Masukan Nama Penyanyi - Judul Lagu

Mesin Cari Free Download Mp3 Gratis

Translate To Your Language

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

Rabu, 30 September 2009

Ekonomi Kerakyatan

Perekonomian telah terjajah oleh sistem dan situasi ekonomi asing, setelah mengalami penderitaan krisis moneter 1997-1998 lalu. Seperti yang pernah dikatakan oleh pakar ekonomi kerakyatan dari Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Prof. Dr. Mubyarto (alm) dalam kutipannya di situs tokohindonesia.com.

“Akibatnya ekonomi Indonesia kembali terjajah oleh ekonomi asing. Inipun pada 1988 sebenarnya sudah diperingatkan, namun rupanya diabaikan oleh para teknokrat kita,” ujar Mubyarto.

Sebagaimana terjadi pemerintah Orde Baru yang sangat kuat dan stabil, memilih strategi pembangunan berpola “konglomeratisme” yang menomorsatukan pertumbuhan ekonomi tinggi dan hampir-hampir mengabaikan pemerataan. Ini merupakan strategi yang berakibat pada “bom waktu” yang meledak pada tahun 1997 saat awal reformasi politik, ekonomi, sosial, dan moral.

Kondisi perekonomian dunia saat ini juga kembali mengalami kondisi yang sama buruknya. Kondisi yang disebabkan oleh krisis ekonomi di AS, telah menyeret seluruh negara di dunia. Bahkan seluruh negara Asia yang sepuluh tahun lalu mengalami krisis kembali diguncang kekhawatiran.

Dengan terjadinya krisis ekonomi di AS ini, telah membuat banyak pengamat mencari solusi sistem ekonomi alternatif, termasuk sistem ekonomi kerakyatan, dan koperasi yang pernah diusung oleh mantan Wakil Presiden Republik Indonesia pertama Muhammad Hatta (alm).

Indonesia sebagai satu-satunya negara yang menganut sistem perekonomian pancasila, ternyata pada krisis moneter beberapa tahun lalu tidak mampu mengatasi dan tidak mempunyai solusi efektif yang dapat menambah percepatan perbaikan perekonomian nasional.

Dengan kondisi perekonomian di AS yang carut marut, hingga membawa imbas ke seluruh dunia, membuat Indonesia kembali was-was. Ditambah dengan menjalankan sistem perekonomian Indonesia yang dianggap Mubyarto para penganut sistem perekonomian di tanah air sudah keblinger.

Sejak medio 80-an bersamaan dengan datangnya globalisasi negara-negara industri terhadap negara dunia ketiga menurut kacamata Mubyarto sistem perekonomian Indonesia telah gagal mengatasi serangan pengaruh dari sistem perekonomian asing, terutama kapitalis.

”Kegagalan terjadi karena politik ekonomi diarahkan pada akselerasi pembangunan yang lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi tinggi ketimbang pemerataan dari hasil-hasilnya.

Dan lelaki kelahiran Kota Pelajar itu mengatakan sebenarnya sejak terjadinya peristiwa malapetaka 15 Januari (Malari) 1974, slogan Trilogi Pembangunan sudah berhasil dijadikan “teori” yang mengoreksi teori ekonomi pembangunan yang hanya mementingkan pertumbuhan.

Trilogi pembangunan terdiri atas stabilitas nasional yang dinamis, pertumbuhan ekonomi tinggi, dan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. Namun sayangnya slogan yang baik ini justru terkalahkan karena sejak 1973/74 selama 7 tahun Indonesia di”manja” bonansa minyak yang membuat bangsa Indonesia “lupa daratan”. Rezeki nomplok minyak bumi yang membuat Indonesia kaya mendadak telah menarik minat para investor asing untuk ikut “menjarah” kekayaan alam Indonesia hingga sekarang, seperti perusahaan Exxon, Freeport dan Shell.

Ekonom Emil Salim (alm) pada tahun 1966 mengatakan roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral Ada kehendak kuat warga masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial yaitu tidak membiarkan terjadi dan berkembangnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial.

Semangat nasionalisme ekonomi, dalam era globalisasi makin jelas adanya urgensi terwujudnya perekonomian nasional yang kuat, tangguh, dan mandiri. Demokrasi ekonomi berdasar kerakyatan dan kekeluargaan. Koperasi dan usaha-usaha kooperatif menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat.

Keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil, antara perencanaan nasional dengan desentralisasi ekonomi dan otonomi yang luas, bebas, dan bertanggungjawab, menuju perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Ada pun yang diharapakan dari peran negara dalam melaksanakan program ekonomi dan sosial:

1. Harus dengan sungguh-sungguh menjalankan amandemen UUD 1945 pasal 33 dan 2 ayat baru pada pasal 34 tentang pengembangan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan pemberdayaan masyarakat lemah dan tidak mampu (ayat 2), dan tanggungjawab negara dalam penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak (ayat 3). Di samping itu pasal 31, yang semula hanya terdiri atas 2 ayat, tentang pengajaran sangat diperkaya dan diperkuat dengan penggantian istilah pengajaran dengan pendidikan. Selama itu pemerintah juga diamanatkan untuk menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang mampu meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan untuk semua itu negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya duapuluh persen dari nilai APBN dan APBD.

2. Demikian jika ketentuan-ketentuan baru dalam penyelenggaraan program-program sosial ini dipatuhi dan dilaksanakan dengan baik, sebenarnya otomatis telah terjadi koreksi total atas sistem perekonomian nasional dan sistem penyelenggaraan kesejahteraan sosial kita yang tidak lagi liberal dan diserahkan sepenuhnya pada kekuatan-kekuatan pasar bebas. Penyelenggaraan program-program sosial yang agresif dan serius yang semuanya dibiayai negara dari pajak-pajak dalam APBN dan APBD akan merupakan jaminan dan wujud nyata sistem ekonomi Pancasila

Sejak orde reformasi, terutama sejak Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 1998, menjadi populer istilah ekonomi kerakyatan sebagai sistem ekonomi yang harus diterapkan di Indonesia, yaitu sistem ekonomi yang demokratis yang melibatkan seluruh kekuatan ekonomi rakyat.

Banyak orang berpendapat bahwa sejak krismon 1997 Indonesia telah men¬jadi korban arus besar “globalisasi” yang telah menghancur-leburkan sendi-sendi kehidupan termasuk ketahanan moral bangsa. “Diagnosis” tersebut menurut pendapat Mubyarto benar.

Pada tahun 1979 Mubyarto mengajukan ajaran ekonomi alternatif yang disebut ekonomi pancasila. Pada tahun 1981 konsep Ekonomi Pancasila dijadikan “polemik nasional” selama 6 bulan tetapi selanjutnya digemboskan dan ditenggelamkan.

Pada buku baru yang kami tulis di AS bersama seorang rekan Prof. Daniel W. Bromley “A Development Alternative for Indonesia”, bab 4 kami beri judul The New Economics of Indo¬nesian Development: Ekonomi Pancasila, dengan isi (1) Partisipasi dan Demokrasi Ekonomi, (2) Pembangunan Daerah bukan Pembangunan di Daerah, (3) Nasionalisme Ekonomi, (4) Pendekatan Multidisipliner dalam Pembangunan, dan (5) Pengajaran Ilmu Ekonomi di Universitas. Kesimpulan dalam sistem Ekonomi Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat dicapai melalui etika, kemanusiaan, nasionalisme, dan demokrasi/kerakyatan.

Ekonomi yang diperkenalkan kaum neoklasik versi Amerika Serikat yang agresif khususnya dalam ketundukannya pada aturan-aturan tentang kebebasan pasar, ternyata keliru menganggap bahwa ilmu ekonomi adalah obyektif dan bebas nilai. Dan semuanya tidak tepat sebagai obat bagi masalah-masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia dewasa ini.

Sistem Ekonomi Kerakyatan adalah Sistem Ekonomi Nasional Indonesia yang berasas kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, bermoral Pancasila, dan menunjukkan pemihakan sungguh-sungguh pada ekonomi rakyat. Syarat mutlak berjalannya sistem ekonomi nasional yang berkeadilan sosial adalah berdaulat di bidang politik, mandiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya.

Moral Pembangunan yang mendasari paradigma pembangunan yang berkeadilan sosial mencakup:

1. peningkatan partisipasi dan emansipasi rakyat baik laki-laki maupun perempuan dengan otonomi daerah yang penuh dan bertanggung jawab;

2. penyegaran nasionalisme ekonomi melawan segala bentuk ketidakadilan sistem dan kebijakan ekonomi;

3. pendekatan pembangunan berkelanjutan yang multidisipliner dan multikultural.

4. pencegahan kecenderungan disintegrasi sosial;

5. penghormatan hak-hak asasi manusia (HAM) dan masyarakat;

6. pengkajian ulang pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu ekonomi dan sosial di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi.

Srategi pembangunan yang memberdayakan ekonomi rakyat merupakan strategi melaksanakan demokrasi ekonomi yaitu produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dan di bawah pimpinan dan penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat lebih diutamakan ketimbang kemakmuran orang seorang. Maka kemiskinan tidak dapat ditoleransi sehingga setiap kebijakan dan program pembangunan harus memberi manfaat pada mereka yang paling miskin dan paling kurang sejahtera.

Inilah pembangunan generasi mendatang sekaligus memberikan jaminan sosial bagi mereka yang paling miskin dan tertinggal.

Minggu, 27 September 2009

Kita Dan Kebudayaan

KITA DAN KEBUDAYAAN

Abdul Hadi W. M.


Salah satu masalah yang memprihatinkan sekarang ini di bidang kajian ilmu-ilmu kebudayaan dan humaniora ialah simpang siur dan rancunya pengertian tentang kebudayaan. Ada yang mengaburkan arti kebudayaan dengan peradaban. Ada juga yang mengartikannya terlalu luas sehingga mencakup apa saja dalam kegiatan hidup manusia yang sebenarnya tidak bisa dimasukkan sebagai wilayah kebudayaan. Yang lain lagi mengartikan terlalu sempit sebatas kesenian,kesusastraan, arsitektur dan adat istiadat. Kesimpang siuran dan kekusutan pengertian itu sudah pasti berpengaruh terhadap upaya pengembangan dan penentuan kegiatan kebudayaan yang akan dilakukan, dan sudah pasti pula menimbulkan kebingungan dalam menyusun kebijakan dan strategi kebudayaan di masa depan.
Memang begitu banyak takrif atau definisi yang diberikan terhadap kebudayaan dantidak sedikit di antaranya saling bertentangan, sehingga cukup membingungkan bagi orang yang baru belajar untuk mengerti masalah-masalah kebudayaan. Pada tahun 1960an misalnya Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada disebut secara resmi sebagai Fakultas Sastra dan Kebudayaan. Beberapa tahun kemudian kata-kata Kebudayaan dihilangkan dan kini fakultas yang sama dirubah menjadi Fakultas Ilmu-ilmu Kebudayaan. Ini jelas mencerminkan kebingungan sejumlah sarjana. Nerkembangnya banyak teori dan pendekatan yang berbeda-beda pada masa yang akhir ini, telah menimbulkan aliran pemikiran yang berbeda-beda dan penekanan yang berbeda-beda pula tentang kebudayaan.

Kebudayaan
Taylor, seorang sarjana anthropologi Inggeris pada abad ke-19, sebagai contoh, memberi takrif sebagai berikut: “Kebudayaan ialah keseluruhan kompleks dari kehidupan, meliputi ilmu pengetahuan, kesenian, sastra, dogma-dogma agama, nilai-nilai moral, hukum, adat-istiadat masyarakat dan semua kemampuan dan kebiasaan yang diperoleh manusia dalam kedudukannya sebagai anggota masyarakat.” (`Effat al-Sharqawi 1981:6) Kata-kata ’semua kemampuan dan kebiasaan yang diperoleh manusia’ membuat rancunya pengertian kebudayaan dan peradaban (civilization). Padahal alat-alat atau sarana yang digunakan manusia untuk makan, tidur dan melakukan kegiatan lain berada dalam wilayah peradaban, begitu pula kesanggupannya menggunakan alat dan sarana tersebut, serta kemampuan mengembangkannya menjadi teknologi yang canggih.
Kata-kata ‘kebudayaan’ pada mulanya diperkenalkan oleh Mangkunagara VII pada tahun 1920 untuk menerjemahkan kata-kata culture (Inggeris) atau kultur (Belanda). Kata-kata tersebut berasal dari kata-kata Jawa-Sanskerta ‘kabudidayan’ yang merupakan bentukan dari kata budi dan daya. Dalam bahasa Jawa kata ’kabudidayan’ biasanya digunakan untuk menyebut kegiatan mengolah tanah pertanian, sama dengan asal mula penggunaan culture dalam bahasa Inggeris yang erat kaitannya dengan kata agriculture (Fizee 1982).
Dalam bahasa Sanskerta dan Jawa kata-kata ‘budhi’ diberi arti kesadaran atau kecerdasan akal. Kebudayaan di sini lantas dapat dirartikan sebagai upaya manusia untuk mengungkapkan kemampuan ’diri’nya dengan menggunakan kecerdasan akal budinya, dengan tujuan mengolah kehidupannya sebaik mungkin. Dalam bahasa Melayu kata budi juga diartikan sebagai kesadaran yang tumbuh disebabkan bekerjanya akal pikiran dan sarana kerohanian yang lain, seperti rasa, kalbu dan imaginasi.
Kata-kata budi berpadanan arti dengan perkataan `aql dan fikr (akal dan pikiran) dalam bahasa Arab. Bertolak dari hal tersebut, kebudayaan dapat diartikan sebagai upaya manusia yang dilakukan secara sadar menggunakan akal pikiran untuk memberdayakan potensi kerohaniannya, agar mutu kehidupannya meningkat dan bertambah baik. Dengan demikian harkat dan martabatnya akan meningkat pula
Sayangnya untuk perkataan civilization, di Indonesia kita tidak mengambil dari kata-kata Jawa-Sanskerta, tetapi dari kata-kata Melayu-Arab – yaitu ’peradaban’, dari akar kata adab, yang berarti civility atau sopan santun. Dalam kata adab, terkandung makna yang merangkum keterpelajaran, ketinggian pendidikan, sehingga seseorang yang memiliki adab berarti orang terpelajar, terdidik dan memiliki pengetahuan. Kata peradaban juga mensyaratkan perlunya pemilikikan kemampuan maksimal dalam menaati hukum, penggunaan teknologi dan teori-teori pengetahuan serta metodenya yang sedang berkembang.
Masyarakat berperadaban, yang disebut Civil Society atau Masyarakat Madani, juga ditandai dengan ”kegemarannya belajar, membaca dan menulis”. Kemampuan menggunakan teknologi, metode ilmiah dan baca tulis diperlukan dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan kemajuan khususnya di bidang ekonomi, politik dan kebudayaan. Tidak mengherankan apabila dalam bahasa Inggeris kata-kata adab (yang dalam bahasa Arab juga berarti sastra) diterjemahkan menjadi belle-lettres.Ini membawa alamat bahwa masyarakat atau bangsa yang berperadaban adalah bangsa yang memiliki tradisi baca tulis yang maju, sebagaimana ditunjukkan masyarakat Eropah, Amerika dan Jepang dewasa ini.
Untuk menjernihkan pengertian ‘kebudayaan’ dan ‘peradaban’, ada baiknya kita menyimaknya dalam tradisi intelektual Barat dan Islam, di samping mencoba mencari pengertiannya dari tradisi intelektual Sanskerta atau Hindu-Jawa. Cara demikian sangat tepat, karena kebudayaan Indonesia bukan saja dipengaruhi kebudayaan Hindu-Jawa, tetapi dilapisi juga dan dipengaruhi oleh kebudayaan Islam-Melayu dan Eropah-Amerika. Penolakan terhadap salah satu tradisi intelektual akan berakibat buruk bagi perkembangan wacana keilmuan dan tidak akan mencapai tujuan yang diinginkan.

