Dalam sebuah obrolan di Posyandu, bu bidan tanya ke Ibu-Ibu yang lagi rutin periksa kesehatan anaknya.
Bu Bidan : “bu ayu, KB pakai apa?
Ayu : “ KB suntik bu.”
Bu Bidan : “kalau ibu umi, KB pakai apa bu?”
Umi : “ KB spiral bu.”
Bu Bidan : “kalau ibu yanti apa ya Kbnya?”
Yanti : “ pakai dingklik (kursi kecil) bu”.
Bu Bidan : “lho kok pakai dingklik, gimana maksudnya”
Yanti : “ gini bu bidan, Suami saya itu kalau berhubungan sex khan sukanya dengan gaya berdiri, terus karena saya pendek, suami saya tinggi, maka saya berdiri dengan ancik-ancik (pake alas) dingklik. Nah pas melakukan hubungan sex saat terlihat dan terasa suami saya mau keluar spermanya, maka dingkliknya saya tendang, lha khan mrucut dan spermanya nyemprot di luar.”
Bu bidan : “???????????”
Selasa, 31 Mei 2011
Kamis, 26 Mei 2011
Nasihat Terakhir (Kumpulan Cerpen Agung Hima)
Banyak orang menyukai cerpen, karena para pembaca diajak untuk menyaksikan sebuah lanskap, yang merupakan representasi dari sebuah kehidupan nyata. Dan bagi saya cerpen yang menarik dan mengaduk emosi ataupun menyergap pikiran adalah cerpen-cerpen yang seperti sebuah puisi yang kaya makna. Yaitu Cerpen-cerpen yang didalamnya tidak banyak memberikan sebuah khotbah, cerpen yang tanpa banyak menggurui. Penulisnya tidak memberikan sebuah kesimpulan-kesimpulan tapi justru menghujamkan rentetan pertanyaan-pertanyaan yang memaksa pembaca untuk menggali makna yang ada didalamnya, memberikan sebuah ruang yang terbuka untuk kontemplasi pembacanya.
Dan Agung Hima, sastrawan asal semarang Jawa Tengah termasuk salah satu yang cerpen-cerpennya saya sukai. Lewat Buku Kumpulan Cerpennya “Nasihat terakhir” maka cerpen-cerpennya yang tersebar bisa kita nikmati dalam sebuah buku. Agung Hima, lahir di semarang 18 Oktober 1971, aktif malang melintang di dunia teater, dan menulis untuk media massa lokal khususnya rubrik budaya. Juga mengajar seni pertunjukan drama dan film di beberapa SMA dan perguruan tinggi di semarang. Dan sekarang aktif di Open Mind Community, sebuah komunitas yang membahas secara kualitatif tentang kebudayaan. Beberapa kali saya sempat ngobrol dengan agung hima, dan ternyata punya banyak kesamaan tentang buku-buku yang pernah di baca dan yang disukainya. Dia juga pernah cerita, buku yang paling saya sukai yaitu “mimpi-mimpi einstein” menurutnya adalah buku terumit yang pernah dia baca.
Ada 12 Cerpen yang ada di buku kumpulan cerpen “nasihat terakhir” ini. Cerpen pertama berjudul “dominique” . yang menarik di cerpen ini adalah deskripsi tentang perasaan dan tokohnya tidak diraikan secara panjang lebar, tapi pembaca dapat menerka pergolakan emosi dan dinamika batin tokohnya lewat dialog-dialog dalam kalimat dan tindakan para tokoh dalam dunia fiksi yang diciptakan oleh agung hima. Dan juga deskripsi tentang detail suasana cafe cukup jeli, hingga pembaca terasa ikut berada di dalamnya. Bercerita tentang percintaan tetapi dengan sebuah ending yang cukup menghentak dan menghadirkan sensasi “Di pelataran parkir bandara, kulihat pesawat yang membawa dominique melayang jauh mencumbui awan hitam. Pikiranku penuh dengan nama Dominique. Dominique yang anggun, dominique yang cantik, dominique yang penuh cinta, dominique yang laki-laki.”
