Senin, 19 Juli 2010
"Kolecer Dan Hari Raya Hantu". 20 Cerita Pendek Kearifan lokal.
Benedict Anderson mengatakan sebuah negara adalah sebuah komunitas yang diangankan. Dimana komunitas yang diangankan tersebut terbentuk dari komunitas-komunitas dari berbagai suku, agama, ras, etnis, dan budaya. Sebuah keragaman yang penuh warna-warni dan pesona. Begitu juga kumpulan cerita Pendek “Kolecer dan Hari Raya Hantu” ini. Berisi kisah-kisah yang beragam yang digali oleh para penulisnya, kisah-kisah dengan ragam budaya lokal, kisah-kisah yang diangkat berdasarkan pengamatan atas tradisi, mitos, dan fakta yang ada.
“20 Cerita Pendek Kearifan Lokal” ini adalah karya kolektif dari 11 penulis, yang terdiri dari Benny Arnas, Cesillia Ces, Gunawan Maryanto, Hanna Fransisca, Khrisna Pabichara, Nenden lilis A, Noena Fadzila, Oka Rusmini, Sastri Bakry, Sutan Iwan Soekri Munaf, dan Saut Poltak Tambunan. Cerpen-cerpen yang ada adalah sebuah cerpen yang kaya nuansa dan makna. Dengan berbagai sudut pandang yang diambil penulisnya. Cerpen-cerpen yang diangkat dari tradisi, mitos, dan juga potret sebuah realitas, tanpa ada keinginan untuk menggurui, tanpa ada pretensi untuk berkhotbah. Pembaca bisa menarik berbagai kesimpulan lewat Tokoh, latar, alur, maupun tema cerita-ceritanya. Disinilah justru cerpen akan menjadi memikat. Seperti mengikuti liputan sebuah kamera, pembaca dibawa untuk menyaksikan lanskap, adegan, dan tokoh. Perasaaan, pikiran, permainan emosi dan pergolakan batin dapat kita terka dari kalimat dan tindakan para tokoh yang mengisi dunia fiksi para penulis. Watak dan alur tokoh, juga konflik adalah “diperagakan” bukan diuraikan. Disinilah justru pembaca mempunyai ruang yang luas untuk mencoba menginterpretasikan muatan moral yang ingin disampaikan para penulisnya.
Benny Arnas (Lubuk Linggau-Sumsel) dengan 3 buah cerpennya “Anak Ibu Yang Kembali”, “Tujuh”, dan “Tukang cerita”. Pada “Anak Ibu Yang Kembali”, merupakan Cerpen yang mempertanyakan tentang problem budaya. Antara budaya sebuah daerah yang mengagungkan anak Perempuan, tapi ada juga daerah yang mengagungkan anak laki-laki, dan menggali konflik dari tema tersebut. “Tujuh” menceritakan tetang mitos (yang kadang bisa menjadi “fakta”) Tukang tenung. Yang saya rasa dimanapun daerah-nya pasti punya mitos seperti ini, dengan nama yang lain. Dan “Tukang Cerita” Benny mencoba mengangkat tema Tukang Cerita, sebuah cerita tentang pendongeng yang semakin lama semakin hilang di era media cetak dan media audio visual saat ini. Cerita yang memikat dengan ending yang menyisakan misteri.
Cesillia Ces (Bali) menulis cerpen dengan tema perbedaan yang coba disatukan lewat cinta 2 anak manusia. Kisah cinta antara Bali dan Balige-Toba Samosir. Dan keduanya harus berbenturan dengan akar tradisi dan budaya masing-masing.
Gunawan Maryanto (Djogdjakarta) menghadirkan 2 buah cerpen “ Arya Mangkunegara” dan “Sarpakenaka”. “Arya Mangkunegara” dengan setting Jawa Tengah Tempo Dulu, Raja, tumenggung, Patih, dan keratonnya bercerita dengan narasi yang puitis tentang cinta, dendam, fitnah, intrik, dan pembunuhan. Yang menurut saya tema-tema tersebut tetap relevan sampai sekarang. Sedangkan Cerpen “Sarpakenaka” dengan latar peristiwa tahun 1965, sungguh menggedor, dan menyergap perasaan kita. Mencabik-cabik jiwa kita. Sebuah cerita tentang Wayang Kulit Sarpakenaka yang terbuat dari kulit manusia korban pembantaian Tahun 1965. sebuah cerita yang suram dan Gelap. Seperti melihat film dengan genre “Noir”.
