus kutunggu?
Saat Tanya tak lagi terjawab
Menggilas harap dinding retak
Di ujung kilau tajam yang terjaga siang malam
…………………………
Juga puisi dari Faradina yang berjudul “Pada akhirnya adalah air mata”
…………………….
Engkau menyulutkan api
Lalu diam-diam pergi
Memanggangku dalam panas hati
Lalu dendam menjadi daging
Menyatu dengan amuk darah
Beban menjadi tambah
Betapa nafsu membuatku lengah
……………………………..
Pengalaman batin para penyair perempuan ini banyak mewarnai sajak-sajaknya, Pengalaman batin yang punya pertautan dengan kenyataan di luar atau lingkungan sekitar.
Seperti sajak Helga Worotitjan, “Hari Senggama”
Mari berpeluh bersamaku
Dan akan kutunjukkan padamu
Batapa malamnya cinta
Betapa paginya rindu
Sedang siang dan sore kurendakan di pinggir-pinggir
Keduanya
Agar ada sebuah hari
Yang bernama senggama
:taut kita berkali-kali hingga mati sebagai setali
Juga sajak Kwek Li na yang sekarang berdomisili di Taiwan, “Cinta Abadi’
Aku ingin masuk ke sangkar cintamu
Jadikan aku tawanan hatimu
Cambuklah aku dengan rindu akanmu!
Bilur-bilur menetes darah rasa
Pedih dan nikmat ajari aku makna
Sumbang dan merdu, luapan ekspresi jiwa
……………………………………………
Hal yang penting dari seorang penyair adalah apakah seorang penyair punya daya kreatif dan rangsangan kreatif, serta mampu menjadikan bahasa sebagai media ekspresinya. Dan proses kreatif inilah yang bagi para penyair terasa sekali sangat mengasyikkan bahkan bias dikatakan sebagai sebuah Orgasme.
Sebagaimana kita temukan pada Sajak “Rumah kita Rubuh”, dari nona muchtar
Kata katamu serupa bilah membelah kalbu
Menyatakan mati itu adalah sahabat yang akan kita tuai bersama gulita
Seolah jiwa tak abadi menghisap cahaya bulan
Memenjarakan pikiran dan membutai harapan
Sewaktu kemarin kau semaikan benci dalam ketergesaan
Rumah kita pun rubuh pada tengah kemarau
Juga puisi Penyair asal Solo Pratiwi setyaningrum “Rindu”
Menit kesekian mengalunkan puji puji suci
Duduk bersimpuh di atas sajadah
Kedua tangan terangkat makin ke atas
Tak terasa
Air mata mengalir diantara nama namaNYA
Apa lagi
Sebagaimana dikatakan Oleh Prof. Abdul Hadi WM : manusia memerlukan pengalaman batin, hati, karena dalam hati manusia itulah terdapat jendela untuk melihat Tuhan,untuk melihat cerminan dirinya. Karena itu puisi juga merupakan katarsis, upaya bersih diri dari bentuk-bentuk kehidupan profane dengan nilai-nilai transcendental. Puisi bias menjadi sarana ibadah, pernyataan baru, dan cinta yang mendalam dan personal.
Apa yang mesti Kukatakan sajak dari shinta Miranda
Apa yang mesti kukatakan ketika anakku perempuan berkata
“bunda, aku mengandung..!”
Apa yang mesti kukatakan ketika anakku perempuan berkata
Aku tak pernah tau jahanam yang mana
Pengalaman-pengalaman batin juga mewarnai sajak-sajak dari Susy Ayu, dimana salah satunya berjudul : “Usai Bercinta”
………………………….
Ketika kita usai
Kekosongan di seluruh tubuhku masih terasa penuh
Serupa tubuhmu
Aku cinta padamu
Dan juga puisi pendek dari cerpenis Tina K
“Pedih”
Dalam gereja yang sesak
Saat hosti dibagikan
Alangkah masak kesedihan
Tentunya masih banyak sebenarnya tema-tema kemanusiaan atau ide-ide yang bisa digali lebih dalam lagi agar menghasilkan sebuah Puisi yang menjadi, puisi yang menjadi sebuah dunia. Akan tetapi terbitnya antologi puisi 10 penyair perempuan di facebook ini layak kita koleksi dan apresiasi, agar media social networking semacam facebook ini bisa menjadikan wahana yang positif dalam mengembangkan sastra Indonesia baik prosa maupun puisi.
Terakhir sebuah puisi dari weni suryandari yang pernah terpilih mejadi pemenang sayembara menulis novelette tahun 2008 oleh tabloid nyata.
“Puisi Cinta”
Jika yang kutulis adalah puisi cinta,
Aku tak kan kehabisan tinta
Madiun, 22 maret 2010
Arif Gumantia
Juru tulis yang suka sama nasi pecel
Judul Buku : Merah yang Meremah
(kumpulan puisi 10 penyair perempuan)
Penerbit : Bisnis 2030
tahun : 2009
Langganan:
Postingan (Atom)