Cerpen berjudul “Sejak Cerpen ke-10.764” akan membuat pembaca tersenyum getir dalam melihat sebuah kenyataan hidup seorang penulis, terombang ambing antara bagaimana memenuhi tuntutan untuk menghidupi keluarganya dan menggengam rapat idealisme. Dengan gaya bahasa yang mengalir, sebuah bahasa yang akan kita temui sehari-hari meski ada nuansa satire di dalamnya. Seperti dialog antara Parto, sang penulis dengan Marni istrinya yang barusan melakukan tes kehamilan, dan ternyata positif.
“kamu piye, to?” mata parto mendelik. “Lha Piye? Kok malah marah sama aku”. Sanggah Marni. “Habis kamu nggak ati-ati, sih!” kata parto. “Nggak ati-ati bagaimana? Wong kamu yang ngesrong terus ra ngerti wayah! Sudah aku bilang, kalo ini masa subur, mbok ya ditahan sebentar. Nanti kalau nggak di kasih marah-marah,”. Gerutu marni . ya sebenarnya marni seneng-seneng saja, habis hanya itu hiburan satu-satunya dirumah.
Cerpen “Sujud hening 1000 tahun” salah satu cerpen dengan genre religius tapi jauh dari kesan berkhotbah dan menggurui, sebuah cerpen yang penuh dengan rentetan pertanyaan tentang dimensi cinta . mengambil setting dari kisah kearifan lokal sunan bonang dan putri cempo. Bahwa cinta bisa hadir dan datang pada siapapun, tanpa perduli pada kategori-kategori yang fana pada diri seorang manusia, meskipun itu seorang sunan. Hingga seorang Sunanpun harus merintih “ Duh, kanjeng nabi tidakkah kau rasakan perih yang menyayat ini? Duh Gusti, Tidak adakah jalan keluar untukku, sekedar meninggalkan rasa cintaku terhadap cempo tanpa harus menyakitinya?.” Sebuah cinta yang begitu dalam tapi juga tak terjangkau. Dalam cerpen ini, menurut saya agung hima berhasil menyergap dan mengaduk emosi pembaca.
Yang menarik dari cerpen “Tikaman pesta” cerpen ke-4 adalah bagaimana agung hima menggiring pembaca untuk kemudian membantingnya dengan sebuah ending yang membuat kita memaki dalam hati, tentang giarti (Gie) yang naif yang punya cita-cita seperti kisah dalam cinderella. Cerpen Dengan kalimat-kalimat di awal cerita seperti sebuah puisi cinta yang kaya makna dan berakhir dengan sebuah paragraf “Gie, tolong diganti popoknya den Akson” suara itu kembali menyeret pada kemeriahan pesta. Menyadarkan dirinya bahwa babu dilarang punya cinta.”
“Nasihat Terakhir” adalah contoh bagaimana sebuah cerpen bisa dibangun lewat kalimat-kalimat dalam dialog tokohnya , dan dalam era tekhnologi ini dialog tersebut bisa dalam sebuah tulisan di email. Dari sebuah email yang akan dikirim inilah agung hima menggambarkan kejadian dan emosi para tokohnya. Dan pembaca seakan diajak untuk sama-sama merasakan sebuah kepedihan yang dialami tokohnya.kepedihan sebuah perselingkuhan, kepedihan karena ditikam cinta. Sungguh sebuah gaya bercerita yang menarik.
“Senja mulai merayap meniti lambat, seolah matahari tidak akan lagi menyisakan kata maaf bagi siapapun juga. Malam ini Nisfu Syaban. “ inilah kalimat awal cerpen “ Bakda Maghrib”. Yang menurut saya memberikan sebuah ruang penafsiran yang begitu dalam. Tentang sebuah syariat Puasa dan juga tentang hakikat yang sebenarnya Puasa. Agung hima menggedor dalam kalbu kita, saat ada orang atau bahkan tetangga terdekat kita harus puasa, bukan karena ingin berpuasa tapi karena memang benar-benar tidak ada yang bisa dimakan. Hingga benak pembaca akan penuh dengan kalimat-kalimat pertanyaan yang ada di dalam cerpen ini :”sampai kapan harus bersabar? Sampai di mana keikhlasan bisa menemukan indah pada waktunya itu?” dan pada akhirnya sang tokoh yang bernama ratpo menyerah pada keadaan, menyerah untuk membeli pisau dan pergi ke taman kota. sebuah cerpen yang menggambarkan Sebuah kenyataan yang menghimpit.
