Masukan Nama Penyanyi - Judul Lagu

Mesin Cari Free Download Mp3 Gratis

Translate To Your Language

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

Sabtu, 26 Desember 2015

Gus Dur, Keragaman, dan Islam Ramah



Arif Gumantia
Ketua Majelis Sastra Madiun



Dalam hidup di dunia ini, kita harus menerima dan menyadari kenyataan bahwa bumi tempat hidup manusia adalah satu planet yang dihuni dari berbagai suku, ras, bahasa, profesi, budaya, dan agama. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman atau kemajemukan adalah sesuatu realitas  (kenyataan)  yang harus kita terima karena  merupakan pemberian Tuhan.  Keragaman, kemajemukan atau pluralitas terdapat di berbagai bidang kehidupan, termasuk agama. Bahkan hal ini tidak hanya terjadi di lingkup masyarakat tetapi juga dalam lingkup rumah tangga.

Di dunia saat ini, sulit sekali ada negara yang betul betul memiliki masyarakat yang satu agama. Kalaupun ada pasti pada akhirnya akan terjadi juga keragaman yang muncul dari penafsiran teks-teks kitab suci agama tersebut, hingga terjadi keragaman pada tingkatan implementasi ibadahnya. Sebagai contoh dalam islam pun ada beberapa mazhab, ada sunni syiah, ahmadiyah, dll. Dan di setiap mazhab atau aliran pun ada beberapa varian di internalnya. Sesuai dengan perkembangan zaman, maka kita semua menuju pada dunia yang semakin majemuk atau plural. Sebagai penghuninya kita bukan malah menjauhkan diri dari adanya pluralitas, tetapi bagaimana kita membangun jembatan atau mekanisme untuk menyikapi keniscayaan pluralitas ini.

Tuhan menciptakan manusia  yang beragam, agar masing-masing saling mengenal dan menghargai eksistensi masing-masing. Termasuk dengan menciptakan berbagai macam agama, bukan untuk saling mendiskriminasi tetapi untuk berlomba lomba berbuat kebaikan bagi sesama manusia dan semesta. Karena agama bukanlah sebuah tujuan tetapi sebagai sebuah metode atau sarana untuk menuju Tuhan. Hal pertama tama yang harus kita lakukan sebagai pemeluk agama adalah menyadari adanya perbedaan antara agama yang dianutnya dengan agama orang lain. Bahwa kita hadir bersama The others (orang lain/liyan) dengan demikian sebuah identitras agama bertemu dengan identitas lainnya. Karena itulah mengapa setiap orang perlu toleran terhadap keragaman.

Sebagai contoh agama Islam yang hadir setelah kehadiran agama-agama lain seperti agama Yahudi, Kristen, majusi, Zoroaster, Hindu, Budha, mesir kuno, dll. Islam tidak menafikan semua konsep ajaran-ajaran agama terdahulu, islam justru menyatakan bahwa kebenaran wahyu dalam agama-agama tersebut tidak bertentangan satu dengan yang lainnya. Kalau dirunut dalam sejarah peradaban yang panjang, maka dasar-dasar untuk hidup bersama dalam masyarakat yang beragam secara religious-keagamaan memiliki akar dan landasan yang kuat secara normatif dan historis.

Kalau terjadi ketidak harmonisan bahkan sampai terjadi perang, penyebab utamanya bukan karena esensi ajaran agama, tetapi karena kondisi situasi historis, ekonomis, politis dari komunitas agama-agama tersebut. Ketidakharmonisan tersebut disebabkan adanya kompetisi untuk menguasai sumber-sumber daya ekonomi dan politik kekuasaan, dan bukan karena esensi ajaran agamanya.

Dalam era yang semakin plural ini terdapat tantangan yang harus di hadapi yaitu ada indikasi menguatnya sikap intoleransi dan radikalisme. Untuk itulah warisan Nilai-nilai  Gus Dur yang berjuang agar Islam menjadi agama yang ramah, islam sebagai rahmatan lil alamin harus terus diperjuangkan  bagi perdamaian dunia. Nilai-nilai tersebut dapat dikristalisasi menjadi 9 Nilai-nilai Gusdur yaitu Ketauhidan, Kemanusiaan, Keadilan, Kesetaraan, Pembebasan, Persaudaraan, serta Kesederhanaan, Sikap Ksatria, dan Kearifan local.

Dalam salah satu nilainyai ada  Keadilan. Karena keadilan tidak sendirinya hadir di dalam realitas kemanusiaan maka harus diperjuangkan.martabat manusia hanya  bisa dipenuhi dg adanya keseimbangan, kelayakan, dan kepantasan dalam masyarakat, maka dalam hidupnya GusDur selalu melindungi dan membela pada  kelompok masyarakat yg diperlakukan tidak adil, karena ini merupakan tanggung jawab moral kemanusiaan. Dan juga nilai kesetaraan, bersumber dari pandangan bahwa setiap manusia memiliki martabat yg sama di hadapan Tuhan.Kesetaraan meniscayakan perlakuan yg adil GUSDUR sepanjang hidupnya membela yg tertindas dan dilemahkan, termasuk kaum minoritas dan marjinal.

Apalagi baru-baru ini dua peristiwa kerusuhan bernuansa antar agama yang membawa korban nyawa terjadi di waktu yang berdekatan, dan di dua ujung provinsi Indonesia, timur dan barat. Di kabuaten Tolikara, provinsi Papua terjadi bersamaan dengan Hari Raya Iedul Fitri dan di Singkil provinsi Aceh bertepatan dengan peringatan hari besar Tahun Baru Hijriyah.

Tanpa bermaksud mengingkari kompleksitas permasalahn di kedua peristiwa memilukan itu, tempat ibadah merupakan isu sensitif. Ikut terbakarnya Musholla di pasar di Tolikara menjadi perhatian besar dari publik. Sementara penutupan dan pembakaran gereja di Singkil merupakan masalah pokok dari kerusuhan itu sendiri.

Kedua peristiwa tersebut selayaknya menjadi lampu merah, bukan lagi lampu kuning, bagi pemerintah dalam mengelola relasi antar agama dankhususnya tempat ibadah. Karena kedua peristiwa tersebut bukan terjadi secara kebetulan dan sporadis melainkan sudah bisa dilihat gejala ketegangan sebelumnya dan terjadi di berbagai tempat dalam sekala yang berbeda-beda.