Hadharah dan Madaniyah
Dalam tradisi intelektual Islam (Arab-Persia-Melayu) untuk kata-kata kebudayaan digunakan kata-kata al-hadharah atau hadharah, sedangkan untuk kata-kata peradaban atau civilization digunakan kata-kata al-madaniyah atau madaniyah saja. Kata-kata yang sama pengertiannya dengan madaniyah ialah al-tsaqafah.
Al-hadharah berasal dari kata kerja hadhara, artinya datang atau hadir, kebalikan dari tidak datang atau tidak hadir. Di sini perkataan hadhara diartikan sebagai ‘tinggal di wilayah perkotaan’. Sedangkan untuk ‘tinggal di kawasan pedesaaan’ disebut al-badiyah, darimana kata-kata baduwi (kehidupan nomaden) berasal. Orang desa yang pindah ke kota disebut hadharah, artinya berkebudayaan. Sedangkan orang yang tetap tinggal di pedesaan dan menjalani kehidupannya sebagai baduwi, disebut tidak berkebudayaan.
Penggunaan kata-kata hadharah jelas berkaitan dengan adanya petunjuk bahwa yang utama dan hakiki dalam kebudayaan ialah adanya gerak, tindakan, perubahan, peningkatan pola dan gaya hidup, serta pertambahan kebajikan dan kearifan. Orang-orang yang tinggal di kota itu berkembang dan membentuk pola kehidupan tertentu untuk memperbaiki keadaan hidupmereka. Upaya perbaikan keadaan tersebut dilakukan melalui kerjasama, solidaritas sosial, tindakan-tindakan tertentu seperti mengembangkan pemikiran, pengetahuan, falsafah hidup, seni, sastra, bahasa, arsitektur, musik, pertukaran pikiran dan maklumat (informasi) tentang berbagai hal.
Dalam bukunya al-Muqadimah Ibn Khaldun mengembangkan lebih jauh pengertian al-hadharah sebagai kebudayaan dalam arti sebenarnya. Dia berpendapat bahwa kebudayaan ialah kondisi-kondisi kehidupan yang melebihi dari apa yang diperlukan. Kelebihan-kelebihan tersebut berbeda-beda sesuai tingkat kemewahan yang ada pada kondisi tersebut. Menurut Ibn Khaldun, kehidupan tidak akan berkembang benar-benar kecuali di kota. Di kota sajalah terdapat kondisi kehidupan yang melebihi dari apa yang diperlukan. Kondisi yang lebih inilah tujuan utama semua aktivitas kehidupan. Karena itu kebudayaan dikaitkan dengan negara oleh Ibn Khaldun. Dengan adanya negara, maka kebudayaan akan berkembang dengan mantap dan dengan dilandasi kebudayaan, maka negara aakan mempunyai tujuan spiritual dan sistem nilai yang selaras dengan cita rasa bangsa yang warga dari negara bersangkutan.
Tetapi negara juga sering menjadi musuh dan penindas kebudayaan. Misalnya ketika Jerman dan Italia berada di bawah kekuasaan rezim Nazi dan Fasis, begitu pula Rusia di bawah rezim komunis.

Ibn Khaldun dan Kebudayaan
Tetapi baiklah, kita kembali dulu pada Ibn Khaldun. Dalam pandangan Ibn Khaldun jelas sekali bahwa kebudayaan hanya mungkin berkembang apabila ada negara atau kerajaan berdaulat, yang aktif dan berkemauan baik untuk mengembangkan kebudayaan dan menciptakan kondisi kehidupan yang lebih baik dan menyenangkan, atau ramah bagi perkembangan kebudayaan. Di sini faktor politik, ekonomi dan pendidikan, serta jaminan hukum yang jelas, memainkan peranan penting dalam menciptakan kondisi yang menyenangkan dan ramah. Tetapi faktor yang tidak kalah penting ialah perhatian negara atau aga,a terhadap perkembangan agama yang sehat, pemikiran falsafah, tradisi ilmiah, kehidupan intelektual, kesenian dan kesusastraaan –- karena bidang-bidang inilah yang memberikan sumbangan bagi pengembangan kecerdasan, kepribadian dan jatidiri masyarakat. Kebudayaan dalam artian yang luas merupakan wilayah nilai-nilai dan ethos, yang apabila ditingkatkan akan mampu menjadi sumber pencarian identitas dan jati diri. Nilai-nilai dan identitas tidak dapat diperoleh dari pembangunan ekonomi yang pragmatis dan utiliter, yang berorientasi pada pasar dan persaingan bebas. Juga identitas bangsa tidak bisa diperoleh dari budaya materialisme dalam bentuk konsumerisme, hedonisme dan sejenisnya. Juga tidak akan pernah diperoleh dari majunya teknologi dan perkembangan industri pariwisata dan hiburan.
Menurut Ibn Khaldun, dalam sejarah umat manusia terbukti bahwa kebudayaan yang tinggi tidak tumbuh di daerah pedesaan atau dalam masyarakat nomaden Masyarakat semacam itu tidak memiliki jiwa yang mobil dan kurang ramah terhadap perubahan. Padahal mereka ini sebenarnya siap berkebudayaan dan mengembangkan kebudayaan. Dalam kenyataan orang-orang nomad seperti suku-suku Arab Baduwi memusuhi kebudayaan dan memandulkan kehidupan, tidak berusaha menjadikan kehidupan lebih indah dan berkualitas.
Dalam masyarakat kota kemajuan dan perkembangan kebudayaan sangat mungkin berkembang. Perkembangannya ditentukan oleh kualitas lembaga pendidikan dan kebijakan kebudayaan yang ditempuh pemerintah, apakah ia akan berperan sebagai pelindung, pemelihara dan pengembang kebudayaan, atau sebaliknya akan tampil sebagai penindas kebudayaan atau acuh tak acuh terhadap kebudayaan. Lembaga pendidikan sangat penting, karena di situ dikembangkan berbagai metode keilmuan dan pemikiran, gagasan falsafah dan wawasan kebudayaan. Di situ pula kecerdasan budi dan kalbu generasi muda dididik, bakat seni diberi jendela untuk berkembang ke arah yang luhur. Oleh karena itu lembaga pendidikan tidak hanua dibatasi fungsinya sebagai tempat mengajarkan ilmu pengetahuan dan hanya bertujuan mencerdaskan akal. Lembaga pendidikan diarahkan pula sebagai tempat generasi muda mengenal kebudayaan, sejarah dan jati diri bangsanya yang terekam dalam karya-karya seni, sastra, pemikiran falsafah dan adat istiadat. Selain itu, tradisi baca tulis, semangat penelitian ilmiah, jiwa wiraswasta, kecenderungan ke arah inovasi dan kreativitas, harus ditumbuhkan melalui lembaga pendidikan. Tiga sendi utama perkembangan budaya, yaitu bahasa, berhitung dan logika, serta budi pekerti dan estetika haruslah diberi perhatian khusus.
Perkataan Arab lain yang juga digunakan untuk menyebut kebudayaan ialah al-hijr, yang artinya kota; al-wabar, bahan untuk membuat kemah yang merupakan lambang kemajuan atau kemoderenan; dan al-madar, artinya gumpalan tanah untuk membangun rumah, yang merupakan simbol kebudayaan (`Effat al-Sharqawi 1981).
Dengan menghubungkan perkembangan kebudayaan dengan wujudnya negara yang berperan mengembangkan dan memelihara kebudayaan, secara tersirat Ibn Khaldun menghu bungkan pula kebudayaan dengan sejarah. Bahkan di kalangan pemikir modern kebudayaan diidentikkan dengan sejarah, dan bahwa antara keduanya memiliki kesalingtergantungan. Dengan perkataan lain, kebudayaan suatu bangsa atau masyarakat pada masa tertentu tidak sama dengan kebudayaan mereka pada masa atau babakan sejarah lain. Di Indonesia misalnya begitu banyak kebudayaan daerah yang tidak lagi berkembang karena matinya kerajaan yang dahulu pernah mengembangkannya. Karena tidak dikembangkan lagi oleh pendukungnya, dan hanya diterima sebagai warisan yang dilap-lap, maka kebudayaan tersebut menjadi mandeg dan beku.
Kebudayaan Melayu dan Aceh pernah merupakan kebudayaan bercorak kosmopolitan pada masa kejayaan Malaka dan Aceh Darussalam. Begitu juga kebudayaan Islam di Pesisir Jawa, dan kebudayaan Hindu Jawa pada zaman Majapahit. Tetapi lama kelamaan kebudayaan tersebut berubah menjadi kebudayaan agraris feodal dan kehilangan watak kosmopolitannya, setelah melalui perubahan-perubahan politik dan pemerintahan dalam sejarah perkembangannya. Perubahan watak itu bisa dikaji dengan cara membandingkan karya sastra yang berkembang pada zaman yang berbeda-beda dalam suatu masyarakat.

Perspektif Modern
Pada zaman modern pengertian kebudayaan selalu dikaitkan dengan kemajuan, demokrasi dan pengetahuan manusia dalam berbagai bidang seperti bahasa, sastra, seni rupa, musik, industri hiburan, perdagangan, falsafah dan lain-lain. Semua bentuk dan perwujudan ekspresi manusia (etika, estetika, intelektualitas dll) menjadikan manusia lebih bermartabat dan berdaulat atas kehidupannya.
Dalam bukunya The Story of Philosophy dan The Story of Civilization, Will Durant mengatakan bahwa, “Kebudayaan dimulai ketika pergolakan, kekacauan dan keresahan telah reda” (yaitu telah ditransformasikan ke dalam karya seni, karya keilmuan atau falsafah). “Sebab apabila manusia aman dan bebas dari rasa takut maka akan timbul dalam dirinya dorongan-dorongan untuk mencari berbagai rangsangan alamiah dan tak henti-hentinya melangkah di jalannya untuk memahami kehidupan dan memekarkannya”.
Dengan demikian pengertian kebudayaan ada hubungannya dengan kegairahan
manusia untuk memahami dan memekarkan kehidupan, dan upaya ke arah itu hanya mungkin apabila rangsangan-rangsangan kerohanian yang ada dalam diri manusia terus dipupuk dalam berbagai bidang kegiatan. Dengan demikian rangsangan tersebut akan hidup.
Will Durant menghubungkan kebudayaan (culture) dan pertanian (agriculture); kemudian peradaban (civilization) dengan civility atau sopan santun orang terpelajar. Peradaban sebagai civility ditemui dalam masyarakat kota, seperti tampak dalam cara makan dan berpakaian. Durant mengatakan bahwa demikian oleh karena hanya di kota terhimpun kekayaan dari berbagai pelosok desa, dan di kota pulalah dijumpai otak-otak berbakat. Maka itu hanya di kota saja terjadi penciptaan karya intelektual dan seni, serta di kota pula muncul industri untuk melipatgandakan sarana-sarana hiburan, kemewahan dan seni. Pun hanya di kota para pedagang saling bertemu untuk saling bertukar barang dagangan dan idea, sehingga membuat akal budi subur, kecerdasan meningkat, dan semua itu pada akkhirnya mempengaruhi kekuatannya dalam mencipta dan membuat sesuatu.
Dengan kata lain hanya di kota orang dituntut menghasilkan bermacam-macam karya dan ekspresi, yang mendorong mereka terlibat aktif secara sadar dalam kehidupan sains, falsafah, sastra dan lain sebagainya. Peradaban, menurut Will Durant, jelas berbeda dari kebudayaan. Kebudayaan berkaitan dengan upaya memberdayakan potensi kejiwaan dan rohani manusia. Apabila potensi kejiwaan dan rohaninya berkembang, maka manusia akan dapat mengolah lingkungan hidup dan kehidupan sosialnya dengan baik dan indah. Di lain hal salah satu arti dari peradaban ialah bentuk tingkah laku manusia beradab sebagai diperlihatkan oleh orang-orang kota. Mereka dapat berbuat demikian karena tingkat ekonomi dan kemampuan teknologinya telah berkembang.
Ciri orang kota antara lain ialah tindakan-tindakannya selalu terkait dengan tingkat pendidikan dan keterpelajaran yang dimiliki. Mereka selalu menggunakan pikiran dan aturan-aturan tertentu untuk menghindari timbulnya konflik yang menimbulkan keresahan dan ketidakamanan. Di sini kaitan peradaban dengan hukum atau aturan formal lain sangat jelas. Masyarakat beradab patuh pada hukum yang disepakati bersama, dan sebaliknya dalam menjalankan segala kegiatannya masyarakat mendapat jaminan hukum – baik itu kegiatan keagamaan, seni, ilmiah atau intelektual. Bahkan karena kegiatan-kegiatan merupakan afktor penting kemajuan negara, negara tidak boleh berpangku tangan untuk tidak memberi bantuan dan menyedikan tempat kegiatan yang pantas.
Tetapi pemikiran yang lebih jelas tentang kebudayaan dapat dijumpai dalam pemikiran filosof mazhab Jerman. Menurut mazhab Jerman, kebudayaan ialah segala bentuk atau ekspresi dari kehidupan batin masyarakat. Sedangkan peradaban ialah perwujudan kemajuan teknologi dan pola material kehidupannya. Bangunan yang indah sebagai karya arsitektur mempunya dua dimensi yang saling melengkapi: dimensi seni dan falsafahnya berakar pada kebudayaan, sedangkan kecanggihan penggunaan material dan pengolahannya merupakan hasil peradaban.
Dengan demikian “Kebudayaan ialah apa yang kita dambakan, sedangkan peradaban ialah apa yang kita pergunakan’. Kebudayan tercermin dalam seni, bahasa, sastra, aliran pemikiran falsafah dan agama, bentuk-bentuk spiritualitas dan moral yang dicita-citakan, falsafah dan ilmu-ilmu teoritis. Peradaban tercermin dalam politik praktis, ekonomi, teknologi, ilmu-ilmu terapan, sopan santun pergaulan, pelaksanaan hukum dan undang-undang.
Pengertian yang diberikan oleh mazhab Jerman ternyata tidak jauh berbeda dengan pengertian yang terdapat dalam tradisi intelektual Islam, yang sebenarnya telah berakar dalam kebudayaan Melayu Nusantara. Bertolak dari pengertian tersebut `Affat al-Syarqawi mengartikan kebudayaan sebagai “Khazanah sejarah suatu bangsa/masyarakat yang tercermin dalam pengakuan/kesaksiannya dan nilai-nilainya, yaitu kesaksian dan nilai-nilai yang menggariskan bagi kehidupan suatu tujuan ideal dan makna rohaniah yang dalam, bebas dari kontradiksi ruang dan waktu. Adapun peradaban ialah “Khazanah pengetahuan terapan yang dimaksudkan untuk mengangkat dan meninggikan manusia agar tidak menyerah terhadap kondisi-kondisi di sekitarnya.” “Kebudayaan ialah struktur intuitif yang mengandung nilai-nilai rohaniah tertinggi, yang menggerakkan suatu masyarakat melalui falsafah hidup, wawasan moral, citarasa estetik, cara berpikir, pandangan dunia (weltanschaung) dan sistem nilai-nilai.” “Peradaban ialah ikhtisar perkembangan yang dicapai dengan tenaga pikiran dan sejauh mana kemajuan tenaga itu dalam mengendalikan segala sesuatu.”
Dalam pengertian sarjana Mesir itu peradaban meliputi semua pengalaman praktis yang diwarisi dari satu generasi ke generasi lain. Peradaban tampak dalam bidang fisika, kimia, kedokteran, astronomi, ekonomi, politik praktis, fiqih mu`amalah, dan semua bentuk kehidupan yang berkaitan dengan penggunaan ilmu terapan dan teknologi. Sedangkan kebudayaan di lain hal nampak perwujudannya dalam hal-hal yang mencerminkan kehidupan rohaniah seperti nilai-nilai moral, falsafah, sistem kepercayaan, adat istiadat, sastra, seni, bahasa dan spiritualitas (mistisisme, tasawuf dll).
A. A. Fizee dalam bukunya Kebudayaan Islam (1982) memberi batasan pengertian
dan cakupan kebudayaan sebagai berikut: Kebudayaan dapat berarti – (1) tingkat kecerdasan akal yang setinggi-tingginya yang dihasilkan dalam suatu periode sejarah bangsa di puncak perkembangannya; (2) dapat berarti juga hasil yang dicapai suatu bangsa dalam lapangan kesusastraan, falsafah, ilmu pengetahuan dan kesenian; (3) dalam pembicaraan politik, kebudayaan diberi arti sebagai ‘way of life’ suatu bangsa, terutama dalam hubungannya dengan adat istiadat, ibadah keagamaan, penggunaan bahasa dan kebiasaan hidup masyarakat.