Cerpen anakku Bunga-bunga bagi saya adalah sebuah cerpen yang kalau di dalam genre film bisa di katakan dengan genre film “noir” atau Gelap. Sebuah Cerpen yang mengisahkan sisi gelap sebuah manusia dengan metafora di setiap kalimat dan paragrafnya. “Seperti yang sudah-sudah, setelah Papa berenang di tubuh mama, ia mengamcam dengan pedangnya. Memaksa mama kerja rodi menguras kolam renang yang kotor oleh lendir.” Metafora yang membuat pembaca merenung bahwa manusia adalah sebaik-baik makhluk yang diciptakanNYA. Tapi setiap saat berpotensi untuk menjadi makhluk yang paling hina. Kalau melihat tekhnik penceritaannya, agung hima bisa mengembangkannya dalam sebuah Novel yang panjang dengan genre “noir” seperti ini. Dan saya yakin akan memukau.
Cerpen “apakah Ratpo terluka” ini adalah cerpen yang menggambarkan realitas kekinian. Realitas sebuah kehidupan era digital yang selalu punya dua sisi. Sebuah sisi baik dan sisi buruk, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Agung hima seperti membawa kamera dan meliput sebuah kejadian, dimana kita bisa menyaksikan lanskap, adegan, dan tokoh-tokohnya. Dengan perkataan lain watak dan alur tokohnya diperagakan dan bukan diuraikan. Sebuah kisah perselingkuhan yang dimulai dari perselingkuhan dunia maya. Da n yang menarik di akhir cerita sang tokoh masih bisa bertanya “apakah aku terluka?”. Hingga pembaca akan berpikir, jika dihadapkan kenyataan seperti yang dialami para tokohnya, apakah saya juga akan terluka? Apakah saya bisa ikhlas menerima? Dan rentetan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Hal ini juga ada pada Cerpen yang berjudul “Salindri” . yang menceritakan percintaan dengan fasilitas era digital “Chatbox” dan “webcam”
Sedangkan pada Cerpen “perempuan dunia maya” . pembaca diajak untuk melintasi sebuah batas dikotomi antara laki-laki dan perempuan. Melintasi batas pandangan stereotipe Bahwa tidak selamanya perempuan adalah seorang yang penuh kelembutan. Ada kalanya perempuan juga menyimpan sebuah kekuatan dan kekejaman yang bisa diwujudkan saat motivasi memenuhi rongga dada. “Lelaki di dunia ini adalah wujud kebohongan dan kebodohan manusia, maka aku bangga dan sukarela untuk menghabisi kebohongan dan kebodohan yang mereka ciptakan”. Bisik raha kepada setiap lelaki korbannya yang tengah capek kepuasan. Gaya penceritaan dalam cerpen ini mengingatkan saya pada film-film misteri.
“Soliloqui labirin hitam” adalah contoh bagaimana sebuah cerpen bisa membuat kita menarik nafas panjang dan menghembuskannya setelah membacanya. Karena begitu dalamnya tema yang coba diberikan agung hima pada para pembacanya. Hingga kita perlu berdialog ke dalam diri kita sendiri agar bisa menyingkap sebuah labirin hitam. Dengan analogi legenda Jaka Tarub yang mencuri selendang nya bidadari yang mandi di pancuran. Sampai pada sebuah pertanyaan tentang kematian. “jangan takut, air kolam akan membuka rahasia padamu”. Perempuan itu terus mengajakku masuk ke dalam kolam. “aku akan mati, aku tidak bisa bernafas dalam air”. Aku ketakutan. Ah..ternyata aku masih saja takut mati.
