Masukan Nama Penyanyi - Judul Lagu

Mesin Cari Free Download Mp3 Gratis

Translate To Your Language

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

Jumat, 30 Oktober 2009

Terpecahkan Misteri senyum Monalisa.

Apa makna dibalik senyum Mona Lisa yang penuh teka teki? Para ilmuwan percaya senyum itu berubah-ubah tergantung bagian mata mana yang melihat terlebih dahulu.

Salah satu daya tarik lukisan yang paling terkenal di dunia itu adalah bisa terlihat berseri-seri, namun kemudian berubah menjadi serius dan sinis.

Kini para ilmuwan mengklaim telah menemukan jawaban atas perubahan tersebut, yaitu mata kita yang mengirimkan sinyal acak ke otak.

Mereka percaya bahwa senyum Mona Lisa dapat terlihat tergantung pada sel di retina dan saluran apa yang digunakan gambar masuk ke dalam otak.

Sel yang berbeda di dalam mata dirancang untuk mengambil berbagai warna, kontras, latar belakang dan latar depannya.

Semua tergantung pada sel-sel apa yang menangkap gambar pertama kali dan saluran apa yang digunakan untuk menafsirkan ke otak. Saluran ini mengkodifikasikan data berdasarkan ukuran objek, kejelasan, kecerahan dan lokasi bidang visual.

"Terkadang satu saluran menang atas lainnya, dan senuyum terlihat, namun jika lainnya mengambil alih, senyum tidak akan terlihat," kata Dr Luis Martinez Otero, seorang ilmuwan syaraf dari Institute of Neuroscience di Alicante, Spanyol yang melakukan penelitian.

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang alasan dibalik senyum Mona Lisa Dr Martinez Otero mempertimbangkan beragam aspek yang berbeda dari Mona Lisa.

Ia kemudian memprosesnya melalui saluran visual yang berbeda, dan menanyakan pada relawan apakah mereka melihat senyum dalam lukisan atau tidak.

Relawan cenderung melihat Mona Lisa tersenyum setelah sebelumnya mereka ditunjukkan layar gelap, dan membuat Martinez Otero berkesimpulan bahwa pada sel-sel pusat inilah senyum Mona Lisa dapat dirasakan.

Apakah Leonardo berniat untuk menabur begitu banyak kebingungan dalam otak penikmat lukisannya? Martinez Otero berpendapat. Leonardo menulis dalam salah satu buku catatannya bahwa ia berusaha untuk melukis ekspresi dinamis, karena itulah yang ia lihat di jalan."

Penelitian ini awalnya dipresentasikan dalam pertemuan tahunan Society for Neuroscience di Chicago. Ini bukan pertama kalinya bagi para ilmuwan untuk mendekonstruksi karya besar Leonardo da Vinci itu.

Pada tahun 2000, Margaret Livingstone, seorang ilmuwan syaraf di Harvard Medical School, menunjukkan bahwa senyum Mona Lisa lebih menonjol pada kamera daripada pusat mata.


http://inilah.com/berita/teknologi/2009/10/30/174509/terpecahkan-misteri-senyum-mona-lisa/

Kamis, 29 Oktober 2009

Beberapa Orang Menyukai Puisi

Beberapa Orang Menyukai Puisi"

Beberapa orang—
itu berarti tidak semua orang.
Pun tidak kebanyakan orang, melainkan beberapa saja.
Tanpa menghitung sekolah, yang kita anggap perlu,
dan penulis puisi itu sendiri,
dan hasilnya mungkin hanya sekitar dua dari seribu.

Menyukai—
tapi tentu saja, kitu juga bisa menyukai sup mi ayam,
atau pujian, atau warna biru,
syal kita yang lama,
diri kita sendiri;
atau menepuk-nepuk punggung seekor anjing.

Puisi—
tapi apakah puisi?
Lebih dari satu jawaban tak meyakinkan
telah tumbang sejak pertama kali pertanyaan itu diajukan.
Dan aku tetap tak tahu, dan bertahan kepada itu
serupa kepada susuran tangga yang berlepasan.

[1993]

Wisława Szymborska adalah seorang nenek asal Polandia yang memenangkan Nobel Sastra tahun 1996, pada saat ia berusia 73 tahun. Semoga cukup membantu....

Senin, 26 Oktober 2009

Pusat Bahasa Luncurkan 10 Novel Indonesia

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamis (22/10), di Jakarta, meluncurkan 10 novel berbahasa Indonesia, karya 10 novelis terkemuka. Namun, dalam novel itu ditemukan banyak kesalahan berbahasa, kesalahan ejaan, dan kesalahan kata, sehingga Pusat Bahasa dinilai gagal jadi polisi bahasa.

“Padahal, karya sastra berbobot sangat ditentukan oleh kemampuan berbahasa tertib. Sebab, di situ dikaji hubungannya dengan kemampuan berpikir logis meliputi deduksi nalar dan analisis. Bukan bahasa yang centang perenang,” kata sastrawan dan pengamat bahasa Remy Sylado, yang dengan kritis mencermati halaman per halaman buku novel yang diluncurkan.

Sepuluh novel yang diluncurkan tersebut adalah Gandamayu Cinta Perempuan Terkutuk karya Putu Fajar Arcana,Arjunawijaya karya Hamsad Rangkuti, Kakawin Gajah Mada karya Kurnia Effendi, Mundinglaya Dikusumah karya Gola Gong, Kisah Tuhu dari Tanah Melayu karya Abidah El Khalieqy, Kundagdya karya Oka Rusmini, Rara Beruk karya Suyono Suyatno, Janji yang Teringkari karya Imam Budi Utomo, dan Lubdaka yang Berkelebut karya Yanusa Nugraha.

