Masukan Nama Penyanyi - Judul Lagu

Mesin Cari Free Download Mp3 Gratis

Translate To Your Language

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

Jumat, 27 Juli 2012

Perihal Puasa

Ketika aku bersujud di waktu pagi dan menjadi rumput. Lalu seorang anak kecil mencabutnya, dikaitkan Pada mata kail. Berlarilah ia ke sungai, tempatnya bercermin dan melayarkan wajahnya. Beberapa saat ia memancing, mendapatkan seekor ikan. Sesuai dengan doa ibunya kepada Tuhan, agar memberikan kegembiraan pada anaknya. Anak kecil itu bergegas pulang ke rumah. Ditunjukkaan ikan yang di dapat, dengan bangga pada bapaknya yang sedang melukis pada selembar kanvas langit. Memegang ujung pelangi, yang dicelupkannya pada gerimis dan ombak yang menggigil. Berharap ada yang mau memasang lukisannya pada ruang sembahyang.



Kemudian sang anak berlali ke halaman tempat ibunya menanam pohon dan bunga. “ibu..ibu ini ikannya, nanti aku ingin makan yang bagian kepalanya”. Sang ibu pun tersenyum, dan terus menanam, tak peduli esok pohonnya akan dimakan benalu, dan bunganya di hisap kupu-kupu. Dia terus menanam dan menanam, entah akan tumbuh menjadi bunga serupa matahari atau mata tuhan.



Aku ada di perut ikan, kakiku tersangkut duri ikan, dan mataku memandang tapal batas langit keabadian.











arif gumantia

madiun

Rabu, 25 Juli 2012

Menulis adalah bekerja untuk keabadian




Jika umurmu tak sepanjang umur dunia, maka sambunglah dengan tulisan. (Pramoedya ananta toer)
Menulis itu gampang (arswendo atmowiloto).

Menulis adalah bekerja untuk keabadian, mengabadikan pikiran, perasaan, kegelisahan, peristiwa, dan mengabadikan kenangan.

Menulis menjadi gampang jika :
1. Ada niat dan kemauan
2. Memiliki pengetahuan
3. Memiliki wawasan

Menulis adalah bagian dari kegiatan keterampilan jadi bukan tergantung bakat.
Kegiatan keterampilan sangat bergantung pada latihan yang terus menerus dan berkelanjutan (kontinuitas).

Latihan pertama adalah dengan menjadikan membaca sebagai kebutuhan kita. Baik membaca koran, majalah, media online, dan membaca buku, membaca kehidupan, membaca pengalaman, baik pengalaman diri sendiri, maupun orang lain. Juga membaca diri sendiri, kekurangan dan kelebihannya.

Latihan kedua adalah menulis, menulis, dan menulis. Sebagai bagian dari santapan rohani keseharian kita, karena dengan menulis akan bisa mendatangkan kenikmatan spiritual, kebanggaan, dan percaya diri secara wajar, dan juga keuntungan material.

Kegunaan dari membaca dan latihan menulis :
1. Mahir mempermainkan kata (penempatan kata dan kalimat)
2. Piawai merangkainya, dalam deretan-2 kalimat
3. Cerdas dalam menyampaikan pesan yang ingin disampaikan.

Langkah-langkah dalam menulis:
1. Menulislah apa yang ada di benak kita, yang sesuai keinginan kita, sesuai dengan wawasan dan pengetahuan yang kita miliki. Jangan berpikir tulisan baik atau buruk, berbobot atau tidak.
2. Mengevaluasi hasil tulisan dengan mengurutkan masalah yang hendak diungkapkan, hal-hal yang menjadi benang merah, bagian mana yang bisa dikembangkan, dan dibuang. Manfaatkan kamus dan tesaurus untuk meyakinkan istilah-istilah yang kita singgung. Juga untuk melakukan pemilihan kata yang tepat dan menarik, untuk membangkitkan daya imajinasi dan kontemplasi pembaca. Juga untuk meyakinkan kita tidak ada kesalahan ketik, ejaan, tanda baca. Sebelum kita launch atau kirim ke media.