Cerpen terakhir adalah “Amin Mati”. Pengambilan judulnya sungguh menarik. Sesuai dengan apa yang terjadi di sekeliling kita Amin dari kata al amin (jujur) banyak yang mati. Dan ini juga ditulis di dalam salam satu dialog cerpen ini “ Dimana-mana, jujur itu pasti ajur, min.” Begitu pernah dinasehatkan seorang teman. Yang menarik disini adalah agung hima menceritakan apa yang dilihat disekelilingnya tanpa sedikitpun menggurui tentang makna kejujuran. Hanya menyisakan sebuah pertanyaan pada kita para pembaca , saat Amin meradang menjelang maut “Jawablah Tuhan, sekejap saja.” Dan sepi merangkulnya. Sungguh sebuah cerpen yang memukau.
Ernest hemingway mengatakan : “ Keanggunan gerak gunung es terjadi hanya seperdelapan bagiannya yang muncul di atas air.” Dalam seperdelapan tersebut menyimpan sebuah magma. Begitupun cerpen, penggalan-penggalan kisahnya menyimpan sebuah makna yang dapat ditafsirkan oleh pembaca.
Secara keseluruhan saya memberikan apresiasi yang tinggi atas Buku kumpulan cerpen ini. Banyak tema yang diambil dan berbagai eksperimentasi tekhnik penceritaan. Sesuai dengan aktifitas Agung Hima yang malang melintang di dunia teater. Hingga banyak menemukan hal-hal yang bisa ditangkap dan diolah dalam sebuah cerita. Semoga kumpulan Cerpen “nasihat Terakhir” Agung Hima ini dapat menambah Khasanah Kesusasteraan Indonesia , agar semakin Hidup dan semakin menyebar di seluruh Negeri Ini.
Judul Buku : Nasehat Terakhir
Penulis : Agung Hima
Penerbit : Kawan Kita
Jl. Gombel Permai VI/107
Semarang.
Madiun, 27 Mei 2011
Arif Gumantia
GUSDURIans, Pemerhati budaya yang aktif pada Gerakan Koin Sastra PDS HB Jassin.
Selasa, 10 Mei 2011
Dongkrak Naik Turun (Modifikasi dari Humor grup Warkop)
Dalam sebuah bus yang penuh sesak, ada seorang cewek cantik barpakaian putih-putih naik dari sebuah halte. karena kursi sudah penuh ditempati, maka Paijo menawarkan diri, mbak saya pangku aja kalo mau?
ternayata si cewek mau, wah dapat rejeki iki rek, batin Paijo.
setelah si cewek di pangku, Paijo basa-basi bertanya, Namanya siapa mbak. si cewek menjawab : "lilin, mas". oh nama yang indah, lilin itu rela menghacurkan dirinya agar bisa menerangi kegelapan.( rayuan gombal paijo mulai menyerang). seindah dan secantik orangnya.
Kenalkan nama saya Paijo, dan obrolanpun berlanjut :" mbak lilin, kerja di apotik ya?". di jawab sama lilin :" iya mas, lho kok tahu mas?". Paijo menjawab : "lha, ini bajunya bau obat".
tidak berapa lama, Lilin ganti bertanya: "Mas Paijo kerjanya di bengkel ya, jadi montir?"...paijo langsut menyahut :"iya bener mbak, lho kok tahu juga"
dengan kalem lilin menjawab :"ini mas, Dongkraknya mas Paijo naik turun, terasa sampai Rok saya".
huahahhahahhahah..hahahhahahha..wakakkakakakkakkakaka
ternayata si cewek mau, wah dapat rejeki iki rek, batin Paijo.
setelah si cewek di pangku, Paijo basa-basi bertanya, Namanya siapa mbak. si cewek menjawab : "lilin, mas". oh nama yang indah, lilin itu rela menghacurkan dirinya agar bisa menerangi kegelapan.( rayuan gombal paijo mulai menyerang). seindah dan secantik orangnya.