Rujukan:

`Effat al-Sharqawi. Filsafat dan Kebudayaan Islam. Terjemahan Utsmani. Bandung 1981.

A. Fizee. Kebudayaan Islam.Jakarta: 1982.

Will Durant, The Story of Civilization. New York: 1961.

------------- The Story of Philosophy. New York: 1962.

Ibn Khaldun. Mukadimah. Terj. Ahmadi Thoha. Jakarta: 1987.

Ismail R. Faruqi dan Louis L. Faruqi. Atlas Budaya Islam. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka, 1992.

Jumat, 18 September 2009

Pemujaan Komiditi (commodity fetishism)

Pendapat Michael A. Lebowitz, mengatakan bahwa penjelasan paling baik tentang konsep Pemujaan Komoditi, dikemukakan oleh artis Wallace Shawn, seorang aktor dan penulis AS. Dalam pementasannya berjudul “The Fever,” Shawn sebagai sang protagonis, suatu ketika menemukan Capital dan mulai membacanya pada suatu malam. Dari bacaan terhadap Capital itu, Shawn lantas mengatakan,

Saya tiba pada frase yang telah saya dengar sebelumnya, sesuatu yang asing, menjengkelkan, urutan frase singkat yang buruk: itulah seksi tentang “pemujaan komoditi,” "komoditi yang diberhalakan." Saya ingin memahami frase yang terdengar aneh ini, tapi harus saya katakan, untuk memahami hal itu, seluruh kehidupan anda mungkin saja akan berubah.

Penjelasannya sangat sulit dimengerti. Ia menggunakan contoh tentang seseorang yang mengatakan, “20 yard linen berharga 2 pounds.” Orang-orang mengatakan, setiap benda pasti mengandung nilai tertentu. Demikian juga dengan barang-barang ini, seperti jas, sweater, dan secangkir kopi: ketiganya memiliki harganya sendiri-sendiri, atau setara dengan jumlah dari benda-benda lainnya—satu jas, berharga tiga sweater, atau lebih mahal lagi—seolah-olah jas tersebut muncul begitu saja ke dunia ini, datang dari suatu tempat yang pada dirinya sendiri melekat sejumlah nilai, layaknya jiwa-insani, seolah-olah jas itu adalah sebuah berhala, obyek fisikal yang padanya melekat spirit kehidupan. Tetapi, apa yang sebenarnya menentukan nilai dari jas tersebut? Harga dari jas muncul dari sejarah, sejarah seluruh masyarakat yang terlibat dalam pembuatan dan penjualannya dan seluruh hubungan tertentu yang mereka lakukan. Dan jika kita membeli jas, kita juga, dari hubungannya dengan seluruh masyarakat, maka hubungan kita tersembunyi dari kesadaran kita, seakan-akan kita hidup dalam sebuah dunia dimana jas tidak memiliki sejarah, tapi jatuh langsung dari surga dengan harga yang telah tertera di dalamnya. Lantas kita bilang, “saya suka jas ini.” “Jas ini murah” seolah-olah begitulah faktanya dan cerita tentang seluruh masyarakat yang membuat dan menjualnya tak pernah berakhir. “Saya suka gambar dalam majalah ini.”

Seorang perempuan telanjang bersandar di pagar. Seorang lelaki membeli sebuah majalah dan memandang foto perempuan tadi. Takdir keduanya membuat mereka saling terhubungkan. Si lelaki membayar si perempuan agar mau melepaskan pakaiannya, lalu bersandar di pagar. Juru foto terlibat dalam sejarah itu---pada moment dimana si perempuan melepaskan satu per satu kancung kemejanya, bagaimana perasaannya ketika mengikuti apa yang dikatakan oleh juru foto. Harga dari majalah tersebut adalah tanda yang menjelaskan hubungan di antara mereka: perempuan, laki-laki, penerbit, dan juru foto—siapa yang memerintah, siapa yang diperintah. Secangkir kopi melekat sejarah dari petani yang memetik biji kopi, bagaimana sebagian dari mereka terpaksa bekerja di bawah panas terik matahari, sebagian lainnya dipukuli, dan yang lainnya ditendang.

Selama dua hari saya melihat pemujaan komoditi di sekelilingku. Saya merasa aneh. Lalu pada hari yang ketiga saya kehilangan momen pemujaan komoditi itu, lenyap tak berbekas, saya tak pernah lagi melihatnya. (Lebowitz, 2006:44-45).


Kalau kita ikuti alur pemikiran Marx, maka penjelasannya tentang pemujaan komoditi mengambil jalur seperti ini: pertama, pemujaan komoditi tidak lahir dari nilai-guna sebuah komoditi, melainkan dari nilai-tukarnya. Sejauh benda yang merupakan produk dari kerja itu langsung dikonsumsi untuk memuaskan kebutuhan manusia (nilai-guna), tidak ada yang misterius di sana. Dalam bahasa Marx, karakter mistikal dari komoditi tidak muncul dari nilai-gunanya (opcit:164).

Sebagai contoh, jika di rumah anda ada sebuah meja antik nan indah, apa yang pertama kali muncul di kepala anda ketika melihat meja tersebut? Jika anda adalah seorang yang memiliki keahlian dalam bidang permebelan atau perkayuan, maka anda akan bisa dengan mudah menilai kualitas kayu yang menjadi bahan baku dari meja tersebut, keindahan ukirannya, atau kehalusan catnya. Tetapi, patut diragukan apakah anda tahu siapa produser meja tersebut, apakah ia seorang pengrajin, seorang buruh-upahan, atau tukang kayu amatiran, atau mungkin saja ia anggota sebuah partai terlarang di Indonesia.

Karena itu, asal-muasal munculnya pemujaan komoditi itu ada pada nilai-tukarnya, dimana barang diproduksi untuk dipertukarkan di pasar. Karena muncul dari nilai-tukar, maka yang mesti kita ingat, “sesuatu obyek yang berguna menjadi komoditi hanya karena mereka adalah produk dari kerja individu privat yang bekerja secara independen satu sama lain" (ibid:165). Individu privat itu adalah buruh dan kapitalis yang sama-sama merupakan pemilik komoditi: buruh memiliki tenaga kerja sebagai komoditinya dan kapitalis sebagai pemilik alat-alat produksi. Dan seperti yang telah kita diskusikan di atas, komoditi bisa saling dipertukarkan karena adanya nilai bersama yang dikandung oleh komoditi tersebut, bahwa ia adalah produk dari tenaga kerja manusia.

Dengan demikian, ketika kita bicara tentang nilai, kita tidak belajar tentang aspek-aspek teknikal dari benda itu sendiri (meja antik dalam contoh di atas). Apa yang kita pelajari adalah bentuk sosial produksi (social form of production), dan tentang orang-orang yang terlibat dalam proses produksi tersebut. Artinya, nilai tidak dikarakterisasikan oleh benda-benda, tapi oleh hubungan manusia dalam mana benda-benda itu diproduksi. Atau dalam bahasa Rubin, nilai adalah “hubungan sosial yang menjelma dalam hubungan di antara benda-benda,” sebuah hubungan produksi di antara orang-orang yang mengambil bentuk sebagai sesuatu yang melekat pada benda-benda" (op.cit:64).

Tetapi, dari mana kita tahu bahwa “nilai bersama itu” adalah “tenaga kerja manusia?” jawabnya, ketika komoditi itu saling dipertukarkan, bukan langsung dikonsumsi. Dari sini misteri itu perlahan-lahan muncul. Karena di bawah kapitalisme para penghasil komoditi tidak datang ke pasar untuk secara langsung mempertukarkan produknya, maka yang muncul ke permukaan adalah hubungan di antara benda-benda (relation between things): sepatu ditukar dengan sandal yang dimediasi oleh uang. Di sini, hubungan antar manusia (relation between man) menampakkan wujudnya dalam bentuk hubungan di antara benda-benda. Kata Marx, sejak para produser tidak muncul dalam kontak sosial hingga mereka mempertukarkan produk dari kerjanya, maka karakter sosial yang khusus dari kerja pribadinya muncul hanya dalam pertukaran (op.cit:165). Si A bisa berhubungan dengan si B yang tidak diketahuinya, bahkan melakukan kesepakatan jual-beli, karena adanya hubungan di antara benda-benda tersebut. Singkatnya, tanpa hubungan di antara benda-benda itu, tidak ada hubungan di antara manusia. Persis pada momen inilah karateristik misterius dari komoditi muncul.

Tetapi dalam masyarakat kapitalis, hubungan di antara benda-benda (relation between things) lebih dari sekadar materialisasi atau objektivikasi dari pertukaran di antara orang-orang. Lebih jauh lagi, hubungan di antara benda-benda tersebut pada akhirnya menentukan hubungan di antara manusia, karena hanya melalui pertukaran benda-benda itulah manusia terhubung satu dengan lainnya. Nah, ketika hubungan di antara benda-benda atau komoditi ini terjadi secara berulang-ulang, pada akhirnya ia menjadi hal yang wajar dan diterima, bahkan, diyakini sebagai sesuatu yang demikian adanya. Inilah yang disebut dengan reifikasi atau kristalisasi dalam bentuk kualitas dari benda, kualitas yang sepertinya dimiliki benda itu sendiri dan bisa dipisahkan dari hubungan produksi (Rubin, op.cit:25). Akibatnya, manusia kehilangan kontrol terhadap produk ciptaannya, dan sebaliknya dirinya kini dikontrol oleh komoditi, dipaksa dengan sadar atau tidak, untuk mengikuti hukum pertukaran komoditi. Sehingga muncul keyakinan baru dimana pertukaran merupakan ukuran dan tujuan hubungan bermasyarakat. Tanpa pertukaran tak ada produksi, tanpa hubungan di antara benda-benda, tidak ada hubungan di antara manusia.

Situasi pemujaan komoditi ini, oleh Marx dianalogikannya dengan mitos yang terjadi dalam sejarah agama-agama. Dalam situasi krisis, ancaman ketidakpastian, dan ketakutan, manusia melalui pikirannya kemudian menciptakan figur/sosok yang superior di luar dirinya, guna menjaga tertib sosial dan suasana batin yang damai. Tetapi, oleh proses sejarah kian hari figur bentukan ini makin menjadi otonom dari manusia, makin tak terjangkau, berada dikejauhan, dan semakin misterius. Manusia pada akhirnya menyadari bahwa figur itu sesungguhnya nyata adanya, sehingga ia tak kuasa lagi mengontrol sosok ciptaannya itu. Lebih jauh lagi, manusia kemudian malah mengimani bahwa sosok tersebut adalah maha kuasa atas hidup dan kehidupannya. Jika ingin selamat dan hidup dalam damai, manusia wajib mengikuti segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Maka muncullah ungkapan, “manusia hanya berusaha, Tuhan yang menentukan."

Menurut Schmitt, pemujaan dalam dunia modern telah berpindah dari agama menuju ekonomi
Struktur masyarakat kapitalis, pembagian kerja, distribusi sumberdaya biasanya tidak dianggap sebagai hasil dari pilihan manusia tapi oleh kekuatan pasar yang impersonal. Umat manusia, sebagian besar, tidak berdaya untuk mengubah masyarakat yang ada karena mekanisme pasar tidak berada di bawah kontrol mereka. Para teoritikus saat ini menambahkan, usaha untuk mengontrol kekuatan pasar, selalu berakhir dengan kegagalan luar biasa. Kepercayaan terhadap kapitalisme yang bersifat kekal ini, adalah contoh lain dari kecenderungan kelas-kelas berkuasa untuk mengklaim universalitas pandangan mereka terhadap dunia. Kapitalis hadir di dunia hanya jika kapitalisme tetap eksis dan hanya jika keinginan mereka tak terganggu. Kekuatan pasar menjadi berhala sejauh mereka tampak pada rakyat sebagai kekuatan independen yang mendominasi urusan manusia”

Pemujaan Komoditi, membawa kita pada pemahaman bahwa hubungan sosial dalam kapitalisme adalah setara, yakni antara penjual dan pembeli secara individual. Transaksi, misalnya, terjadi secara sukarela, bergantung penilaian subyektif dan daya beli kita akan benda tersebut. Anda masuk ke supermarket untuk berbelanja barang yang anda inginkan, tanpa ada yang memaksa. Anda suka anda beli, tidak suka keluar dan cari tempat yang lain. Di sini muncul glorifikasi bahwa pasar yang bekerja tanpa intervensi dari negara dan kelompok sosial tertentu, adalah prasyarat bagi berkembangnya kebebasan dan kreativitas individu, yang pada ujugnya memunculkan sistem sosial-politik yang demokratis. Tradisi kebebasan yang terjadi di pasar, pelan tapi pasti akan menular ke sektor kehidupan yang lain.

Konsekuensinya, bukan perjuangan kelas yang menjadi motor perubahan sejarah, tapi kerjasama di antara masing-masing indidivu yang bertransaksi di pasar. Bukan mengubah hubungan produksi yang eksploitatif yang utama, tapi memperluas kesempatan setiap orang untuk berinteraksi di pasar. Celakanya, ini bukan sekadar teori, tapi adalah sebentuk iman atau keyakinan

Membaca iklan lowongan kerja (Humor)

Bila membaca iklan lowongan kerja di surat kabar, pamflet, majalah, dll., cobalah Anda artikan dulu setiap kalimat yang dituliskannya sebagai persyaratan pelamar kerja. Berikut ini terjemahan bebas dari beberapa kalimat tersebut…

- Dibutuhkan tenaga kerja muda, pengalaman tidak mutlak.
artinya: Dibutuhkan tenaga kerja yang siap digaji di bawah standar.

- Menyukai tantangan.
artinya: Akan menghadapi pekerjaan/tugas sulit dimana tidak/belum ada seorang pun di perusahaan tersebut yang sanggup membantu untuk menyelesaikan/ mencari solusinya.

- Bersedia Berkeja di bawah tekanan/work underpressure
artinya: siap2 jadi sapi perah, bisa kerja rodi/romusha, work hournya bisa 12-16 jam.

- Berkendaraan sendiri.
artinya: Perusahaan tidak cukup modal untuk menyediakan kendaraan dan ongkos transportasi operasional.

- Memiliki SIM.
artinya: Siap-siap merangkap jadi supir pribadi bos.

- Tinggal tidak jauh dari lokasi perusahaan.
artinya: Siap-siap mondar-mandir ke kantor, tak peduli tengah malam, hari libur, atau lagi sakit.

- Berwawasan luas.
artinya: Bidang pekerjaan yang ditawarkan tidak spesifik, siap-siap jadi tukang apa aja atau seksi sibuk sekali.

- Dibutuhkan tenaga wanita, single, menarik.
artinya: Dibutuhkan wanita yang siap “bupati” dan pamer “sekwilda” untuk boss boss (cantik dan seksi only + berani diapa-apain ditanggung bayaran tinggi)

- Dibutuhkan pria/wanita ….
artinya: Bila kemampuannya hampir sama, maka wanita yang diterima.

- Menjalani masa percobaan selama 3 bulan.
artinya: Pihak perusahaan meragukan kemampuan para pelamar kerja untuk menempati posisi yang ditawarkan. Atau untuk menghancurkan kompetitor dengan menarik keyperson perusahaan kompetitor dengan tawaran 3x lipat gaji tapi mesti melewati probation 3 bulan, setelah itu dipecat dengan alasan tidak perform. Mati luh…

- Mau bekerja dengan sistem deadline.
artinya: Perusahaan sudah memiliki proyek yang harus segera diselesaikan oleh pelamar kerja bila diterima dan siap kerja siang malam sampe matek (dead).

- Mau bekerja dengan sistem kontrak.
artinya: Perusahaan hanya membutuhkan Anda sementara waktu.

- Mau bekerja dengan sistem bagi hasil.
artinya: Perusahaan tidak sudi memodali Anda dan tidak mau menanggung resiko atas kegagalan Anda (resiko tanggung sendiri).