Hanna Fransisca (Singkawang-Kalbar) menulis cerpen-cerpennya bak Puisi yang kaya Makna. “Hari Raya Hantu” dan “Sembahyang Makan Malam”. Cerita dengan alur yang mengalir indah untuk kita nikmati. Dengan metafora dan alegori hanna mencoba memberikan sebuah gambaran tentang budaya leluhurnya. Pengamatan, pengalaman, pemahamannya akan budaya leluhurnya juga kemampuannya membuat citraan dengan menulisnya dalam sebuah cerpen, patut kita beri apresiasi tinggi. Saya merasa disinilah kekuatan Hanna. Dengan gaya penulisan yang memancing imajinasi pembaca, sehingga kritikpun tetap terasa halus dan menggoda. Seperti Dalam “Hari Raya Hantu” yang membingkai disparitas antara kaya-miskin dalam kisah Perayaan hari raya Hantu. Juga dalam “Sembahyang Makan Malam” yang mempertanyakan sebuah makna kebahagiaan, tentang harta yang cukup tapi selalu didera kesepian. “Bunyi petasan yang diyakini dapat mengusir roh-roh jahat, kini meletup di dadanya seperti balon udara yang terbakar.” Mambaca kalimat ini, kita terasa hidup dalam kesepian yang menghimpit.
Khrisna Pabichara (Sulawesi Selatan), hadir dengan 3 Cerpennya. Cerita yang diangkat dari tradisi dan Mitos daerah sulawesi selatan ini membuat kita menjadi semakin mencintai keberagaman yang ada di negeri ini. “Laduka”, “Pembunuh Parakang”, dan “Selasar”. “Laduka” yang berkisah tentang tema Kerinduan akan Pulang. Kerinduan seorang Perantau. “Pembunuh Parakang” menelanjangi kita semua tentang intrik dan dendam dalam balutan mitos daerah leluhurnya.. Sebuah cerpen yang baik untuk intropeksi diri kita, bahwa tidak ada seorangpun yang sempurna. Dan kepiawaian bertutur Khrisna juga kita temukan pada “selasar”, cerita cinta yang sampai kapanpun akan tetap menarik untuk digali.
Nenden Lilis (Bandung) menulis 2 cerita Pendek yang merupakan potret sosial masyarakat. Potret manusia dengan segala problem kehidupaannya. “Hari Pasar” dan “Kolecer” kedua cerpen ini membuat kita melayang menuju masa kecil kita. Meskipun dengan setting daerah jawa barat, tetapi kisah didalamnya seperti menonton Tukang obat di pasar dan mandi di sungai tentunya akrab dengan masa kecil kita. “Hari Pasar” yang ditulis Nenden Lilis menceritakan tentang Tukang Obat yang suka menipu dengan menampilkan kesaktian yang palsu. Sedang “Kolecer” (kincir angin Khas Parahyangan) memberi ruang bagi kita untuk merenung. Bahwa hidup terus berputar. Sedih, bahagia, tangis, dan tawa akan selalu mengiringi perjalanan hidup kita. Yang dikemas dalam cerita hubungan antara anak perempuan dan bibinya.