Remy Sylado yang agak detail menyelisik kesalahan standar bahasa Indonesia yang tepat dan indah dalam novel-novel yang dibacanya, mengatakan, yang menyolok adalah justru hadirnya contoh ejaan centang perenang, tidak konsisten, diskordan, terlepas kontinuitas, dan hilang uniformitas.

Dengan banyaknya kesalahan ia meragukan Pusat Bahasa sebagai polisi bahasa terhadap bahasa Indonesia.

Menurut Remy Sylado, tiga dari 10 novel yang dibacanya dengan detail itu sulit dijadikan sebagai contoh ideal bahasa Indonesia yang tertib, yang memenuhi isyarat tepat dan indah.

Sedangkan sastrawan Veven Sp Wardana yang mengkaji novel-novel terbitan Pusat Bahasa itu dari sisi cerita lama dan industri kreatif mengatakan, novel-novel yang diluncurkan Pusat Bahasa kurang bisa bersaing dengan novel-novel terbitan penerbit swasta.

“Saya perlihatkan novel-novel terbitan Pusat Bahasa kepada anak, pertanyaan yang muncul dari anak saya kemudian adalah, ini buku terbitan tahun berapa? Apakah kemasan seperti sekarang sebagai gambaran cerita lama, saya tak tahu. Pokoknya, tampilan kulit novel itu kurang menarik,” katanya.

Kritikus sastra Prof Dr Riris KT Sarumpaet mengaku kesal membaca satu novel di antara 10 novel itu, karena jorok sekali. “Mestinya penulis harus punya pertimbangan yang khas. Karya sastra harus dilihat sebagai alat pendidikan. Berikanlah yang bermanfaat. Ada juga cerpen yang penuh informasi, akibatnya ia bukan sebagai cerita lagi,” tandasnya.

Sastrawan Ahmadun Yosi Herfanda, salah seorang editor novel-novel tersebut mengatakan, pihaknya sedari awal sudah dengan jeli melakukan koreksi kata demi kata di naskah hard copy. “Kenapa masih terjadi banyak kesalahan kata, bahasa, dan sebagainya seperti yang dikritisi Remy Sylado, mungkin pencetak tidak melakukan perubahan, karena yang ada pada dia itu softcopy. Penerbitan selanjutnya akan diperbaiki semua kesalahan,” katanya.

Terlepas dari persoalan kesalahan berbahasa dalam novel-novel itu, Kepala Pusat Bahasa Dendy Sugono berharap novel yang diuntukkan buat anak-anak Indonesia maupun bukan anak Indonesia itu dapat memperkaya pengetahuan kita tentang kehidupan masa lalu, yang dapat dimanfaatkan dalam menyikapi perkembangan kehidupan masa kini dan masa depan.

Dinukil dari Oase Kompas edisi22 Oktober 2009

Diplomasi Ketawa (I) : Gus Dur Keturunan mana? (dari note yahya cholil staquf)

Presiden Abdurrahman Wahid melakukan kunjungan resmi ke Pandeglang, Banten. Pada waktu itu sedang ramai tuntutan pembentukan Propinsi Banten tersendiri, lepas dari cakupan administratif Propinsi Jawa Barat. Dihadapan tokoh-tokoh Banten, termasuk utusan-utusan khusus suku Badui, Presiden membuat pernyataan tegas,

“Saya adalah orang yang paling mendukung pembentukan Propinsi Banten!”

Hadirin bersorak gembira dan bertepuk-tangan panjang sekali.

“Kenapa?” Presiden beretorika, “karena saya ini juga keturunan Banten! Silsilah keluarga saya dan Mbak Mega, Bung Karno, bertemu pada kakek buyutnya Syaikh Muhammad Nawawi Banten, yaitu Maulana Ishaq At Tabarqi…”

Lain waktu, pada perjamuan perayaan tahun baru Imlek, di hadapan tokoh-tokoh kalangan keturunan Tionghoa di Jakarta, Presiden pun lantang,

“Semua orang tahu, dari dulu saya ngotot melindungi dan membela hak-hak kaum keturunan Tionghoa di negeri ini!”

Lagi-lagi tepuk-tangan membahana menyambutnya.

“Kenapa?” lanjut Presiden setelah tepuk-tangan mereda, “karena saya sendiri juga keturunan Tionghoa!”

Hadirin tertawa, mengira beliau sedang bercanda seperti biasa.

“Serius!” Presiden memotong tawa mereka, “Leluhur saya berasal dari Tionghoa, dari she (marga) Tan. Namanya: Tan Kim Han!”

Di Sanaa (Shon’aa), ibukota Republik Yaman, ditengah jamuan kenegaraan menyambut kunjungan resmi Presiden Republik Indonesia, di hadapan Presiden Ali Abdallah Salih dan para tokoh dari qabilah-qabilah utama di Yaman, Presiden Abdurrahman Wahid menegaskan,

“Ana kaman Yamaani… min Basyaiban!”

(Saya ini juga orang Yaman… dari marga Basyaiban).