Manfaat Menulis :
1. Sebagai sebuah kegiatan intelektual dan spritual. Pada saat kita berada dalam proses penulisan, pada saat itulah pikiran dan intelektualnya bekerja. Yang bermuara pada kenikmatan spiritual.
2. Hasil tulisan bisa di baca di mana saja dan kapan saja. Tidak terbatas ruang dan waktu, hingga bisa dibaca begitu banyak orang dengan wilayah yang begitu luas dan waktu yang begitu panjang, dan mendatangkan manfaat bagi orang banyak.
3. Membiasakan berpikir secara teratur, runtut, dan sistematik.
4. Seorang penulis cenderung dipandang sebagai orang yang sedikit banyak mempunyai wawasan.
5. Membangun hubungan silaturahmi (menciptakan jaringan komunikasi)




Esai :
1. Tajuk rencana
2. Opini atau artikel : politik, ekonomi, sosial, olahraga, filsafat, sastram seni, budaya, pariwisata, dll.
3. Resensi atau review buku



Langkah praktis menulis Resensi :
1. Cermati daftar isi (kalau ada)
2. Baca dengan seksama kata pengantar
3. Baca dengan kritis, tandai bagian-bagian yang penting (kekurangan dan kelebihan buku)
4. Cermati bagian kesimpulan (non fiksi) atau ending (fiksi)
5. Pelajari bagian lampiran.
6. Pahami wacana (diskursus) buku dan pesan yang hendak disampaikan penulis.
7. Tulis berdasarkan pemahaman kita sendiri.
8. Kutip bagian-2 yang penting untuk mendukung pernyataan atau uraian kita.



NAH, GAMPANG, KANNNNNN!!!!!

Rabu, 18 Juli 2012

Keterasingan dalam masyarakat urban (Cerpen-cerpen Vivi Diani Savitri)


Jika umurmu tak sepanjang umur dunia, maka sambunglah dengan tulisan ~ Pramoedya ananta toer.

Menulis adalah bekerja untuk keabadian, mengabadikan pemikiran, perenungan, kegelisahan, kejadian, juga kenangan. Barangkali dengan disadari atau tak disadari oleh Diani Savitri, akrab dipanggil vivi, ia telah melakukan kerja ini. Menulis cerita-cerita pendek, yang berawal dari kegelisahan bathin, saat melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi, saat menyusuri kejadian-kejadian di sekitarnya. Yang menurut pengakuannya :” bermula dari membuat tulisan, dengan coretan pensil di sudut buku teks pelajaran. Pada buku harianbergambar little twin star. Sebagai puppy love notes. Menjadi lirik lagu. Membentuk larik puisi yang disembunyikannya karena malu”. Dan pada akhirnya menjelma dengan cerita-cerita yang menarik karena kecermatan dan kelugasan dalam menguraikannya. Baik deskripsi latar maupun gagasan yang coba ditawarkannya.

Vivi menulis cerita pendek sejak kecil, saat remaja cepen-cerpennya sering dimuat di majalah Hai, dan majalah Hai pernah menjulukinya sebagai penulis muda berbakat, dan cerpen-cerpen di buku “Menanti Sekarini” ini pernah dimuat di The Jakarta Post, Media Indonesia, Koran Tempo, seputar Indonesia, Suara Pembaruan, lampung post, Republika, Jurnal Nasional, dan lain-lain. Sehari-hari mantan salah satu none jakarta selatan ini, bekerja sebagai konsultan dan peneliti riset konsumen.

Banyak orang menyukai cerpen, karena para pembaca diajak untuk menyaksikan sebuah lanskap, yang merupakan representasi dari sebuah kehidupan nyata. Dan dengan kemahiran Penulisnya dalam meghujamkan endingnya yang terbuka, akan memaksa pembaca untuk menggali makna yang ada didalamnya, memberikan sebuah ruang yang terbuka untuk kontemplasi. Dan menurut saya Vivi mencoba melakukannya di dalam menulis cerita-cerita pendeknya ini. Bercerita dengan lepas dan lugas, tanpa berpretensi untuk menggurui atau semacam berkhutbah.

Ada benang merah yang dapat saya tarik sebuah tema dalam 15 cerita pendeknya ini. Sebuah tema “keterasingan” para tokoh-tokoh (yang diciptakan Vivi) dalam menggeluti realitas masyarakat urban megapolitan. Bagaimana para tokoh-tokohnya berjuang untuk mempertahankan idealisme agar tidak diberangus oleh realitas. Dan vivi memelilih gaya bahasa yang “puitis” dalam bercerita. Sehigga bisa mengaduk-aduk emosi dan imajinasi pembaca. Serupa puisi panjang yang indah, dan banyak alegori dan ironi di dalamnya.