Noena Fadzila (BMI Hongkong) seorang buruh migran di Hongkong menghadirkan Cerpen dengan judul “Sri Sumini”. Sebuah kisah yang mengharu biru tentang perjuangan seorang perempuan yang bekerja di Luar negeri dan sering menjadi obyek Eksploitasi para Oknum Majikan dan Penguasa. kisah nasib perempuan yang sering tertindas, sebagaimana larik dalam Puisi Chairil Anwar yang terkenal “Nasib adalah kesunyian masing-masing”
Oka Rusmini (Bali) menulis satu cerpen dengan judul “Pastu”. Kisah tentang problem benturan budaya dengan segala tradisi yang ada terhadap perubahan zaman. Sebuah kisah yang mempertanyakan konsep sebuah perkawinan dalam budaya yang patriarki. Sebagai seorang penulis cerpen yang handal, Oka berhasil mengganggu kesadaran dan pikiran kita tentang pertanyaan-pertanyaan yang dikemas dalam kalimat yang liris juga retoris. Pertanyaan-pertanyaan tentang hak atas tubuh perempuan dalam akar tradisi yang membelitnya.
Sastri Bakry (Padang) dengan cerpennya “Baminantu” merupakan cerita pendek dengan tema tentang penerapan adat dan tradisi, yang sering kita jumpai sering berseberangan dengan Agama. Seperti Tradisi bahwa pihak perempuanlah yang meminang pihak laki-laki sebelum melangsungkan Pernikahan secara adat. Tema inilah yang coba diangkat oleh sastri, hingga memunculkan konflik yang cukup tajam. Bangunan konflik dalam cerpen ini, cukup bagus hingga membuat kita penasaran untuk mengetahui endingnya.
Sutan Iwan Soekri Munaf (Pariaman-Sumatera Barat) lebih dikenal dengan nama Iwan Soekri, sebagai tokoh yang sudah melang melintang di ranah sastra negeri ini, yg juga ikut mendirikan yayasan multimedia sastra dengan Cybersastra.net-nya. Menyuguhkan Cerpen dengan judul “Pak Gubernur belum mendengar cerita ini”. Dengan gaya bahasa yang rancak dan enak dinikmati, khas minang, Iwan mengangkat tema tentang Kepahlawanan. Kepahlawanan kaum albino dalam menghadapi musuh, dengan setting cerita masa lalu, jaman Kerajaan Majapahit yang ingin menaklukkan Kerajaan Minang . Dengan kisah kepahlawanan kaum albino yang sering di pandang sebelah mata ini, membuat kita agar merekontruksi dan meredefinisi makna dari kata “Pahlawan”.
Terakhir Saut Poltak Tambunan (Tapanuli) Penulis Novel, dan Cerpen, yang beberapa Novelnya diangkat ke layar lebar dan sinetron, seperti Hatiku Bukan Pualam, Harga Diri, Dan lainnya. Menulis 3 cerpen untuk Kumpulan Cerpen ini. “Lali Panggora”, “Menunggu Matahari”, dan “Omak”. Kepiawaiannya dalam mengemas sebuah cerita membuat kita seakan larut dalam cerita-cerita yang dibuatnya. Dalam “lali Panggora” kita sejak awal kisah seakan ikut resah menunggu siapa yang akan dijemput kematian. Dengan munculnya “Elang Pengabar”, Elang Bondol yang hampir punah terbang berputar dan tinggi sebagai sebuah penanda akan adanya seorang yang meninggal di kampung tersebut. Elang yang menebarkan keresahan. Ini bisa jadi Mitos, tapi bisa juga sebuah realitas yang ada, realitas yang masih sering kita jumpai, mungkin di daerah kita juga. Mitos dan fakta memang punya batas yang sangat tipis. “Menunggu Matahari” menghadirkan Kisah kekerasan ayah terhadap anaknya. Sebuah metode mendidik kedisiplinan dengan penerapan yang salah. Sebuah cinta kasih ayah terhadap anaknya dengan cara yang salah. Hingga sang anak harus melarikan dari rumah. “Omak” menggali cerita dari kisah kasih seorang Ibu. Kasih yang tak mengenal batas dan balas. Dengan suasana cerita di jaman Pemberorantakan PRRI. Perjuangan seorang Ibu dalam menghidupi keluarganya.
Menulis cerita Pendek Diperlukan keahlian untuk memilih diksi, menciptakan Tokoh, dan juga membangun sebuah konflik batin para tokohnya. Bagaimana memilih diksi yang tepat dan juga ada nilai estetikanya. Sehingga pembaca bisa menikmati gambaran peristiwa, alur cerita yang mengalir, dialog-dialog para tokohnya. Pemilihan diksi yang tepat akan memancing imajinasi pembaca. Hingga kalimat-kalimat yang ada bisa bertransformasi, tidak hanya menjadi makna konseptual tapi juga imajinatif dan penuh religiusitas.