Untuk itulah perlu langkah-langkah yang nyata dalam melakukan toleransi aktif agar tercapainya kerukunan dan harmoni dalam kebhinekaan. Langkah-langkah yang nyata dan kontinyu tersebut harus di mulai dari level lokal atau lingkungan masyarakat sekitar, karena di tingkat grass root atau akar rumput inilah isu-isu tentang SARA sering dihembuskan dan mudah menjadi bola api panas yang membakar kerukunan beragama.

Sebagaimana yang pernah di sampaikan Gus Dur, bahwa beliau telah menginventarisir arti agama dalam ragam bahasa, baik dalam bahasa sansekerta maupun berbagai bahasa indo-semit, semua pengertian agama tampaknya menuju kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang perintah-perintahnyaNYA mesti dijalankan manusia. Kita semua mempunyai tanggung jawab untuk mempertahankan kebenaran Illahi, tapi pada saat yang sama Harus menjunjung tinggi nilai-nilai perikemanusiaan.

Untuk itulah keragaman harus kita letakkan bukan hanya sebagai realitas social, melainkan juga sebagai gagasan-gagasan, paham-paham, pikiran-pikirannya. Kebhinekaan dan keragaman sudah berlangsung berabad-abad, jauh sebelum negeri ini terbentuk. Dan hal ini secara konstitusi juga dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa, “Negara Menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya”.
Dalam hidup di dunia ini, kita harus menerima dan menyadari kenyataan bahwa bumi tempat hidup manusia adalah satu planet yang dihuni dari berbagai suku, ras, bahasa, profesi, budaya, dan agama. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman atau kemajemukan adalah sesuatu realitas  (kenyataan)  yang harus kita terima karena  merupakan pemberian Tuhan.  Keragaman, kemajemukan atau pluralitas terdapat di berbagai bidang kehidupan, termasuk agama. Bahkan hal ini tidak hanya terjadi di lingkup masyarakat tetapi juga dalam lingkup rumah tangga.
Di dunia saat ini, sulit sekali ada negara yang betul betul memiliki masyarakat yang satu agama. Kalaupun ada pasti pada akhirnya akan terjadi juga keragaman yang muncul dari penafsiran teks-teks kitab suci agama tersebut, hingga terjadi keragaman pada tingkatan implementasi ibadahnya. Sebagai contoh dalam islam pun ada beberapa mazhab, ada sunni syiah, ahmadiyah, dll. Dan di setiap mazhab atau aliran pun ada beberapa varian di internalnya. Sesuai dengan perkembangan zaman, maka kita semua menuju pada dunia yang semakin majemuk atau plural. Sebagai penghuninya kita bukan malah menjauhkan diri dari adanya pluralitas, tetapi bagaimana kita membangun jembatan atau mekanisme untuk menyikapi keniscayaan pluralitas ini.

Tuhan menciptakan manusia  yang beragam, agar masing-masing saling mengenal dan menghargai eksistensi masing-masing. Termasuk dengan menciptakan berbagai macam agama, bukan untuk saling mendiskriminasi tetapi untuk berlomba lomba berbuat kebaikan bagi sesama manusia dan semesta. Karena agama bukanlah sebuah tujuan tetapi sebagai sebuah metode atau sarana untuk menuju Tuhan. Hal pertama tama yang harus kita lakukan sebagai pemeluk agama adalah menyadari adanya perbedaan antara agama yang dianutnya dengan agama orang lain. Bahwa kita hadir bersama The others (orang lain/liyan) dengan demikian sebuah identitras agama bertemu dengan identitas lainnya. Karena itulah mengapa setiap orang perlu toleran terhadap keragaman.
Sebagai contoh agama Islam yang hadir setelah kehadiran agama-agama lain seperti agama Yahudi, Kristen, majusi, Zoroaster, Hindu, Budha, mesir kuno, dll. Islam tidak menafikan semua konsep ajaran-ajaran agama terdahulu, islam justru menyatakan bahwa kebenaran wahyu dalam agama-agama tersebut tidak bertentangan satu dengan yang lainnya. Kalau dirunut dalam sejarah peradaban yang panjang, maka dasar-dasar untuk hidup bersama dalam masyarakat yang beragam secara religious-keagamaan memiliki akar dan landasan yang kuat secara normatif dan historis.
Kalau terjadi ketidak harmonisan bahkan sampai terjadi perang, penyebab utamanya bukan karena esensi ajaran agama, tetapi karena kondisi situasi historis, ekonomis, politis dari komunitas agama-agama tersebut. Ketidakharmonisan tersebut disebabkan adanya kompetisi untuk menguasai sumber-sumber daya ekonomi dan politik kekuasaan, dan bukan karena esensi ajaran agamanya.

Dalam era yang semakin plural ini terdapat tantangan yang harus di hadapi yaitu ada indikasi menguatnya sikap intoleransi dan radikalisme. Untuk itulah warisan Nilai-nilai  Gus Dur yang berjuang agar Islam menjadi agama yang ramah, islam sebagai rahmatan lil alamin harus terus diperjuangkan  bagi perdamaian dunia. Nilai-nilai tersebut dapat dikristalisasi menjadi 9 Nilai-nilai Gusdur yaitu Ketauhidan, Kemanusiaan, Keadilan, Kesetaraan, Pembebasan, Persaudaraan, serta Kesederhanaan, Sikap Ksatria, dan Kearifan local.
Dalam salah satu nilainyai ada  Keadilan. Karena keadilan tidak sendirinya hadir di dalam realitas kemanusiaan maka harus diperjuangkan.martabat manusia hanya  bisa dipenuhi dg adanya keseimbangan, kelayakan, dan kepantasan dalam masyarakat, maka dalam hidupnya GusDur selalu melindungi dan membela pada  kelompok masyarakat yg diperlakukan tidak adil, karena ini merupakan tanggung jawab moral kemanusiaan. Dan juga nilai kesetaraan, bersumber dari pandangan bahwa setiap manusia memiliki martabat yg sama di hadapan Tuhan.Kesetaraan meniscayakan perlakuan yg adil GUSDUR sepanjang hidupnya membela yg tertindas dan dilemahkan, termasuk kaum minoritas dan marjinal.
Apalagi baru-baru ini dua peristiwa kerusuhan bernuansa antar agama yang membawa korban nyawa terjadi di waktu yang berdekatan, dan di dua ujung provinsi Indonesia, timur dan barat. Di kabuaten Tolikara, provinsi Papua terjadi bersamaan dengan Hari Raya Iedul Fitri dan di Singkil provinsi Aceh bertepatan dengan peringatan hari besar Tahun Baru Hijriyah.
Tanpa bermaksud mengingkari kompleksitas permasalahn di kedua peristiwa memilukan itu, tempat ibadah merupakan isu sensitif. Ikut terbakarnya Musholla di pasar di Tolikara menjadi perhatian besar dari publik. Sementara penutupan dan pembakaran gereja di Singkil merupakan masalah pokok dari kerusuhan itu sendiri.
Kedua peristiwa tersebut selayaknya menjadi lampu merah, bukan lagi lampu kuning, bagi pemerintah dalam mengelola relasi antar agama dankhususnya tempat ibadah. Karena kedua peristiwa tersebut bukan terjadi secara kebetulan dan sporadis melainkan sudah bisa dilihat gejala ketegangan sebelumnya dan terjadi di berbagai tempat dalam sekala yang berbeda-beda.
Untuk itulah perlu langkah-langkah yang nyata dalam melakukan toleransi aktif agar tercapainya kerukunan dan harmoni dalam kebhinekaan. Langkah-langkah yang nyata dan kontinyu tersebut harus di mulai dari level lokal atau lingkungan masyarakat sekitar, karena di tingkat grass root atau akar rumput inilah isu-isu tentang SARA sering dihembuskan dan mudah menjadi bola api panas yang membakar kerukunan beragama.

