Masukan Nama Penyanyi - Judul Lagu

Mesin Cari Free Download Mp3 Gratis

Translate To Your Language

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

Kamis, 22 Juni 2017

Arus Deras, Arus Narasi dari Empat Penulis.


Ada dua hal menurut Ernest Hemingway yang membuat cerpen (cerita pendek) menjadi menarik untuk dibaca, pertama yaitu kisah yang diceritakannya ibarat gunung es di laut. Keindahan panoramanya hanya seperdelapan bagiannya yang muncul di atas air, dan dari seperdelapan tersebut menyimpan sebuah magma yang dahsyat. Begitu juga cerpen, pembaca bisa menangkap dan menafsirkan gagasan atau tema yang hendak disampaikan oleh penulis dari ceritanya yang pendek. Yamg kedua adalah penulis menceritakan bukan menggurui apalagi menghakimi lewat tokoh-tokoh yang diciptakannya. Cerpen-cerpen yang didalamnya bukan sebuah khotbah, cerpen yang tanpa banyak menggurui. Pengarang lewat cerita yang ditulisnya menghujamkan rentetan pertanyaan-pertanyaan yang memaksa pembaca untuk menggali makna yang ada didalamnya, memberikan sebuah ruang yang terbuka untuk kontemplasi pembacanya.

Di buku kumpulan cerpen Arus Deras (Tukang Bunga dan Burung Gagak II) ini, saya menemukan cerita-cerita yang pendek yang memenuhi dua hal di atas. Kumpulan cerpen bersama yang ditulis oleh empat penulis yaitu, Agnes A. Majestika, Ana Mustamin, Kurnia Effendi, dan Kurniawan Junaedhi. Buku kumpulan cerpen ini merupakan buku kumpulan cerpen kedua dari para penulis tersebut dengan judul Tukang Bunga dan Burung Gagak. Dengan latar belakang kehidupan penulis yang berbeda menghasilkan cerpen-cerpen dengan tema, deskripsi tempat dan peristiwa yang beragam. Agnes A. Majestika lebih banyak berkisah tentang cinta dengan dengan deskripsi tempat di Jepang, Ana Mustamin berkisah dengan latar belakang bisnis sesuai dunia kesehariaanya, Kurnia Effendi dan Kurniawan Junaedhie dengan latar belakang kisah tentang sastrawan dan kehidupannya. Tetapi keempatnya tampak piawai meramu Kepadatan, kelugasan, kecermatan, dan deskripsi latar yang tepat. Hal ini membuat peristiwa yang tampak biasa menjadi cerpen yang menawan.cerpen yang bisa mengaduk emosi ataupun menyergap pikiran, cerpen-cerpen yang seperti sebuah puisi yang kaya makna.

Setelah membaca enam belas cerita pendek ini ( masing-masing penulis empat cerpen), saya mencoba untuk memberikan catatan-catatan tentang tiga hal yang menarik. yang pertama adalah tentang gagasan atau tema yang diambil oleh penulisnya. Pada cerpen Di tepi Harukoma ( halaman 3 ) Agnes menceritakan tema cinta. Tentang cinta yang di satu sisi membuat seseorang bahagia, sedang di ruang hati seseorang yang lain merintih dan harus berdamai dengan rasa kehilangan. Sedang pada cerpen Tanah ( Halaman 21 ) tema sifat serakah manusia dikisahkan dengan menarik. Ana Mustamin, sebagai penulis yang sehari-hari bekerja di BUMN menyodorkan tema kharakter dan sifat-sifat manusia dalam dunia bisnis. Warung Kopi Uya ( halaman 55 ) menjadi kisah yang menarik tentang sepasang suami istri yang punya impian menjadi enterpreuneur Café sukses tetapi masih “lugu” berhadapan dengan dunia bisnis yang penuh topeng tipu daya dan siasat licik. Juga pada Akusisi (Halaman 69) yang berkisah tentang perubahan-perubahan secara cepat dalam perkembangan sebuah perusahaan hingga harus mengorbankan sumber daya manusianya yang sebenarnya loyal. Sebuah cerpen yang berisi ironi-ironi kehidupan.

Tema cinta juga ada pada cerpen Sepasang Pengarang (halaman 111) Karya Kurnia Effendi ( KEF), dengan gaya bahasa yang puitis, dan gaya bercerita secara sinisme cerpen ini menjadi menarik dan tidak menjadi klise. Begitu Juga pada Arus Deras (halaman 129) yang merupakan penggalan atau fragmen sempalan calon novel tentang Raden Saleh yang sedang ditulis bersama Iksaka Banu, dalam Arus Deras ini, tema cinta menjadi tema yang tidak membosankan, karena pembaca dipaksa mencerna kisahnya berdasarkan dialog dua tokohnya yang saling bersahutan. Dipisah Dua Benua ( halaman 139) Kurniawan Junaedhie memberikan tema tentang jenis-jenis sastrawan lewat tokoh HH seorang sastrawan yang menjadi politisi. Dengan pernyataan-pernyataan lewat tokoh HH yang terkesan sarkasme ini, penulis berhasil menyergap perasaan pembaca. Sedang pada cerpen Perempuan Beraroma Melati (halaman 147) kurniawan mengangkat tema kematian dengan latar orang-orang yang menunggu keluarganya di Rumah Sakit. Cerpen yang membuat pembaca bisa merasakan begitu dekatnya kematian.

Yang kedua adalah gaya bercerita keempat penulis yang telah lama malang melintang di dunia kepenulisan ini tampak piawai menuliskan cerita dengan gaya mengalir linier dan flash back. Mereka berhasil membuat cerpen yang “Menjadi” (meminjam istilah Chairil Anwar ), sebuah cerita yang benar-benar pendek, ringkas tidak bertele-tele tapi berhasil mengganggu pembacanya untuk berimajinasi lewat tokoh dan cerita yang diciptakannya, kemudian merenungkan apa isi yang tersirat dalam kisah-kisah pendek tersebut. Cerita- ceritanya menarik untuk dibaca karena ditulis secara cermat, selain kharakter para tokohnya juga latar belakang tempat para tokoh yang diciptakannya berada. Masing-masing penulis juga jeli dalam menyelipkan kalimat-kalimat puitis, sinisme, ironi dan bahkan sarkasme pada nuansa kalimat-klaimat yang disusunnya. Dalam gaya penceritaan ini yang juga menarik adalah bagaimana mengakhiri ceritanya atau pada ending cerita. Cerpen-cerpen di kumpulan Arus Deras ini memberikan ending yang terbuka, menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang berdentangan dalam kepala pembaca, Ending yang bisa ditafsirkan sesukanya oleh para pembaca.