Sayang sekali saya tidak ikut serta ketika beliau berkunjung ke Venezuela. Entah apa yang beliau katakan dihadapan para kepala suku Indian pendukung Hugo Chavez disana…

Rabu, 21 Oktober 2009

Dunia (panggung) Sandiwara

Peristiwa (I)

Di Pinggir kolam renang Pribadi seorang pejabat Negara yang masih muda. Suami Istri sedang mengobrol dengan santainya. “Pa, jadi nggak kita shopping ke paris terus ke New York, kalo jadi mana cukup uang 500 juta”, Tanya istrinya dengan air muka kesal. “Baru buat beli Tas merk “Louis Vuitton” saja sudah 15 juta, itu baru tas-nya, belum sepatu dengan Merk “Manolo Blahnik”, meskipun di diskon tetep saja sekitar 10 juta dalam kurs Rupiah, belum Lingerie, belum lagi jaket buat anak kita. Saya pengennya khan yang limited edition belanjanya.”
Suaminya sambil baca Koran berucap :”sabar tho ma, papa lagi nunggu Fee dari perijinan Perusahaan Elektronika milik seorang konglomerat, dia kemarin janji mau memberi 5 Milyar. Pertamanya sih mau memberi 2 milyar, aku bilang kurang, soalnya khan kita juga harus setor ke Istana juga, kalo nggak setor, bisa-bisa kita di gantung di tiang bendera. Nanti kalo udah dapat 5 milyar, yang 3 milyar kita setorkan ke Istana. Yang 2 milyar baru buat kita. Cukup khan kalo mau jalan-jalan ke Luar negeri.”



Peristiwa (2)

Dalam sebuah Hotel bintang lima di kamar president suite, seorang anggota parlemen yang sudah 3 periode menjadi wakil rakyat, ditemani seorang gadis belia yang umurnya hamper sama dengan anak gadisnya , dan yang pasti bukan istrinya. Dia sibuk mengirim dan membaca email lewat macbooknya. Sedang si gadis sibuk memainkan kemaluan wakil rakyat tersebut. Terdengar Blackberry berdering, langsung diangkat oleh sang wakil rakyat sambil tetap menikmati kelembutan tangan teman gadisnya. “ selamat malam” terdengar suara dari penelpon. “maaf, mengganggu malam-2 pak”. Ini saya mau membicarakan kesepakatan tentang Rancangan Undang Undang Ketenaga kerjaan”. Sang wakil rakyat Menjawab :”Oh, iya ya, besuk mau dikonsultasikan dengan Parlemen ya Oleh Pemerintah”. “itulah pak” suara dari penelepon”kalo bisa untuk Upah Minimum Regionalnya dikurangi pak, jangan terlalu besar, bisa sedikit nanti kita punya laba. Dan ujung-ujungnya khan kita nggak bisa memberikan entertainment fee buat bapak tiap bulannya.”
Si wakil rakyat menjawab dengan pelan sambil menahan kepuasan “tenang aja, semua bisa diatur kok, asal jangan lupa kerjasamanya.”
“wah kalo itu sih pasti pak, kita khan sudah lama kenal, Ok pak terima kasih dan selamat menikmati malam.” Kata Si penelepon sambil menutup telpunnya.



Peristiwa (3)

Dini hari, di pinggiran kota, seorang ibu berumur sekitar empat puluhan dengan telanjang kaki berjalan menuju pasar tradisional. Dia harus datang cepat, agar mendapatkan sayuran yang segar, untuk dia jajakan keliling kampong dari rumah ke rumah. Sebelum berangkat, masih tergiang kata-kata anaknya, bahwa besuk pagi harus bayar tunggakan biaya sekolah sebesar 450 ribu. Saat mendekati pasar, terdengar keriuhan yang tidak biasanya, disertai pendaran-pendaran cahaya yang menyilaukan. Semakin dekat semakin terlihat, pasar tradisional yang menjadi tumpuan kehidupannya ternyata terbakar untuk yang ke-2 kalinya. Untuk beberapa lama dia terpaku dan terpana, sebelum Akhirnya diayunkan kembali langkahnya untuk menuju rumah. saat melewati sebuah Mushola , terdengar sebuah fatwa dari seorang Ustadz Tua : “Kita harus bisa memeras hikmah dari setiap peristiwa “




Madiun, 20/10/2009
Arif Gumantia

Senin, 19 Oktober 2009

Frankenstein

oleh adhie m massardi

OKTOBER selama beberapa puluh tahun kita kenal sebagai “Bulan Bahasa”. Pada bulan ini, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa gencar mengampanyekan penggunaan bahasa Indonesia “yang baik dan benar”. Tidak ada penjelasan dari pemerintahanan Yudhoyono kenapa setelah jadi Pusat Bahasa Depdiknas, kampanye bahasa Indonesia malah nyaris tak terdengar.

Padahal bagi kita, menghormati bahasa nasional penting karena merupakan “rukun iman kebangsaan” ketiga setelah Pancasila dan UUD 1945. Sebab berbeda dengan bahasa bangsa lain, bahasa Indonesia lahir dari proses perjuangan, bagian penting nasionalisme pengobar semangat perlawanan dan pengusiran penjajah, penjarah kekayaan negeri kita ratusan tahun.

Sialnya, para pemimpin kita sekarang malah kembali “mempertuan” anak-cucu para kolonialis yang dulu susah payah diusir kakek-moyang kita. Sehingga dengan cara lebih santai, sambil minum wine dan haha-hihi, “paduka yang dipertuan” para pemimpin kita itu, menguras kembali kekayaan negeri ini.
Sekarang Oktober jadi bulan yang garing. Heroisme anak muda yang merantau di Jakarta dan kos di rumah Sie Kok Liong di Jalan Kramat Raya 106 itu, yang pada 28 Oktiber 1928 menggagas political dream, punya “satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa: Indonesia”.

Dengan landasan imajinasi anak kos-kosan itulah, dan bukan orang-orang partai politik lho ya, Republik Indonesia yang selalu kita kritisi ini dibangun. Maka bersyukurlah bangsa Indonesia karena Partai Golkar, PDIP, PKS, Partai Demokrat, dll lahir zaman sekarang. Kalau lahir sebelum 1945, dijamin tak akan pernah ada Republik Indonesia!