Sebagaimana yang pernah di sampaikan Gus Dur, bahwa beliau telah menginventarisir arti agama dalam ragam bahasa, baik dalam bahasa sansekerta maupun berbagai bahasa indo-semit, semua pengertian agama tampaknya menuju kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang perintah-perintahnyaNYA mesti dijalankan manusia. Kita semua mempunyai tanggung jawab untuk mempertahankan kebenaran Illahi, tapi pada saat yang sama Harus menjunjung tinggi nilai-nilai perikemanusiaan.
Untuk itulah keragaman harus kita letakkan bukan hanya sebagai realitas social, melainkan juga sebagai gagasan-gagasan, paham-paham, pikiran-pikirannya. Kebhinekaan dan keragaman sudah berlangsung berabad-abad, jauh sebelum negeri ini terbentuk. Dan hal ini secara konstitusi juga dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa, “Negara Menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya”.
Oleh: Arif Gumantia adalah Ketua Majelis Sastra Madiun. Jaringan Gusdurian Madiun
- See more at: http://islami.co/telaah/572/4/gus-dur-keragaman-dan-islam-ramah.html#sthash.41vE8L9P.dpuf
Dalam hidup di dunia ini, kita harus menerima dan menyadari kenyataan bahwa bumi tempat hidup manusia adalah satu planet yang dihuni dari berbagai suku, ras, bahasa, profesi, budaya, dan agama. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman atau kemajemukan adalah sesuatu realitas  (kenyataan)  yang harus kita terima karena  merupakan pemberian Tuhan.  Keragaman, kemajemukan atau pluralitas terdapat di berbagai bidang kehidupan, termasuk agama. Bahkan hal ini tidak hanya terjadi di lingkup masyarakat tetapi juga dalam lingkup rumah tangga.
Di dunia saat ini, sulit sekali ada negara yang betul betul memiliki masyarakat yang satu agama. Kalaupun ada pasti pada akhirnya akan terjadi juga keragaman yang muncul dari penafsiran teks-teks kitab suci agama tersebut, hingga terjadi keragaman pada tingkatan implementasi ibadahnya. Sebagai contoh dalam islam pun ada beberapa mazhab, ada sunni syiah, ahmadiyah, dll. Dan di setiap mazhab atau aliran pun ada beberapa varian di internalnya. Sesuai dengan perkembangan zaman, maka kita semua menuju pada dunia yang semakin majemuk atau plural. Sebagai penghuninya kita bukan malah menjauhkan diri dari adanya pluralitas, tetapi bagaimana kita membangun jembatan atau mekanisme untuk menyikapi keniscayaan pluralitas ini.

Tuhan menciptakan manusia  yang beragam, agar masing-masing saling mengenal dan menghargai eksistensi masing-masing. Termasuk dengan menciptakan berbagai macam agama, bukan untuk saling mendiskriminasi tetapi untuk berlomba lomba berbuat kebaikan bagi sesama manusia dan semesta. Karena agama bukanlah sebuah tujuan tetapi sebagai sebuah metode atau sarana untuk menuju Tuhan. Hal pertama tama yang harus kita lakukan sebagai pemeluk agama adalah menyadari adanya perbedaan antara agama yang dianutnya dengan agama orang lain. Bahwa kita hadir bersama The others (orang lain/liyan) dengan demikian sebuah identitras agama bertemu dengan identitas lainnya. Karena itulah mengapa setiap orang perlu toleran terhadap keragaman.
Sebagai contoh agama Islam yang hadir setelah kehadiran agama-agama lain seperti agama Yahudi, Kristen, majusi, Zoroaster, Hindu, Budha, mesir kuno, dll. Islam tidak menafikan semua konsep ajaran-ajaran agama terdahulu, islam justru menyatakan bahwa kebenaran wahyu dalam agama-agama tersebut tidak bertentangan satu dengan yang lainnya. Kalau dirunut dalam sejarah peradaban yang panjang, maka dasar-dasar untuk hidup bersama dalam masyarakat yang beragam secara religious-keagamaan memiliki akar dan landasan yang kuat secara normatif dan historis.
Kalau terjadi ketidak harmonisan bahkan sampai terjadi perang, penyebab utamanya bukan karena esensi ajaran agama, tetapi karena kondisi situasi historis, ekonomis, politis dari komunitas agama-agama tersebut. Ketidakharmonisan tersebut disebabkan adanya kompetisi untuk menguasai sumber-sumber daya ekonomi dan politik kekuasaan, dan bukan karena esensi ajaran agamanya.