Yang ketiga adalah makna apa yang bisa direnungkan oleh para pembaca setelah membaca cerpen-cerpen ini. nilai-nilai kehidupan apa yang sebenarnya hendak disampaikan di dalam tiap cerita. Bukan sebagai bagian dari pencarian benar dan salah, tetapi lebih kepada menguak apa yang sebenarnya hendak di sampaikan penulis. Dalam hal inilah pembaca karya sastra juga dituntut untuk cerdas dalam membaca. Menurut saya, dalam cerpen-cerpen di buku ini, penulis-penulisnya lebih memilih menyampaikan realitas yang ada di kehidupan ini sesuai dengan realitas yang sering ditemuinya dan berjalin kelindan dengan sifat-sifat yang ada pada manusia , sifat yang menjadi dasar dalam tingkah lakunya, dan memberikan konsekuensi-konsekuensi logis yang harus diterima oleh para tokoh yang ada diceritanya dan bagaimana harus menghadapinya.
Orhan Pamuk, penulis pemenang nobel dari Turki mengatakan membaca itu ada 3 tingkatan, yang pertama adalah membaca hingga kita larut dengan kisahnya, yang kedua adalah selain kita larut dengan kisahnya, kita juga mengerti apa makna yang tersembunyi dalam kisah kisah tersebut. Dan yang ketiga adalah mencakup dua hal di atas dan ditambah dengan menjadikan apa yang kita baca menjadi inspirasi inspirasi hingga kita bisa  menuliskannya dalam bentuk yang lain. Semoga buku kumpulan cerpen Arus Deras ini bisa menginpirasi para pembacanya hingga bisa menjadi ide-ide baru yang bisa dituliskan dalam genre-genre sastra yang lain.
Salam Sastra,



Arif Gumantia
Ketua Majelis Sastra Madiun.

Judul buku : Arus Deras
Penulis : Agnes A. Majestika
Ana Mustamin
Kurnia Effendi
Kurniawan Djunaedhie
Penerbit : Kosa Kata Kita, Jakarta
Cetakan : Pertama 2017

Sabtu, 13 Mei 2017

Kekalahan yang Agung dan kemenangan Yang Senyap



Kekalahan yang agung dan kemenangan yang senyap

Dalam kehidupan, kita selalu berharap menang menghadapi kompetisi-kompetisi yang kita jalani. Sehingga Grup Rock Queen pun membuat lagu dengan judul “We Are The Champion”...
We are the champions - my friendsAnd we'll keep on fighting - till the end -We are the champions -We are the championsNo time for losers'Cause we are the champions - of the world –

dan kita pun berlomba-lomba membuat rekor kemenangan dalam hal apapun. Hingga terkadang lupa, bahwa ada proses untuk mencapai kemenangan itu, ada rangkaian cara untuk menggapainya. Ketika kita ingin meraih kemenangan dengan cara apapun bahkan  dengan cara yang tidak elegan atau bisa diistilahkan cara yang tidak “sportif” maka kemenangan yang kita raih pun akan menyisakan rasa hampa di hati. Tidak ada rasa “pride” karena kita telah menipu hati nurani sendiri.


hal ini bisa kita rasakan pada kekalahan Ahok, judul diatas saya maksudkan sebagai sebuah realitas yang kita rasakan pasca Pilkada DKI.  Ahok memang kalah, boleh dikatakan telak dalam hitungan matematis, tetapi proses-proses yang  dilaluinya bener-bener hebat dan ada berbagai upaya rekayasa untuk membuatnya kalah. Hal yang pertama dan utama yang saya maksud adalah tuduhan penistaan Agama.

Kalau kita cermati, dan sebagaimana juga dinyatakan dalam pernyataan sikap Jaringan Gusdurian bahwa tidak ada nada Ahok sedang menghina, juga kalau kita bisa mencermati susunan dan urutan kata dalam pernyataan Ahok tersebut. Dari titik inilah awal segala trik dan intrik  dimulai. Mulai dari gelombang Demo berjilid-jilid dengan tema bela agama sampai hal-hal intimidasi untuk tidak mensholatkan mayat yang memilih Ahok, sang penista agama.

Dan yang lebih tragis lagi Ahok harus dipenjara dengan tuduhan yang tidak pernah dilakukannya yaitu menistakan Agama Islam. Dan kenapa saya menyebutnya dengan kekalahan yang Agung, karena meski Ahok kalah, tetapi kalah dengan sportifitas, dan ketika Ahok dipenjara, ribuan orang menyalakan lilin-lilin di setiap kota di seluruh penjuru negeri ini, sebagai bentuk solidaritas, memberikan simpati dan empati, seakan memeberi pesan kepada dunia seperti ungkapan yang sangat terkenal : lebih baik menyalakan lilin darupada mengutuk kegelapan.

Saya jadi ingat lirik puitis lagu karya James F Sundah, yang dinyanyika chrisye ..Lilin-lilin kecil
Engkau lilin-lilin kecil-Sanggupkah kau mengganti-Sanggupkah kau memberi-Seberkas cahaya-Engkau lilin-lilin kecil-Sanggupkah kau berpijar-Sanggupkah kau menyengat-Seisi dunia

Sehingga setiap hari bisa kita saksikan ribuan nyala lilin di penjuru kota, sebuah isyarat, sebuah tanda bahwa Ahok selalu ada di hati masyarakat Indonesia, bukan hanya masyarakat DKI saja, meski beliau adalah Gubernur DKI. Inilah apa yang dikatakan oleh Gus Dur, Bahwa yang lebih penting dari politik adalah Kemanusiaan. Masyarakat yang cinta NKRI merasa mempunyai perjuangan yang sama yaitu menjaga keutuhan NKRI agar tidak terpecah belah oleh politik identitas dan politik perbedaan.