Partai politik justru membuat Oktober lima tahun sekali jadi “Bulan Frankenstein”. Bulan penuh horor karena menyimpan kegelisahan rakyat semesta. Sebab pada bulan ini “laboratorium politik Indonesia” meluncurkan ratusan hingga ribuan mahluk sejenis Frankenstein.

Frankenstein, seperti kita tahu, sebenarnya adalah Dr Victor Frankenstein, ilmuwan dalam fiksi karangan penulis Inggris Mary Shelley, 1831. Dalam kisah yang ditulis saat Mary 18 tahun itu, Dr Victor membuat mahluk dari potongan sejumlah mayat. Dengan listrik dan petir, mahluk itu bisa hidup, jadi monster sangar dan menggasak tuannya. Karena selalu mengaku Frankenstein, jadilah dia Frankenstein, sohor ke antero dunia karena diperkenalkan para sineas Hollywood.

Kini kita seperti hidup di dunia imajinasinya Mary Shelley, dengan sistem politiknya: “demokrasi Frankenstein”. Dan kita, rakyat Indonesia, adalah Dr Victor yang melahirkan para Frankenstein yang di dadanya tersemat lencana “anggota DPR”. Di tingkat pusat ada 560. Pelantikannya pada Kamis, 1 Oktober lalu, bikin bulukuduk berdiri karena belum-belum sudah memangsa milyaran rupiah uang rakyat.

Ada ribuan mahluk sejenis di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Termasuk bupati, walikota, gubernur dan para wakil mereka. Dari pengamalan dua kali pemilu sebelumnya, sebagian dari mereka memang menjadi Frankenstein, monster bagi yang melahirkannya: rakyat.

Selasa, 20 Oktober ini, bakal diproses pula Presiden dan Wakil Presiden. Apakah mereka akan menjadi Frankestein yang juga bakal memangsa tuannya? Tapi kalau melihat prolognya dalam episode Bank Century, yang melibatkan langsung salah satu di antara kedua terlantik, jawabannya: Wallahualam bi shawab.

Tapi sejak presiden dipilih langsung, setiap lima tahun sekali, Oktober memang menjadi “bulan Frankenstein”. Tugas kita adalah mengubah “bulan horor” Oktober menjadi “bulan penuh harapan”. Insya Allah. •

Kamis, 15 Oktober 2009

Resensi buku Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif

Sebuah Biografi Intelektual
Penulis : Syaiful Arif
Pengantar : Prof. Dr. Taufik Abdullah
Ulil Abshar-Abadalla
Penerbit : Koekoesan, Jakarta ( Juli 2009)

KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengkritik keras kapitalisme karena ia membaca Marxisme.Namun,ia juga mengkritik Marxisme karena membaca Gramsci.

Mengamini Gramsci, Gus Dur melihat Marxisme terjebak pada ’ekonomisme kasar’ sehingga tak melihat budaya sebagai potensi perubahan. Grasmci pun dikritik karena Gus Dur membaca teologi pembebasan. KesilapanGramsciyangtakmelihat agama sebagai potensi perubahan membuat Gus Dur tertarik pada gerakan teologi Katolik Amerika Latin yang mengawinkan agama dengan analisis kritis Marxian.

Hanya saja, di titik inilah Gus Dur kemudian mengkritik teologi pembebasan karena ia terjebak dalam ideologi. Sifat ideologis ini yang membuat para teolog pembebasan tidak bebas lagi karena terjebak dalam eksklusivisme gerakan. Maka, tak ayal, Gus Dur pun akhirnya menambatkan model gerakannya pada gerakan keagamaan berwawasan struktural, nonrevolusioner.

Pada titik inilah perbincangan seputar konsepsi pembebasan (berbasis keagamaan) dalam pemikiran Gus Dur menemukan relevansinya; satu hal yang digali oleh Syaiful Arif dalam buku Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif ini. Barangkali ide-ide kiri banyak memengaruhi dan menginspirasi sejumlah tendensi pemikiran dan langkah politik Gus Dur. Namun, faktanya, pembaca Das Kapital pada usia 14 tahun ini tidak sungkan melemparkan kritik terhadap beberapa titik lemah dari sebuah aksi pembebasan serta sinisme atas ‘impotensi’ unsur kebudayaan tertentu, tak terkecuali predikasi miring Marx kepada agama sebagai the opium of the people.

Bagi Marx, gerakan bisa dikatakan revolusioner ketika ia meniadakan agama di dalam dirinya. Tak sebatas kritik,Gus Dur pun menggariskan bahwa model pembebasan yang hakiki adalah pembebasan yang senantiasa berakar dan terarah pada penghargaan setinggi-tingginya terhadap kehidupan sosial manusiawi (human social life) (hlm 254). Garis ide ini tidak hanya menyadari pentingnya sebuah gerakan pembebasan dari jerat hegemoni penindasan demi kemanusiaan, tapi juga memberi jaminan perlakuan manusiawi tetap berlangsung dalam rangkaian prosesi maupun ‘capaian final’ gerak pembebasan itu sendiri.

Tak aneh bila Gus Dur akhirnya memilih aksi pembebasan yang ia sebut sebagai perubahan struktural ‘tanpa Marx’ atau transformasi struktural nonrevolusioner. Poin nonrevolusioner menjadi penting karena bagi Gus Dur, revolusionerisme memiliki ‘sisi gelap’, yakni memosisikan unsur kultural tidak sebagai kebudayaan yang berdiri sendiri dan berhak hidup, tapi hanya sebagai aparat ideologis bagi tercapainya revolusi (hlm 89).