Dalam era yang semakin plural ini terdapat tantangan yang harus di hadapi yaitu ada indikasi menguatnya sikap intoleransi dan radikalisme. Untuk itulah warisan Nilai-nilai  Gus Dur yang berjuang agar Islam menjadi agama yang ramah, islam sebagai rahmatan lil alamin harus terus diperjuangkan  bagi perdamaian dunia. Nilai-nilai tersebut dapat dikristalisasi menjadi 9 Nilai-nilai Gusdur yaitu Ketauhidan, Kemanusiaan, Keadilan, Kesetaraan, Pembebasan, Persaudaraan, serta Kesederhanaan, Sikap Ksatria, dan Kearifan local.
Dalam salah satu nilainyai ada  Keadilan. Karena keadilan tidak sendirinya hadir di dalam realitas kemanusiaan maka harus diperjuangkan.martabat manusia hanya  bisa dipenuhi dg adanya keseimbangan, kelayakan, dan kepantasan dalam masyarakat, maka dalam hidupnya GusDur selalu melindungi dan membela pada  kelompok masyarakat yg diperlakukan tidak adil, karena ini merupakan tanggung jawab moral kemanusiaan. Dan juga nilai kesetaraan, bersumber dari pandangan bahwa setiap manusia memiliki martabat yg sama di hadapan Tuhan.Kesetaraan meniscayakan perlakuan yg adil GUSDUR sepanjang hidupnya membela yg tertindas dan dilemahkan, termasuk kaum minoritas dan marjinal.
Apalagi baru-baru ini dua peristiwa kerusuhan bernuansa antar agama yang membawa korban nyawa terjadi di waktu yang berdekatan, dan di dua ujung provinsi Indonesia, timur dan barat. Di kabuaten Tolikara, provinsi Papua terjadi bersamaan dengan Hari Raya Iedul Fitri dan di Singkil provinsi Aceh bertepatan dengan peringatan hari besar Tahun Baru Hijriyah.
Tanpa bermaksud mengingkari kompleksitas permasalahn di kedua peristiwa memilukan itu, tempat ibadah merupakan isu sensitif. Ikut terbakarnya Musholla di pasar di Tolikara menjadi perhatian besar dari publik. Sementara penutupan dan pembakaran gereja di Singkil merupakan masalah pokok dari kerusuhan itu sendiri.
Kedua peristiwa tersebut selayaknya menjadi lampu merah, bukan lagi lampu kuning, bagi pemerintah dalam mengelola relasi antar agama dankhususnya tempat ibadah. Karena kedua peristiwa tersebut bukan terjadi secara kebetulan dan sporadis melainkan sudah bisa dilihat gejala ketegangan sebelumnya dan terjadi di berbagai tempat dalam sekala yang berbeda-beda.
Untuk itulah perlu langkah-langkah yang nyata dalam melakukan toleransi aktif agar tercapainya kerukunan dan harmoni dalam kebhinekaan. Langkah-langkah yang nyata dan kontinyu tersebut harus di mulai dari level lokal atau lingkungan masyarakat sekitar, karena di tingkat grass root atau akar rumput inilah isu-isu tentang SARA sering dihembuskan dan mudah menjadi bola api panas yang membakar kerukunan beragama.

Sebagaimana yang pernah di sampaikan Gus Dur, bahwa beliau telah menginventarisir arti agama dalam ragam bahasa, baik dalam bahasa sansekerta maupun berbagai bahasa indo-semit, semua pengertian agama tampaknya menuju kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang perintah-perintahnyaNYA mesti dijalankan manusia. Kita semua mempunyai tanggung jawab untuk mempertahankan kebenaran Illahi, tapi pada saat yang sama Harus menjunjung tinggi nilai-nilai perikemanusiaan.
Untuk itulah keragaman harus kita letakkan bukan hanya sebagai realitas social, melainkan juga sebagai gagasan-gagasan, paham-paham, pikiran-pikirannya. Kebhinekaan dan keragaman sudah berlangsung berabad-abad, jauh sebelum negeri ini terbentuk. Dan hal ini secara konstitusi juga dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa, “Negara Menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya”.
Oleh: Arif Gumantia adalah Ketua Majelis Sastra Madiun. Jaringan Gusdurian Madiun
- See more at: http://islami.co/telaah/572/4/gus-dur-keragaman-dan-islam-ramah.html#sthash.41vE8L9P.dpuf
Dalam hidup di dunia ini, kita harus menerima dan menyadari kenyataan bahwa bumi tempat hidup manusia adalah satu planet yang dihuni dari berbagai suku, ras, bahasa, profesi, budaya, dan agama. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman atau kemajemukan adalah sesuatu realitas  (kenyataan)  yang harus kita terima karena  merupakan pemberian Tuhan.  Keragaman, kemajemukan atau pluralitas terdapat di berbagai bidang kehidupan, termasuk agama. Bahkan hal ini tidak hanya terjadi di lingkup masyarakat tetapi juga dalam lingkup rumah tangga.
Di dunia saat ini, sulit sekali ada negara yang betul betul memiliki masyarakat yang satu agama. Kalaupun ada pasti pada akhirnya akan terjadi juga keragaman yang muncul dari penafsiran teks-teks kitab suci agama tersebut, hingga terjadi keragaman pada tingkatan implementasi ibadahnya. Sebagai contoh dalam islam pun ada beberapa mazhab, ada sunni syiah, ahmadiyah, dll. Dan di setiap mazhab atau aliran pun ada beberapa varian di internalnya. Sesuai dengan perkembangan zaman, maka kita semua menuju pada dunia yang semakin majemuk atau plural. Sebagai penghuninya kita bukan malah menjauhkan diri dari adanya pluralitas, tetapi bagaimana kita membangun jembatan atau mekanisme untuk menyikapi keniscayaan pluralitas ini.

Tuhan menciptakan manusia  yang beragam, agar masing-masing saling mengenal dan menghargai eksistensi masing-masing. Termasuk dengan menciptakan berbagai macam agama, bukan untuk saling mendiskriminasi tetapi untuk berlomba lomba berbuat kebaikan bagi sesama manusia dan semesta. Karena agama bukanlah sebuah tujuan tetapi sebagai sebuah metode atau sarana untuk menuju Tuhan. Hal pertama tama yang harus kita lakukan sebagai pemeluk agama adalah menyadari adanya perbedaan antara agama yang dianutnya dengan agama orang lain. Bahwa kita hadir bersama The others (orang lain/liyan) dengan demikian sebuah identitras agama bertemu dengan identitas lainnya. Karena itulah mengapa setiap orang perlu toleran terhadap keragaman.
Sebagai contoh agama Islam yang hadir setelah kehadiran agama-agama lain seperti agama Yahudi, Kristen, majusi, Zoroaster, Hindu, Budha, mesir kuno, dll. Islam tidak menafikan semua konsep ajaran-ajaran agama terdahulu, islam justru menyatakan bahwa kebenaran wahyu dalam agama-agama tersebut tidak bertentangan satu dengan yang lainnya. Kalau dirunut dalam sejarah peradaban yang panjang, maka dasar-dasar untuk hidup bersama dalam masyarakat yang beragam secara religious-keagamaan memiliki akar dan landasan yang kuat secara normatif dan historis.
Kalau terjadi ketidak harmonisan bahkan sampai terjadi perang, penyebab utamanya bukan karena esensi ajaran agama, tetapi karena kondisi situasi historis, ekonomis, politis dari komunitas agama-agama tersebut. Ketidakharmonisan tersebut disebabkan adanya kompetisi untuk menguasai sumber-sumber daya ekonomi dan politik kekuasaan, dan bukan karena esensi ajaran agamanya.