Kenalkan nama saya Paijo, dan obrolanpun berlanjut :" mbak lilin, kerja di apotik ya?". di jawab sama lilin :" iya mas, lho kok tahu mas?". Paijo menjawab : "lha, ini bajunya bau obat".
tidak berapa lama, Lilin ganti bertanya: "Mas Paijo kerjanya di bengkel ya, jadi montir?"...paijo langsut menyahut :"iya bener mbak, lho kok tahu juga"
dengan kalem lilin menjawab :"ini mas, Dongkraknya mas Paijo naik turun, terasa sampai Rok saya".
huahahhahahhahah..hahahhahahha..wakakkakakakkakkakaka
Senin, 09 Mei 2011
BIAR! 'Puisi Mencakar wajahmu dengan kuku jemarinya yang lentik" (Kumpulan Puisi Nanang Suryadi)
Puisi yang diam-diam ingin kau tulis mencakar wajahmu. Dengan kukunya yang tajam. Dan kau menulisnya sebagai kepedihan. Inilah puisi, katamu, sambil membayangkan kuku di jemarinya yang lentik, dan menyisakan perih di wajahmu.
Demikian sepenggal bait dari puisi nanang suryadi yang berjudul “Puisi Mencakar Wajahmu dengan kuku jemarinya yang lentik”. Kita dapat merasakan luka macam mana yg dihasilkan dari sebuah jemari yang lentik dengan kuku yang tajam. Ruang imajinasi kita langsung penuh dengan sebuah bayangan perih dan mungkin kepedihan. Begitulah sebuah puisi, unsur-unsur yang menyusunnya dan sarana-sarana kepuitisannya membuat pembaca merasakan semacam Emosi, imajinasi, kesan pancaindera yang menyentuh perasaan , atau bahkan memunculkan pemikiran dan ide-ide baru.
Nanang Suryadi, lahir di Pulomerak, serang, 8 juli 1973, seorang penyair yang sudah tak asing lagi di percaturan sastra Indonesia, penyair yang juga dosen Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang. Beruntung sekali saya pernah satu Kost-kostan waktu Kuliah DI Malang. Masih ingat sering setelah maghrib nanang mengajak saya sharing tentang Puisinya, sambil membawa buku-bukunya Chairil anwar, subagio sastrowardoyo, WS Rendra, HB Jassin, dll, daripada diskusi tentang ekonomi, jurusan yang diambilnya waktu kuliah.:) hingga waktu itu saya sudah yakin, kalau kelak nanang akan menjadi Penyair hebat.
Buku-buku puisi nanang suryadi antara lain : Sketsa, sajak di usia dua satu, orang sendiri membaca diri, dan lain-lain. Puisi-puisinya Juga banyak masuk di antologi-antologi seperti Puisi tak pernah pergi (Penerbit Kompas,2003) , ini sirkus senyum (komunitas Bumi Manusia, 2002) dan masih banyak lagi. Juga Aktif mengelola fordisastra.com.
Puisi sebagai sebuah bagian dari seni tentunya juga tunduk pada sebuah hakikat karya seni, yaitu selalu terjadi keregangan antara Konvensi dan pembaharuan (inovasi). Itulah kenapa Rifaterre mengatakan Puisi selalu berubah-ubah sesuai dengan evolusi selera dan perubahan konsep estetiknya. Hingga sah-sah saja kalau nanang suryadi menulis puisi-puisinya sesuai dengan konsep estetik yang diyakininya, seperti Puisi di bawah ini :
Kutelusuri Matamu yang hitam
Lalu kutelusuri matamu yang hitam, sebuah lorong
Perempuan di mana kau simpan rahasia,
Pada tubuh yang rebah,pada tatap kekaguman, pada bayang
Sebagai gelinjang gairah atau lelah yang membuatmu
Menyerah
Lalu kutelusuri seluruh tubuh, dengan sorot mata mencari
Jejak riwayat,
Seperti tak dipercaya telah dipatahkan sepotong rusukku,
O dilorong-lorong panjang, kapan mimpi khan terjaga!