Dengan demikian keragaman dikorbankan demi suksesnya revolusi, yang kemudian melahirkan penyeragaman dan kelembagaan. Dari penyeragaman ini terjadi apa yang disebut Gus Dur sebagai revolusi yang tercuri (the stolen revolution) untuk menjaga dan mengonsolidasikan kehadiran satu pihak saja yang memenangkan revolusi seperti yang terjadi pada Revolusi Iran 1979 atau ‘pencurian’ Joseph Stalin atas Revolusi Bolsjewik 1917 yang menciptakan diktator komunisme (hlm 70).

Kecenderungan ideologisasi dari gerakan inilah yang dihindarkan Gus Dur pada Islam, yang hanya akan menciptakan eksklusivisme dan ekstremisme, meskipun berangkat dari ‘paradigma pembebasan’. Baginya, agama memang menyimpan kekuatan pembebasan, tetapi dunia memiliki mekanisme perubahan tersendiri sehingga bahaya ketika agama diturunkan ke level ‘teknis’ (penentu), sebab ia bisa menjelma kekuasaan yang menindas atas nama ‘otoritas surga’.

Ini sejalan dengan hakikat pembebasan yang ia gariskan sebagai ‘...pembebasan tanpa dasar dan landasan apa pun,kecuali manusia itu sendiri. Jadi sangat eksistensialis (hlm 87).’ Di sinilah pentingnya meletakkan Islam sebagai etika sosial. Orientasi (pembebasan) etis yang dipegang Gus Dur merujuk pada satu tujuan politik yang tidak mengandaikan adanya struktur politik tandingan dari tatanan yang ingin diubah sehingga sebuah gerakan akan terselamatkan dari watak ideologis.

Penekanan pada watak etis ini merupakan sinambung dari pilihan strategi pembebasan Gus Dur yang tidak bersifat sosio-politis, tapi lebih pada sosio-kultural (hlm 95).Keyakinan ini pernah dipraktikkan Gus Dur ketika berhadapan dengan hegemoni pembangunanisme Orde Baru melalui usaha membangkitkan fungsi transformatif Islam sebagai kritik atas praktik penindasan sembari melakukan kerja-kerja praksis yang terkait langsung dengan kebutuhan riil masyarakat.

Dalam kaitan inilah ide pribumisasi Islam tak melulu bersifat budaya. Bagi Gus Dur, pribumisasi Islam adalah conditio sine qua non bagi tergeraknya fungsi etis sosial dari Islam. Karena Islam sudah melerai ketegangan dengan kebudayaan––melalui pribumisasi budaya, Islam tak lagi terjebak dalam perjuangan simbolis selayaknya formalisasi syariat.Islam yang telah membumikan lambaran kulturnya akhirnya bisa naik pada tataran nilai utama (Welstanschauung) dari Islam sendiri, yang tertuju pada keadilan (al-’adalah), persamaan (al-musawah), dan demokrasi (syura).

Pentingnya tiga nilai ini menjadi cita utama Islam karena Gus Dur melihat watak universal dari Islam yang melakukan perlindungan terhadap lima hak dasar manusia (al-kulliyat alkhams) berupa perlindungan terhadap hak hidup, berpikir, berkeyakinan, hak milik pribadi, dan kesucian keluarga. Hak dasar inilah yang menjadi tujuan utama maslahat (ghayatul mashlahat) dan menjadi tujuan utama syariat (maqashid al-syari’ah).

Jadi, nilai keadilan, persamaan (di muka hukum), dan demokrasi adalah kondisi struktural yang harus diwujudkan demi tergeraknya perlindungan terhadap hak dasar kemanusiaan tadi. Term transformatif dalam buku ini menjadi epistemologi kunci bagi kelahiran ide-ide segar dan sejumlah aksi perjuangan Gus Dur baik yang menyentuh wacana keagamaan, kebudayaan maupun ilmu sosial.Ada kesan, penulis berusaha melampaui mainstreamtipologisasi atas corak intelektualisme Gus Dur.

Banyak kritik disasarkan pada sejumlah ‘bias paradigmatis’ para peneliti saat mengotakkan pemikiran Gus Dur pada isme-isme tertentu.Kendati demikian, kritik tersebut sejatinya tidak sampai menganulir secara radikal, sebab yang berbeda dari ‘temuan baru’ ini dengan beberapa paham yang dialamatkan pada Gus Dur sebelumnya, semacam liberalisme, sekularisme, neomodernisme, pluralisme, atau pribumisasi Islam, terletak pada cita utama dan arah gerakan pemikiran Gus Dur.

Kalau yang lain memahami watak pemikirannya sebagai kesadaran pembaruan atas ‘keloyoan’ tradisi, maka watak transformatif mengandaikan pembaruan tersebut tak ubahnya ‘jembatan’ yang terhubung dengan cita pembebasan dari struktur politik otoriter yang tidak memihak.(*)

Mahbib Khoiron
Mahasiswa Filsafat Islam, ICAS Jakarta
Harian Seputar-Indonesia
8 Agustus 2009
Bagi yang berminat bisa menghubungi Syaiful Arif (081316299209)
atau penerbit Kokoesan (085868685177)

Senin, 12 Oktober 2009

Kesederhanaan dalam Puisi-Puisi Dad Munirah. (kumpulan Puisi "Perkawinan Cinta")



Write a New Note
Kesederhanaan dalam Puisi-Puisi Dad Munirah. (kumpulan Puisi "Perkawinan Cinta")Share
Yesterday at 5:07pm | Edit Note | Delete
Berdasarkan pandangan Chairil Anwar nilai karya sastra ditentukan oleh sejauh mana ekspresi bahasanya sebagai bagiannya mampu mendukung ‘pokok’nya dalam hal ini gagasan yang mau disampaikan dalam suatu karya sastra.