- Jujur.
artinya: Pegawai perusahaan yang sebelumnya menempati posisi yang ditawarkan telah membawa lari uang perusahaan, alias posisinya basah.

- Berat dan tinggi badan ideal.
artinya: Kerja di front office/customer service.

- Menguasai Bahasa Asing (inggris., perancis., …).
artinya: Perusahaan memiliki masalah komunikasi internal & external.

- Dapat bekerja dalam tim.
artinya: Siap ngajarin sesuatu kepada karyawan lain yang belum mengusai sesuatu tsb.

- Siap ditempatkan di luar kota.
artinya: Get a new life in a new neighbourhood!

- Berpengalaman kerja di bidang yang sama.
artinya: Perusahaan tidak mengerti apa saja yang menjadi tugas Anda nantinya, diharapkan Anda yang mengajari mereka.

- Menguasai MsWord, Power Point,
artinya: Hanya itu yang mampu dibeli/disediakan perusahaan.

- Freelance dan tidak mengikat waktu
artinya : pasti MLM

Kamis, 17 September 2009

Album "The Beast" grup EdanE


The Beast Adalah Studio Album perdana yang dirilis oleh grup musik EdanE yang dirilis pada tahun 1992 dengan label Airo.

Mendengarkan album ini, teringat jaman saya masih kuliah, hamper tiap hari memutar kaset lagu di album The Beast ini di kost-kostan. Terutama lagu “Ikuti” yang di refrain, karena belum ada mp3 seperti sekarang. Hasilnya pita kasetnya sampai hamper keriting..hehehhe.
Dalam album ini warna Edane dalam bermusik sangat garang karena aroma ngerock sangat kental dan dahsyat. Hits dalam album ini ialah "Ikuti" dan "the beast". Para pecinta musik pada era ini merasakan ada hawa musik baru yang menggetarkan dan menggairahkan jiwa.

EdanE adalah potret sebuah grup yang memiliki kematangan bermusik dalam penggarapan album maupun ketika pentas di atas panggung. Pusat pesona grup terutama terletak pada Zahedi Riza Sjahranie alias Eet Sjahranie. Permainan gitar Eet amat atraktif, memukau, dan edan. Beng Beng, gitaris Pas bilang, jika kita ingin menyebut siapa sebenarnya gitaris rock Indonesia, Eet itulah orangnya. EdanE semula dikenal sebagai singkatan dari Eet dan Ecky Lamoh. Terbentuk tahun 1991, Edane terdiri atas Eet Sjahranie (gitar), Ecky Lamoh (vokal), Iwan Xaverius (bas), dan Fajar Satritama (drums).

Daftar lagu
1. "Evolusi"
2. "Ikuti"
3. "The Beast"
4. "Masihkah Ada Senyum"
5. "Menang Atau Tergilas"
6. "Life"
7. "Opus #13 (Ringkik Turangga)"
8. "Liarkan Rasa"
9. "You Don't Have To Tell Me Lies"

Telah enam album mereka keluarkan The Beast (1992), Jabrik (1994), Borneo (1996), 9299 (1999), 170 Volts (2002), dan Time To Rock (2005). Album 9299 (Aquarius) merupakan kompilasi lagu baru dan lagu lama. Tiga lagu baru adalah Untuk Dunia yang menjadi lagu jago, Dengarkan Aku, dan Rock On. Lagu lama yang masuk antara lain Jabrik, Ikuti dan Borneo yang kaya unsur etnik Dayak. "Lagu-lagu tersebut kami anggap bisa mewakili EdanE," ucap Eet.

Personil Edane berganti-ganti dalam berbagai kurun waktu. Berikut adalah konfigurasi grup yang pernah terjadi:

EdanE I :
Eet Sjahranie : gitar
Ecky Lamoh : vokal
Iwan Xaverius : bas
Fajar Satritama : drum

EdanE II :
Eet Sjahranie : gitar
Heri Batara : vokal
Iwan Xaverius : bas
Fajar Satritama : drum

EdanE III :
Eet Sjahranie : gitar
Trison Manurung:vokal
Iwan Xaverius : bas
Fajar Satritama : drum

EdanE IV :
Eet Sjahranie : gitar
Robby Matulandi :vokal
Iwan Xaverius : bas
Fajar Satritama : drum

Album
- 1992 : The Beast produser AIRO Records & EdanE, label AIRO
- 1994 : Jabrik produser EdanE, label Aquarius Musikindo
- 1996 : Borneo produser EdanE, label Aquarius Musikindo
- 1999 : '9299 (the best album) produser EdanE, label Aquarius Musikindo
- 2002 : 170 Volts produser Jan Djuhana, label Sony Music Indonesia
- 2005 : Time to Rock produser Jan Djuhana, label Sony Music Indonesia

EdanE memainkan musik hard rock. Tapi Eet lebih suka menyebutnya rock saja. Eet juga kerap diidentikkan dengan Eddie Van Halen, gitaris yang mempengaruhinya. Dari sini muncul plesetan EdanE sebenarnya adalah singkatan dari Eet dan Eddie Van Halen. Pengidentikan itu, kata Eet, "membuat saya tersanjung dan kesal. Tersanjung karena Van Halen adalah nama besar. Kesal karena saya ingin menjadi diri saya sendiri, bukan orang lain."
Tapi kalo menurut saya tidak hanya Eddie Van Halen yang mempengaruhi Eet dalam permainan gitarnya tapi juga Angus Young-nya AC DC terutama aksi panggungnya, atau mungkin juga ada pengaruh permainan gitar dari steve vai dan joe satriani.






*Artikel dari wikipedia, majalah, dan pendapat pribadi.


Madiun, 17/09/2009
Arif Gumantia
creator grup "Legenda Rock" di Facebook
"Only Brave Heart Playing Rock"

To a Poor Old Woman

To a Poor Old Woman
by William Carlos Williams

munching a plum on
the street a paper bag
of them in her hand

They taste good to her
They taste good
to her. They taste
good to her

You can see it by
the way she gives herself
to the one half
sucked out in her hand

Comforted
a solace of ripe plums
seeming to fill the air
They taste good to her

Rabu, 16 September 2009

Kualatisme Ekonomi (Jaya Suprana)

SALAH satu definisi ekonom adalah seorang ahli meramal apa yang akan
terjadi di masa depan sekaligus juga ahli memberi penjelasan kenapa
ramalannya ternyata tidak sesuai apa yang terjadi.

Tidak mengherankan, setelah malapetaka perbankan dan moneter melanda
Amerika Serikat, mereka yang dianggap dan menganggap dirinya ahli
ekonomi saling berebut menganalisis dan memberi penjelasan kenapa
bencana ekonomi itu bisa terjadi. Bermunculan berbagai teori yang
setelah berpencar simpang siur ke sana ke mari akhirnya terpaksa
berjumpa kembali di satu titik sebab-musabab krisis yang ternyata
sederhana tapi dapat dinalar, yakni kekeliruan sikap dan perilaku ekonomi.

Hasil diagnosis itu wajar karena apa yang disebut ekonomi maupun bisnis
itu pada dasarnya merupakan salah satu sikap dan perilaku manusia dalam
memenuhi kebutuhan kehidupan mereka. Sayang, dalam perkembangan
peradaban dan kebudayaan kemudian sikap dan perilaku ekonomi manusia
berubah menjadi semakin kompleks dan kacau balau. Maka muncul berbagai
upaya menganalisis yang kemudian menggumpal menjadi apa yang disebut
sebagai ilmu ekonomi.

Karena dasarnya sikap dan perilaku, maka ilmu ekonomi memang lebih
tergolong ilmu sosial ketimbang eksakta. Sebagai ilmu, maka ilmu ekonomi
membutuhkan teori-teori yang sebenarnya muskil sebab realitas lingkungan
ekonomi yang multidimensional, aspek dan facet, maka niscaya bersifat
tidak pasti; padahal esensi ilmu justru kepastian. Demi melindungi
teoriteori ekonomi dari lingkungan yang tidak pasti itu, maka dibutuhkan
dalih dogmatis yakni ceteris paribus.

Memang dalih ini curang lantaran menegaskan bahwa teori ekonomi hanya
benar apabila lingkungan tidak berubah, padahal yang tidak berubah pada
lingkungan ekonomi hanya satu dan satu-satunya yaitu perubahan. Suasana
serbakeliru itu semakin parah setelah seorang ilmuwan ekonomi bernama
Adam Smith menulis buku Wealth of Nations yang menganalisis salah satu
tujuan kegiatan ekonomi yaitu kesejahteraan pribadi, kelompok, bangsa,
negara bahkan kalau bisa umat manusia.

Judul lengkap buku yang ditulis Adam Smith pada 1776 ini adalah An
Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations yang
merupakan telaah komprehensif perdana tentang politik ekonomi. Buku
Wealth of Nations kemudian dipuja-puja menjadi semacam berhala bagi para
pemimpin dan pelaku ekonomi di zaman eksplorasi yang berkembang menjadi
landasan kolonialisme dan imperialisme yang kurang peduli etika dan moral.

Asas-asas sikap dan perilaku Wealth of Nations kemudian menjadi dasar
paham kapitalisme yang makin mempersetankan etika apalagi moral.Angkara
murka kerakusan dan keserakahan tanpa peduli nilai-nilai etika dan moral
makin merajalela di kancah ekonomi di Abad XX yang kemudian memuncak dan
meledak menjadi krisis ekonomi yang meledak di Amerika Serikat, lalu
melanda dunia pada tahun kesembilan Abad XXI!

Semua itu akibat langkah-langkah ekonomi terutama perbankan dan moneter
serbakeliru akibat tidak ada yang peduli apa yang disebut sebagai etika
dan moral! Malah etika dan moral dianggap kendala dan penghalang bagi
pertumbuhan ekonomi! Bahkan terasa kesan bahwa siapa ingin sukses
berbisnis malah harus melanggar nilai-nilai etika dan moral yang
dianggap cuma omong kosong kaum moralis belaka!

Hukum rimba adalah hukum sejati dunia bisnis dengan pemahaman (keliru!)
atas slogan Darwinisme: the survival of the fittest! Keserakahan menjadi
dewa bisnis yang paling dipuja-puja! Mereka yang sibuk beretika dan
bermoral malah dicemooh sebagai kaum pecundang yang pasti akan punah
dilahap angkara murka mereka yang berbisnis tanpa peduli etika dan moral
alias akhlak!

Wealth of Nations memang komprehensif menganalisis kesejahteraan
ekonomi,namun tidak banyak yang tahu bahwa tujuh tahun sebelumnya Adam
Smith sudah menuangkan falsafah etika dan moral ekonomi ke dalam buku
berjudul The Theory of Moral Sentiments.

Sebenarnya buku ini malah lebih layak dipuja sebagai kitab suci ekonomi
sebab benarbenar berikhtiar menyadarkan bahwa sikap dan perilaku ekonomi
sebagai bagian peradaban manusia beradab harus dilaksanakan secara
beradab pula,yakni dengan kendali etika dan moral.

Sikap dan perilaku ekonomi tanpa etika dan moral lebih merupakan bentuk
perbiadaban ketimbang peradaban, maka lambat tapi pasti akan menyeret
umat manusia ke alam prahara ekonomi seperti terbukti terjadi di Asia
pada akhir abad XX, dan memuncak di perbankan dan moneter Amerika
Serikat yang kemudian melanda seluruh dunia pada tahun kesembilan abad XXI!

Semua malapetaka ekonomi itu terjadi sebagai bentuk kualatisme akibat
kekeliruan-kekeliruan para pemimpin dan pelaku ekonomi dalam tidak
menghayati dan tidak menjabarkan ajaran-ajaran akhlak ekonomi seperti
yang tertera di buku The Theory of Moral Sentiments ! (*)

Selasa, 15 September 2009

Album Kedua Legenda Rock GOD BLESS "Cermin"


Cermin adalah album kedua dari grup musik God Bless yang dirilis pada tahun 1980.
Saya teringat waktu masih SD mendengarkan kaset God Bless ini, karena Om saya sudah SMA, setiap hari pasti menyetel album cermin ini. Dan Album inilah album Favorit saya sampai sekarang, hamper setiap hari pasti saya stel, baik lewat PC maupun MP3 Player, sungguh sebuah album yang dahsyat baik dari segi musikalitasnya maupun kekuatan liriknya.

Album ini penuh dengan nuansa rock progressif yang rumit dengan menonjolkan kemahiran tiap personil memainkan instrumen musiknya melalui aransemen yang jelimet. Beberapa lagu menjadi sangat panjang melampaui panjang lagu rata-rata (3 - 4 menit) pada saat itu. 'Anak Adam' yang merupakan lagu terpanjang (11 menit 59 detik) penuh dengan atraksi ketrampilan tiap-tiap personilnya.

Album ini melawan arus industri musik saat itu. Dengan konsep rock progresif seperti itu, album ini dianggap lahir mendahului jamannya. Konsumen tidak siap menerimanya. Akibatnya Cermin merupakan album God Bless yang paling jeblok penjualannya. Tetapi, secara pencapaian estetika musik, Cermin melampaui album God Bless manapun.

Album ini yang paling banyak dicari para kolektor, sayangnya Cermin adalah satu-satunya album God Bless yang belum pernah dirilis ulang dalam bentuk CD. Master rekaman yang semula dimiliki JC Records kini dimiliki oleh Logiss Record.. Belum diketahui mengapa Logiss Record belum mengeluarkan rilis ulang dari album yang dicari oleh banyak kolektor ini.
Album kompilasi 18 Greatest Hits of God Bless memuat 3 lagu hasil remaster dari album ini

Daftar Lagu

Side A
1. "Cermin" (Donny Fattah) - 6:17
2. "Selamat Pagi Indonesia" (Ian Antono) - 6:16
3. "Musisi" (Donny Fattah) - 4:26
4. "Balada Sejuta Wajah" (Ian Antono) - 3:36
5. "Sodom & Gomorah" (Ian Antono) - 4:07

Side B
1. "Anak Adam" (Benny Likumahuwa/ Donny Fattah) - 11:59
2. "Insan Sesat" (Abadi Soesman) - 5:53
3. "Ingat" (Donny Fattah) - 6:44
4. "Tuan Tanah" (Ian Antono) - 2:06

Cermin mengawali album ini dengan komposisi berbasis balada, dengan awalan musik bermelodi indah yang dilanjutkan dengan aransemen keyboard / piano yang kaya improvisasi dan inovatif oleh Abadi Soesman mengiringi suara bening Ahmad Albar. Petikan gitar yang mantap dari Ian Antono mengisi berbagai segmen pada lagu ini. Mengikuti dinamisnya aliran musik, permainan drum yang solid oleh Teddy Sujaya mempertegas struktur lagu ini. Sungguh suatu lagu berirama rock progresif yang sangat baik.

Selamat Pagi Indonesia, lagu ini pas sekali jika dinikmati di pagi hari, setelah bangun tidur, mengalir indah seperti pada lagu pertama, dengan permainan keyboard / piano oleh Abadi Soesman dan dipadu dengan permainan gitar akustik oleh Ian Antono. Musiknya banyak diisi oleh suara bening Achmad Albar dan suara gitar akustik. Musiknya mengalir dinamis dalam tempo sedang dengan kombinasi harmonis antara gitar & keyboard. Permainan drum yang solid dan sangat variatif dari Teddy Sujaya mengisi lagu ini dengan pas. Lagi ini adalah satu lagu rock progresif yang sangat baik

Musisi, saat diwawancarai Metro TV, Donny Fatah bercerita bagaimana awal penciptaan lagu ini, saat dirinya mengalami dilemma antara terus berkarir dalam dunia musik atau kerja kantoran…dan lahirlah lagu dahsyat ini, mungkin adalah lagu rock progresif terbaik yang pernah dibuat oleh God Bless! Diawali dengan permainan solo bass "berjalan" Donny Fattah yang menjadi penentu warna musik lagu ini. Petikan rhythm guitar dari Ian Antono mengikut petikan bass solo tadi, lalu dilanjutkan dengan masuknya dentuman drum oleh Teddy Sujaya serta permainan keyboard Abadi Soesman. Setelah suara bening & mantap yang khas dari Ahmad Albar masuk, musik berubah semakin rumit oleh bunyi instrumen yang saling mengisi antar gitar, bass, keyboard dan drum. Dalam lagu Ian, Donny, Abadi dan Teddy mendemonstrasikan keahlian masing-masing memainkan instrumen musiknya. Luar biasa! Paduan suara Ahmad Albar ditopang oleh permainan apik Ian Antono dan Donny Fattah menghasilkan paduan yang harmonis. Musisi adalah lagu yang memacu adrenalin, dimainkan dalam tempo cepat dengan aransemen musik yang hebat.