Keterasingan-keterasingan terjadi dalam cerita ini karena banyak hal, tapi bermuara pada sebab hilangnya sifat jujur pada diri sendiri. Karena realitas yang mengharuskan berbohong dan menjadi orang lain. Pada Cerpen “menanti” (hal 1) saya menafsirkannya sebagai sebuah keterasingan kelas menengah kaum Profesional. Bagaimana manusia justru menjadi terasing ketika menjadi sebuah narasi “manusia adalah kerja”. Ada sesuatu yang “hilang” dalam diri, ketika hidup menjadi mekanis, menjadi hitungan untung rugi, menjadi tergesa-gesa karena di buru oleh waktu yang kian runcing. Dan sang tokoh pun “ maka kini. Ia harus membohongi diri, setiap kali”. Memburu kebahagiaan, dan setelah “merasa mendapatkannya” tanpa membaginya pada orang lain, maka Pada saat yang sama, jiwanya akan serasa masuk dalam lorong keterasingan yang dalam.


Keterasingan dalam kebisingan kota juga bisa dirasakan oleh kaum miskin. Gambar wajah Masnah (hal. 12). Vivi bertutur Ketika kata-kata dan wajah-wajah menancap melukai kota, dalam bentuk spanduk, poster, dan baliho. Wajah calon pemimpin dan wakil rakyat. Lewat penglihatan sang tokoh Masnah (penjual es lilin dan es limun), yang didera kemiskinan dan suaminya lari dipelukan penjual jamu. Justru merasa terasing saat melihat poster dan spanduk-spanduk tersebut, meski banyak wajah rupawan, tapi tak pernah bisa menyelesaikan akar permasalahan, baik kemiskinan maupun hidup dalam keaneka ragaman. Karena ada disparitas antara “pencitraan” dan realitas inilah keterasingan kaum miskin dan para pemimpinnya atau wakil rakyatnya menyergap. Dan vivi berhasil menceritakannya dengan “gayeng” dengan bahasa lugas, dan diselingi dengan idiom-idiom jawa.

Buruk ini, pikir Effendy cepat. Ia pikir lingkar terdalamnya sudah aman. Ia bangkit bergesa, membuat perempuan linda terhuyung berdiri dan tergegas berusaha mengembalikan kerapian atasannya dan rok panjang terbelah samping. Effendy menghampiri pintu dan menilik dari kaca bundar pengintip sebesar setengah kuku ibu jari.
“kamu kok nggak bilang mau datang malam ini, aku lagi pijat.” (hal 23)

Dalam cerpen berjudul Minyak Tawon, keterasingan menghujam sejak awal. Sejak seseorang mau menjadi istri simpanan. Saat ia harus siap di perkenalkan sebagai “asisten saya”. Dan semakin terasing karena ia mencintai pria tersebut bukan karena akses ke lingkungan orang penting, bukan karena kemudahan dan kemurahan materi. Tapi karena cinta yang membuatnya “ada”. Sebuah cinta yang harusnya membuat “bahagia”. Tetapi justru menjadikannya “terasing”. Dan Minyak tawon sebagai judul ini menjadi metafora dan ironi yang menggelinding sepanjang cerita. Sungguh sebuah kejelian seorang vivi dalam membuat cerita ini menjadi begitu hidup penuh ironi, tanpa tendensi untuk menggurui.

Dalam olenka, Budi darma menulis, keterasingan adalah saat kita bersama orang-orang yang ingin kita berpura-pura. Dan saya menemukan hal ini dalam cerita “Masjid Baru Pak Kolonel”. Dengan deskripsi mudik lebaran dari sang perwira, cerita mengalir dengan wajah-wajah penuh kepura-puraan, dengan motivasi ingin mengambil hati Pak Kolonel dan ingin mengkorupsi dana sumbangan pembangunan masjidnya. Di satu sisi bagi sang kolonel sumbangan untuk Masjid adalah sebuah tangga untuk menjadi Bupati. Sebuah Masjid yang harusnya menjadi simbol religiusitas, tapi justru menimbulkan keterasingan bagi para tokoh di cerita ini.

