Masukan Nama Penyanyi - Judul Lagu

Mesin Cari Free Download Mp3 Gratis

Translate To Your Language

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

Jumat, 31 Agustus 2012

Tatapan Lebaran




(I)

Pada musim yang membara
Dalam panas, bising, dan gegas yang menderas
jejak kenangan tentang dirimu
dalam melodi hujan
tlah jadikan danau di tengah taman hatiku


(II)

Kita bersitatap dalam bahasa yang mengalir
begitu saja
tanpa isyarat
Diantara keheningan dalam pendam harapan
tentang masa lalu yang lepas dari tangkai waktu
Tentang jalanan kota, kayu lapuk, dan bangunan tua
Dimana kita pernah tumbuh dan merawat kenangan


(III)

Dan kita sama-sama terjerat
Dalam rentang lintasan waktu
Tapi bukankah hidup akan menjadi indah
Jika kita bisa mengendarai cahaya waktu
Indah, jika kita saling memberi bias warna
Menyusun bianglala


(IV)

bahkan sejenak waktu kita bertemu
telah terbangun jembatan hati
dari cinta, mimpi, angan, dan pesona harapan
meski hanya sebuah atau beberapa tatapan
tapi
serupa dua bintang di langit biru malam
tatapanmu akan selalu kukenang hingga ujung usia



Madiun, 1 september 2012
Arif gumantia

Rabu, 29 Agustus 2012

Tubuh, Gender, dan Hak Perempuan atas Tubuhnya

Kalau kita cermati, ada sebuah fenomena menarik pada tubuh manusia di abad 21 ini, yaitu terjadinya fenomena paradoks pada tubuh manusia. Pada sisi ekstrim di satu sisi tubuh begitu dipuja dengan berbagai citraan yang di konstruksikan oleh mesin bernama iklan. Pada sisi ekstrim yang lainnya secara filosofis, sebenarnya manusia sudah kehilangan hak atas tubuhnya, karena harus menuruti citraan-citraan secara sosial, komersial, dan religius dan telah kehilangan tubuh secara real.


Kita seakan di kepung oleh citraan-citraan, dan disergap berbagai iklan tentang tubuh yang ideal. Dimanapun kita berada, selalu ada visualisasi tentang tubuh. Pada baliho, billboard, spanduk, koran, majalah, media Televisi, internet, dan disegala tempat, dan tubuh pun menjelma menjadi bahasa komunikasi yang masif dan intensif, hingga iklan pemberantasan korupsi menggunakan tubuh untuk menyampaikannya, dengan parameter estetika iklan aktornya harus “ganteng” dan “cantik”, dan terbukti para aktor iklannya justru menjadi pelaku korupsi. Sungguh sebuah ironi.


Karena konstruksi yang dijejalkan oleh iklan telah menyergap begitu gegap gempita, tak heran jika tujuan olahraga pun sekarang bergeser, tidak untuk menjaga kebugaran dan kesehatan tubuh, tapi untuk menaklukan dan mengatur tubuh agar sesuai dengan citraan iklan.baik latihan fisik sampai tentang neurotik seperti fitness, aerobik, diet, bahkan menjadi anoreksia. Sehingga kadang justru tidak menjadikannya bugar dan sehat, tetapi menjadi terobsesi akan tubuh hingga menderita sakit secara fisik dan psikis. Dan dari titik tolak fenomena tubuh inilah menjadi menarik membicarakan Gender dan kesetaraan.


Istilah Gender bagi banyak orang digeneralisasikan sebagai jenis kelamin. Kesalahan secara substansi ini dapat kita maklumi karena jarang sekali ada penjelasan dan pemahaman yang diberikan oleh instansi-instansi resmi pemerintah, lembaga swasta, maupun media. Kalau kita baca di wikipedia, definisi gender adalah : gender merupakan kajian tentang tingkah laku perempuan dan hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan. Gender berbeda dari seks atau jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis. Ini disebabkan yang dianggap maskulin dalam satu kebudayaan bisa dianggap feminin dalam budaya lain. Dengan kata lain ciri maskulin atau feminin itu tergantung dari konteks sosial budaya bukan semata-mata pada perbedaan jenis kelamin.


Jadi secara simplikasi bisa dikatakan gender adalah jenis kelamin sosial, budaya, politik, serta keagamaan yang didasarkan pada fisik perempuan dan laki-laki. Seperti dogma yang mengatakan pemimpin itu harus laki-laki, karena fisiknya kuat. Ini adalah salah satu contoh konstruksi sosial budaya yg berdasarkan perbedaan jenis kelamin untuk menjadi pemimpin dan bukan karena kapasitas leadershipnya. Atau bisa juga di katakan dalam kamus bahasa inggris “sex” adalah kelamin biologis, sedangkan “gender” adalah kelamin sosial.