Balada Sejuta Wajah adalah lagu balada yang enak didengar, kombinasi yang harmonis antara melodi yang menyenangkan, vokal yang mantap dan musik yang bergaya orkestra. Bayangkan bagian interlude lagu ini diisi dengan keyboard yang dimainkan bagai orkestra. Selain komposisinya bagus, lirik lagunya juga puitis dengan pesan yang kuat penuh perenungan "Mengapa, semua berkejaran dalam bising, mengapa oh mengapa sejuta wajah engkau libatkan dalam himpitan kegelisahan, Adakah hari esok makmur sentosa bagi wajah-wajah yang menghiba?"

Sodom & Gomorah adalah sebuah lagu rock dengan aransemen yang rumit bahkan sejak awal lagu. Bagian awal lagu ini mengingatkan orang dengan musik ELP. Bagian tengah lagu sangat menarik karena God Bless memasukkan unsur musik jazz ke dalam musik rock dalam tempo tinggi dan warna musik yang rumit. Bagian tengah lagu mengingatkan orang pada musik dari grup Kansas.

Anak Adam adalah lagu terpanjang dalam album ini, Awal lagu dimulai dengan aransemen yang mengingatkan orang pada musik Kansas tetapi kemudian segera beralih ke nuansa musik gamelan Bali dalam tempo tinggi. Peralihan ke musik gamelan Bali terasa sangat pas. Abadi Soesman mendemonstrasikan teknik bermain keyboard tingkat tinggi dalam lagu ini, walaupun ada nuansa musik grup Kansas. Ian Antono dengan grup Gong 2000-nya kemudian merilis ulang lagu ini, dengan aransemen tanpa dipengaruhi musik grup Kansas.

Insan Sesat, satu lagi lagu balada, kali ini dengan aransement yang lebih sederhana dibanding dua lagu balada lain dalam album ini. Abadi Soesman berperan penting di sini dalam mengiringi vokal Ahmad Albar. Balada yang indah.

Ingat adalah sebuah lagu dengan bangunan sederhana, dimainkan dengan tempo sedang, dengan lirik yang memberi pesan moral tentang menghadapi kehidupan. Ada permainan piano / keyboad dan permainanan gitar solo yang apik dalam lagu ini.

Tuan Tanah mengakhiri album ini, dengan gaya acapella yang baik oleh Ahmad Albar, Donny Fattah dan Ian Antono.

Personil

• Achmad Albar : vocalist
• Ian Antono : gitar
• Donny Fattah : bass
• Teddy Sujaya : drums, percussion
• Abadi Soesman : keyboards


Terbit 1980 Direkam Genre Rock Panjang 51:34 Label Billboard Indonesia.



*Artikel diambil dari Wikipedia, berbagai majalah dan koran, dan juga pendapat pribadi.

Madiun, 12/09/2009
Arif Gumantia
Creator Grup "Legenda Rock" di facebook.
"Only Brave Heart Playing Rock"

Resensi Novel "Metamorfosis" Franz Kafka

Judul : Metamorfosis
Judul Asli : Die Verwandlung
Penulis : Franz Kafka
Penerjemah : Juni Liem
Penerbit: Homerian Pustaka
Cetakan : I, Des 2008
Tebal : 154 hlm

”Suatu pagi Gregor Samsa terbangun dari mimpi buruknya, ia menemukan dirinya telah berubah menjadi seekor kutu besar yang menakutkan.”

Demikian kalimat pembuka dari Metamorfosis (1915), sebuah novella muram yang ditulis oleh Franz Kafka (1883-1924) salah satu penulis asal Jerman yang paling berpengaruh dalam abad ke 20 . Tiba-tiba saja Gregor Samsa terputus hubungan dengan masa lalunya sebagai manusia. Sesuatu yang diluar nalar terjadi pada hidupnya. Bukan mimpi melainkan kenyataan. Walau cara berpikirnya masih manusia, namun fisiknya berubah bentuk menjadi seekor kutu besar.

Sebelum berubah wujud Gregor Samsa adalah seorang salesman kain yang merupakan tulang punggung keluarganya. Ia tinggal bersama kedua orang tuanya, dan Gretta, adik kandungnya. Karenanya ketika ia berubah wujud, ia tak dapat lagi bekerja sehingga kondisi keuangan keluarganya menjadi terganggu. Tak hanya itu Gregor menjadi terasing di tengah keluarganya sendiri. Ia menjadi tersisihkan, terpenjara dalam kamarnya sendiri. Ia kini menjadi obyek yang memalukan bagi keluarganya. . Bahkan ayahnya sendiri selalu memandangnya dengan jijik bahkan berusaha untuk membunuhnya.

Bisa dibayangkan bagaimana perubahan wujud itu membuat Gregor tertekan, ruang gerak dan perilakukanya menjadi seperti seekor serangga, merayap di dinding, di langit-langit, sembunyi disela-sela perabot kamar, kebiasaan makannyapun mulai berubah, ia kini lebih menyukai makanan-makanan sisa dibanding makanan segar. Walau ia bisa mendengar dan memahami apa yang diatakan keluarganya, ia tak mampu lagi berkomunikasi dengan keluarganya. Tak ada yang mempedulikannya lagi kecuali Gretta dan ibunya yang masih memperhatikannya dengan memberi makan dan memindahkan beberapa perabot kamarnya agar Gregor lebih leluasa bergerak.

Sebulan sudah Gregor berubah wujud dan terpenjara dalam kamarnya. Karena Gregor tak bisa bekerja, maka ketika keluaranya kehabisan uang, mereka memutuskan untuk menyewakan beberapa kamar di apartemen mereka pada tiga orang lelaki. Semenjak itu kehidupan keluarga Gregor menjadi layaknya pembantu karena mereka harus menyediakan makanan dan beberapa keperluan dari penyewa kamar.

Namun sayangnya ketenangan ketiga penyewa kamar keluarga Gregor terusik ketika sebuah peristiwa membuat Gregor tergerak untuk keluar dari kamarnya dan fisiknya terlihat oleh ketiga pria tersebut. Hal ini membuat mereka menjadi ketakutan dan mumutuskan untuk tak lagi menyewa kamar keluarga Gregor.
Kejadian ini tentu saja membuat ayah Gregor geram dan berniat membunuhnya, dengan melempar Gregor dengan apel. Salah satu apel bersarang dalam tubuhnya hingga membusuk dan membuat Gregor menderita kesakitan. Ia kembali terkurung dalam kamarnya. Peristiwa ini pula merupakan titik balik bagi keluarga Gregor untuk segera melupakan bahwa Gregor sebenarnya masih hidup, hal ini terungkap seperti yang dikatakan Gretta pada ayahnya :

“Ayah harus dapat melupakan bahwa ide bahwa itu adalah Gregor..Bagaimana mungkin itu Gregor? Jika itu adalah Gregor, ia harus melihat dari dahulu bahwa tak dapat manusia hidup dengan binatang seperti itu…Kita tak mempunyai saudara laki-laki lagi, tapi kita dapat mengingat dia di dalam hidup kita dengan hormat.” (hal 137).

Dilupakan oleh keluarganya sendiri membuat hati Gregor semakin pedih, Sebagai manusia ia telah mati. Dan Gregor dengan sisa-sisa kekuatannya mencoba bertahan, namun sampai berapa lama Gregor si kutu besar itu mampu bertahan sendirian tanpa seorangpun yang mempedulikannya ?

Metamorfosis banyak dianggap sebagai kisah yang simbolik dengan berbagai interpretasi. Soal menjadi mahluk apa sebenarnya si Gregor ini sendiri menjadi banyak perdebatan, ada yang mengatakan kecoak, serangga, kutu, dll. Memang Kafka sendiri tak memberikan deskripsi detail seperti apa wujud Gregor yang telah berubah. Bahkan untuk keperluan sampul bukunya pun ia menyurati pada penerbitnya bahwa mahluk tersebut tidak untuk digambar.

Lalu bagaimana pula dengan penjelasan logis mengapa Gregor bisa berubah wujud? Kafka memang tak sedang membuat kisah fiksi ilmiah, jadi jangan harap kita akan menemukan jawaban atas perubahan wujud Gregor. Dalam novelnya ini Kafka tampak lebih mengutamakan penggambarkan kondisi psikologis yang dialami Gregor dibanding menjelaskan mengapa kejadian aneh ini bisa terjadi. Sastrawan Rusia Vladimir Nabakov, penulis novel "Lolita", juga mengatakan, "Barang siapa melihat `Metamorfosa` lebih dari sekedar fantasi ilmu serangga, aku anggap pembaca itu telah berhasil."

Nah, jadi apa yang bisa kita peroleh dari novel pendek ini ? Tentunya pembaca memiliki interpretasi masing-masing dari apa yang dibacanya. Dalam Metamorfosis Kafka menggambarkan betapa egoisnya manusia sekalipun itu berada dalam lingkungan keluarga sendiri. Ketika Gregor berubah wujud, begitu cepat keluarganya melupakan jasa Gregor yang telah menjadi tulang punggung perekonomian keluarganya. Gregor kini dianggapnya sebagai parasit dalam keluarga, padahal sebelumnya keluarga Gregorlah yang menjadi parasit dalam hidup Gregor.

Kafka juga berbicara mengenai bagaimana kedekatan dan cinta dari orang-orang yang kita sayangi bisa berubah ketika kita mengalami ‘perubahan’. Memang Kafka memberikan contoh esktrim dengan mengubah Gregor menjadi binatang. Namun dalam kenyataannya mungkin suatu saat kita mengalami perubahan dalam kehidupan yang diakibatkan karena kehilangan pekerjaan, kegagalan dalam karier, kejatuhan dalam dosa, dan lain-lain. Hal itulah yang membuat kita menjadi seperti Gregor. Dari sosok yang diandalkan, dibutuhkan, dan tiba-tiba menjadi pribadi yang diasingkan, dibenci, karena tak lagi sesuai dengan harapan orang-orang yang sebelumnya mengasihi kita.

Kisah Gregor dalam Metamorfosis (Die Verwandlung dalam bahasa Jerman), adalah novella karya Franz Kafka yang paling terkenal selain The Trial dan The Castle. Kalau tidak salah Metamorfosis pernah dua kali diterjemahkan di Indonesia oleh dua penerbit yang berbeda (Bentang Pustaka dan Aksara). Dan kini novella ini diterjemahkan dan diterbitkan oleh Homerian Pustaka dengan cover yang menawan. Namun sayangnya ada yang tak konsisten antara terjemahan dengan cover, pada isi buku ini wujud Gregor diterjemahkan sebagai kutu besar, sedangkan di ilustrasi cover terjemahannya yang Nampak adalah wujud kecoak.

Dari segi terjemahannya, di halaman-halaman awal hingga pertengahan saya tak menemui kesulitan untuk memahami novella ini, namun di bagian-bagian berikutnya saya mulai sulit untuk memahami apa yang dimaksud dalam kalimat-kalimatnya. Setelah saya konfirmasikan ke beberapa kawan yang telah membacanya, ternyata merekapun mengalami hal yang sama. Mungkin di cetakan-cetakan berikutnya karya ini bisa diedit lagi agar terjemahannya lebih mudah dipahami dan enak dibaca.

Sabtu, 12 September 2009

Tempo dan Bank Century

Sebagaimana yang sudah bisa diperkirakan, MBM Tempo edisi terbaru yang mulai
beredar hari Senin ini, mengangkat kasus Bank Century sebagai laporan
utamanya. (http://majalah. tempointeraktif. com/id/arsip/ 2009/09/07/LU/mbm.20090907. LU131350. id.html).Ini memang isu terpanas sepanjang pekan lalu (di samping,
tentu saja, benca gempa bumi yang menimpa sebagian wilayah Jawa Barat). Saya
sudah membaca semua tulisan yang terkait dengan laporan utama Tempo ini,

namun merasa lumayan kecewa karena Tempo relatif tidak memberikan banyak
tambahan informasi berharga apapun (kecuali mengenai jalannya rapat
saat para elit BI dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan, yang berlangsung
sejak Kamis malam 20November 2008 hingga usai pada pukul 07.00 pagi keesokan
harinya, Jumat 21 November. Rapat ini, menurut laporan Tempo, berlangsung diwarnai oleh perdebatan sengit dan panas antara pihak yang setuju dan tak setuju terhadap rencana pengucuran dana dari LPS untuk menyelamatkan Bank Century).

Secara keseluruhan, nuansa dari laporan utama Tempo ini“memaklumi keputusan penyuntikan dana LPS tersebut. Memang, ada sejumlah narasumber dalam laporan Tempo tersebut yang memiliki pandangan kontra terhadap putusan itu, namun mereka hanya diposisikan sebagai pengimbang dan pelengkap belaka.Bahkan kemudian sempat pula dikait-kaitkan bahwa para penentang ini memiliki persinggungan dengan Wapres Jusuf Kalla (sama-sama anti pengucuran, sama-sama dari Golkar. Ada satu narasumber yang non-Golkar, yaitu anggota DPR Dradjad Wibowo, namun disebutkan di laporan utama Tempo ini Dradjad dekat dengan JK sejak menjadi anggota tim sukses JK dalam pilpres yang lalu).

Laporan utama Tempo itu seperti tidak merasa berkepentingan untuk menelusuri beberapa hal penting berikut ini:

a) bagaimana dengan informasi yang sudah disebut-sebut sejumlah kalangan bahwa ada korporasi besar yang diuntungkan dengan penyuntikan dana LPS itu?Tidak terlihat ada upaya Tempo untuk “mengejar” dan“menguliti” informasi lebih jauh, lebih dalam

b) beberapa pihak juga telah menyebut-nyebut bahwa dana untuk Century itumengalir ke partai politik tertentu. Sama sekali Tempo tak mempedulikan informasi ini

c) bagaimana dengan legalitas Perppu yang dijadikan landasan keputusan KSSK dan LPS, yang dalam pandangan sebagian pihak sudah tak bisa diberlakukan lagi setelah pertengahan Desember 2008 (padahal pengucuran dana dari LPS masih berjalan beberapa tahap lagi, melewati patokan waktu Desember tersebut).

d) apakah mungkin ada kaitan antara peran Boediono sebagai Gubernur BI ketika itu, dengan keputusan SBY untuk memilihnya menjadi pendampingnya (Wapres)?

Tempo juga tidak berupaya mengorek lebih jauh informasi dari JK, apa persisnya latar belakang kebijakan ini. Setidaknya JK sudah kasih isyarat bahwa jika kasus ini dibuka, maka akan menjadi kotak Pandora dengan akibat yang luar biasa. JK memang bilang, dia tak mau memberikan informasi lebih jauh. Namun Tempo seyogianyalah berupaya membujuknya lebih jauh. Tempo juga tidak berhasil menampilkan Boediono dalam laporan utamanya ini. Padahal dia adalah tokoh kunci utama dalam keseluruhan proses pengambilan keputusan pengucuran dana LPS itu.

Last but not least, laporan utama Tempo ini dilengkapi pula dengan kolom dua halaman dari Bambang Harymurti, di bawah judul “Century: Astagfirullah atau Alhamdulillah?” Bisa dilihat di sini: ( http://majalah. tempointeraktif. com/id/arsip/ 2009/09/07/ KL/mbm.20090907. KL131320. id.html) (pertanyaan retoris yang sudah langsung dijawab sendiri oleh penulisnya pada alinea kedua: bahwa keputusan pengucuran dana untuk Century itu harus disambut dengan ucapan alhamdulillah alias disyukuri). Aliena-alinea berikutnya membeberkan alasan sang penulis mengenai kesimpulannya itu. Namun itu tadi, banyak hal yang tidak digugat lebih jauh dengan kritis oleh sang penulis, termasuk tiga pertanyaan yang saya sodorkan diatas. Tulisan kolom ini juga banyak menyinggung soal kehalalan dana LPS untuk tujuan penyelamatan seperti yang dilakukan terhadap Century, karena LPS memiliki kekayaan sendiri yang dikumpulkan sejak tahun 2005 (dengan kata lain: tak ada dana rakyat di sana). Apakah sang penulis lupa bahwa modal awal LPS sebesar Rp 4 triliun adalah dana rakyat?