Milan Kundera pernah menyebut ini adalah era imagology, era kemenangan citra-citra. Dimana produsen budaya citra telah berhasil menjejalkan sebuah citra menjadi realitas, mimpi, juga harapan ke benak konsumen. Dalam era imagology, budaya citra tersebut di sebarkan ke berbagai media melalui televisi, radio, internet, surat kabar, maupun majalah. Dan ketika kecantikan adalah sebuah hal yang bisa di komodifikasikan. Maka parameter “cantik” adalah apa yang ada di dalam iklan media. Lansing, putih mulus dan “berisi” maka para perempuan berolah raga bukan untuk kesehatan, tapi agar memenuhi kriteria yang ada dalam iklan tersebut. Dan bukan kebebasan yang di dapat tapi justru keterasingan. Dan diceritakan oleh Vivi dalam “ angka dan Sarita”. (hal 100).

Angka-angka yang merenggut kebebasan diri :
1.Ukuran biji kacang pada bawah mata. 2. Pada hidung dan pipi. 3. Pada dahi. Makin banyak krim untuk bagian yang lebih sulit mengelupas. Makin banyak keharusan yang mesti di jalani. Dokter janjikan 3 bulan untuk krim mengelupas kulit kusam ini jadi licin bening ala perawan ting ting. 3 bulan merasakan perih iritasi. 3 bulan tidak boleh kena sinar matahari. Ah, angka-angka yang memenjarakan diri.

Secara keseluruhan saya memberi apresiasi yg tinggi pada cerpen-cerpen ini, tapi sebagai pembaca dan penikmat sastra tentunya saya berharap untuk cerpen-cerpen berikutnya, vivi mengeksplorasi gagasan-gagasan yang lebih runcing tentang realitas negeri ini. Seperti menguatnya fundamentalisme agama dan juga skeptisisme absolut yang terjadi pada sebagian grass root terhadap pemerintahan negeri ini. Kalau hal ini diungkapkan dengan gaya bahasa vivi yang puitis saya yakin pembaca akan lebih “melambung dan terhenyak” (meminjam istilah chairil anwar).



Judul buku : menanti sekarini (sekumpulan cerita)
Penulis : Vivi Diani Savitri
Penerbit : Koekoesan, Jl. K.H. Ahmad Dahlan V No. 10 Kukusan Depok.
Jika ingin mendapatkan bukunya bisa menghubungi mas
Sms di 082114047071




Arif Gumantia
Ketua Majelis Sastra Madiun

Senin, 16 Juli 2012

Saat Kau Bergegas

(1)
Saat kau bergegas di waktu pagi, ingatlah
Saat binar kilau tubuhmu, membawa rekah fajar dan matahari,
Begitu banyak kata-kata yang menancap
Menyemburkan luka pada tubuh kota
Menancap pada papan iklan reklame, spanduk, dan baliho
Sementara hidup kaum miskin menjadi sehalus jaring laba-laba
Seluruh hari-hari nya menuju selembar tipis ketiadaan


(2)
Saat kau bergegas di waktu siang, tersenyumlah
Saat lebah-lebah bertengger dalam kelelahan yang bisu
Dan kemarau memetakan pematang pada tubuh petani
Bersama jemari, keringat, dan air mata kenangan
Menjelma Dalam sepiring nasi yang kita santap
Sementara kebohongan semakin meruncing dan manyakitkan
Serupa tusukan sebuah peniti baru

(3)
Saat kau bergegas di waktu sore, singgahlah
Saat pohon-pohon berubah menjadi siluet kelabu yang senyap
Dan seulas kabut debu menggantung di atas jangkauan kita
Sekedar minum kopi bersama,
Bercakap atau tak bercakap,
dalam kesunyian yang dalam dan menuduh,
tapi ada sebuah rasa aman, kurasakan dalam
keheningan yang utuh

(4)
dan sebelum kau bergegas dan beranjak pulang,
tengoklah,
serupa senja yang menelan sempurna matahari,
hadirmu,
meski hanya ada dalam ingatan di pikiranku
selalu menelan habis semua kenanganku




Madiun, 17 Juli 2012
Arif Gumantia

Senin, 02 Juli 2012

Bentuk Pemerintahan Negara Islam : Sebuah wacana yang utopis

Maraknya Perda Syariah di berbagai daerah akhir-akhir ini, membuka sebuah ruang diskursus yang gegap gempita akan adanya ide sebuah bentuk pemerintahan negara Islam yang coba diusung oleh berbagai elemen yang terafiliasi pada Ideologi “Islam Kanan”. Tetapi sebelum kita lebih jauh membahasnya, alangkah lebih baik jika saya coba uraikan, tentang ajaran Islam yang substansif-filosofis dalam memandang dan memperlakukan umat non-muslim.