Begitulah yang kita temukan dalam Buku kumpulan puisi “Perkawinan Cinta” karya Dad Munirah ini. Menurut sastrawan Ahmadun Yosi Herfanda, yang ditulis dalam Epilog buku ini, Sajak yang indah tidak mesti dibangun dengan konsep puitika yang rumit. Sebab keindahan sebuah sajak pun dapat dibangun dengan puitika yang sederhana, bening dan komunikatif. Dan melalui buku kumpulan sajak ini, Dad Murniah (Nia), penyair yang juga peneliti dan pakar bahasa, telah membuktikannya.

Dad Murniah, lahir di Pontianak, 16 September 1959. keturunan Dayak Maanyan, Kalimantan Tengah. Masa kecil dihabiskan di Jakarta, Solo, dan Purwokerto. Menyelesaikan Pendidikan di SMA 1 Purbalingga, S1 Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Diponegoro, Semarang dan S2 di Universitas Indonesia. Telah lama menulis puisi ketika masih menjadi mahasiswi Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, tahun 1980-an, dengan memakai nama “Nia Samsihono” dan sering dimuat di media massa terbitang semarang. Beliau pernah menjadi kepala kantor bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara (2003-2007), dan kini menjadi Kepala Sub Bidang Informasi dan Publikasi Pusat Bahasa Depdiknas.

Sebagai seorang peneliti sastra dan pakar Bahasa, Dad Murniah (Nia), bisa saja mengambil diksi metaphora dengan bermain-main pada konsep puitika yang rumit, tetapi beliau lebih memilih yang sederhana, agar lebih mudah dicerna para pembaca. Dan tentunya sebagaimana Pendapat penyair legendaries Indonesia Chairil Anwar, akan lebih mudah menyampaikan gagasan pokoknya dalam Puisi tersebut. Seperti puisi dengan judul “Aku Sembunyikan “ di Bawah ini:

“Aku Sembunyikan” : buat F

Aku sembunyikan sarungmu
Supaya istrimu mencarinya
Tapi ternyata tidak dan itu menunjukkan
Bahwa aku lebih peduli

Aku sembunyikan sarungmu
Supaya ingatanmu tertinggal di sini
Dan jika aku rindu
Akan bergelung membisu di dalamya
Sambil menatapi kenangan-kenangan
Yang kita rangkai luruh satu per satu

Aku sembunyikan sarungmu
Agar semua orang tahu
Bahwa kamu pernah bersamaku
Mengukir cerita merangkai kata-kata
Menjadi mozaik yang tak puasnya terpandangi

Aku sembunyikan sarungmu
Karena dari itu aku tahu
Bahwa ada ikatan yang tak pernah sirna
Menyatu pada dua hati yang padu

Kegelisahan, kerinduan, dan Ada juga puisi dengan tema seksualitas. Diungkapkan dengan cara bertutur yang naratif dengan bahasa yang sederhana tetapi punya daya evokasi yang kuat. Daya Evokasi dalam puisi bisa diartikan secara mudah sebagai sebuah kekuatan dari kata yang di ambil atau kalimat yang dipungut untuk menjelaskan gagasan dari penyairnya. gagasan yang di maksud bisa juga tema yang ingin di sampaikan oleh penyair Puisi tentang seksualitasnya berbicara dengan terbuka, tanpa terjebak pada pornografi. Bahkan bisa memberikan pada pembaca tidak saja makna konseptual tapi juga makna imajinatif. Seperti pada puisi “Tutur kata”

Tutur Kata

Aku suka tatapmu
Yang jernih bagai telaga
Dan aku suka hitam mata yang kau bawa
Karena darinya aku dapat menjalin kata
Dengan getaran seribu bahasa

Lalu katamu
Aku suka seluruh dirimu
Tatap matamu, desah suaramu,
Getar bibirmu, hangat tubuhmu,
Aroma keringatmu, dan lender
Vaginamu……

Lalu
Debur ombak dengan lekuk gelombang
Terseret angin barat, dan adakah nyalimu
Mengarunginya?
Lalu
…………………………………………………..
……………………………………………

Banyak juga puisi Dad (nia) semacam sebuah catatan perjalanan yang dituangkan dalam puisi, berbicara tentang sebuah keindahan alam atau lokasi saat Dad (nia) bertugas ataupun saat berlibur. Kalimantan, jawa, lombok, bali, sulawesi, singapura, manila, wina, dan Praha. Puisi-puisinya merupakan deskripsi atas sebuah tempat juga kenangan-kenangan yang sangat mendalam dan berkesan bagi dad (nia). Seperti puisi yang ditulis di Kendari Sulawesi Tenggara dengan judul:

Arus Lasolo

Sunyi merambat dari pohon nipah ke nipah
Yang berjajar rapi di tepi sungai Lasolo
Ada cerita menjalar dalam aliran
Dari andowiya ke Tapunggaya
Tentang gadis Tolaki
Yang menumpahkan hasrat
Pada kilau purnama
Dan hentakan tari lulo

Ada dendang mengambang
Ke hilir dengan perlahan
Menyentuh daun-daun pakis
Dan runcing kulit buaya yang bersembunyi
Di antara batang-batang bakau
Bertutur tentang kesedihan
Dan ratapan istri
Saat suami bertukar kerling
Di pesta tari dan pongasi.
…………………………….
………………………………..