Dalam era yang semakin plural ini terdapat tantangan yang harus di hadapi yaitu ada indikasi menguatnya sikap intoleransi dan radikalisme. Untuk itulah warisan Nilai-nilai  Gus Dur yang berjuang agar Islam menjadi agama yang ramah, islam sebagai rahmatan lil alamin harus terus diperjuangkan  bagi perdamaian dunia. Nilai-nilai tersebut dapat dikristalisasi menjadi 9 Nilai-nilai Gusdur yaitu Ketauhidan, Kemanusiaan, Keadilan, Kesetaraan, Pembebasan, Persaudaraan, serta Kesederhanaan, Sikap Ksatria, dan Kearifan local.
Dalam salah satu nilainyai ada  Keadilan. Karena keadilan tidak sendirinya hadir di dalam realitas kemanusiaan maka harus diperjuangkan.martabat manusia hanya  bisa dipenuhi dg adanya keseimbangan, kelayakan, dan kepantasan dalam masyarakat, maka dalam hidupnya GusDur selalu melindungi dan membela pada  kelompok masyarakat yg diperlakukan tidak adil, karena ini merupakan tanggung jawab moral kemanusiaan. Dan juga nilai kesetaraan, bersumber dari pandangan bahwa setiap manusia memiliki martabat yg sama di hadapan Tuhan.Kesetaraan meniscayakan perlakuan yg adil GUSDUR sepanjang hidupnya membela yg tertindas dan dilemahkan, termasuk kaum minoritas dan marjinal.
Apalagi baru-baru ini dua peristiwa kerusuhan bernuansa antar agama yang membawa korban nyawa terjadi di waktu yang berdekatan, dan di dua ujung provinsi Indonesia, timur dan barat. Di kabuaten Tolikara, provinsi Papua terjadi bersamaan dengan Hari Raya Iedul Fitri dan di Singkil provinsi Aceh bertepatan dengan peringatan hari besar Tahun Baru Hijriyah.
Tanpa bermaksud mengingkari kompleksitas permasalahn di kedua peristiwa memilukan itu, tempat ibadah merupakan isu sensitif. Ikut terbakarnya Musholla di pasar di Tolikara menjadi perhatian besar dari publik. Sementara penutupan dan pembakaran gereja di Singkil merupakan masalah pokok dari kerusuhan itu sendiri.
Kedua peristiwa tersebut selayaknya menjadi lampu merah, bukan lagi lampu kuning, bagi pemerintah dalam mengelola relasi antar agama dankhususnya tempat ibadah. Karena kedua peristiwa tersebut bukan terjadi secara kebetulan dan sporadis melainkan sudah bisa dilihat gejala ketegangan sebelumnya dan terjadi di berbagai tempat dalam sekala yang berbeda-beda.
Untuk itulah perlu langkah-langkah yang nyata dalam melakukan toleransi aktif agar tercapainya kerukunan dan harmoni dalam kebhinekaan. Langkah-langkah yang nyata dan kontinyu tersebut harus di mulai dari level lokal atau lingkungan masyarakat sekitar, karena di tingkat grass root atau akar rumput inilah isu-isu tentang SARA sering dihembuskan dan mudah menjadi bola api panas yang membakar kerukunan beragama.

Sebagaimana yang pernah di sampaikan Gus Dur, bahwa beliau telah menginventarisir arti agama dalam ragam bahasa, baik dalam bahasa sansekerta maupun berbagai bahasa indo-semit, semua pengertian agama tampaknya menuju kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang perintah-perintahnyaNYA mesti dijalankan manusia. Kita semua mempunyai tanggung jawab untuk mempertahankan kebenaran Illahi, tapi pada saat yang sama Harus menjunjung tinggi nilai-nilai perikemanusiaan.
Untuk itulah keragaman harus kita letakkan bukan hanya sebagai realitas social, melainkan juga sebagai gagasan-gagasan, paham-paham, pikiran-pikirannya. Kebhinekaan dan keragaman sudah berlangsung berabad-abad, jauh sebelum negeri ini terbentuk. Dan hal ini secara konstitusi juga dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa, “Negara Menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya”.
Oleh: Arif Gumantia adalah Ketua Majelis Sastra Madiun. Jaringan Gusdurian Madiun
- See more at: http://islami.co/telaah/572/4/gus-dur-keragaman-dan-islam-ramah.html#sthash.41vE8L9P.dpuf

Kamis, 24 Desember 2015

Harlah, Natal, dan Maulid menurut Gus Dur.

Hampir setiap tahun, selalu ada pro kontra terkait boleh tidaknya mengucapkan selamat Natal buat penganut Kristiani, termasuk tahun 2015 ini. Alasan pelarangan, perayaan Natal merupakan ritual keagamaan non-Muslim yang tidak dibenarkan bagi umat Islam untuk mengikutinya.

Namun Natal tahun ini terasa spesial lantaran jatuh tepat sehari setelah perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada 24 Desember kemarin.

Sejak dulu sebenarnya masalah seperti ini sudah menjadi polemik di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk. Ada sebagian yang menilai haram, ada juga yang tidak. Nah, untuk memperkaya referensi, ada baiknya anda tahu bagaimana pendapat KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur soal masalah ini.

Gus Dur pernah menulis artikel di Koran Suara Pembaruan pada 20 Desember 2003 berjudul: Harlah, Natal dan Maulid. Menurut Gus Dur, kata Natal yang menurut arti bahasa sama dengan kata harlah (hari kelahiran), hanya dipakai untuk Nabi Isa al-Masih belaka.