Terbitnya Buku Kumpulan Cerpen “Kolecer dan Hari Raya Hantu” ini patut kita beri apresiasi yang tinggi. Karena menghadirkan cerita dan kisah yang diambil dari kearifan Lokal. Saya yakin seperti yang Ditulis di Epilog, Bang Saut Poltak Tambunan akan juga menerbitkan cerita-cerita yang mengangkat keraifan lokal dari Wilayah Timur Indonesia. Hal ini belum ada di buku ini karena terkendala oleh berbagai keterbatasan teknis saja. Semoga buku kumpulan cerpen ini dapat bermanfaat bagi perkembangan sastra kita. Bravo Sastra Indonesia!
Madiun, 19 Juli 2010
Arif Gumantia
Juru Tulis yang bergiat di ESOK (Emperan Sastra COK) Surabaya.
Kamis, 08 Juli 2010
Tradisi dan akulturasi Budaya
Kata orang, “Pengalaman adalah guru yang terbaik, dan salah satu caranya adalah dengan belajar pada pengalaman sejarah masa lalu”. Ada sebuah akar tradisi yang sangat penting dalam kebudayaan masyarakat Islam, yang mengajarkan kita untuk menghargai perbedaan. Yaitu, penyebaran Islam melalui akulturasi agama dan budaya yang dilakukan oleh Wali songo (sembilan wali/sunan).
Ada sebuah akar tradisi yang sangat penting dalam kebudayaan masyarakat Islam, yang mengajarkan kita untuk menghargai perbedaan agama dan budaya. Yaitu, penyebaran Islam melalui akulturasi budaya yang dilakukan oleh Wali songo (sembilan wali/sunan).
Salah satunya bisa kita lihat pada bangunan Menara Kudus, yang dibangun oleh Sunan Kudus (Ja’far Shodiq) pada tahun 1949. kalau kita lihat bangunan menara kudus berbentuk bangunan Hindu dengan batu bata yang ditumpuk seperti candi. Bentuk menara yang digunakan untuk syi’ar agama Islam ini mirip dengan candi-candi pada masa Majapahit. Walau Sunan Kudus bisa dianggap cukup kaku dalam penyebaran kepercayaannya dan mendukung formalitas dibandingkan beberapa wali lainnya, namun ia juga masih mempunyai kemauan untuk merangkul unsur-unsur dari agama lain.
Selain itu adalah adanya tradisi Ziarah makam yang sudah mengakar pada masyarakat Indonesia. Khususnya masyarakat Jawa. Menurut Dr. Purwadi, Doktor filsafat lulusan UGM Yogyakarta, ziarah ke makam adalah meneruskan tradisi Hinduisme, yakni upacara Srada. Tradisi ini ada sejak masa pemerintahan hayam wuruk, raja Majapahit sekitar pertengahan abad ke-14. Srada adalah upacara memuliakan leluhur yang sudah meninggal. Dari kata Srada inilah, masyarakat Jawa mengenal “Nyadran” yaitu kegiatan ziarah ke makam leluhur.
Pada Astana Gunung Jati, yaitu Makam Sunan Gunung Jati, tidak adalah beragama Islam, tetapi juga penganut agama Budha dan Konghucu dari etnis Tionghoa. Mereka datang ke kompleks pemakaman untuk Ziarah ke makam Ong Tien, Putri kaisar Hong Gie dari dinasti Ming, yang diperistri oleh Sunan Gunung Jati. Disediakan tempat khusus untuk tempat peziarah Ong Tien, di sebelah barat serambi depan kompleks pemakaman Sunan Gunung Jati.