Pada titik inilah saya merasakan bahwa ini adalah sebuah kekalahan yang agung bagi Ahok dan bagi para pendukungnya. Dan bagi pihak yang menang ini adalah kemenangan yang senyap, bukan sesuatu yang gemilang karena sesungguhnya kemenangan sejati adalah kemenangan melawan nafsu-nafsu sendiri. Kemenangan yang senyap pada akhirnya akan terasa hampa, karena tidak ada nilai-nilai cinta kemanusiaan di dalamnya.




Arif  Gumantia

Sabtu, 15 April 2017

Caruban, Ikon dan Cermin Sejarah


Sebuah kota, adalah sebuah komunitas yang di angankan, meminjam istilah Benedict Anderson. Tempat kita hidup, bersosialisasi, memperjuangkan kesejahteraan dan merawat kenangan. Merawat kenangan diperlukan sebagai bagian dari kita untuk belajar dari sejarah masa lalu, agar bisa menjadi cermin instropeksi dalam merancang masa depan yang lebih baik.

Dalam merawat kenangan tentu diperlukan sebuah tanda,  Sebuah symbol juga berbagai teks sebagai bagian dari literasi sejarah. Salah satu tanda dan bisa menjadi sebuah ikon kota adalah adanya nama kota yang menyimpan sejarah. Baik yang menyimpan sejarah sebagai sesuatu yang menggembirakan dan kejayaan kota ataupun sejarah yang berisi kegetiran dan kepedihan kota.

Dari keduanya kita bisa merawat peta masa lalu kita agar sejarah hitam yang penuh kepedihan tidak akan terulang di kemudian hari. Sehingga kota tersebut tidak menjadi kota yang penuh kemurungan (novelis pemenang Nobel, Orhan Pamuk, dalam memoar yang berjudul Istanbul). Tetapi menjadi kota yang nyaman dan aman bagi warganya.

Maka, ketika satu unit dump truk milik Dinas Lingkungan Hidup ( DLH ) kabupaten Madiun dikerahkan untuk mengganti papan nama gapura masuk di Desa Klitik, kecamatan Wonoasri, dan deretan huruf yang sama-sama berjumlah tujuh itu diganti satu persatu, dalam rangka Pemkab Madiun merealisasikan penggantian kota Caruban menjadi kota Mejayan, ada sesuatu yang menyergap perasaan dan menimbulkan sebuah rasa kehilangan. Kehilangan atas sesuatu yang menjadi milik bersama, yaitu Kota Caruban. bukan sekedar fisik sebuah kota saja, tetapi semua mikrokosmos dan makrokosmos kota Caruban.

Kepala Badan Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan Daerah (Bapelitbangda) Kabupaten MadiunEdi Bintardjo menegaskan, penggantian nama dari Kota Caruban menjadi Kota Mejayan memang diawali dari dua gapura masuk di Klitik, Wonoasri, dan #Kaligunting, Mejayan. ‘’Kami tak ingin terburu-buru. Semuanya dilakukan secara perlahan namun pasti,’’ tegasnya kemarin ( Radar Madiun, Jawa Pos Grup).
Upaya penggantian nomenklatur ini juga menyesuaikan kekuatan anggaran yang ada. Karena itulah, di masa awal ini penggantian lebih menyasar pada deretan huruf pada gapura masuk saja. ‘’Penggantian nama kedua gapura itu menjadi langkah penting untuk menegaskan identitas ibu kota baru bagi kabupaten ini,’’ tukasnya.
Selanjutnya, pemkab juga segera melayangkan surat kepada sejumlah instansi terkait. Instansi itu meliputi organisasi perangkat daerah (OPD) seperti RSUD Caruban dan Terminal Caruban. Juga lintas sektoral seperti PT KAI Daop VII Madiun untuk penggantian nama bagi Stasiun Caruban. Serta PLN subarea Caruban yang notabene Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut. ‘’Kami tak memberikan deadline waktu khusus. Prinsipnya, lebih cepat tentu lebih baik,’’ tegasnya.
Diketahui, pergantian nama ini mendasar PP Nomor 52 Tahun 2010 tentang Pemindahan Ibu Kota Kabupaten Madiun dari wilayah Kota Madiun ke wilayah Kecamatan Mejayan, Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Secara geografis, koordinat Kota Caruban memang tidaklah ada. Secara administrasi, di Kecamatan Mejayan juga tak dijumpai dusun maupun kelurahan bernama Caruban. Hal ini tentu berbeda dengan Kota Mejayan yang memiliki 11 desa dan tiga kelurahan pada koordinat 07032’28,71’’ lintang selatan dan 111039’08,40’’ bujur barat.
Hal ini harusnya dilakukan kajian yang mendalam terlebih dahalu sebelum melakukan tindakan-tindakan kongkrit mengganti nama sebuah kota. Perlu riset bersama dari berbagai disiplin ilmu, seperti sejarah, geografi, anthropologi, statistik dan lain-lainnya.  Agar bisa ditemukan titik temu sebagai sebuah penyelesaian yang “win-win solution’.

Benarkah secara geografis Titik koordinat Caruban tidak ada? Sudahkah ada riset komprehensif tentang hal ini, yang bisa dipertanggung jawabkan kredibilitasnya secara akademis? Karena menurut apa yang ditulis sejarawan Widodogb Sastro di Facebook Historia Van Madioen, ( yang bersumber dari Sumber : Buku Sejarah Kabupaten Madiun, 1980 ) :
Istilah Caruban , berasal dari kata carub yang berarti campur, dahulu ada suatu tempat berkumpulnya para pejabat,bangsawan, rakyat jelata, dan para priyayi untuk keperluan adu jago, tempat ini kemudian disebut caruban. Majalah Altona menerangkan , bahwa pada masa kekuasaan Hindu Jawa yang berpusat di Ngurawan (Dolopo sekarang), ada sederet perkampungan untuk menempatkan para penjahat, pemberontak dan para tahanan politik di pisahkan dari tempat tinggal dan lingkungannya, orang-orang ini di beri tugas menanam pohon jati. Tetapi hipotesa ini kurang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Yang jelas Desa-desa di Caruban merupakan desa-desa tua, karena itu sudah sepantasnya Caruban pernah menjadi ibukota kabupaten pada masa Kerajaan Mataram Islam. 

Pada masa perang Suropati pada tahun 1684 dan masa perebutan tahta kerajaan Mataram, Kartasura antara Sunan Mas dengan Pangeran Puger pamannya, rakyat Caruban besar andilnya  dalam ikut berjuang melawan tentara Kompeni (VOC) salah satunya di bawah pimpinan Demang Tampingan yang bergabung dengan Pangeran Mangkunegoro IV Wedono Bupati Mancanegara Timur, Madiun.
Desa Krajan merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Caruban, Kemungkinan Bupati pertama dijabat oleh Raden Cokrokusumo I atau disebut Tumenggung Alap-alap. Ia semula pejabat tinggi di Demak, Beliau adalah putra sulung Raden Pecat Tondo II,  Raden Pecat Tondo I adalah Adipati Terung, ini merupakan wilayah bekas Kerajaan Majapahit yang terakhir. Bupati kedua adalah Raden Cokrokusumo II sering disebut Tumenggung Emprit Gantil, kemudian bertahta Raden Tumenggung Notosari. Raden Tumenggung Notosari adalah putra dari Bupati Jipang yang bergelar Raden Tumenggung Purwowijoyo. Beliau adalah putra Paku Buwono I dari selir, jadi Bupati Notosari  adalah cucu raja besar Mataram.

Dari perintah Bupati Notosari inilah kemudian salah satu desa di Caruban yaitu Desa Kuncen yang terletak di selatan Desa Sidodadi menjadi Desa Perdikan sebagai tempat makam Bupati Caruban beserta kerabatnya. Bupati Notosari sebelum bertahta di Caruban merupakan salah satu bangsawan di istana Kartasura. Setelah wafat , beliau di makamkan di makam Kuncen Caruban, dengan biaya pemakaman dari Kartasura. Selain Bupati Notosari, di Kuncen Caruban juga dimakamkan para kerabat dan pengikut-pengikut setianya.

Sebagai Desa Perdikan, Desa Kuncen, Caruban dibebaskan dari pajak dan diberi otonomi seluasnya, dengan tanggungjawab merawat makam para Bupati Caruban, beserta kerabatnya. Piagam tentang kemerdekaan desa ini masih ada, yang menunjukkan tahun Wawu 1627 saka atau tahun 1705 Masehi, oleh Sunan Paku Buwono I.
Bupati berikutnya adalah Raden Tumenggung Wignyosubroto, putra bupati sebelumnya, memindahkan ibukota Caruban ke pusat Kota Caruban sekarang atau disebut Desa Tompowijayan atau Bangunsari sekarang. 

Bupati terakhir adalah Raden Tumenggung Djayengrono, putra Bupati Ponorogo yang bernama Pangeran Pedaten. Beliau kawin dengan putri Bupati Mangkudipuro yang dipindahkan oleh Hamengku Buwono I dari Wedono Bupati di Madiun menjadi Bupati kecil di Caruban, karena dianggap tidak tunduk pada perjanjian pemerintahan Jogjakarta setelah adanya perjanjian Gianti. Wedono Bupati di Madiun di berikan kepada panglima perang Kesultanan Jogjakarta, yaitu Ronggo Prawirosentiko setelah menjadi bupati bergelar Ronggo Prawirodirjo I.Para Bupati Caruban dan kerabatnya yang dimakamkan di pemakamam Kuncen Caruban, antara lain, Pangeran Mangkudipuro Bupati Madiun ke 13, Raden Cokorokusumo I, Raden Cokorokusumo II, Raden Tumenggung Notosari, Raden Tumenggung Wignyosubroto, dan Raden Tumenggung Djayengrono.

 Fakta-fakta sejarah ini tentu tidak bisa diabaikan begitu saja untuk mengganti nama kota, karena kebenaran sejarah harus terus diuji dengan berbagai penemuan-penemuan baru, sehingga terlalu dini jika menyimpulkan bahwa secara geografi, Caruban tidak ada dalam koordinat. Bukankah kita semua juga sebelumnya tidak pernah tahu bahwa di Dolopo dulu ada kerajaan besar Gelang-gelang dan Ngurawan, sebelum situs-situs ditemukan dan sekarang sedang diteliti, kesimpulan sementara adalah situs terbesar kedua setelah Trowulan.

Dalam hal ini, kalimat : “apalah arti sebuah nama?” dari Shakespeare tidak berlaku untuk penggantian nama kota Caruban ini, karena ketika kita melupakan sejarah sebuah kota, maka kita akan menjadi orang-orang yang “amnesia sejarah” seperti yang digambarkan oleh Gabriel Garcia Marquez dalam novelnya Seratus Tahun kesunyian. Sehingga kita berada dalam kondisi yang bener-bener lupa terhadap apapun, semua hal harus diingatkan yang bermuara pada mandeknya peradaban.
Oleh karena sebelum melakukan langkah-langkah untuk mengganti nama kota Caruban menjadi Mejayan, alangkah baiknya jika Pemangku Wilayah kabupaten Madiun, mengadakan riset terlebih dahulu, melakukan berbagai diskusi-diskusi publik dengan masyarakat Caruban, dan biarkan nama Kota Caruban tetap menjadi Caruban.



Arif Gumantia
Ketua Majelis Sastra Madiun


Caruban, Ikon dan Cermin Sejarah

Sebuah kota, adalah sebuah komunitas yang di angankan, meminjam istilah Benedict Anderson. Tempat kita hidup, bersosialisasi, memperjuangkan kesejahteraan dan merawat kenangan. Merawat kenangan diperlukan sebagai bagian dari kita untuk belajar dari sejarah masa lalu, agar bisa menjadi cermin instropeksi dalam merancang masa depan yang lebih baik.
Dalam merawat kenangan tentu diperlukan sebuah tanda,  Sebuah simbol juga berbagai teks sebagai bagian dari literasi sejarah. Salah satu tanda dan bisa menjadi sebuah ikon kota adalah “Nama Kota”. Baik yang menyimpan sejarah sebagai sesuatu yang menggembirakan dan kejayaan kota ataupun sejarah yang berisi kegetiran dan kepedihan kota.
Dari keduanya kita bisa merawat peta masa lalu kita agar sejarah hitam yang penuh kepedihan tidak akan terulang di kemudian hari. Sehingga kota tersebut tidak menjadi kota yang penuh kemurungan ( Orhan Pamuk, novelis pemenang Nobel Sastra, dalam Memoar yang berjudul Istanbul). Tetapi menjadi kota yang nyaman dan aman bagi warganya.
Maka, ketika Satu unit dump truk milik Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Madiun dikerahkan untuk mengganti papan nama gapura masuk di Desa Klitik, Kecamatan Wonoasri. Deretan huruf yang sama-sama berjumlah tujuh itu diganti satu per satu, dalam rangka Pemkab Madiun  merealisasikan penggantian Kota Caruban menjadi Kota Mejayan, ada sesuatu yang menyergap perasaan dan menimbulkan sebuah rasa kehilangan. Kehilangan atas sesuatu yang menjadi milik bersama, yaitu Kota Caruban. Bukan sekedar fisik sebuah kota, tetapi semua mikrokosmos dan makrokosmos kota Caruban.
Kepala Badan Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan Daerah (Bapelitbangda) Kabupaten Madiun Edi Bintardjo menegaskan, penggantian nama dari Kota Caruban menjadi Kota Mejayan memang diawali dari dua gapura masuk di Klitik, Wonoasri, dan #Kaligunting, Mejayan. ‘’Kami tak ingin terburu-buru. Semuanya dilakukan secara perlahan namun pasti,’’ tegasnya kemarin ( Radar Madiun, Jawa Pos Grup).
Upaya penggantian nomenklatur ini juga menyesuaikan kekuatan anggaran yang ada. Karena itulah, di masa awal ini penggantian lebih menyasar pada deretan huruf pada gapura masuk saja. ‘’Penggantian nama kedua gapura itu menjadi langkah penting untuk menegaskan identitas ibu kota baru bagi kabupaten ini,’’ tukasnya.
Selanjutnya, pemkab juga segera melayangkan surat kepada sejumlah instansi terkait. Instansi itu meliputi organisasi perangkat daerah (OPD) seperti RSUD Caruban dan Terminal Caruban. Juga lintas sektoral seperti PT KAI Daop VII Madiun untuk penggantian nama bagi Stasiun Caruban. Serta PLN subarea Caruban yang notabene Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut. ‘’Kami tak memberikan deadline waktu khusus. Prinsipnya, lebih cepat tentu lebih baik,’’ tegasnya.
Diketahui, pergantian nama ini mendasar PP Nomor 52 Tahun 2010 tentang Pemindahan Ibu Kota Kabupaten Madiun dari wilayah Kota Madiun ke wilayah Kecamatan Mejayan, Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Secara geografis, koordinat Kota Caruban memang tidaklah ada. Secara administrasi, di Kecamatan Mejayan juga tak dijumpai dusun maupun kelurahan bernama Caruban. Hal ini tentu berbeda dengan Kota Mejayan yang memiliki 11 desa dan tiga kelurahan pada koordinat 07032’28,71’’ lintang selatan dan 111039’08,40’’ bujur barat.
Hal ini harusnya dilakukan kajian yang mendalam terlebih dahalu sebelum melakukan tindakan-tindakan kongkrit mengganti nama sebuah kota. Perlu riset bersama dari berbagai disiplin ilmu, seperti sejarah, geografi, anthropologi, statistik dan lain-lainnya.  Agar bisa ditemukan titik temu sebagai sebuah penyelesaian yang “win-win solution’.

Benarkah secara geografis Titik koordinat Caruban tidak ada? Sudahkah ada riset komprehensif tentang hal ini, yang bisa dipertanggung jawabkan kredibilitasnya secara akademis? Karena menurut apa yang ditulis sejarawan Widodogb Sastro di Facebook Historia Van Madioen, ( yang bersumber dari Sumber : Buku Sejarah Kabupaten Madiun, 1980 ) :

Istilah Caruban , berasal dari kata carub yang berarti campur, dahulu ada suatu tempat berkumpulnya para pejabat,bangsawan, rakyat jelata, dan para priyayi untuk keperluan adu jago, tempat ini kemudian disebut caruban. Majalah Altona menerangkan , bahwa pada masa kekuasaan Hindu Jawa yang berpusat di Ngurawan (Dolopo sekarang), ada sederet perkampungan untuk menempatkan para penjahat, pemberontak dan para tahanan politik di pisahkan dari tempat tinggal dan lingkungannya, orang-orang ini di beri tugas menanam pohon jati. Tetapi hipotesa ini kurang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Yang jelas Desa-desa di Caruban merupakan desa-desa tua, karena itu sudah sepantasnya Caruban pernah menjadi ibukota kabupaten pada masa Kerajaan Mataram Islam.  

Pada masa perang Suropati pada tahun 1684 dan masa perebutan tahta kerajaan Mataram, Kartasura antara Sunan Mas dengan Pangeran Puger pamannya, rakyat Caruban besar andilnya  dalam ikut berjuang melawan tentara Kompeni (VOC) salah satunya di bawah pimpinan Demang Tampingan yang bergabung dengan Pangeran Mangkunegoro IV Wedono Bupati Mancanegara Timur, Madiun.
Desa Krajan merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Caruban, Kemungkinan Bupati pertama dijabat oleh Raden Cokrokusumo I atau disebut Tumenggung Alap-alap. Ia semula pejabat tinggi di Demak, Beliau adalah putra sulung Raden Pecat Tondo II,  Raden Pecat Tondo I adalah Adipati Terung, ini merupakan wilayah bekas Kerajaan Majapahit yang terakhir. Bupati kedua adalah Raden Cokrokusumo II sering disebut Tumenggung Emprit Gantil, kemudian bertahta Raden Tumenggung Notosari. Raden Tumenggung Notosari adalah putra dari Bupati Jipang yang bergelar Raden Tumenggung Purwowijoyo. Beliau adalah putra Paku Buwono I dari selir, jadi Bupati Notosari  adalah cucu raja besar Mataram.

Dari perintah Bupati Notosari inilah kemudian salah satu desa di Caruban yaitu Desa Kuncen yang terletak di selatan Desa Sidodadi menjadi Desa Perdikan sebagai tempat makam Bupati Caruban beserta kerabatnya. Bupati Notosari sebelum bertahta di Caruban merupakan salah satu bangsawan di istana Kartasura. Setelah wafat , beliau di makamkan di makam Kuncen Caruban, dengan biaya pemakaman dari Kartasura. Selain Bupati Notosari, di Kuncen Caruban juga dimakamkan para kerabat dan pengikut-pengikut setianya.

Sebagai Desa Perdikan, Desa Kuncen, Caruban dibebaskan dari pajak dan diberi otonomi seluasnya, dengan tanggungjawab merawat makam para Bupati Caruban, beserta kerabatnya. Piagam tentang kemerdekaan desa ini masih ada, yang menunjukkan tahun Wawu 1627 saka atau tahun 1705 Masehi, oleh Sunan Paku Buwono I.
Bupati berikutnya adalah Raden Tumenggung Wignyosubroto, putra bupati sebelumnya, memindahkan ibukota Caruban ke pusat Kota Caruban sekarang atau disebut Desa Tompowijayan atau Bangunsari sekarang. 

Bupati terakhir adalah Raden Tumenggung Djayengrono, putra Bupati Ponorogo yang bernama Pangeran Pedaten. Beliau kawin dengan putri Bupati Mangkudipuro yang dipindahkan oleh Hamengku Buwono I dari Wedono Bupati di Madiun menjadi Bupati kecil di Caruban, karena dianggap tidak tunduk pada perjanjian pemerintahan Jogjakarta setelah adanya perjanjian Gianti. Wedono Bupati di Madiun di berikan kepada panglima perang Kesultanan Jogjakarta, yaitu Ronggo Prawirosentiko setelah menjadi bupati bergelar Ronggo Prawirodirjo I.Para Bupati Caruban dan kerabatnya yang dimakamkan di pemakamam Kuncen Caruban, antara lain, Pangeran Mangkudipuro Bupati Madiun ke 13, Raden Cokorokusumo I, Raden Cokorokusumo II, Raden Tumenggung Notosari, Raden Tumenggung Wignyosubroto, dan Raden Tumenggung Djayengrono.

 Fakta-fakta sejarah ini tentu tidak bisa diabaikan begitu saja untuk mengganti nama kota, karena kebenaran sejarah harus terus diuji dengan berbagai penemuan-penemuan baru, sehingga terlalu dini jika menyimpulkan bahwa secara geografi, Caruban tidak ada dalam koordinat. Bukankah kita semua juga sebelumnya tidak pernah tahu bahwa di Dolopo dulu ada kerajaan besar Gelang-gelang dan Ngurawan, sebelum situs-situs ditemukan dan sekarang sedang diteliti, kesimpulan sementara adalah situs terbesar kedua setelah Trowulan.

Dalam hal ini, kalimat : “apalah arti sebuah nama?” dari Shakespeare tidak berlaku untuk penggantian nama kota Caruban ini, karena ketika kita melupakan sejarah sebuah kota, maka kita akan menjadi orang-orang yang “amnesia sejarah” seperti yang digambarkan oleh Gabriel Garcia Marquez dalam novelnya Seratus Tahun kesunyian. Sehingga kita berada dalam kondisi yang bener-bener lupa terhadap apapun, semua hal harus diingatkan yang bermuara pada mandeknya peradaban.
Oleh karena sebelum melakukan langkah-langkah untuk mengganti nama kota Caruban menjadi Mejayan, alangkah baiknya jika Pemangku Wilayah kabupaten Madiun, mengadakan riset terlebih dahulu, melakukan berbagai diskusi-diskusi publik dengan masyarakat Caruban, dan biarkan nama Kota Caruban tetap menjadi Caruban.



Arif Gumantia
Ketua Majelis Sastra Madiun


Senin, 10 April 2017

Menulis Adalah Bekerja Untuk Keabadian

Jika umurmu tak sepanjang umur dunia, maka sambunglah dengan tulisan. (Pramoedya Ananta Toer)

Menulis adalah bekerja untuk keabadian, mengabadikan pikiran, perasaan, kegelisahan, peristiwa, dan mengabadikan kenangan.
Sebenarnya setiap orang bisa menjadi penulis, kalau punya niat dan kemauan, disertai usaha yang tekun untuk berlatih menulis. Apalagi kalau kita lihat maraknya opini yang ditulis di status Media Sosial, Itu bisa digunakan sebagai sarana latihan menulis. Setelah itu bisa diarsipkan di Blog pribadi atau dikirim ke media, baik Media Massa cetak maupun Media Online. Setelah terkumpul bisa diterbitkan menjadi buku.

Menulis menjadi gampang jika :
1. Ada niat dan kemauan
2. Memiliki pengetahuan
3. Memiliki wawasan

Menulis adalah bagian dari kegiatan keterampilan jadi bukan tergantung bakat. Kegiatan keterampilan sangat bergantung pada latihan yang terus menerus dan berkelanjutan (kontinuitas).

Latihan pertama adalah dengan menjadikan membaca sebagai kebutuhan kita. Baik membaca koran, majalah, media online, dan membaca buku, membaca kehidupan, membaca pengalaman, baik pengalaman diri sendiri, maupun orang lain. Juga membaca diri sendiri, kekurangan dan kelebihannya.

latihan kedua adalah menulis, menulis, dan menulis. Sebagai bagian dari santapan rohani keseharian kita, karena dengan menulis akan bisa mendatangkan kenikmatan spiritual, kebanggaan, dan percaya diri secara wajar, dan juga keuntungan material.

Kegunaan dari membaca dan latihan menulis :
1. Mahir mempermainkan kata (penempatan kata dan kalimat)
2. Piawai merangkainya, dalam deretan-deretan kalimat
3. Cerdas dalam menyampaikan pesan yang ingin disampaikan.

Langkah-langkah dalam latihan menulis:

1. Menulislah apa yang ada di benak kita, yang sesuai keinginan kita, sesuai dengan wawasan dan pengetahuan yang kita miliki.
2. Mengevaluasi hasil tulisan dengan mengurutkan masalah yang hendak diungkapkan, hal-hal yang menjadi benang merah, bagian mana yang bisa dikembangkan, dan dibuang. Manfaatkan kamus dan tesaurus untuk meyakinkan istilah-istilah yang kita singgung. Juga untuk melakukan pemilihan kata yang tepat dan menarik, untuk membangkitkan daya imajinasi dan kontemplasi pembaca. Juga untuk meyakinkan kita tidak ada kesalahan ketik, ejaan, tanda baca. Sebelum kita launch atau kirim ke media.

Tentu diperlukan belajar yang tekun tentang teori-teori menulis. Baik menulis Puisi, cerita pendek, Novel, Esai, Opini ilmiah, dan lain-lainnya. Misal saat ingin berlatih menulis Puisi tentu kita harus faham Teori tentang Puisi, tentang kecerdasan puitik (sebagaimana yang pernah saya tulis di artikel “kecerdasan Puitik” sebelumnya).

Begitu juga jika ingin menulis Cerpen, agar cerpen bisa memenuhi syarat-syarat yang harus dipenuhi seperti adanya unsur estetika atau keindahan dan unsur-unsur yang menyusunnya secara teoritis.  Baik deskripsi latar, tema atau gagasan, penokohan, dan inovasi gaya penceritaan.

Yaitu adanya cerita yang dikisahkan secara pendek dan ringkas. Artinya kita harus menyampaikan sebuah tema atau gagasan atau peristiwa dengan cara di ceritakan atau dikisahkan. Tema dan peristiwa apa saja yang ada di sekitar kita. Tema biasa dengan penggarapan yang matang niscaya akan menghasilkan peristiwa luar biasa .

Untuk sampai pada kisah yang luar biasa ini pertimbangan kepadatan, kelugasan, kehematan, dan kedalaman itulah yang menjadi syarat yang harus dipenuhi. Kepadatan akan membuat penulis harus membuang peristiwa yang tak penting dan berkreasi dengan menyingkirkan narasi atau kalimat yang tak berhubungan langsung dengan tema. Demikian juga dalam dialog-dialognya.

Sedangkan JIka menulis Novel kita perlu  memperhatikan seperti apa yang disampaikan Milan Kundera  Novel adalah sepotong prosa sintesis yang panjang. dan didasarkan pada permainan dengan tokoh-tokoh yang diciptakan. Prosa"sintesis" sebagai keinginan novelis utk memahami subyeknya dari segala sisi dan dalam kelengkapannya yang paling penuh. kekuatan sintesis. menyatukan "Esai ironis,narasi novelistis, penggalan otobiografis, kenyataan historis, aliran fantasi" menjadi kesatuan tunggal. hingga kekuatan sintesis novel ini sanggup mengkombinasikan segala hal ke dlm kesatuan tunggal seperti  bebunyian dari musik polifonis. kesatuan novel tidak harus berasal dari plot, tapi bisa disediakan oleh tema.

Dalam latihan menulis Esai tentu kita harus banyak membaca tentang tema atau gagasan yang ingin disampaikan. Mempersiapkan referensi yang mendukung ide dan tema tersebut. Untuk menjadi esai yang menarik selain menguasai tema yang akan dibahas, juga gaya penulisannya memenuhi unsur estetika bahasa. Dengan demikian perlu bacaan-bacaan dari berbagai disiplin ilmu terutama Sastra dan filsafat. 

Beberapa Esai yang sering kita jumpai di media adalah :
1. Tajuk rencana
2. Opini atau artikel : politik, ekonomi, sosial, olahraga, filsafat, sastram seni, budaya, pariwisata, dll.
3. Resensi atau review buku

Salah satu cara latihan menulis Esai adalah dengan meresensi buku yang kita baca, menuliskan pendapat kita tentang buku yang kita baca.
Ini tips Langkah praktis dalam menulis Resensi :
1. Cermati daftar isi (kalau ada)
2. Baca dengan seksama kata pengantar
3. Baca dengan kritis, tandai bagian-bagian yang penting (kekurangan dan kelebihan buku)
4. Cermati bagian kesimpulan (non fiksi) atau ending (fiksi)
5. Pelajari bagian lampiran.
6. Pahami wacana (diskursus) buku dan pesan yang hendak disampaikan penulis.
7. Tulis berdasarkan pemahaman kita sendiri.
8. Kutip bagian-bagian  yang penting untuk mendukung pernyataan atau uraian kita.

Manfaat Menulis :

1. Sebagai sebuah kegiatan intelektual dan spritual. Pada saat kita berada dalam proses penulisan, pada saat itulah pikiran dan intelektualnya bekerja. Yang bermuara pada kenikmatan spiritual.
2. Hasil tulisan bisa di baca di mana saja dan kapan saja. Tidak terbatas ruang dan waktu, hingga bisa dibaca begitu banyak orang dengan wilayah yang begitu luas dan waktu yang begitu panjang, dan mendatangkan manfaat bagi orang banyak.
3. Membiasakan berpikir secara teratur, runtut, dan sistematik.
4. Seorang penulis cenderung dipandang sebagai orang yang sedikit banyak mempunyai wawasan.
5. Membangun hubungan silaturahmi (menciptakan jaringan komunikasi) dengan Pembaca

Nah mudah bukan, maka mari kita menulis, mari kita menumbuh kembangkan budaya literasi, agar peradaban kita semakin maju.


Arif Gumantia
Ketua Majelis Sastra Madiun

Kamis, 06 April 2017

Kampanye Lewat Buku "A Man Called Ahok"

Salah satu tahapan dalam rangkaian Pemilihan Presiden, Pemilihan Kepala Daerah, dan
Pemilihan anggota legislatif adalah kampanye.  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Kampanye adalah kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi politik atau calon yang bersaing memperebutkan kedudukan dalam parlemen dan sebagainya untuk mendapat dukungan massa pemilih dalam suatu pemungutan suara. Tentu ada berbagai macam cara berkampanye, baik melalui media-media mainstream atau lewat media sosial. Media-media mainstream misalnya kampanye dengan menguimpulkan massa baik di ruang terbuka maupun tertutup, seperti kampanye di tempat terbuka dengan bintang tamu para artis, kampanye di café, memasang baliho dan poster, membagikan kaos, kalender, pamphlet, iklan di Televisi, dan lain-lain. sedangkan Media sosial adalah memanfaatkan tehnologi internet platform web 2.0 seperti Facebook, Twitter, Path, Instagram dan lainnya.

Dalam rangka memperoleh dukungan massa pemilih yang nantinya termanifestasikan di hari pemilihan/pencoblosan tentu para kandidat akan mengkampanyekan program-programnya, track recordnya, dan hal-hal lain yang menarik para pemilihnya. Di sinilah para kandidat akan diuji apakah akan melakukan kampanye yang jujur dengan mengkampanyekan program-programnya yang masuk akal dan dapat diterapkan, ataukah kampanye yang asal menarik calon pemilih tanpa memikirkan konsekuensi-konsekuensi penerapan program tersebut.

Apalagi sekarang menurut Milan Kundera adalah era imagology, era kemenangan citra-citra. Dimana produsen budaya citra telah berhasil menjejalkan sebuah citra menjadi realitas, mimpi, juga harapan ke benak konsumen. Dalam era imagology, budaya citra tersebut di sebarkan ke berbagai media melalui televisi, radio, internet, surat kabar, maupun majalah. Dan yang lebih tidak fair adalah Kampanye Hitam atau Black campaign, yaitu dengan cara pembunuhan kharakter  terhadap kandidat lainnya.

Salah satu cara kampanye yang positif sebenarnya adalah melalui Buku. Ada beberapa keuntungan yang bisa diperoleh dengan melakukan kampanye melalui Buku : yang pertama, kandidat tinggal menyebarkan buku tersebut kepada calon pemilih maka semua program, track record, performance bisa tersampaikan, sehingga kampanye menjadi efektif. Kedua, kampanye melalui buku bisa mendukung gerakan membaca masyarakat yang akan menumbuh kembangkan dunia literasi kita. Ketiga, Kampanye melalui buku bisa memberikan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat bahwa kampanye tidak harus di ruang terbuka yang bisa berpotensi menimbulkan ekses-ekses sosial.  Keempat kampanye dengan buku akan meraangsang kreasi-kreasi dengan argumentasi bagi tim sukses dari kandidat, karena sudah semestinya kampanye lewat buku ditindaklanjuti dengan forum bedah buku untuk menguji kredibilitasnya secara akademis.
Dalam hal ini,  saya memberi apresiasi pada Tim Ahok dalam kampanye Pemilihan Gubernur DKI Jakarta telah menggunakan buku sebagai salah satu cara kampanyenya. Yaitu Buku dengan Judul  “ A Man Called #Ahok “ karya Rudi Valinka atau akun @kurawa di twitter. Buku yang isinya pada mulanya adalah serial kultweet (Rangkainan tweet dengan membahas tema tertentu)  dari akun @kurawa di twitter. Dengan demikian pesan yang hendak disampaikan tidak hanya dijangkau oleh mereka yang mempunyai akun twitter tetapi juga pada semua orang yang bisa mengakses bukunya.

Selain melakukan pencarian data lewat buku maupun tulisan online penulis juga melakukan pencarian data fakta ke lokasi tempat Ahok lahir dan menjalani masa-masa sekolah yaitu Belitung Timur, dan menemui narasumber-narasumber (Hal 1).
latar belakang keluarga, masalah korupsi, SARA, dan kehidupan sehari-hari coba dieksplorasi oleh penulis untuk menampilkan seorang yang dipanggil Ahok. Kehidupan bapaknya yang merupakan pengusaha di zaman orba, di zaman etnis Tionghoa diatur oleh Soeharto, juga dituliskan di buku ini, Ahok sejak kecil sudah tahu bapaknya sering dipinjami uang, dimintai bantuan, sampai urusan dipalak oleh oknum aparat hukum (hal 24). Latar belakang seperti inilah yang mungkin membuat Ahok melakukan upaya-upaya untuk meminimalkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan saat dia berada di birokrasi pemerintahan dan menjadi pemimpin.

Narasumber-narasumber yang ditemui penulis buku ini antara lain Pak Mus, teman sebangku Ahok waktu SD, Bu Bundet guru SD Ahok, Bu Erni istri Pak Mus teman SMP Ahok, Pak Sayono teman SMP Ahok, Pak Bachtiar Guru SMP Ahok, Pak Nirwan Guru SMP Ahok, Pak Kani seorang Kepala Desa yang dulu “hater” ahok saat pilkada Bupati Belitung Timur, pak Agung Ustadz yang berinteraksi dengan Ahok, Haji Tare mantan ketua PKB Belitung Timur, ibu Yana salah satu penanggung jawab apotek Manggar Jaya Farma.
Dari para narasumber ini bisa terungkap latar belakang keluarga, kehidupan masa kecil, saat dewasa, kondisi geografi, sosio politik yang membentuk kharakter Ahok saat ini.

Seperti kisah bu Bundet bahwa setiap balik  ke Belitung, prioritas bertemu dengan bekas guru-gurunya menandakan bahwa ada rasa hormat Ahok kepada mereka. (Hal 65). Juga kisah haji Tare tentang pertemuan Ahok dan Gus Dur dilakukan di kantor DPP PKB. Pembicaraan mereka hampir 3 jam. ( hal 93). Dan masih banyak kisah-kisah menarik lainnya. Buku tipis 111 halaman dengan ukuran seperti smartphone 5.5” ini bisa menjadi contoh kampanye efektif lewat buku. Tujuan kampanye bisa tercapai sekaligus sebagai upaya untuk menumbuh kembangkan budaya literasi. Yang menarik di buku ini di setiap pergantian “bab”nya ada kutipan-kutipan yang filosofis dan kontemplatif  dari Goethe, Aristotle, Leo Tolstoy, dll...dan ditutup dengan quote Ahok:
Ingat saja pepatah Tiongkok, “sebelum bunyi empat paku di atas peti mati kamu, kamu tidak bisa nilai orang lain itu baik dan buruk.” Nanti kamu baru tahu apa yang saya kerjakan.









Arif Gumantia
Kerani literasi