Saya merasa, orang-orang atawa lembaga-lembaga di bawah ini
harus diupayakan sekuat tenaga oleh kawan-kawan media untuk bisa bicara
mengenai kasus ini:

a) JK

b) PPATK

c) Penyelidik dari BPK yang sudah melakukan audit investigasi terhadap
kasus ini sejak 26 Agustus lalu

d) Boediono

e) Robert Tantular

f) Dua warga Negara asing yang menjadi pemilik saham lainnya (yang kini kabur entah kemana. Apakah pemerintah Indonesia sudah meminta bantuan Interpol untuk memburu dan menangkap mereka?)

Demikianlah untuk sementara catatan saya terhadap laporan utama Tempo ini.
Kalau kawan-kawan lain sudah ada waktu, saya anjurkan untuk membacanya juga.
Siapa tahu dapat kita bahas lebih jauh di milis ini. Kalau
ada kawan-kawan wartawan MBM Tempo yang aktif di milis kita ini, tentu ingin juga saya dengarkan informasi atau komentar apapun darinya/mereka.

Trims dan salam,

Arya Gunawan


Terima kasih untuk komentar lanjutan dari Anda. Menarik juga berdiskusi
dengan Anda, terutama terkait dengan ingatan Anda yang panjang mengenai
berbagai peristiwa yang sudah lalu. Banyak orang punya ingatan pendek,
sehingga tak banyak memetik pelajaran dari kisah-kisah lalu.



Terima kasih juga untuk usul Anda agar menjadikan juga liputan SWA sebagai
bahan kuliah, akan saya pikirkan. Juga Kontan, mungkin.



Mengenai Kompas, menurut hemat saya, dengan segala pengalaman, sumber dana,
dan sumber daya, serta juga positioning yang dimilikinya, semestinya Kompas
bisa jauh lebih baik di hari-hari ini. Namun mungkin justru di situlah
paradoks-nya: lazimnya, semakin mapan seseorang atau sebuah lembaga, semakin
kurang daya sengatnya. Mungkin militansi dan etos intelektualisme itu yang
kini kian menyurut di Kompas (terutama barangkali sebagai dampak dari hidup
yang kian bersigegas, ikut larut di dalam irama yang supercepat dari dunia
di sekelilingnya itu, sehingga tiada lagi waktu atau bahkan kebutuhan untuk
melakukan kontemplasi dan refleksi – ini saya pinjam istilah yang saya
sukai, yang dulu sering diwejangkan oleh Pak Jakob Oetama – yang
sesungguhnya merupakan ruh dari sebuah lembaga media). Kawan-kawan Kompas,
mohon maaf apabila saya keliru.



Nah, kini back to laptop. Tentang kasus Century lagi, dalam kaitannya dengan
media terutama Tempo.



Tentu saja sah bagi satu lembaga media untuk memilih posisi dalam setiap
peristiwa, sepanjang itu dilakukan melalui prosedur jurnalisme yang ketat
(pengumpulan informasi/data di lapangan), pemikiran yang kritis, perdebatan
mendalam di ruang redaksi. Proses ini menjadi lebih ketat jika persoalan
yang tengah digarap terbilang kompleks, berpotensi kontroversial, seperti
halnya kasus Bank Century ini. Khusus untuk *Tempo*, proses ini menjadi
lebih berat mengingat sejumlah awaknya diketahui memberikan dukungan pada
Boediono dan Sri Mulyani, dua tokoh kunci dalam kasus Century. Dengan kata
lain, *Tempo* harus memiliki argumentasi yang superkokoh jika memutuskan
untuk mendukung keputusan penyelamatan Bank Century. Jika tidak, publik akan
menuding bahwa pilihan sikap *Tempo* itu lebih didasarkan pada kepentingan
dari dan demi orang atau kelompok tertentu, bukan pada kepentingan khalayak
luas.



Namun kekritisan dan pertimbangan matang inilah yang terasa kurang dilakukan
*Tempo* kali ini. Banyak pertanyaan yang masih menggantung. Ini berbeda dari
sejumlah karya liputan investigatif *Tempo* sebelumnya, misalnya skandal
Bulog II yang melibatkan Akbar Tanjung di tahun 2002, ataupun kasus dugaan
penggelapan pajak yang dilakukan oleh Asian Agri di tahun 2006/2007. Tak
banyak temuan investigatif penting/signifikan dalam laporan utama mengenai
kasus Bank Century, salah satunya mengenai jalannya rapat marathon semalam
suntuk antara KSSK, BI dan LPS yang berujung pada keputusan penalangan.
Informasi ini tidak terlalu penting, sekadar menjadi ilustrasi, dan mungkin
untuk menampilkan kesan bahwa keputusan pengucuran dana LPS untuk Bank
Century tersebut dibuat sudah dengan pertimbangan matang. Bandingkan
misalnya dengan kualitas investigasi Tempo yang jauh lebih tinggi saat
mengurai jejaring anak usaha kelompok Asian Agri dan dugaan penggelapan
pajak yang mereka lakukan, ataupun dengan keberhasilan Tempo mendapatkan
bukti cek dari dana skandal Bulog II yang mengalir ke dua orang bendahara
Partai Golkar.



Dalam kasus Century ini, ada baiknya kita melakukan kilas-balik sebentar, ke
kejadian di tanggal 6 Oktober 2008. Ketika itu, dalam pertemuan dengan Bank
Indonesia, dunia usaha, para pengamat ekonomi, dan para pemimpin media
massa, di Sekretariat Negara, Jakarta (sebagai bagian dari langkah
menanggapi gejolak ekonomi yang tengah berlangsung di Amerika Serikat), SBY
menyampaikan ucapan berikut: "Saya harus katakan secara tegas dan jelas
bahwa Insya Allah tidak akan terjadi krisis sebagaimana kita alami pada
sepuluh tahun lalu.” SBY meyakini, faktor-faktor yang hadir saat krisis
ekonomi 1997-1998, misalnya kebijakan yang tak konsisten dan menipisnya
kepercayaan masyarakat, kini tak ada lagi. SBY juga percaya bahwa kebijakan,
prioritas, dan arah perekonomian Indonesia sudah tepat, ditandai dengan
membaiknya pendapatan per kapita, menurunnya rasio utang terhadap pendapatan
domestik bruto.



Sehari sebelumnya, Gubernur BI, Boediono dan Menteri Keuangan, Sri Mulyani,
memberikan penjelasan senada: kondisi Indonesia relatif baik. Boediono
menyebutkan, perbankan masih terbilang solid, dengan posisi rasio kecukupan
modal berada di kisaran 16% atau jauh di atas ketentuan minimal 8%. Begitu
juga rasio kredit bermasalah yang bisa dibendung di posisi 3,59%. "Ini bisa
menjadi bekal kami menghadapi krisis ini," ujar Boediono.


Namun persis satu setengah bulan setelah pernyataan itu, 21 November 2008,
kita mendapat berita bahwa Bank Century berada di tepi jurang, dan harus
diselamatkan. Belakangan kita tahu, proses penyelamatan itu telah menyedot
Rp 6,7 triliun yang dikucurkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Alasan para
pihak (BI, Menkeu selaku Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan/KSSK dan
LPS), jika Century dilikuidasi, maka akan berdampak sistemik.



*Tempo* semestinya bisa mengajukan pertanyaan di hulu sekali: ketangguhan
fundamental ekonomi macam apa yang sebetulnya dimaksudkan SBY, Boediono dan
Sri Mulyani sebagaimana yang saya kutip di atas? Kalau memang situasi
perbankan kita sehat, perekonomian kita berada pada arah yang benar, tentu
tak akan muncul alasan ”dampak sistemik” yang dijadikan landasan utama
keputusan menyelamatkan Century. Jadi, bisa disimpulkan salah satu dari dua
pernyataan tadi – entah mengenai perbankan kita sehat, ataukah ihwal bahwa
jika Century dibiarkan mati maka akan berdampak sistemik – pastilah
mengandung kekeliruan, atau sedikit-dikitnya masih berupa asumsi. Ataukah
dalam tenggang waktu 1,5 bulan, sejak pernyataan itu mereka lontarkan sampai
saat keputusan menyelamatkan Century ditetapkan, telah terjadi goncangan
dahsyat pada landasan perekonomian kita?



Masih sederet hal lagi yang luput “dikuliti” *Tempo*: informasi lebih jauh
dari Wapres Jusuf Kalla; informasi tentang nasabah besar Bank Century
(setidaknya ada satu nama deposan besar yang sudah dipastikan memiliki
simpaman dalam jumlah raksasa di bank itu); mengorek lebih jauh dugaan yang
dilontarkan sejumlah kalangan bahwa ada dana yang mengalir ke partai politik
yang berasal dari dana talangan itu; mempersoalkan proses pengambilan
keputusan itu (misalnya, mengapa Presiden tidak dilibatkan, padahal
Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang LPS di pasal 2 ayat 4 jelas-jelas
menyebutkan bahwa LPS bertanggungjawab kepada Presiden. Kini mengapa para
pendukung pengucuran dana talangan itu bisa dengan mudah mengatakan bahwa
Presiden tidak ikut-ikut dalam keputusan ini?).

* *

*Tempo* juga seharusnya mencari Boediono. Mengapa selaku orang nomor satu di
BI dia tidak menempuh tindakan tegas lebih awal terhadap Century, meskipun
memang Century telah menjadi beban yang diwariskan oleh para pendahulunya?
Sebetulnya menarik melihat kenyataan bahwa sudah tiga pekan heboh kasus
Century ini berlangsung, namun sampai email balasan ini saya tulis untuk
Anda (11 September), suara Boediono tak terdengar juga. Padahal dia adalah
kunci utama sesungguhnya, karena dua hal: a) BI lah yang selama ini
mengawasi kinerja setiap bank (terbukti Century tidak terawasi oleh BI
sehingga bisa berdarah-darah begitu parah), dan b) BI pula yang menjadi
pangkal rekomendasi perlunya dana talangan tadi. Banyak pertanyaan yang
perlu diajukan pada Boediono. Termasuk juga mungkin pertanyaan “nakal” yang
yang sudah pula diutarakan sejumlah kalangan: apakah benar ada kaitan antara
pilihan SBY untuk menjadikan Boediono sebagai Wapres, dengan kebijakan dana
talangan untuk Century itu. Mungkin pertanyaan ini bernuansa syuudzon. Namun
cobalah Anda ingat-ingat lagi, Bung, nama Sri dan Boediono memang sempat
“berkibar” disebut-sebut akan mendampingi SBY menjadi Wapres. Akhirnya SBY
memastikan bahwa Boediono yang menjadi pendampingnya dalam Pilpres. Lalu
sempat juga muncul diskursus bahwa Sri yang akan menggantikan dia di posisi
Gubernur BI, bukan? Sekarang, di tengah kecamuk Century ini, ingatan akan
diskursus sekian bulan silam itu menjadi menarik juga untuk dilacak lebih
jauh. Tentu saja ini masih berupa dugaan kasar. Namun jika ada wartawan
investigatif sejati, dia pasti akan tertantang untuk menelusuri dugaan ini.



Boediono juga bisa ditanyai mengenai satu perkembangan terbaru, yaitu
pernyataan dari anggota DPR Habil Marati, yang menemukan kenyataan bahwa BI
telah mengubah peraturan mengenai batas minimal CAR (rasio kecukupan modal)
untuk menjadi syarat agar dapat diselamatkan oleh pemerintah, dan dengan
perubahan syarat CAR minimal inilah Century menjadi memenuhi syarat untuk
dibantu dengan suntikan dana. Keputusan perubahan peraturan BI ini tertuang
dalam surat tertanggal 18 November 2008 yang ditandatangi Boediono, hanya
terpaut beberapa hari saja sebelum BI, KSSK dan LPS menyelesaikan “rapat
semalam suntuk” mereka di tanggal 21 November 2008, yang bermuara pada
keputusan untuk menyetujui kucuran dana bagi Century itu.



Saya salinkan saja di bawah ini berita dari salah satu media – yakni situs
berita metronews.com edisi 11 September 2009; Anda bisa dengan mudah
menemukan berita yang sama dari media lainnya -- yang memuat ihwal
pernyataan Habil Marati ini (saya muat di antara dua strip panjang di atas
dan di bawah):

========================================================================

Habil Marati: Boediono Berperan Mengubah CAR Bank**

*Metrotvnews.com, Jakarta: *Mantan Gubernur Bank Indonesia, Boediono
dianggap berperan mengubah peraturan Bank Indonesia tentang kewajiban rasio
penyediaan modal minimum atau CAR. Perubahan kebijakan ini disebut-sebut
untuk menyelamatkan Bank Century. Dugaan keterlibatan Boediono dikemukakan
anggota Komisi XI DPR, Habil Marati di Jakarta, Jumat (11/9).

Menurut Habil, dua dari tiga dokumen yang berisi perubahan peraturan BI
diteken Boediono dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalata pada
November 2008. Saat itu Boediono masih menjabat Gubernur BI. Dalam perubahan
peraturan BI ini, ada bagian penting yang menarik perhatian, yakni revisi
CAR yang semula delapan persen menjadi nol persen.

Dengan perubahan kebijakan ini, Bank Century yang semula hanya memiliki CAR
kurang dari empat persen berhak mengajukan permohonan fasilitas pendanaan
jangka pendek untuk menutup kerugian. Habil menambahkan pemerintah juga
bertanggung jawab dalam masalah ini. Sebab, Menteri Keuangan Sri Mulyani
selaku Ketua Komite Kebijakan

===================================================================

Saya juga sudah menyempatkan melihat-lihat peraturan baru BI yang disebut
oleh Habil Marati ini, sekaligus menengok peraturan lama yang digantikannya.
Beberapa hal yang berbeda di peraturan baru BI ini dibandingkan dengan
peraturan yang digantikannya (PBI No. 8/1/2006) adalah sbb:

- Tentang sumber pendanaan. Di peraturan lama, sumber pendanaan (tertera
di Pasal 5) adalah, antara lain, dari APBN. Jika kondisi keuangan Negara
sedang sulit, maka Menkeu dapat menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) untuk
mendanai Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD) ini. Sedangkan dalam peraturan
baru, yang diterbitkan 18 November 2009 itu, sumber pendanaannya dirumuskan
sbb (pada Pasal 3): (a) Sumber pendanaan FPD dalam rangka pencegahan krisis
berasal dari Bank Indonesia yang dijamin oleh pemerintah; (b) Sumber
pendanaan FPD dalam rangka penanganan krisis berasal dari pemerintah.



- Tentang persyaratan pemberian FPD. Dalam peraturan lama, ada empat
syarat, yaitu: a) bank mengalami kesulitan likuiditas; b) bank berdampak
sistemik; c) rasio kewajiban penyertaan modal minimum bank paling sedikit
5%; d) dijamin dengan agunan. Berdasarkan peraturan baru, syarat-syarat ini
berubah menjadi hanya tiga, yakni: a) bank mengalami kesulitan likuiditas
yang memiliki dampak sistemik; b) bank memiliki rasio kewajiban penyediaan
modal minimum POSITIF (huruf kapital dari Arya Gunawan); c) bank memiliki
aset yang dapat dijadikan agunan.



Perhatikan perubahan-perubahan di atas. Saya serahkan saja kepada
kawan-kawan yang memang ahli di bidang ekonomi/keuangan yang ada di milis
ini, untuk menerjemahkan makna perubahan ini. Adakah yang patut dicurigai
sebagaimana yang disinyalir oleh Habil Marati? sehingga dapat memperkuat
dugaan bahwa penyelamatan Century memang dirancang demi sebuah tujuan yang
tak ada kaitannya dengan kepentingan publik?