Akulturasi juga ada dalam sebuah ajaran yang di sampaikan Sunan Bonang melalui simbol budaya Jawa. Menurut Sunan Bonang, kita harus berpuasa dengan ikhlas dan hanya mencari ridho Tuhan agar setelah puasa bisa menikmati kupat. “Kupat” adalah makanan khas saat lebaran. Berupa nasi putih yang di masak di dalam janur. “Janur” di sini adalah daun kelapa yang masih muda. Sunan Bonang, yang juga dikenal dengan nama Tionghoa-nya Bon Ang, mengartikan kupat sebagai laku sing papat atau empat keadaan yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada orang yang berpuasa dengan keikhlasan dan kesungguhan. Yaitu: Lebar, Lebur, Luber, dan Labur. Lebar berarti telah menyelesaikan puasanya dengan melegakan. Lebur berarti terhapus semua dosa yang dilakukan di masa lalu, Luber berarti melimpah ruah pahala amal-amalnya. Dan Labur berarti bersih dirinya dan cerah-bercahaya wajah dan hatinya.
Orang yang mendapat “jatining nur” dan “laku sing papat” adalah orang yang lembut dan santun terhadap sesama umat tetapi sekaligus tegas dan berani melawan ketidak- adilan. Masing-masing diri kitalah yang dapat menentukan apakah kita berpuasa untuk meraih “jatining nur” dan “laku sing papat” ataukah hanya sekedar basa-basi agar tercitrakan sebagai orang yang saleh.
Sedangkan “janur” sendiri diartikan oleh beliau sebagai Jatining Nur, dalam pengertian kalau kita dapat berpuasa dengan penuh keyakinan dan keteguhan sikap (iman) dan penuh perhitungan serta kehati-hatian (ihtisaab) pada bulan syawal kita akan mendapat jatining Nur. Jatining nur inilah yang sejatinya di sebut fitrah. Memperoleh jatining nur berarti telah kembali ke Fitrah. Yang akan ditandai dengan perubahan perilaku dari yang semula tidak baik menjadi baik dan semula baik menjadi lebih baik lagi. Mereka yang kembali ke fitrah dengan “jatining nur” dan “laku sing papat” adalah mereka yang tawadhu’, jauh dari kesombongan, dan tidak mau bersikap sewenang-wenang atau melanggar hak orang lain seperti korupsi misalnya, baik korupsi materi maupun korupsi perilaku.
Masih banyak proses-proses akulturasi budaya yang dilakukan oleh para wali dalam menyebarkan agama Islam. Misalnya, Sunan Kalijogo lebih banyak menyampaikan nilai-nilai religiusitas dengan menyatukannya dalam pertujunjukan wayang Kulit. Baik cerita Mahabarata maupun Ramayana yang merupakan produk budaya agama Hindu. Dari sini kita dapat belajar dan bercermin bahwa Tradisi telah mengajarkan pada kita semua untuk menghargai perbedaan agama dan budaya. Perbedaan ini justru memperdahsyat kebudayaan dan agama itu sendiri.
Ada sebuah akar tradisi yang sangat penting dalam kebudayaan masyarakat Islam, yang mengajarkan kita untuk menghargai perbedaan agama dan budaya. Yaitu, penyebaran Islam melalui akulturasi budaya yang dilakukan oleh Wali songo (sembilan wali/sunan).
Salah satunya bisa kita lihat pada bangunan Menara Kudus, yang dibangun oleh Sunan Kudus (Ja’far Shodiq) pada tahun 1949. kalau kita lihat bangunan menara kudus berbentuk bangunan Hindu dengan batu bata yang ditumpuk seperti candi. Bentuk menara yang digunakan untuk syi’ar agama Islam ini mirip dengan candi-candi pada masa Majapahit. Walau Sunan Kudus bisa dianggap cukup kaku dalam penyebaran kepercayaannya dan mendukung formalitas dibandingkan beberapa wali lainnya, namun ia juga masih mempunyai kemauan untuk merangkul unsur-unsur dari agama lain.