Jadi ia mempunyai arti khusus, lain dari yang digunakan secara umum seperti dalam bidang kedokteran ada istilah perawatan pre-natal yang berarti "perawatan sebelum kelahiran".

Dengan demikian, maksud istilah 'Natal' adalah saat Isa Al-Masih dilahirkan ke dunia oleh 'perawan suci' Maryam. Karena itulah ia memiliki arti tersendiri, yaitu saat kelahiran anak manusia bernama Yesus Kristus untuk menebus dosa manusia.

Sedangkan Maulid, Gus Dur menjelaskan, adalah saat kelahiran Nabi Muhammad SAW. Pertama kali dirayakan kaum Muslimin atas perintah Sultan Shalahuddin al-Ayyubi atau dalam dunia barat dikenal sebagai Saladin, dari Dinasti Mamalik yang berkebangsaan Kurdi. Tujuannya untuk mengobarkan semangat kaum Muslimin, agar menang dalam perang Salib (crusade).

Dia memerintahkan membuat peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad, enam abad setelah Rasulullah wafat. Peristiwa Maulid itu hingga kini masih dirayakan dalam berbagai bentuk, walaupun Dinasti Sa'ud melarangnya di Saudi Arabia. Karya-karya tertulis berbahasa Arab banyak ditulis dalam puisi dan prosa untuk menyambut kelahiran Nabi Muhammad itu.

Dengan demikian, Gus Dur melanjutkan, dua kata (Natal dan Maulid) mempunyai makna khusus, dan tidak bisa disamakan. Dalam bahasa teori Hukum Islam (fiqh) kata Maulid dan Natal adalah "kata yang lebih sempit maksudnya, dari apa yang diucapkan" (yuqlaqu al'am wa yuradu bihi al-khash). Penyebabnya adalah asal-usul istilah tersebut dalam sejarah perkembangan manusia yang beragam. Artinya jelas, Natal dipakai orang-orang Kristiani, sedangkan maulid dipakai orang-orang Islam.

Menurut Gus Dur, Natal dalam kitab suci Alquran disebut sebagai "yauma wulida" (hari kelahiran, yang secara historis oleh para ahli tafsir dijelaskan sebagai hari kelahiran Nabi Isa, seperti terkutip: "kedamaian atas orang yang dilahirkan (hari ini)" (salamun yauma wulid) yang dapat dipakaikan pada beliau atau kepada Nabi Daud. Sebaliknya, firman Allah dalam surat al-Maryam: "Kedamaian atas diriku pada hari kelahiranku" (al-salamu 'alaiyya yauma wulidtu), jelas-jelas menunjuk kepada ucapan Nabi Isa.

Bahwa kemudian Nabi Isa 'dijadikan' Anak Tuhan oleh umat Kristiani, adalah masalah lain lagi. Artinya, secara tidak langsung Natal memang diakui oleh kitab suci al-Qur'an, juga sebagai kata penunjuk hari kelahiran beliau, yang harus dihormati oleh umat Islam juga. Bahwa, hari kelahiran itu memang harus dirayakan dalam bentuk berbeda, atau dalam bentuk yang sama tetapi dengan maksud berbeda, adalah hal yang tidak perlu dipersoalkan.

"Jika penulis (Gus Dur) merayakan Natal adalah penghormatan untuk beliau (Isa) dalam pengertian yang penulis yakini, sebagai Nabi Allah SWT."

Dengan demikian, Gus Dur melanjutkan, "menjadi kemerdekaan bagi kaum Muslimin untuk turut menghormati hari kelahiran Nabi Isa, yang sekarang disebut hari Natal. Mereka bebas merayakannya atau tidak, karena itu sesuatu yang dibolehkan oleh agama. Penulis ( Gus Dur) menghormatinya, kalau perlu dengan turut bersama kaum Kristiani merayakannya bersama-sama."

Dalam litelatur fiqih, Gus Dur mengimbuhkan, jika seorang muslim duduk bersama-sama dengan orang lain yang sedang melaksanakan peribadatan mereka, seorang Muslim diperkenankan turut serta duduk dengan mereka asalkan ia tidak turut dalam ritual kebaktian. Namun hal ini masih merupakan ganjalan bagi kaum muslimin pada umumnya, karena kekhawatiran mereka akan dianggap turut berkebaktian yang sama.

"Karena itulah, kaum Muslimin biasanya menunggu di sebuah ruangan, sedangkan ritual kebaktian dilaksanakan di ruang lain. Jika telah selesai, baru kaum Muslimin duduk bercampur."

Ada pengakuan dari Romo Antonius Benny Susetyo. Di tengah sakit yang mendera pada 25 Desember 2009, seperti biasanya Gus Dur masih menyempatkan diri menelepon untuk mengucapkan "selamat Natal dan Tahun Baru", sekaligus menyampaikan salam kepada Romo Kardinal dan teman-teman sejawat lainnya. Demikian tulisan pembuka Romo Antonius Benny Susetyo, Pastor dan Aktivis dalam buku berjudul: Damai Bersama Gus Dur.

"Saya menanyakan kondisi beliau yang oleh beberapa media sudah dikabarkan sakit. Beliau menjawab bahwa dirinya sehat-sehat saja dan saat itu berposisi di kantor PBNU (juga sudah menanyakan sudah makan bubur)," kata Romo Benny yang juga pendiri Setara Institute, itu.

Cerita Romo Benny itu cukup menggambarkan betapa Gus Dur masih teguh memegang prinsip toleransi antar umat beragama di negeri yang majemuk ini. Sikap Gus Dur itu ada baiknya diingat kembali ketika sekarang sedang ribut-ribut komentar ulama di Aceh yang mengharamkan umat Islam mengucapkan selamat Natal dan memperingati Tahun Baru Masehi.

Sampai kini perayaan Tahun Baru Masehi memang masih menuai pro dan kontra di kalangan ulama Islam. Ada yang berkukuh melarang, ada pula yang membolehkan. Bagi sebagian ulama yang membolehkan bisa dilihat dari berbagai kegiatan malam Tahun Baru Masehi yang digelar di Indonesia, misalnya kegiatan zikir nasional.

Contohnya zikir nasional untuk menyambut Tahun Baru Masehi yang diadakan pada malam hari setelah salat Isya. Acara itu dipandu oleh Ustaz Muhammad Arifin Ilham bertempat di Masjid At-Tin Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Acara zikir berjamaah itu menjadi salah satu warna tersendiri dalam menggambarkan kiprah kaum Muslim di Indonesia dari masa ke masa.