Secara keseluruhan 75 puisi yang ada dalam kumpulan buku puisi “perkawinan cinta” ini akan kita temukan sebuah kesederhanaan dalam berpuisi, tapi kesederhanaan yang bisa membuat terpesona dan mengesankan pembaca. Baik diksi-diksinya maupun citraan-citraannya. Memang menurut saya ada juga puisi yang masih bisa diperindah lagi baik dari segi pemilihan diksi, citraan maupun idiom. Tetapi secara keseluruhan buku puisi ini berhasil memberikan sentuhan estetika bagi para pembaca dan juga mentranformasikan kata-kata menjadi sebuah makna yang konseptual, imajinatif, sekaligus misterius. Sebuah buku kumpulan puisi yang layak kita miliki dan kita apresiasi.




*
Madiun, 12/09/2009
Arif Gumantia
Juru Tulis penggemar nasi pecel.

Rabu, 07 Oktober 2009

17/16 Oleh: Ahmad Syafii Maarif


Gempa Sumatra telah mendorong sebagian orang untuk memberikan tafsiran spiritual. Tafsiran semacam ini tentu boleh saja, asal tidak dibuat kesimpulan yang serbapasti sebab kita tidak tahu keterkaitan hukum alam dengan kelakuan busuk manusia. Kita hanya mungkin menghubung-hubungkannya secara positif spekulatif. Di seberang itu, Allah yang Mahatahu, ilmu manusia terbatas adanya. Berspekulasi untuk suatu kebaikan tidaklah terlarang, apalagi itu bertujuan agar masyarakat luas, kita semua, menjadi sadar akan segala dosa dan dusta yang mungkin telah dilakukan dan tidak jarang berlindung di bawah naungan ayat-ayat suci, seperti perbuatan teror yang terjadi selama ini.

Demikianlah, pada 02 Oktober 2009, pukul 19.43, dari seorang yang tidak menyebut nama, saya menerima SMS sebagai berikut. Gempa Sumatra Barat terjadi tepat pukul 17.16 WIB, sementara QS 17 (Al-Isra) ayat 16 berbunyi, Dan, jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Kami perintahkan orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu. Maka, sudah sepantasnya berlaku perkataan (ketentuan Kami). Kemudian, Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. Laa hawla wa laa quwwata illaa billaah.

SMS yang satu lagi dikirim oleh penyair Bung Taufiq Ismail yang tertanggal 05 Oktober 2009 pukul 06.01. Bunyinya, Asw. Kaitan antara gempa Padang pukul 17.16 dengan AQ [Alquran] 17:16 ditemukan oleh seorang ulama muda. Dahsyat. Saya terpukau. Baik kita renungkan bersama. Saya rasa, SMS semacam ini telah beredar secara luas, tentu dengan tujuan mulia agar bangsa ini, kita semua, tidak terus berkubang dalam perbuatan yang dimurkai Allah sehingga alam mengamuk. Dalam Alquran, kaitan antara kedurhakaan manusia dengan kemarahan alam banyak kita temui. Ingat, kisah Nabi Nuh yang dilecehkan kaumnya, kesombongan kaum Ad, kaum Tsamud, kepongahan Fir'aun, dan banyak lain. Tujuan moral dari semua kisah ini satu: agar manusia tidak larut dalam dosa, tidak lupa daratan, tidak lupa lautan, harus cepat kembali ke jalan yang benar. Sebab, alam semesta ini ada Pencipta dan Penjaganya. Manusia tidak boleh berbuat semau gue , seenak nafsunya di muka bumi ini.

Bagaimana dengan musibah Sumatra, Jawa, dan pulau-pulau lain? Apakah manusia di kawasan-kawasan ini sudah demikian jauh melampaui batas ketentuan Allah sehingga alam diperintahkan untuk mengajar mereka? Jawabannya, kita hanya bisa berspekulasi, mencocok-cocokkan, tidak lebih dari itu. Kebetulan gempa Padang pada 30 September lalu terjadi pukul 17.16 tersambung dengan Alquran surat 17 ayat 16. Apakah kelakuan orang Minang sudah sangat buruk, lalu diajar dengan gempa dahsyat itu? Bagaimana Jakarta sebagai pusat kekuasaan dan pusat bisnis yang sarat dengan kongkalingkong, korupsi, dan nepotisme serta segala tipe kelakuan busuk lainnya, hanya menanti giliran? Kita tidak bisa mengatakannya. Yang perlu kita lakukan ialah kita semua eling (Jawa, ingat dan sadar) agar petualangan dosa yang kita lakukan tidak diteruskan. Siapa tahu dengan eling itu, bangsa ini tidak lagi terus-menerus dilanda musibah dan bencana berulang-ulang yang sungguh ngeri dan mematikan.

Saya tidak membela kelakuan buruk sebagian orang Minang, tetapi kelakuan semacam itu dapat kita jumpai pada semua etnis di nusantara. Jika berbeda, tentu kadar dan coraknya saja. Bagaimana dengan gempa dan tsunami Aceh akhir Desember 2004 yang jauh lebih dahsyat, gempa Yogya Mei 2006. Apakah orang Aceh atau orang Yogya telah demikian jauhnya dari jalan yang benar sehingga alam harus memukulnya? Sekali lagi, kita tidak bisa menjawabnya. Namun, menurut agama, kita tidak boleh berburuk sangka kepada Allah. Semua kejadian, yang baik dan yang buruk, tidak satu pun yang luput dari pengetahuanNya.

Kewajiban kita adalah membantu saudara-saudara kita yang ditimpa musibah dengan tidak menghubung-hubungkannya dengan dosa yang mungkin telah dilakukan. Dalam Alquran, ada diktum yang misterius bahwa fitnah (cobaan/ujian), azab, musibah, atau bencana tidak ditimpakan kepada mereka yang zalim semata, yang baik pun bisa terkena, Dan takutlah/awaslah kamu terhadap fitnah yang tidak hanya menimpa khusus mereka yang zalim (QS Al-Anfal: 25). Maka, adalah kewajiban orang baik untuk melawan dan meniadakan penyebab fitnah agar kezaliman tidak merajalela. Gempa Sumbar, entah gempa mana lagi, karena rangkaian kepulauan nusantara memang rentan terhadap berbagai bencana alam, harus dihadapi dengan sikap positif melalui solidaritas yang tinggi terhadap saudara-saudara kita yang sedang mendapat cobaan berat.