Islam mengakui eksistensi agama-agama yang ada dan menerima beberapa prinsip dasar ajarannya. Namun, ini tidak berarti bahwa semua agama adalah sama. Atau disebut sebagai paham singularisme. Dan yang berbeda jauh dengan paham Pluralisme. Karena, setiap agama, memiliki kekhasan, keunikan, dan karakteristik yang membedakan satu dengan yang lain. Mempunyai kekhasan dalam syariat dan ritualnya. Hal ini karena setiap agama lahir dalam konteks historis dan tantangannya sendiri.

Pluralisme agama tidak hendak menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Setiap agama memiliki konteks partikularitasnya sendiri sehingga tak mungkin semua agama menjadi sebangun dan sama persis. Pluralisme adalah tidak saja mengisyaratkan adanya sikap bersedia mengakui hak kelompok agama lain untuk ada, melainkan juga mengandung makna kesediaan berlaku adil kepada kelompok lain itu atas dasar perdamaian dan saling menghormati, demikian ungkap cendekiawan muslim Nurcholis Madjid.

Dan kalau kita mau jujur, semua agama baik yang berada dalam rumpun tradisi Abrahamik, maupun yang bukan, ada benang merah yang sama, mengarah pada satu titik tujuan yang sama, yaitu kemaslahatan dunia dan kemaslahatan akhirat. Juga adanya kehidupan setelah kematian. Terlepas bagaimana tafsir agama-agama tersebut akan bentuk surga atau nerakanya. Dengan memperhatikan kesamaan tujuan ini, perbedaan eksoterik agama-agama mestinya tak perlu dirisaukan. Sebagaimana prinsip dasar ajaran Islam yaitu rahmatan lil alamin.

Sebagaimana disebut pada Kitab suci Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 62 : Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabi’in, siapa saja, di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, Hari kemudian, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Ada baiknya kita tengok, sejarah terbentuknya negara Madinah. Ketika Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah tahun 622 Masehi, kondisi penduduk adalah majemuk dan mudah tersulut konflik. Sebagian penduduk menyambut gembira dengan kedatangan Nabi , ada juga yang tidak senang dengan kedatangan nabi. Dan langkah pertama yang dilakukan Nabi setelah berada di Madinah adalah memberikan ketenangan jiwa bagi seluruh penduduk kota itu. Semua golongan, Muslim, Nasrani, Yahudi, penganut paganisme diberi kebebasan yang sama dalam melaksanakan ajaran agama masing-masing. Juga diberi kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat serta kebebasan dalam mendakwahkan agama masing-masing.

Dan pada tahun pertama Hijrah, nabi membuat perjanjian dengan perwakilan agama-agama lain, yang dikenal dengan nama Piagam Madinah. Menurut cendekiawan Ashgar Ali piagam ini sangat revolusioner dan sangat mendukung gagasan nabi bagi terciptanya suatu masyarakat yang tertib dan damai. Yaitu perjanjian yang mengatur dan mengorganisasikan penduduk Madinah yang heterogen dalam satu sistem hubungan tertib sosial yang mencakup semua kelompok untuk hidup bersama dan bekerjasama dalam satu wilayah, dimana sebelumnya masyarakat Arab tidak pernah hidup sebagai satu komunitas antarsuku dengan suatu kesepakatan.

Yang menarik dari perjanjian atau Piagam Madinah itu adalah adanya jaminan kebebasan beragama bagi segenap penduduk Madinah disamping kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat. Dari sinilah saya sangat setuju dengan pendapat intelektual muslim dari Mesir Muhammad Husain Haikal, yang menyatakan bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem pemerintahan yang baku. Dan jika kita berbicara tentang suatu bentuk pemerintahan, umat islam tidak boleh hanya terpaku pada ide umumnya, apakah pemerintahan itu berbentuk otoriter ataukah perwakilan, kerajaan atau republik, demokrasi atau despotis. Pembicaraan hendaknya mencakup banyak hal yang berkaitan dengan gagasan umum sebuah pemerintahan secara utuh. Hal ini berarti mencakup sistem ekonomi, sistem moral, sistem kemasyarakatan, dan berbagai sistem lainnya, terutama yang berkaitan dengan soal-soal perdamaian, peperangan, agama, dan ilmu pengetahuan.