Jadi, apakah anda sepakat dengan sebagian ulama yang mengharamkan perayaan Tahun Baru atau justru sepakat dengan yang membolehkan? Hal itu merupakan kemerdekaan anda sebagai muslim dalam memilih sikap. "Gitu aja kok repot..!!!"


sumber : merdeka.com

Senin, 21 Desember 2015

GUS DUR DILENGSERKAN KARENA FREEPORT, BEGINI CERITANYA




 Isu perusahaan asing yang selalu mengancam pemerintah Indonesia jika kepentingannya tidak terpenuhi ternyata benar adanya. Bahkan ancaman berbentuk intimidasi atau menakut-nakuti pernah dialami Almarhum Abdurrahman Wahid (Gus Dur) semasa menjadi Presiden.

Peristiwa pada bulan Maret tahun 2000 silam tersebut diceritakan Adhie M. Massardi, yang saat itu menjadi Juru Bicara Presiden.

Saat itu, kata Adhie, bekas Menteri Luar Negeri Amerika Serikat yang kemudian menjadi Komisaris PT Freeport, Henry Kissinger datang menemui Gus Dur di Istana.

"Dia datang dan menyampaikan intimidasi kepada Gus Dur. Intinya agar mau perpanjang Kontrak Karya Freeport. Kissinger bilang ke Gus Dur jika Indonesia tidak hormati Kontrak Karya yang dibuat di zaman Soeharto, maka tak akan ada investor yang datang ke Indonesia," ungkap Adhie dalam perbincangan dengan Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (25/11).

Tapi, Gus Dur melawan dan menegaskan tidak akan menggadaikan masa depan Papua. Pasalnya, kata Adhie, Gus Dur saat itu punya policy untuk melakukan moratorium tehadap Kontrak Karya baru yang berkaitan dengan sumber daya alam. Selain itu Gus Dur juga mengeluarkan kebijakan meninjau kembali Kontrak Karya yang pernah dibuat di zaman rezim Soeharto.

"Gus Dur soalnya tahu semua Kontrak Karya yang dilakukan di zaman Soeharto banyak menyimpang dari UU dan merugikan rakyat Indonesia," tambah Adhie, yang juga Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) ini.

Pasca intimidasi itu, Gus Dur pun meminta Menteri Koordinator Perekonomian saat itu, Rizal Ramli, untuk tegas melakukan renegosiasi kontrak terhadap Freeport. Gus Dur dan Rizal Ramli bisa berani melakukan renegosiasi karena pemerintah punya standing moral yang kuat dibanding zaman Soeharto.

"Dulu zaman Soeharto Indonesia dinilai tidak setaraf Amerika Serikat. Mereka (Freeport) sudah tahu isi kandungan di Timika. Dulu namanya bukan Timika, tapi Tembaga Pura. Itu dinamain oleh Freeport. Indonesia tidak tahu ada tembaga disana jadi kita mudah dikelabui," jelas Adhie.

Gus Dur pun dulu mendapatkan sinyal, jika Freeport marah akibat sikapnya itu. Selain soal renegosiasi, Freeport juga marah karena Gus Dur mengusulkan Ketua Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme Papua, Tombenal, untuk menjadi Komisaris Freeport. Freeport jelas menolak karena Tombenal terkenal keras dan selalu melawan perusahaan asal Amerika Serikat itu akibat limbah yang dibuang ke wilayahnya.

Adhie membaca akibat Freeport marah, diam-diam perushaan milik James Moffet itu melakukan gerilya secara diam-diam menemui politisi yang bercokol di parlemen Senayan saat itu. Upaya penghasutan dan adu domba pun mulai dilakukan demi melawan Gus Dur.

"Sejak itulah, mulai muncul perlawanan keras dari parlemen yang berakhir dengan pemakzulan pada Gus Dur. Saya yakin otak dibalik pemakzulan itu ya pasca proses renegoisasi yang gagal dengan Freeport dan perusahaan-perusahaan migas asing soal moratorium itu," beber Adhie.

Adhi mengaku bukan tanpa dasar mengeluarkan tudingan ini. Menurutnya, pasca Gus Dur lengser banyak politisi-politisi di Indonesia yang memberikan upeti, termasuk dari pemerintahan baru saat itu. Upeti itu berupa UU Migas yang berisi liberasiliasi perusahaan tambang dan migas. Upeti kedua yakni amandemen UUD 1945 yang sangat liberal dan menguntungkan asing.

"Itulah dua kado besar untuk Freeport dan perusahaan asing atas jasanya untuk bantu politisi di Indonesia yang bantu lengserkan Gus Dur," kata Adhie.

Bak gayung bersambut, Freeport dan perusahaan asing saat itu membalas memberikan upeti pada politisi saat itu. Antara lain berupa jabatan komisaris di perushaan mereka.

"Mau ngeles gimana coba kalau begitu? Gus Dur lengser bulan Juli, empat bulan kemudian bulan November 2001 UU itu keluar semua, setahun kemudian 2002 amandemen UUD 1945," beber Adhie, yang juga dikenal sebagai penyair ini.

Atas fakta tersebut, Adhie pun berpesan pada Presiden Joko Widodo untuk tidak takut akan cerita tersebut. Jokowi harus berani melawan karena situasi politik saat ini mendukung dan kuat, baik dari rakyat maupun jajaran dibawahnya.

"Rakyat sudah tahu gimana parahnya kelakuan perusahaan asing di Indonesia. Pak Jokowi jangan takut," demikian Adhie. 


Sumber: www.rmol.co

Jumat, 18 Desember 2015

Upah dan Kesejahteraan



Pemerintah hampir tiap tahun diuji oleh tuntutan kenaikan upah buruh, yang selalu pelik penyelesaiannya. Pemerintah tentu harus mengakomodasi kenaikan upah buruh sebab secara faktual kondisinya memang masih mengenaskan, di luar alasan adaptasi dengan inflasi yang terjadi tiap tahun. Namun, pemerintah tidak mungkin mengabulkan begitu saja karena harus berhitung dengan kemampuan pengusaha menanggung tuntutan kenaikan upah tersebut. Situasi ini bukan cuma dialami oleh Indonesia, tapi pada hampir seluruh negara. Di Inggris, misalnya, buruh meminta kenaikan upah mencapai 20% menjadi 7,65 poundsterling/jam. Bahkan, di London buruh meminta kenaikan 25% sehingga menjadi 8,80 poundsterling/jam (The Independent, 5/11/2013). Jadi, peristiwa demonstrasi buruh tiap tahun yang terjadi di Indonesia bukan merupakan perkecualian, bahkan di beberapa negara (seperti Perancis) tuntutan kenaikan upah kerap diiringi dengan pemogokan hingga beberapa minggu.