Bagi yang ingin merujuk langsung ke kedua peraturan yang saya sebutkan di
atas, bisa melihatnya di: a)
http://www.djpp.depkumham.go.id/inc/buka.php?czoyNjoiZD0yMDAwKzYmZj1wYmk4LTEtMjAwNi5odG0iOw==
(untuk peraturan BI 8/1/2006); dan b)
http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/B46F01BB-82CB-4649-82DD-660E550C7302/15038/pbi_103108r.pdf(untuk
peraturan yang baru, PBI 10/31/2008).



What a coincidence of all these facts. Buhul-buhul kian banyak bermunculan.
Tinggal terpulang pada mereka-mereka yang tertantang untuk mencari
tali-temali yang menghubungkan buhul-buhul alias simpul-simpul tadi, apakah
mau berupaya mati-matian mendapatkannya sehingga berujung pada QED alias
terbukti. Mereka-mereka yang saya maksud di sini antara lain BPK, dan tentu
saja wartawan. Termasuk Tempo. Masih berminatkah Tempo mencari kemungkinan
kait-kaitan tadi? Kita lihat sajalah dalam hari-hari ke depan ini.



*Tempo* juga terkesan “membeli” pendapat yang menyebutkan bahwa kinerja
Century kini sudah mulai membaik, dan bukan mustahil jika dijual kembali
beberapa tahun mendatang, harga jualnya lebih tinggi dari biaya penyelamatan
yang Rp 6,7 triliun itu. Ini lagi-lagi sebuah asumsi, mirip dengan asumsi
mengenai “dampak sistemik” seperti yang disebutkan terdahulu. Siapa dan
bagaimana bisa menjamin bahwa keuntungan tersebut bisa terwujud?



Lalu tentang pernyataan Anda mengenai nuansa politisasi dalam kasus Century
ini, kemungkinan diwarnai “balas dendam” JK terhadap Menkeu. Ada juga kawan
lain yang menanggapi saya dengan “mengingatkan” bahwa meledaknya kasus
Century ini adalah bagian dari konspirasi hitam untuk melengserkan Menkeu?
Ditambahkan oleh sang kawan, banyak pihak yang ingin Menkeu lengser karena
dia dianggap keras terhadap para penjahat ekonomi, misalnya pengemplang
pajak.



Jawaban saya: dalam jurnalisme investigatif (teori maupun praktek), urusan
motif ini jangan sampai menjadi halangan. Dengan kata lain, wartawan
investigatif yang baik seyogianya tidak usah terlampau peduli pada motif
pembocoran informasi mengenai kasus tertentu, tentu saja dengan catatan:
bahwa si wartawan harus yakin peristiwa tertentu itu memiliki dampak yang
merugikan kepentingan publik/Negara. Ini tentu dilakukan lewat proses dan
prosedur jurnalisme yang ketat, terutama pada tahap verifikasi data yang
diterima si wartawan. Jadi, siapa pun sumber yang memberikan tips informasi
dan bahan-bahan, jika si wartawan yakin bahwa informasi itu benar dan
berdampak pada kerugian publik, maka dia akan gunakan informasi tersebut.
Kalau kemudian pihak pemberi informasi itu ikut memetik keuntungan dari
berita kita, sejauh itu tidak diniatkan oleh si wartawan, maka tidak jadi
masalah, dan itu adalah implikasi yang tak terelakkan. Jika kita memusingkan
ihwal motivasi, tentu mestinya kita juga bisa mempertanyakan posisi Tempo
saat memberitakan kasus korupsi dana Bulog II yang dilakukan Akbar Tanjung
tahun 2002 silam, karena banyak informasi yang diperoleh Tempo berasal dari
lawan politik Akbar. Apakah kita memusingkan bahwa lawan-lawan politik Akbar
memetik untung besar dari pemberitaan itu? Saya sih tidak peduli, yang
penting kasus itu diungkap, karena unsur kepentingan publiknya jelas besar.



Begitu pula saat Tempo mengungkap kasus dugaan penggelapan pajak Asian Agri.
Apakah saya peduli bahwa disebut-sebut ada pengusaha yang notabene
“musuhnya” Asian Agri memetik keuntungan atas gonjang-ganjing yang dialami
Asian Agri karena dugaan penggelapan pajak itu dibeberkan Tempo? Saya juga
tidak peduli.



Begitu pula “bisikan” seorang kawan bahwa ada konspirasi kelompok hitam di
luar sana yang menggunakan kasus Century ini untuk melengserkan Menkeu. Bagi
saya, itu TIDAK PENTING. Lagipula, APA PEDULINYA SEBAGIAN KITA – termasuk
saya, tentu saja -- JIKA SRI MULYANI LENGSER SEBAGAI MENKEU? Apakah memang
dia indispensable alias tak tergantikan? Kalau iya, alangkah malangnya rezim
pemerintahan SBY. Pemimpin yang baik tentulah pemimpin yang menciptakan
sistem yang baik, bukan menyandarkan diri pada orang-orang yang
indispensable. Tentang informasi yang bilang bahwa jika Sri lengser maka
para konglomerat hitam termasuk yang mengemplang pajak, akan bertempik-sorak
riuh-rendah girang-gembira gegap-gempita, maka pertanyaan saya: apakah
benar? Pada titik ini, ada dua pertanyaan yang bisa diajukan: a) kalau
memang Sri dianggap hebat dan anti konglomerat hitam, apakah tak bisa SBY
mencarikan gantinya?; dan b) apa iya Sri memang hebat memerangi konglomerat
hitam/pengemplang pajak? Bukti menunjukkan, untuk kasus dugaan penggelapan
pajak yang dilakukan Asian Agri saja, Menkeu (yang membawahi Ditjen Pajak)
ujung-ujungnya tak berdaya juga saat harus berhadapan dengan Kejaksaan
Agung. Bahkan SBY sekali pun seperti tak berdaya menyelesaikan kasus Asian
Agri ini.



Jadi, jika memang Sri harus terpental, be it. Itulah risiko jabatan.



Oya, Bung Liman, sebagai catatan kecil saja: saya menyatakan semua hal di
atas itu, demi Allah (sebagai seorang Muslim), tanpa dilandasi kepentingan
apapun. Saya tidak kenal Sri, tidak kenal juga dengan kubu yang anti
terhadap keputusan penyuntikan dana untuk Century ini. Saya juga tak bisa
menyajikan data-data yang canggih dari sudut ekonomi. Saya bukanlah orang
yang menguasai ilmu ekonomi (latar belakang pendidikan saya Kimia dari
Institut Teknologi Bandung, satu almamater dengan Bambang Harymurti; dia
lima atau enam tahun di atas saya, dan berbeda Jurusan). Saya hanya tahu
serba sedikit tentang ekonomi, kulit-kulitnya saja, memenuhi tuntutan
profesi jurnalistik yang menganjurkan agar wartawan yang baik harus mencoba
menjadi generalis (baru kemudian menjadi spesialis, dengan menekuni dan
mendalami satu bidang tertentu). Jadi, saya tentu tak bisa menyajikan
analisis yang kompleks, seperti beberapa kawan di milis ini yang memang
pakar di bidang itu. Saya hanya menggunakan nalar dan akal sehat, juga hati
nurani saya, plus naluri jurnalistik yang masih tersisa. Dan dengan semua
perangkat terbatas yang saya punyai itu, saya menganggap keputusan
pengucuran dana untuk Century itu tidak benar. Saya prihatin, karena Tempo
tampak berupaya keras membela keputusan yang sesungguhnya sangat layak
dipertanyakan itu...Saya tentu saja bisa keliru. Biarlah waktu yang nanti
akan menjadi penentu, apakah saya (dan kawan-kawan lain yang sehaluan
pemikirannya dengan saya) yang keliru, ataukah Tempo (dan kelompok para
pendukung kebijakan penalangan dana untuk Century itu).



Oh iya, ada yang lucu juga saat memperhatikan karikatur Boediono dan Sri
Mulyani di kulit muka majalah Tempo edisi terbaru yang memuat laporan utama
mengenai kasus Century ini: perhatikan bahwa kepala ikat pinggang yang
dikenakan Boediono berlambang bintang, maksudnya logo merek Converse, atau
lambang di topi yang sering dipakai Che Guevara itu barangkali ya? Pesan apa
yang ingin disiratkan oleh Tempo dari karikatur itu? Atau memang dalam
kehidupan nyata sehari-hari, Boediono sering pakai ikat pinggang dengan
kepala berlambang bintang itu ya?



Bung, setelah catatan yang satu ini, mohon maaf, mungkin saya akan absen
dulu untuk diskusi yang panjang mengenai topik ini di milis FPK ini. Rasanya
saya sudah menuangkan semua pemikiran yang saya punya. Ibarat pesilat, sudah
tak ada lagi varian atau kembangan jurus/gerakan dan ilmu andalan yang saya
punya. Mohon maaf apabila terasa masih sangat terbatas. Hanya segitulah CAR
saya untuk sementara ini. Kalau CAR saya meningkat setelah dapat suntikan
dari LPS, barulah saya akan kasih komentar lagi. Hehehe...





Trims dan salam,

Arya Gunawan

Jumat, 11 September 2009

Dahlan Iskan : Soemarsono, Golongan kiri, dan pergolakan seputar Proklamasi


Dahlan Iskan: Soermarsono, Golongan Kiri, dan Pergolakan Seputar Proklamasi


MESKI berjuang habis-habisan di pertempuran Surabaya pada 1945, Soemarsono, tokoh utama peristiwa 10 November itu, sebenarnya putra Temanggung, Jawa Tengah. Ayahnya seorang pemeluk Islam yang taat. Bahkan, punya surau di pekarangan rumahnya. Dia anak dari istri kedua bapaknya, pegawai mantri cacar di zaman Belanda itu. Saat waktunya masuk HIS (setingkat SD), dia ditolak karena ayahnya sudah pensiun. Dianggap sudah bukan lagi pegawai Belanda.

Itu berarti, sejak kecil Soemarsono sudah mendapat pengalaman jiwa yang kurang enak kepada Belanda. Ketika akhirnya bisa ditampung di sekolah Kristen yang juga berbahasa Belanda, dia kembali punya pengalaman kejiwaan yang berat: memergoki kepala sekolahnya yang Belanda sedang memangku murid wanita dalam keadaan yang tidak pantas diceritakan. Dia langsung jadi pendiam beberapa hari. Meski terus menolak menceritakan penyebabnya, akhirnya tidak ada jalan menghindar. Anak kecil selalu saja tidak bisa menyimpan kepolosan jiwanya.

Cerita itu meluas ke keluarga si gadis. Jadinya heboh. Soemarsono ditekan di sekolah. Padahal, sudah waktunya penentuan nilai kelulusan. Dia diberi nilai jelek dan dipukul. Bahkan, karena begitu marahnya si Belanda, ijazah Soemarsono yang hari itu sudah siap diserahkan bernasib tragis. Ketika Soemarsono sudah berjalan ke depan kelas untuk mendapat giliran menerima ijasah, si Belanda tidak menyerahkannya, melainkan merobek-robeknya.

Dengan kejiwaan seperti itu, Soemarsono remaja kemudian ke Jakarta, ikut salah seorang kakaknya. Dia dikursuskan di berbagai bidang dan akhirnya dapat bekerja di bagian arsip kantor keuangan.

Selama tumbuh dewasa di di Jakarta itulah, Soemarsono bergaul dengan anak-anak muda dari golongan kiri. Pergaulannya lama-lama meluas dan akhirnya kenal dengan tokoh-tokoh kiri. Hanya disebut "kiri" karena saat itu PKI (Partai Komunis Indonesia) secara resmi dilarang. Yakni sejak pemberontakan PKI pada 1926. "Kalau dengan Mr Amir Syarifudin, saya bertemunya di gereja," ujar Soemarsono. Amir adalah tokoh sentral golongan kiri. Ketua PKI ilegal. Sebab, Musso (pimpinan PKI) menyingkirkan diri ke Rusia untuk menghindari kejaran Belanda. Tan Malaka, tokoh utama kiri lainnya, sudah dipecat karena dianggap tidak sejalan dengan garis partai.

Soemarsono memang aktif ke gereja. Di situlah dia didoktrin oleh Amir bahwa seorang Kristen harus aktif di pergerakan perjuangan menentang penjajahan Belanda.

Maka, ketika di kemudian hari dalam pertempuran Surabaya dia lebih tunduk kepada Amir daripada kepada Bung Karno, memang riwayatnya panjang seperti itu. Demikian juga mengapa Soemarsono menjadi tokoh utama peristiwa Madiun. Juga karena dia harus tunduk kepada Amir. Saat itu Amir bersama-sama dengan Muso memegang jabatan pimpinan puncak golongan kiri di Indonesia.

Memang harus diakui, di zaman menjelang kemerdekaan pada 1945 itu para pemuda dari golongan kiri sangat radikal melawan Belanda -dan kemudian Jepang. Mereka bergerak di bawah tanah. Mereka juga berseberangan dengan taktik yang dijalankan Bung Karno. Bahkan, mereka kesal kepada Bung Karno yang selalu bekerja sama dengan penjajah Jepang.

Waktu itu yang disebut golongan kiri bukan hanya PKI ilegal. Ada semacam "kiri luar", "kiri tengah", sampai "kiri dalam". Sjahrir (yang kemudian jadi perdana menteri di awal kemerdekaan), Djohan Syahruzah, dan lain-lain termasuk golongan kiri luar yang di kemudian hari meninggalkan kelompok kiri mendirikan partai sendiri: Partai Sosialis Indonesia (PSI). Ada kelompok Chairul Saleh, Adam Malik, dan lain-lain yang tergolong kiri tengah yang kemudian juga meninggalkan barisan kiri dengan mendirikan Partai Murba. Lalu, ada kelompok Wikana, Aidit, Musso, dan lain-lain (termasuk Soemarsono yang tergolong masih paling kecil) tetap di jalur kiri dalam dan kemudian tergabung dalam PKI resmi. Lalu, ada lagi kiri lepas yang mencakup nama seperti Tan Malaka dan teman-temannya.

Semua golongan kiri itu ada kalanya bersatu, tapi ada kalanya bermusuhan. Posisi Bung Karno sungguh sulit. Apalagi di luar golongan kiri masih banyak golongan lain yang juga mengaku peranannya besar. Tambah lagi golongan ini pun juga terdiri atas banyak posisi: ada "kanan dalam", "kanan luar", dan "kanan tengah". Suasana politik waktu itu memang sangat rumit. Tidak ada kelompok tengah yang dominan yang membuat pemerintahan bisa stabil. Bung Karno ada di antara kiri dan kanan yang terus bersaing. Berbeda dengan sekarang di saat kelompok tengah sudah sangat dominan, meski juga masih tercecer di beberapa partai tengah seperti Partai Demokrat, Golkar, dan PDI-P. Kalau saja tiga partai ini bisa melebur dalam satu wadah, sejarah Indonesia akan sangat berubah. Setidaknya, kalau bisa dimulai dari embrionya dulu: bersatu dalam sebuah koalisi.

Saya baru tahu dari penuturan Soemarsono itu bahwa perpecahan Soekarno-Hatta ternyata sebenarnya berawal dari kasus dihukum matinya Amir Syarifudin dan 40 orang PKI di Magelang. Bung Karno tidak rela ada tindakan sekeras itu kepada orang-orang yang jasanya juga besar dalam memperjuangkan kemerdekaan. "Kepada anak-anak PKI waktu itu, Bung Karno itu tega larane gak tega patine", ujar Soemarsono. Maksudnya, tidak apalah kalau sekadar disakiti, tapi jangan dibunuh.

Bung Karno tentu mengetahui peranan golongan kiri dalam memperjuangkan kemerdekaan. Tapi, Hatta punya pendapat lain. Para pejuang kiri itu dianggapnya hanya jadi pengacau yang menyulitkan pemerintah. Kemerdekaan Indonesia tidak segera diakui oleh negara-negara lain, menurut orang seperti Hatta, karena golongan kiri masih sangat kuat di Indonesia. Sedangkan negara-negara Barat yang diharapkan memberikan pengakuan dan bantuan kepada Indonesia umumnya negara-negara antikomunis. Misalnya, Belanda, Inggris, Australia, dan Amerika.