Jumat, 02 Oktober 2009

"Laron-Laron" MAKARA


Pada tahun 1986, saat saya masih SMA Grup Makara adalah band yang muncul dari kampus UI. Terdiri atas Januari Irawan (bas),Andy Julias (drums),Kadri (vokal),Adi Adrian (keyboards), Agus Anhar (gitar) dan Harry Moekti (vokal).

Pada album ini,Makara dengan terus terang menyatakan bahwa musiknya bernafas "art metal" apakah ini sebuah aliran atau Genrebaru ? Jika kita menyimak dengan seksama album perdana ini, maka kita akan menangkap adanya warna "art rock" istilah yang berkembang di era 70-an untuk menyebut jenis musik rock progresif..dalam beberapa komposisinya akan kita temukan warna ELP, Genesis, Saga, dan Yes.

Irama yang dimainkan memang sangat dinamis.Pola permaianan gitar Agus Anhar memang terbius dari penggalan riff riff metal.Jadi dari sinilah mungkin Makara lalu membabptis diri sebagai kelompok pengusung Art Metal.

Dalam album ini terlihat juga bagaimana Makara ingin memasukkan unsure musik tradisional. Di beberapa track tersirat adanya musik tradisional kita.Semisal pada lagu "Di Dunia Angan" tersibak atmosfer pentatonik Bali.Bahkan pada lagu "Fabel" mencuat pengaruh alam Minang lewat atmosfer instrumen Talempong.

Lagu yang menjadi Hit dan diputar di radio-radio saat itu adalah lagu “laron-laron” sebuah metaphora tentang urbanisasi dengan lirik yang cerdas dan kritis. Perpaduan vocal hari mukti yang kuat dengan kadri sungguh bisa membangun gagasan atau pesan pada lagu ini.

LARON-LARON

secercah cahaya dalam kegelapan
dian menyala dan membagi terang
laron-laron terpesona datang menghampiri
namun hangus dalam nyala api dia yang panas membara
oh oh wo woh....

namun dian tetap indah dan menyala megah
beribu laron datang lagi dan kembali musnah
tiada sadar bahaya dibalik keindahan
berselubung berjuta kehangatan dan kenikmatan dunia
wo hoo wo ho...
wo wo wo ho....

reff :
apakah engkau juga laron yang terpedaya
apakah engkau ingin jadi laron tertipu

laron-laron desa berduyun-duyun ke kota
menuju gemerlap lampu-lampu yang indah
dengan harapan dan impian tentang nirwana
namun apa yang ditemui hanyalah sejuta kecewa

wo ho wo ho... 2x

TRACKLIST
1.LARON LARON
2.ROSITA
3.SANGKAKALA
4.LEGENDA MASA DEPAN
5.MENANTI BERITA
6.RONTA JIWA
7.KALA PERTAMA
8.FABEL
9.POLEMIK
10.DI DUNIA ANGAN ANGAN

Kamis, 01 Oktober 2009

Lebaran, kupat, dan janur.

Sebuah ajaran yang di sampaikan sunan bonang melalui symbol budaya jawa. Menurut sunan bonang, kita harus berpuasa dengan ikhlas dan hanya mencari ridho Tuhan agar setelah puasa bisa menikmati kupat. “kupat” adalah makanan khas saat lebaran. Berupa nasi putih yang di masak di dalam janur. “janur” di sini adalah daun kelapa yang masih muda.

Sunan bonang mengartikan kupat sebagai laku sing papat atau empat keadaan yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada orang yang berpuasa dengan keikhlasan dan kesungguhan. Yaitu : Lebar, Lebur, Luber, dan Labur. Lebar berarti telah menyelesaikan puasanya dengan melegakan. Lebur berarti terhapus semua dosa yang dilakukan di masa lalu, Luber berarti melimpah ruah pahala amal-amalnya. Dan Labur berarti bersih dirinya dan cerah-bercahaya wajah dan hatinya.

Sedangkan “janur” sendiri diartikan oleh beliau sebagai Jatining Nur, dalam pengertian kalau kita dapat berpuasa dengan penuh keyakinan dan keteguhan sikap (iman) dan penuh perhitungan serta kehati-hatian (ihtisaab) pada bulan syawal kita akan mendapat jatining Nur.

Jatining nur inilah yang sejatinya di sebut fitrah. Memperoleh jatining nur berarti telah kembali ke Fitrah. Yang akan ditandai dengan perubahan perilaku dari yang semula tidak baik menjadi baik dan semula baik menjadi lebih baik lagi. Mereka yang kembali ke fitrah dengan “jatining nur” dan “laku sing papat” adalah mereka yang tawadhu’, jauh dari kesombongan, dan tidak mau bersikap sewenang-wenang atau melanggar hak orang lain seperti korupsi misalnya, baik korupsi materi maupun korupsi perilaku.

Jadi orang yang mendapat “jatining nur” dan “laku sing papat” adalah orang yang lembut dan santun terhadap sesame umat tetapi sekaligus tegas dan berani melawan ketidak adilan. Masing-2 diri kitalah yang dapat menentukan apakah kita berpuasa untuk meraih “jatining nur” dan “laku sing papat” ataukah hanya menjadikannya sebagai basa-basi agar tercitrakan sebagai orang yang saleh.