Selain itu adalah adanya tradisi Ziarah makam yang sudah mengakar pada masyarakat Indonesia. Khususnya masyarakat Jawa. Menurut Dr. Purwadi, Doktor filsafat lulusan UGM Yogyakarta, ziarah ke makam adalah meneruskan tradisi Hinduisme, yakni upacara Srada. Tradisi ini ada sejak masa pemerintahan hayam wuruk, raja Majapahit sekitar pertengahan abad ke-14. Srada adalah upacara memuliakan leluhur yang sudah meninggal. Dari kata Srada inilah, masyarakat Jawa mengenal “Nyadran” yaitu kegiatan ziarah ke makam leluhur.
Pada Astana Gunung Jati, yaitu Makam Sunan Gunung Jati, tidak adalah beragama Islam, tetapi juga penganut agama Budha dan Konghucu dari etnis Tionghoa. Mereka datang ke kompleks pemakaman untuk Ziarah ke makam Ong Tien, Putri kaisar Hong Gie dari dinasti Ming, yang diperistri oleh Sunan Gunung Jati. Disediakan tempat khusus untuk tempat peziarah Ong Tien, di sebelah barat serambi depan kompleks pemakaman Sunan Gunung Jati.
Akulturasi juga ada dalam sebuah ajaran yang di sampaikan Sunan Bonang melalui simbol budaya Jawa. Menurut Sunan Bonang, kita harus berpuasa dengan ikhlas dan hanya mencari ridho Tuhan agar setelah puasa bisa menikmati kupat. “Kupat” adalah makanan khas saat lebaran. Berupa nasi putih yang di masak di dalam janur. “Janur” di sini adalah daun kelapa yang masih muda. Sunan Bonang, yang juga dikenal dengan nama Tionghoa-nya Bon Ang, mengartikan kupat sebagai laku sing papat atau empat keadaan yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada orang yang berpuasa dengan keikhlasan dan kesungguhan. Yaitu: Lebar, Lebur, Luber, dan Labur. Lebar berarti telah menyelesaikan puasanya dengan melegakan. Lebur berarti terhapus semua dosa yang dilakukan di masa lalu, Luber berarti melimpah ruah pahala amal-amalnya. Dan Labur berarti bersih dirinya dan cerah-bercahaya wajah dan hatinya.
Orang yang mendapat “jatining nur” dan “laku sing papat” adalah orang yang lembut dan santun terhadap sesama umat tetapi sekaligus tegas dan berani melawan ketidak- adilan. Masing-masing diri kitalah yang dapat menentukan apakah kita berpuasa untuk meraih “jatining nur” dan “laku sing papat” ataukah hanya sekedar basa-basi agar tercitrakan sebagai orang yang saleh.
Sedangkan “janur” sendiri diartikan oleh beliau sebagai Jatining Nur, dalam pengertian kalau kita dapat berpuasa dengan penuh keyakinan dan keteguhan sikap (iman) dan penuh perhitungan serta kehati-hatian (ihtisaab) pada bulan syawal kita akan mendapat jatining Nur. Jatining nur inilah yang sejatinya di sebut fitrah. Memperoleh jatining nur berarti telah kembali ke Fitrah. Yang akan ditandai dengan perubahan perilaku dari yang semula tidak baik menjadi baik dan semula baik menjadi lebih baik lagi. Mereka yang kembali ke fitrah dengan “jatining nur” dan “laku sing papat” adalah mereka yang tawadhu’, jauh dari kesombongan, dan tidak mau bersikap sewenang-wenang atau melanggar hak orang lain seperti korupsi misalnya, baik korupsi materi maupun korupsi perilaku.
Masih banyak proses-proses akulturasi budaya yang dilakukan oleh para wali dalam menyebarkan agama Islam. Misalnya, Sunan Kalijogo lebih banyak menyampaikan nilai-nilai religiusitas dengan menyatukannya dalam pertujunjukan wayang Kulit. Baik cerita Mahabarata maupun Ramayana yang merupakan produk budaya agama Hindu. Dari sini kita dapat belajar dan bercermin bahwa Tradisi telah mengajarkan pada kita semua untuk menghargai perbedaan agama dan budaya. Perbedaan ini justru memperdahsyat kebudayaan dan agama itu sendiri.
Langganan:
Postingan (Atom)