Saya bisa membayangkan sulitnya posisi Bung Karno. Apalagi Bung Karno itu, seperti dikemukakan Soemarsono, bisa jadi presiden karena jasa para pemuda golongan kiri. Yakni ketika para pejuang bawah tanah itu mulai mendengar bahwa Jepang sudah kalah perang di Asia Timur. Mereka memang aktif memonitor siaran radio luar negeri meski resminya penjajah Jepang melarang orang Indonesia mendengarkan siaran radio.

Saat itulah para pemuda golongan kiri dari berbagai posisi itu sepakat agar Indonesia segera menyatakan kemerdekaannya. Mumpung Jepang sudah kalah dan Belanda belum punya kesempatan kembali ke Indonesia. Hari-hari sekitar tanggal 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15 Agustus ketika itu adalah hari-hari tidak jelas mengenai siapa yang berkuasa di Indonesia.

Maka, perhatian para pemuda tersebut tertuju kepada siapa yang harus memproklamasikan kemerdekaan itu. Nama Soekarno, di mata mereka, sama sekali tidak masuk dalam daftar orang yang pantas menyatakan kemerdekaan Indonesia. Mereka sedang tidak menyukai Bung Karno yang mereka nilai sebagai antek Jepang.

Dengan cepat, mereka memilih Amir Syarifudin-lah yang akan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.



Ganti Proklamator Dua Kali, Merdeka Tertunda Dua Hari



Setelah para pemuda pejuang itu bulat memutuskan bahwa Amir Syarifuddin-lah tokoh yang akan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, muncul pertanyaan: bagaimana caranya agar keinginan itu terwujud? Waktunya sudah mendesak. Saat itu sudah tanggal 14 Agustus. Amir tidak di Jakarta. Dia sedang mendekam di Penjara Lowok Waru, Malang. Amir harus menjalani hukuman yang dijatuhkan penjajah Jepang. Dia dijatuhi hukuman mati. Hanya berkat jasa Bung Karno yang memang dekat dengan Jepang, hukumannya diubah menjadi seumur hidup.

"Waktu itu tidak ada pilihan lain. Musso tidak masuk hitungan karena sudah lama tinggal di Rusia. Bung Karno tidak masuk hitungan karena sikapnya yang memihak Jepang," ujar Soemarsono yang hari-hari itu tergolong pejuang yang paling yunior di antara para pemuda tersebut. Soemarsono kini masih hidup segar dengan status warga negara Australia. Saya tidak menyangka bahwa dia (usianya hampir 88 tahun) masih sesegar itu. Masih bisa melayani wawancara saya hampir lima jam dengan semangat tinggi dan tidak kelihatan lelah.

Saat pergolakan menjelang kemerdekaan itu, Soemarsono, tokoh kelahiran Kutoarjo (bukan Temanggung seperti tertulis kemarin) tersebut, masih di Jakarta. Baru beberapa minggu kemudian, dia ditugasi untuk berjuang di Surabaya yang selanjutnya dalam pertempuran Surabaya menjadi salah satu tokoh utama.

Menurut Soemarsono, kala itu ada ide yang radikal agar Amir bisa memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 15 Agustus 1945.

Amir harus dikeluarkan dari Penjara Lowokwaru secara paksa. Caranya: menculik dia. Namun, risikonya memang besar. Jepang secara de facto masih berkuasa. Bisa menggagalkan rencana proklamasi itu sendiri.

Dengan pertimbangan itu, dicarilah tokoh proklamator lain sebagai pengganti. Mereka lantas memilih Sjahrir yang meski bukan dari golongan "kiri dalam", tapi masih berbau kiri. Tidak ada suara yang tidak setuju. Sjahrir, di mata mereka, juga tidak punya cacat. Satu-satunya kekurangan hanyalah: kurang kiri. Tapi, setidaknya, tidak seperti Bung Karno yang dianggap terlalu menghamba ke Jepang.

Delegasi pun dikirim ke rumah Sjahrir. Dalam pertemuan itu, Sjahrir menyatakan tidak bersedia. Perdebatan di antara mereka sangat keras. Terutama setelah Sjahrir bahkan mengajukan nama Bung Karno saja. Rekomendasi Sjahrir itu menimbulkan pro-kontra di kalangan pejuang bawah tanah tersebut. Tapi, Sjahrir terus meyakinkan mereka. Alasan utamanya, proklamasi tersebut juga harus mendapat dukungan penguasa waktu itu. Termasuk harus didukung birokrasi pemerintah yang masih dikuasai Jepang. Tidak mungkin membentuk pemerintah tanpa punya birokrasi. Tanpa birokrasi, bagaimana pemerintah yang sudah diproklamasikan itu akan dijalankan? Pikiran Sjahrir, sebagaimana yang ada dalam buku-buku sekitar peristiwa ini, Bung Karno memang dekat dengan Jepang.

Para pemuda bawah tanah itu tetap keberatan. Bung Karno di mata mereka penuh cacat. Apalagi ketika mereka ingat bahwa demi pengabdiannya ke penjajah Jepang, Bung Karno sampai mau mengerahkan romusa. Yakni petani-petani dari Jawa yang dikirim ke Sumatera Utara untuk kerja paksa yang jumlahnya sampai, kata mereka, jutaan.

Melihat kerasnya penentangan para pemuda terhadap Bung Karno itu, Sjahrir memberikan jalan keluar. Bung Karno hanya akan dijadikan presiden sementara. Hanya untuk satu-dua tahun. Setelah itu diganti. Toh yang penting segera bisa merdeka dulu. Mumpung Jepang lagi kalah. Penundaan atas proklamasi bisa mengakibatkan kegagalan.

Akhirnya, pendapat Sjahrir diterima. Catatannya: Bung Karno adalah "proklamator cadangan" yang diturunkan ke lapangan karena terpaksa.

Lantas, diutuslah delegasi menemui Bung Karno. Ternyata, Bung Karno juga menolak. Alasannya, menurut Soemarsono, Bung Karno belum percaya bahwa Jepang sudah kalah. Bung Karno memilih menunggu saja Jepang memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia sebagaimana yang telah berkali-kali dijanjikannya.

Tapi, para pemuda yang sangat radikal itu tidak pernah percaya terhadap janji Jepang. "Mana ada penjajah rela menyerahkan daerah jajahannya," ujar Soemarsono. Paling-paling, kita dijanjikan "nanti", lalu "kelak", lalu "kemudian", dan akhirnya "nanti kelak di kemudian hari".

Menghadapi penolakan Bung Karno itu, para tokoh pemuda seperti Sukarni, Chairul Saleh, dan Wikana tentu sangat kesal. Pikir mereka, tokoh-tokoh itu diajak merdeka kok tidak mau. Padahal, ini sudah tanggal 15 Agustus. Padahal, kalau saja Bung Karno mau, maka pada tanggal 15 Agustus 1945 itu, proklamasi sudah bisa dibacakan.

Melihat Bung Karno tetap menolak, para pemuda tersebut membuat skenario politik: menculik Bung Karno dan Bung Hatta untuk "dipaksa" mau memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Karena itulah, pada malam tanggal 15 Agustus itu, Bung Karno dan Bung Hatta diculik para pemuda dan dibawa ke Desa Rengasdengklok di timur Bekasi.

Tahu Bung Karno hilang, pemerintah Jepang bingung. Tapi, Jepang punya intelijen bernama Ahmad Subardjo yang juga dekat dengan pemuda pergerakan itu. Maka, dengan mudah, Jepang mengetahui di mana Bung Karno berada. Saya baru tahu dari Soemarsono ini bahwa Ahmad Soebardjo itu intel Jepang. Buku sejarah yang pernah saya pelajari di sekolah tidak pernah mengungkap peran Ahmad Soebardjo sebagai intel Jepang.

Kejadian selanjutnya sama dengan buku sejarah: ada yang bilang di Rengasdengklok-lah teks proklamasi itu disusun, ada juga yang bilang dibuat setelah tiba kembali di Jakarta. Ada yang bilang Bung Hatta-lah yang membuat konsepnya, lalu Bung Karno yang menuliskannya, ada pula yang bilang Mr Moh. Yamin-lah yang membuat konsepnya. Ada yang bilang Bung Karno dikembalikan ke Jakarta karena sudah setuju untuk membacakan proklamasi, ada juga yang bilang karena Jepang sudah memberikan lampu hijau untuk pernyataan proklamasi itu.

Yang jelas, dua hari setelah peristiwa Rengasdengklok itu, proklamasi dibacakan Bung Karno pada 17 Agustus 1945.




Ekstrem Kanan Kiri Oke, tapi Tengah Memimpin



Cara memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 seperti itu memang sangat khas cara berpikir kita sampai sekarang: Yang penting merdeka dulu! Bagaimana rumitnya urusan setelah itu baru dipikirkan kemudian.

Cara berpikir begitu juga terlihat ketika terjadi reformasi pada 1997/1998. Pokoknya reformasi dulu. Urusan rumit setelah itu dipikir kemudian. Karena itu, pikiran lain yang dilontarkan tokoh seperti Dr Nurcholish Madjid tidak laku. Maklum, waktu itu gelora untuk melakukan reformasi luar biasa besarnya. Bukan hanya gerakan bawah tanah sebagaimana yang terjadi menjelang proklamasi kemerdekaan RI, tapi sampai ke gerakan demo besar-besaran secara terang-terangan: Reformasi sekarang!

Padahal, sekitar seminggu sebelum Presiden Soeharto memutuskan untuk meletakkan jabatan, Cak Nur (begitu panggilan akrabnya) mengemukakan gagasan penting: Bagaimana kalau Pak Harto sendiri yang memimpin jalannya reformasi. Kita, kata Cak Nur, bisa memberi waktu dua tahun kepada Pak Harto untuk menyelesaikan proses reformasi itu. Selama proses itu, kita percaya penuh kepada Pak Harto.

Dengan pikiran seperti itu, menurut Cak Nur, reformasi akan berjalan secara terencana. Tentu tidak perlu terjadi huru-hara. Tidak sampai meletus peristiwa Mei 1998.

Tapi, pikiran seperti itu, pada masa yang penuh gelora menentang Pak Harto, dianggap pikirannya orang yang lembek. Soeharto harus segera turun takhta. Sekarang! Terlalu enak orang seperti Soeharto diberi waktu dua tahun.

Dua tahun itu lama sekali. Bisa-bisa Soeharto lupa tugasnya untuk melakukan reformasi. Ini sangat khas pola pergerakan revolusioner. Seperti juga sikap para pemuda menjelang proklamasi kemerdekaan dulu. Tidak sabar menunggu Jepang sendiri saja yang memerdekakan kita.

Bahkan, saking tidak percayanya, kata-kata Jepang yang menjanjikan kemerdekaan ''kelak'' dibuat pelesetan di rapat-rapat umum waktu itu, juga di pertunjukan-pertunjukan ludruk: Kita tidak percaya ''kelak'', kita hanya percaya ''kolak''! Kolak adalah makanan khas Surabaya, yang terbuat dari pisang yang direbus bersama santan dan gula.

Yang selalu terpikir dalam suasana yang revolusioner adalah takut kehilangan momentum. Ini juga yang mewarnai revolusi Madiun 1948 dan G 30 S/PKI tahun 1965. Dalam pikiran revolusioner seperti itu, yang terbayang adalah keindahan melulu: Setelah proklamasi pastilah rakyat makmur. Setelah reformasi pastilah rakyat makmur.

Tidak terbayangkan bahwa setelah proklamasi luar biasa sulitnya. Perasaan telah merdeka ternyata membuat semua orang merasa punya hak yang sama. Lalu, merasa pula berhak melakukan apa saja sesuai dengan keinginan dan aliran politiknya. Ekstremitas terjadi di mana-mana dengan segala bentuk dan latar belakangnya. Yang aliran kanan mengkristal ke Negara Islam Indonesia. Yang kiri mengkristal menjadi peristiwa Madiun.

Suasana setelah reformasi kurang lebih sama. Bukan main juga hebohnya. Negara menjadi lemah, pemerintah kehilangan keyakinan, pertentangan muncul dan kerusuhan di mana-mana. Semua orang seperti boleh melakukan apa saja. Dalam proses ini, yang kiri juga mengkristal, meski belum sampai menampakkan wujud formalnya. Yang kanan mengkristal dalam bentuk terorisme sekarang ini.

Tidak terasa reformasi sudah berumur 11 tahun. Kalau tujuan reformasi kini sudah dianggap mulai berhasil, waktu yang diperlukan ternyata begitu lama. Orang-orang yang dulu merasa tidak sabar dengan konsep dua tahunnya Cak Nur pun ternyata harus dipaksa sabar untuk menjalani masa yang berat yang jauh lebih lama: selama delapan tahun lebih!

Tidak ada yang perlu disesali. Baik reformasi maupun proklamasi. Jalannya sejarah memang harus begitu. Mimpi-mimpi indah sebelum proklamasi ternyata harus menemukan kenyataan beratnya persoalan yang dihadapi setelah proklamasi: Tidak ada negara yang segera mengakui kemerdekaan itu.

Belanda masih menguasai beberapa wilayah penting dan tidak tahu bagaimana cara mengusirnya, pertentangan antarpartai dan aliran luar biasa kerasnya, para pejuang bersenjata yang sudah bertahun-tahun hidup dalam suasana perang ngamuk karena tiba-tiba dinyatakan tidak memenuhi syarat masuk TNI dengan syarat-syarat yang profesional, yang aliran kanan mau terus ke kanan sambil memusuhi yang kiri. Aliran kiri terus ke kiri sambil memusuhi yang kanan.

Tidak terdapat golongan tengah yang cukup besar. Suasananya memang tidak memungkinkan segera terwujudnya golongan tengah yang besar. Persis suasana setelah reformasi: Golongan tengah yang dominan yang dibuat Pak Harto secara paksa, Golkar, runtuh. Belum muncul penggantinya.

Pak Harto mencoba menghilangkan golongan yang paling kiri dengan cara membasmi PKI secara kejam. Yakni, setelah G 30 S/PKI. Demikian juga, Pak Harto menghilangkan golongan yang paling kanan, juga secara kejam. Yakni, dengan jalan memancing mereka masuk ke Komando Jihad, lalu dengan operasi khusus (opsus) membasmikannya.

Pak Harto sadar golongan yang sangat kiri dan sangat kanan harus tidak boleh hidup. Pertentangan keduanya terlalu tajam. Bisa menyeret pertentangan-pertentangan yang lebih luas. Langkah menghapus golongan paling kiri dan paling kanan itu berhasil dilakukan Pak Harto: negara stabil dan pembangunan bisa berjalan. Tapi, Pak Harto melakukannya dengan cara paksa, keras dan kejam. Kestabilan yang terlihat pun sebenarnya kestabilan semu.

Kini, setelah 64 tahun proklamasi dan 11 tahun reformasi, kita tetap harus membentuk golongan tengah yang besar. Agar negara stabil dan pembangunan bisa berjalan. Hanya caranya yang harus kita lakukan secara demokratis. Golongan tengah yang besar yang terbentuk secara demokratis akan membuat Indonesia jaya.

Tinggal kita belum tahu caranya: Apakah salah satu saja di antara tiga partai besar sekarang itu yang terus kita besarkan (boleh yang mana saja), atau mereka bertiga sendiri sepakat untuk bergabung saja. Di alam demokrasi sekarang, kita bisa mewujudkan mimpi itu lima tahun ke depan!

Kalau saja kita bisa mewujudkan semua itu untuk kurun pembangunan selama 20 tahun lagi, maka setelah itu terserah saja. Indonesia saat itu nanti sudah telanjur sangat makmur dan maju. Golongan yang paling kiri atau paling kanan pun sudah bisa diperbolehkan untuk hidup lagi secara legal. Toh, mereka sudah tidak akan diterima masyarakat kita yang wujudnya sudah sangat berbeda dengan masyarakat kita sekarang ini. Minimal saya sudah tidak bisa menulis lagi! (*