Karena ada sex dan gender, tentunya ada juga orientasi sex. Dan kalau kita elaborasi secara mendalam ketiga hal tersebut mempunyai keterkaitan. Karena jika definisi dari orientasi sex adalah kecenderungan seseorang untuk melakukan pilihan seksualnya, maka untuk melakukannya tentunya dipengaruhi sex dan gender.artinya apabila seseorang yang memiliki kecenderungan seksual sebagai seorang gay, lesbi, atau heteroseks, itu didorong oleh sex dan gender. Karena itu hal yang mendasar dan penting adalah apa yang menjadi pendorong utama orientasi sex seseorang, hingga kita bisa beropini dengan argumentasi yang obyektif.


Apabila orientasi seks ini disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat biologis atau dikalangan feminis dengan istilah determinisme biologis seperti susunan hormonal dan sifat-sifat biologisnya, maka apakah seseorang itu menjadi homoseks, lesbian, atau lainnya itu bersifat kodrati sebagai perspektif kekuasaan Tuhan, dan itu diluar kekuasaan manusia. Namun apabila orientasi seks ini dimunculkan oleh faktor non biologis, misal karena faktor sosial, budaya, politik, ataupun yang lainnya maka hal itu sama dengan gender.


Dari paparan di atas, yang bisa memberikan benang merah dalam upaya perjuangan keadilan dan demokrasi adalah adanya kesetaraan. Seperti yang di katakan K.H. Abdurrahman wahid (Gus Dur), Kesetaraan, bersumber dari pandangan bahwa setiap manusia memiliki martabat yg sama di hadapan Tuhan. Kesetaraan meniscayakan perlakuan yang adil, ketiadaan perilaku diskriminatif dan juga ketiadaan subordinasi. Dengan demikian kesetaraan ini juga mencakup perlakuan yang adil terhadap semua manusia apapun jenis kelamin dan orientasi seksnya.


Tanpa membedakan laki-laki atau perempuan, harus ada kesetaraan perlakuan di hadapan Konstitusi, laki-laki dan perempuan punya hak yang sama atas tubuhnya sendiri. Jadi dalam sebuah ikatan pernikahan sekalipun, perempuan tetap punya hak atas tubuhnya, dan tubuhnya bukanlah milik suaminya, seperti dogma ataupun doktrin agama atas penafsiran teks kitab suci yang sempit, hingga mengakibatkan adanya eksploitasi yang bersifat patriarkhis. Juga maraknya perda-perda syariah yang secara politis punya tujuan terselubung untuk mendapatkan simpati konstituen islam garis kanan. Aturan-aturan yang dimunculkan adalah perspektif yang sangat patriarkhis, seperti misalnya pemerkosaan terjadi karena perempuan memakai rok mini dan keluar malam. Bukan karena laki-laki yang tidak kuat menahan syahwatnya. Sehingga ada semacam joke yang mengatakan : begitu susah menjadi perempuan di indonesia, sementara laki-lakinya bertindak begajulan.


Karena sering kita jumpai banyak orang berkeyakinan bahwa perbedaan biologis dipahami sebagai sumber dari perbedaan perilaku dan peran pada tingkat kehidupan budaya, sosial dan politik antara laki-laki dan perempuan. Ide ketidaksetaraan ini tidak hanya muncul di kalangan agamawan (ulama), tetapi juga berhembus dari kalangan pemimpin adat, atau politisi dengan berbagai motif dan interest pribadi yang terselubung. Bahkan yang lebih mengherankan banyak juga dari kalangan perempuan namun memiliki pemikiran yang patriarkhis.


Dukungan terhadap kesetaraan laki-laki dan perempuan sebenarnya sudah ada di konstitusi kita, yaitu Undang-Undang Dasar. Karena UUD kita memberikan hak dasar berupa kesetaraan ke seluruh warga negara tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, dan latar belakang lainnya. Di bawah UUD kita juga memiliki serangkaian peraturan yang mendukung kesetaraan. Seperti UU ratifikasi CEDAW ( convention on ellimination of all forms of discrimination against women) menjadi UU sejak tahun 1986, instruksi presiden no. 9 tahun 2000 mengenai pengarusutamaan gender. Kita juga memiliki UU PKDRT sejak tahun 2003.


Namun seperti yang selalu terjadi peraturan yang bagus tidak cukup untuk mengubah keadaan. Selalu terjadi kesenjangan antara kondisi yang seharusnya dan realitas yang terjadi. Mengutip apa yang di katakan GUS DUR: “ karena keadilan tidak sendirinya hadir di dalam realitas kemanusiaan maka harus diperjuangkan, begitu juga kesetaraan harus juga diperjuangkan. martabat manusia hanya bisa dipenuhi dengan adanya keseimbangan, kelayakan, dan kepantasan dalam masyarakat karena membela kelompok masyarakat yg diperlakukan tidak adil, karena ini merupakan tanggung jawab moral kemanusiaan.


Maka dalam kondisi adanya kesenjangan antara kesetaraan yang sudah seharusnya ada di negara ini, dan kenyataan yang terjadi, maka yang paling bisa mengambil peranan untuk memperjuangkan kesetaraan adalah kita semua, dengan melakukan pengawasan atau advokasi pada masyarakat, dimulai dari lingkup terkecil, lingkungan kita sendiri. Agar negara kita ini tetap bisa menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia dan “Bhinneka Tunggal Ika” tidak hanya menjadi slogan atau sekedar dipajang di ruang tamu kita.