Kewajiban yang Tak Ditunaikan

Secara khusus kenaikan upah merupakan hal yang lumrah karena dua hal pokok. Pertama, biaya hidup yang berubah (meningkat) karena tekanan inflasi. Oleh karena itu agar kualitas hidup tetap terjaga seperti semula, maka peningkatan upah harus dilakukan. Jadi, pada dimensi ini kenaikan upah sekadar untuk mengimbangi kenaikan ongkos kebutuhan hidup. Biasanya, pada sisi ini kenaikan upah selalu mengacu kepada kenaikan inflasi yang terjadi. Pemerintah biasa juga memakai patokan inflasi untuk menaikkan gaji pegawai negeri (PNS). Kedua, memberikan ruang bagi peningkatan kesejahteraan untuk memerbaiki kualitas hidup dan produktivitas. Seperti halnya petani, pedagang sektor informal, nelayan, dan lain-lain; buruh adalah salah satu kelompok yang tingkat kesejahteraannya rendah. Dengan meningkatkan upah lebih besar (di atas tingkat inflasi), maka terbuka ruang bagi mereka memerbaiki produktivitas melalui peningkatan gizi maupun akses terhadap pengetahuan (pendidikan/keterampilan).

Di luar dua aspek itu, kenaikan upah di Indonesia merupakan hal yang niscaya karena selama ini standar penentuan upah menggunakan patokan yang rendah sehingga tidak memenuhi kebutuhan hidup layak. Secara teoritis masalah ini sebetulnya harus diselesaikan terlebih dulu sebelum dua hal di atas dikerjakan. Pemerintah, buruh, dan pengusaha harus memutuskan “upah dasar” yang mencerminkan standar kebutuhan hidup layak dengan variabel yang representatif dan terukur. Tuntutan kenaikan upah yang akhir-akhir ini dianggap terlalu besar sebenarnya berakar dari upah dasar sebelumnya yang dianggap sangat rendah (karena memakai patokan kebutuhan hidup layak yang kurang laik). Jika titik kritis ini dapat diatasi, maka sebetulnya penentuan upah buruh di masa depan akan lebih mudah, yakni sekadar adaptasi atas kenaikan inflasi plus kenaikan kesejahteraan. Ruang kenaikan kesejahteraan itu diambil dari variabel pertumbuhan ekonomi tiap-tiap daerah, misalnya pada kisaran 5-7%.

Pola itu kelihatannya hanya membebani pengusaha, lantas apa kewajiban yang harus dilakukan oleh buruh dan pemerintah? Kewajiban pokok buruh adalah meningkatkan produktivitas setara dengan kenaikan upah. Tanpa kenaikan produktivitas, kenaikan upah akan menenggelamkan perusahaan dalam daya saing yang rendah sehingga tak dapat bertahan dalam jangka panjang, lebih-lebih dalam era globalisasi. Bila skema ini yang terjadi, maka buruh justru akan dirugikan pada masa depan. Sementara itu, pemerintah mesti mengerjakan tugas yang selama ini nyaris ditelantarkan: menciptakan iklim usaha yang bagus, mengurangi rente ekonomi (pungli), ongkos birokrasi yang rendah, dana investasi yang murah (misalnya menekan bunga kredit), dan memerbaiki sistem logistik. Semua ini isu lama tapi tak kunjung diperbaiki oleh pemerintah. Pengusaha mengeluh oleh kenaikan upah bukan karena tak sanggup memikulnya, namun akibat beban yang besar sebab pemerintah abai terhadap tugasnya.



Kesejahteraan Semesta

Lebih menukik lagi, sepatutnya pemerintah melihat persoalan upah buruh dalam konteks yang lebih luas, yaitu dalam kerangka menciptakan kesejahteraan semesta. Maksud dari kesejahteraan semesta lebih kurang paralel dengan konsep negara kesejahteraan, yakni meningkatkan status kemanusiaan secara menyeluruh sesuai mandat konstitusi. Problem utama di Indonesia saat ini bukanlah meningkatkan pertumbuhan ekonomi, melainkan menurunkan disparitas pendapatan. Kenaikan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita kurang memiliki daya guna dalam konteks kesejahteraan semesta apabila ketimpangan pendapatan meningkat. Artinya, ada bagian kelompok masyarakat tertentu yang makin tertinggal dalam perolehan kesejahteraan (ekonomi). Seperti yang telah disampaikan di muka, buruh merupakan salah satu kelompok yang selama ini tertatih dalam mengejar ketertinggalan dengan kelompok ekonomi mapan lainnya, sehingga soal kenaikan upah merupakan elemen vital dalam pencapaian tujuan kesejahteraan semesta.

Tentu saja upah bukan merupakan satu-satunya instrumen yang dipakai untuk menciptakan tatanan kesejahteraan semesta tersebut. Saat saya berdiskusi dengan Prof. John Hassler (salah satu anggota komite penghargaan Nobel Ekonomi) minggu lalu di Stockholm University, dia menyatakan bahwa konsep negara kesejahteraan yang terpenting adalah peran negara yang besar dalam belanja sosial, salah satunya pendidikan. Swedia merupakan negara yang anggaran negaranya sangat besar (sekitar 30% terhadap PDB, sedangkan di Indonesia hanya pada kisaran 12% dan habis untuk belanja birokrasi dan bayar utang), yang sebagian besar untuk alokasi pendidikan, kesehatan, dan tunjangan sosial. Dengan pendidikan dan kesehatan yang bagus, semua orang memiliki akses yang sama untuk meraih pekerjaan yang laik dengan insentif upah yang tinggi. Inilah yang menjadi kunci Swedia memeroleh pertumbuhan ekonomi tinggi, pendapatan per kapita yang menjulang, daya saing hebat, dan ketimpangan pendapatan yang sangat rendah (Gini Rasio 0,25). Semoga kita belum telat untuk memulai ikhtiar mulia ini.



*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef