Masukan Nama Penyanyi - Judul Lagu

Mesin Cari Free Download Mp3 Gratis

Translate To Your Language

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

Selasa, 18 Desember 2012

Puisi sebagai sebuah Jendela (Review Antologi "Sungai kecil")


Proses kreatif tentunya dimulai dengan pengalaman batin, pengalaman hati. Karena dalam hati manusia itulah terdapat jendela untuk melihat Tuhan, untuk melihat cerminan dirinya. Oleh karena itu, puisi juga merupakan katarsis, upaya bersih diri dari bentuk-bentuk kehidupan profan dengan nilai-nilai transendental. Puisi bisa menjadi pernyataan baru, sebuah cinta yang mendalam dan personal. Demikian pernyataan dari Penyair Profetik-sufistik Abdul Hadi WM.

Begitu juga proses kreatif yang akhirnya melahirkan antologi 2 penyair madiun ini. Panji Kuncoro Hadi (PKH) dan Syukur A. Mirhan (SAM). Panji Kuncoro Hadi, kelahiran Madiun, menulis puisi sejak belajar Di Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Airlangga Surabaya. Tahun 1996, Pernah memenangi Lomba Cipta Puisi Se-Indonesia di Universitas Udayana Bali yang diselenggarakan sanggar Purbatjaraka. Pernah menerbitkan antologi Puisi “mimpi mawar” pada tahun 1996. Puisi-puisinya pernah dimuat di Surabaya Pos dan cerpennya pernah dimuat dimuat di jakarta Post. Sekarang menjadi Pengajar di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra IKIP PGRI Madiun.

Syukur A. Mirhan, Penyair  kelahiran Bogor dan lama di Bandung ini, alumnus Program Pendidikan Bahasa Jerman IKIP Bandung. Puisi-puisinya pernah dimuat di Pikiran Rakyat, Mitra Budaya, Bandung Pos, Suara Karya, Republika, dan lain-lain. Pernah menerbitkan antologi Puisi Forum Kebun Raya (1996), Air mata yang jatuh di negeri rembulan Timur (2004), dan Rembulan pun melapuk di reranting perak. (2012). Sekarang melanjutkan Studi S-2 di Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Pasca Sarjana IKIP PGRI Madiun.

Panji Kuncoro Hadi seakan mengajak kita bercakap-cakap melalui puisi-puisinya, dengan penggunakan diksi, kata, kalimat dan bait-baitnya yang berisi Ironi atau perlambang. Dengan gaya ungkap yang Liris, mentransformasikan antara “kegelisahan jiwa” Penyair dengan “kesadaran penyair itu sendiri. Puisi-Puisinya juga seakan sebuah percakapan antara “nurani” dan “realitas yang harus dihadapi”. Misalnya dalam sajak “Kepada Nimas”

Kepada Nimas,
Sebuah uneg-uneg

Banyak yang dipikirkan nimas,
Setelah kita berpergian menempuh hutan yang panjang
Menentukan makan, pakaian, papan dan hari depan

Perjalanan lakon ini akan abyor nimas,
Kalau dilihat dari mata kanak-kanakmu
Yang ada hanya petak umpet, dan playon, lalu sembunyikan
Kekalahan memanggil ibu manggil bapak

Hidup ini punya satu makna nimas,
Yaitu  Cinta, kesadaran tertinggi kita, bekal kalau mati nanti
Nimas, sirine hari telah terdengar,
Adalah pertanda hari telah terdengar,
Adalah pertanda kita mulai lagi
Bekerja dan bekerja di hutan yang panjang.


Ini  semacam percakapan suami ke istrinya (Nimas, panggilan buat istri dalam Bahasa Jawa), dan sebuah Uneg-uneg juga istilah Bahasa Jawa yang berarti Sebuah kegelisahan yang harus disampaikan, agar tidak menjadi beban dalam pikiran. Dengan Perlambang Hutan yang panjang sebagai kehidupan di dunia ini, dan realitas yang harus diperjuangkan, karena akan selalu ada cobaan, dan gangguan di setiap langkah. Dan itu perlu kedewasaan, karena kalau bersifat kekanak-kanakan, maka hidup ini akan abyor (berantakan), karena masa kanak-kanak adalah masa penuh dengan permainan, seperti  petak umpet, dan playon (bermain lari-larian).
Dan nurani selalu mengajarkan agar hidup punya makna, yaitu Cinta. Sebuah kesadaran tertinggi dan bekal untuk kehidupan yang  abadi nanti.
Octavio paz pernah menulis dalam the other voice “ kontribusi apa yang bisa diberikan oleh puisi dalam menciptakan teori politik baru? Bukan gagasan atau cita-cita baru, tetapi sesuatu yang lebih indah dan agung dan juga gampang pecah : MEMORI.” Ada suara lain yang disuarakan oleh para penyair. Seperti puisi di bawah ini :

Kami akan selalu melewati hari-hari itu

Kami akan selalu mewati hari-hari itu bersama, pada setiap hujan di awal tahun dan pekerjaan yang telah menunggu, Cuma aku kini tak bisa merekamu lagi walau lewat surat dan cuaca yang cepat berubah sebab itu adalah bunyi kalimatku kepadamu. Mungkin kau sedang memasak atau menjahit bahkan mungkin kau sedang bermain atau tidur-tiduran atau mungkin kau sedang memandangi jendela dan laut di mukamu. Hari-hari memang akan terasa pendek nanti dan kita akan cepat jadi tua. Maka ketika hatiku bertanya tentang usia, aku mencoba tersenyum dan kubayangkan diriku adalah pembuat pusara yang paling setia yang menunggu seorang pembeli.


Puisi di atas adalah hasil dari kontemplasi penyairnya  hingga ada nilai-nilai transendental yang dipercakapkan atau disampaikan kepada pembacanya. Sebuah suara lain, Sebuah renungan tentang waktu yang fana. Tentang rutinitas dalam melewati hari-hari, dengan ironi yang cukup membuat pembacanya “melambung dan terhenyak” pada ending Puisinya. Pembuat pusara yang paling setia yang menunggu seorang pembeli. Sesuatu yang paling dekat dengan kita, yaitu Kematian, dan barangkali kita tak akan pernah bisa membuat pusara kita sendiri.

Kepada Bisik (Isyarat dari bibir dan desis)
Kepada pramudhita septiani

..............................................
..............................................

Kebonsari masih jauh, dia tetap berkendara. Di dadanya
Tumpukkan surat dan hujan menjadi satu bergumul  dengan
Mantel kelelawar. Adik....aku gigit bibir ku perat

Selembar daun mangga segar kecut dan pedas tersimpan di sadel
Mungkin dia akan suka. Menggendong anak-anaknya dan berteriak
Paman Hujan Paman Hujan masihkah paman ingat Bunda


Karangmojo-kebonsari
Kacamata tebal dan rambut keriting putih dan berisi
Padi..padi kapan aku bisa meminjam lehermu

Karangmojo-kebonsari
Keramik hijau  rumah bangunan, pohon nangka
Dan pohon rambutan
Bapak botak agak gemuk dan adik yang ngungun
Kapan aku bisa menaruh selembar daun mangga segar kecut  dan
Pedas di atas meja rumahmu.

Kepada bisik, isyarat dari bibir dan desis – aku yakin kau adalah
Ular  yang menjelma Putri
Putri  yang menjelma ular
Dongeng yang terus kujaga dari debu dan sungai

Ayat ini adalah hujan dan kakinya sekaligus tempat kau
Memainkan isyarat
Tentang ibu guru, sekolah, dan Rumput
Tentang  karangmojo dan kebonsari
Tentang selembar daun mangga segar kecut dan pedas yang
Masih tersimpan di sadel
Tentang peta masa lalu yang sakit
Adik....aku gigit bibirku perat

Puisi di atas sangat imajinatif, puisi yang membangun suasana  imajinasi pembaca pada sebuah suasana perjalanan, hujan, dan  desa. Suasana masa lalu kanak-kanak dengan kalimat paman hujan paman hujan masihkah paman ingat bunda dan Putri yang menjelma ular, dongeng yang terus kujaga dari debu dan sungai.  metafora selembar daun mangga segar kecut dan pedas yang diulang-ulang, memberikan pengungkapan yang indah, dan memberikan penekanan pada makna keiklhasan menerima sesuatu hal yang terjadi. Juga permohonan agar bisa lebih rendah hati, lewat kalimat Padi..padi kapan aku bisa meminjam lehermu.
Setiap kejadian alam adalah ayat, yang harus kita baca, agar kita bisa membaca isyarat-isyarat semesta.

Begitu juga Syukur A. Mirhan, mencoba mengungkapkan gagasan lewat Puisi-Puisinya, dalam emosi, imajinasi, ide, irama, dan metafora. Hingga diksinya bisa bertransformasi dari makna konseptual menjadi  makna imajinatif sekaligus religius, sesuai dengan latar belakang Kesantriannya. Hingga beberapa puisinya menjadi puisi Profetik-sufistik (mengandung pesan-pesan kenabian dalam  ajaran agama yang substansif-filosofis). Seperti  Puisi  :

Lalu aku pun luruh dalam diam yang fitri

Lalu aku pun luruh dalam diam yang fitri
Melumat pada hakikat keras jiwa bebatu
Dengan sesunyian  suci semedi kalijaga
Kupuasi nafsu sepanjang bantaran waktu
Dalam dzikir-dzikir riak dan tadarus arus air
Kuhanyutkan serpihan seluruh perasaan
Dalam bengawan ketiadaan

........................................................
...........................................................

Membaca puisi diatas kita seakan berada dalam suasana mistis, magis, dan menghantarkan kita pada suasana yang penuh religiusitas. Seperti berada dalam dzikir yang khusyu’ dan syahdu.  Dzikir riak dan tadarus arus air.
Seperti apa yang pernah di katakan oleh (alm) WS Rendra “hanya dalam solidaritas dengan lingkungan alam, budaya dan kosmos, manusia dapat merasakan kedekatan dengan Tuhan hingga bisa manjing ing kahanan dan manunggaling kawula Gusti”.

Dalam Puisi yang berjudul “Mancing” , Syukur A. Mirhan membuat diksi yang berisi perlambang, idiom, dan citraan untuk menggambarkan sebuah laku untuk mencapai hakekat keagamaan. Saat jiwa begitu luruh pada serpih perasaan, hanyut di arus bengawan ketiadaan.


Mancing
: melamun di atas jembatan madiun

Melempar senar tafakur, jauh dan dalam
Ke kedung renung, memancing ilham
Di pucuk malam. Luruh serpih perasaan
Hanyut di arus bengawan ketiadaan

Jemari dinihari januari yang tiris
Menyawer embun dan gerimis
Antara garis bentang bantaran
Dan baris berbatu yang menisan

Di reriak air detik mengalir
Menyisir tepi-tepi sesunyi
Kali hati pemancing terakhir
Sebelum tanggal denyut nadi

Dalam ilmu sastra (Poetika) disebutkan bahwa untuk membuat sebuah karya itu agar memenuhi unsur kepuitisan dapat dicapai dengan bermacam-macam cara, misalnya dengan Bentuk Visual : tipografi, susunan bait, dengan Bunyi : persajakan,asonansi,aliterasi,kiasan bunyi, lambang rasa, dan juga Orkestrasi dengan pemilihan kata (diksi), bahasa kiasan, sarana retorika,unsur-unsur ketatabahasaan, gaya bahasa, dan sebagainya. Dalam hal ini saya yakin sang penyair sungguh memahaminya, hingga puisi-puisinya terasa meminjam istilah Carlyle “ merupakan pemikiran yang bersifat Musikal”. Pembaca bisa merasakan nada dan irama, yang kadang menghentak membuat kita meloncat, atau ritmis hingga seperti kita menggoyang-goyangkan kepala, bisa juga begitu lirih seperti sebuah sayatan gitar, biola atau harpa. Seperti sebuah puisi di bawah ini yang menjadi judul buku antologi puisi ini, Di Stasiun Buitenzorg, Buitenzorg adalah nama Kota Bogor waktu dulu dari asal kata bahasa Belanda.

Di stasiun Buitenzorg
Hingga aku menjadi tinggal hanya sebulir debu
Pada koper, kresek oleh-oleh, koran bekas, sepatu
Dan pantat celanaku. Dan musim-musim melapuk
Di keriput waktu. Tak pernah beranjak aku
Dari bangku tunggu

........................................
..........................................

Sampai tubuh bogor sudah bau ibukota
Anak-anak asing kepada hujan petir, angin, dedaunan
Dan buah-buahan yang berjatuhan dari pohonan
Tidak seperti gerbong, lori. Gembok gudang, plang PJKA
Dan gubuk seng kaum urban. Di stasiun Buitenzorg
Hingga 23 lebaran. Seluruh perasaan yang akan kucurahkan

Tak Pernah karatan.






Madiun, 19 Desember 2012
Arif Gumantia
Ketua  Majelis  Sastra Madiun

Judul Buku :  Antologi Puisi “ Sungai  Kecil Dekat Stasiun Buitenzorg”
Penulis : Panji Kuncoro Hadi  dan Syukur A. Mirhan
Penerbit : Langgar Alit Press, Jl. Ciherang Kidul 41 RT. 02/02
                   Laladon Ciomas Bogor 16610 Tlp. (0251) 7521579
Cetakan Pertama : Juli 2012