Islam hanya meletakkan seperangkat tata nilai etika yang dapat dijadikan sebagai pedoman dasar bagi pengaturan tingkah laku manusia dalam kehidupan dan pergaulan dengan sesamanya. Pedoman dasar itulah yang bermuara pada prinsip persaudaraan, persamaan, dan kebebasan. Persaudaraan meniscayakan adanya persatuan yang kokoh dan toleransi beragama di antara warga negara yang majemuk, yang terdiri dari berbagai suku dan agama.

Prinsip persamaan antar manusia dalam prakteknya mengarah kepada pelaksanaan musyawarah dan ditegakkannya keadilan. Penguasa hendaknya bermusyawarah dalam mengambil suatu keputusan yang penting, dan juga memperlakukan rakyatnya secara adil tanpa membedakan keturunan, kesukuan, dan kekayaan mereka. Tanpa membedakan antara yang muslim dan bukan muslim. Sebagaimana dikatakan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahwa memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya, sebaliknya menistakan manusia berarti menistakan penciptanya. Maka negara haruslah membela kemanusiaan tanpa syarat. Juga Menurut Gus Dur, karena keadilan tidak sendirinya hadir di dalam realitas kemanusiaan maka harus diperjuangkan.martabat manusia hanya bisa dipenuhi dengan adanya keseimbangan, kelayakan, dan kepantasan dalam masyarakat maka negara harus selalu melindungi dan membela pada kelompok masyarakat yang diperlakukan tidak adil, karena ini merupakan tanggung jawab moral kemanusiaan.

Prinsip kebebasan manusia diterapkan dalam bentuk memberikan kebebasan berpikir dan kebebasan menyatakan pendapat. Karenanya hak-hak individu dijamin, kepercayaan dan keyakinan penduduk tetap dijunjung tinggi. Penerapan ajaran kebebasan, khususnya kebebasan berfikir, dalam suatu negara mendorong rakyat dari negara bersangkutan untuk maju dan berkembang. Termasuk bebas dari rasa takut dan rasa lapar, sebagai syarat mutlak agar dapat hidup sejahtera dan tenteram.

Dari paparan di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem pemerintahan yang baku, Islam hanya meletakkan seperangkat tata nilai etika yang dapat dijadikan sebagai pedoman dasar bagi pengaturan tingkah laku manusia dalam kehidupan dan pergaulan dengan sesamanya. Pedoman dasar itulah yang bermuara pada prinsip persaudaraan, persamaan, dan kebebasan. Dengan demikian jika ada sebuah wacana yang ingin mendirikan negara Islam, khususnya di negeri ini, maka wacana tersebut serupa tangga yang berguguran saat sejak menyusunnya, karena sudah kehilangan pijakan historis dan argumentasi tafsirnya. Dan wacana tersebut akan menjadi sesuatu yang utopis, sesuatu yang hanya berhenti pada wacana yang diperdebatkan, karena sulit atau bahkan tidak mungkin diwujudkan dalam bangsa dengan masyarakat yang majemuk.

Sehingga Konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini, sudah tepat, dengan landasan Ideologi Pancasila dan UUD 1945. Kalaulah akhir-akhir ini kita masuk dalam kategori negara gagal, karena para pengelola negara dalam hal ini pemerintah tidak dapat memenuhi amanat konstitusi,tidak memenuhi hak-hak dasar warga masyarakat. Pemerintah yang dipenuhi dengan korupsi di semua lini, korupsi di semua pusat-pusat kekuasaan, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, dan bukan karena bentuk negaranya. Dan yang kita perlukan bukanlah Perda Syariah, tapi Penegakan Konstitusi dan Hukum secara Tegas. Sebagai Penutup saya akan mengutip kalimat Gus Dur "Kita semua memikul beban untuk memperjuangkan kebenaran Illahi, tapi pada saat yang sama kita harus juga memperjuangkan nilai-nilai Kemanusiaan."




Arif Gumantia

* Penggiat Komunitas GUSDURian Madiun dan Ketua Majelis Sastra Madiun.
* dimuat di situs resmi Nahdlatul ulama nu.or.id