Madiun, 30 Agustus 2012
Arif Gumantia
Ketua Majelis Sastra Madiun

Minggu, 26 Agustus 2012

Saat Rayni bercerita secara tematis dan ekspresif ( Review buku kumpulan cerita terima kasih anakku, karya Rayni N. Massardi)


Banyak peristiwa yang “lalu lalang” di sekitar kita, yang bisa menjadi inspirasi untuk menulis cerita. Dan dengan kecermatan pemilihan tema yang diusung, gaya penceritaan, susunan peristiwa, penciptaan tokoh dan karakternya, juga deskripsi suasana latar akan membuat cerita menjadi sesuatu yang mengaduk emosi dan menyulut perasaan. Mentransformasikan peristiwanya menjadi sebuah paparan yang merangsang daya imajinasi.



Begitu juga cerita-cerita di kumpulan cerita “Terima Kasih Anakku” karya penulis yang sudah lama menulis cerita pendek, melang melintang di dunia kepenulisan, Rayni N. Massardi. Yang lahir di brussel Belgia. Cerpen-cerpennya pernah di terbitkan di pelbagai majalah dan suratkabar. Seperti : Laki-laki yang kawin dengan peri : Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 1995 (Penerbit Kompas, 1995) dan riwayat Negeri yang Haru : Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2006 (Penerbit Kompas, 2006), kumpulan cerita tunggalnya : Istri Model Baru ( Yayasan sarinah, 1990), Pembunuh (penerbit Kompas, 2005), I don’t care (gramedia pustaka utama, 2008) dan masih ada yang lainnya termasuk buku-buku non fiksi.



Kumpulan cerita di buku ini menjadi menarik karena di dalamnya ada prosa yang pendek semacam puisi, ada cerita pendek, ada cerita yang hanya berisi semacam dialog dalam film, yang ditulis dengan berbagai macam gaya penulisan yang ekspresif. Kadang-kadang menjadi kalimat yang mengalir, kadang puitis, tapi ada juga yang menjadi kalimat semacam “serapah” dengan bahasa sehari-hari. Dan ini barangkali yang menjadi kekuatan kumpulan cerita ini, tentu saja kekuatan utamanya menurut saya adalah pada ide-idenya yang “liar” yang akhirnya menjadi gagasan atau tema yang menarik bagi pembaca.



Seperti pada cerita “uning Binti...”. (hal 8). mengisahkan gadis 27 tahun, bekerja sebagai sekretaris perusahaan. Gadis pendiam, hanya berteman ala kadarnya, tanpa teman dalam sebuah komunitas, tanpa teman akrab. Juga uning tidak punya kenangan apa pun yang bisa dikenangkan, karena masa lalu baginya sama sekali tidak menarik....hingga di endingnya saat meninggal, pada papan nisan kuburan uning yang sementara, hanya tercantum tulisan: “Uning binti .........”. karena teman-2nya tidak tahu siapa nama bapaknya.



Atau pada cerita yang berjudul : Pocong Ketakutan. (pernah dimuat di www.kompas.com) hingga 14 september 2011 telah di baca 23.698 orang). (hal 33).
Nama saya :pocong
Entah kenapa kedua orangtua saya tega memberi nama begitu. Jawaban mereka singkat, dan gambang saja :”kenapa tidak?”
Lho!
Sebuah cerita yang menggedor pikiran dan perasaan sejak awal kisah, meneror persepsi para pembaca. Dan endingnya yang menyayat hati : “apakah ada Tuhan di dekatku? “ tangis pocong.



Dan pada kisah Kremasi Tiga : Terima kasih, anakku. Tema yang substansial filosofis coba di angkat menjadi peristiwa yang membuat pembaca merenung tentang kematian, dan setelahnya.saat seseorang yang tidak punya sanak saudara, hanya mempunyai anak angkat menulis sebuah wasiat : ketika aku mati, semua menjadi kacau-balau. Sukacita dan duka bercampur-baur. Karena wasiatku resmi menyatakan : “jika aku mati, kremasi jawabannya”. Dan karena wasiat tersebut tidak sesuai dengan ajaran agamanya, maka sibuklah para tetangga, pak RT, politisi, pejabat. Hingga diadakan seminar segala untuk membahas hal tersebut.



Secara keseluruhan buku ini merupakan ekspresi seorang rayni, yang melihat dan merasakan apa yang terjadi di sekelilingnya, dituangkan dalam berbagai bentuk penulisan, panjang dan pendek, dengan tema-tema yang “tidak biasa” dengan kalimat-kalimat yang mengalir, menjalin, dan memilin, juga menyergap pikiran-pikiran kita yang pada akhirnya menampar wajah kita, hingga kita yang membaca berucap : oh, inikah wajahku?



Meski secara estetis ataupun gaya penceritaan bukanlah sebuah pembaharuan, tapi kumpulan cerita ini membuatku harus berucap : buku ini, Keren mbak rayni! Bravo!




Madiun, 27 Agustus 2012
Arif Gumantia
Ketua Majelis Sastra Madiun