Dalam ilmu sastra (Poetika) disebutkan bahwa untuk membuat sebuah karya itu agar memenuhi unsur kepuitisan dapat dicapai dengan bermacam-macam cara, misalnya dengan Bentuk Visual : tipografi, susunan bait, dengan Bunyi : persajakan,asonansi,aliterasi,kiasan bunyi, lambang rasa, dan juga Orkestrasi dengan pemilihan kata (diksi), bahasa kiasan, sarana retorika,unsur-unsur ketatabahasaan, gaya bahasa, dan sebagainya. Dalam hal ini saya yakin sang penyair sungguh memahaminya, hingga puisi-puisinya terasa meminjam istilah Carlyle “ merupakan pemikiran yang bersifat Musikal”. Pembaca bisa merasakan nada dan irama, yang kadang menghentak membuat kita meloncat, atau ritmis hingga seperti kita menggoyang-goyangkan kepala, bisa juga begitu lirih seperti sebuah sayatan gitar, biola atau harpa. Seperti sebuah puisi di bawah ini:
Hanya Engkau Hanya
Telah diserahterimakan. Seluruh nasib. Ke dalam
Genggaman. Biarlah segala menghambur.menujumu.
Sebagai serpih.debu yang memburu.menyeru ngilu.
Demikian diri terlunta.pada tatapmu.
Tak berdaya diri. Tak
Hanya engkau. Hanya. Menggelisahkan aku. Dengan
Sepenuh rahasia kehendak dan aku? Terhisap ke dalam
Tubir. Gelegak.lumpur api. Marahmu.
Tak berdaya diri. Tak.
Terlontar aku. Terjerembab.dalam takut gundahku
Menatap wajahmu.
Dalam seni sastra secara teoritis juga dinyatakan bahwa puisi mempunyai nilai seni, bila pengalaman jiwa yang menjadi dasarnya dapat dijilmakan ke dalam kata (slamet muljana). Jadi sebuah luka ataupun rasa yang menyentuh jiwa sang penyair haruslah dijelmakan ke dalam kata, disinilah dibutuhkan kepekaan penghayatan, juga kedalaman perenungan, dan diaktualisasikan dengan memilih diksi (pemilihan kata dalam sajak) yang tepat hingga setiap diksinya mempunya daya evokasi, yaitu daya yang kuat untuk menimbulkan pengertian. Hingga pengalaman-pengalaman jiwa atau batin Penyair bisa dirasakan pembaca puisinya, merasakan sesuatu yang hadir dalam kehidupan dan begitu tiba-tiba menyergap perasaan.
Mungkin Engkau demikian Letih
Mungkin engkau demikian letih. Di puncak sepi mengamuk
Gelisah. Di puncak sunyi mengamuk cemas. Di puncak
Lengang mengamuk debar. Di puncak penat mengamuk amarah. Di puncak
Gejolak mengamuk gelombang. Rindumu
Mungkin engkau demikian letih menanti. Karena rindu
Menggelisahkan diri. Bertanya dan bertanya pada jam yang
Terus berdetik. Mengurai usai. Lalu bertumbuhan rasa bosan
Menunggu. Waktu demikian lambat merayap. Demikianlah
Engkau mencatat dengan airmata, kenangan demi
Kenangan. Rasa khawatir akan kehilangan. Walau tak ada
Yang melambaikan tangannya bagi sebuah perpisahan.
...........................................................................................
.......................................................................................
Secara keseluruhan dalam buku puisi nanang suryadi ini secara pribadi saya sungguh menikmatinya baik dari unsur-unsur kepuitisannya maupun muatan yang hendak disampaikan dari pengalaman-pengalaman batinnya. Ada banyak diksi-diksinya yang membuat puisinya menarik perhatian , menimbulkan kesegaran hidup, dan kejelasan sebuah gambaran angan. Juga asosiasi-asosiasi perasaan yang diciptakannya. harapan saya energi kreatif dari nanang suryadi tetap terjaga untuk semakin kreatif menciptakan puisi-puisi , meskipun menjadi penyair itu bagi banyak orang adalah sebuah jalan sunyi. Sebagaimana dungkapnya dalam puisi berikut ini :
Biar!
Tak kau ingat lampu-lampu yang menyihir kita menjadi
Orang yang menertawakan dunia. Tak kau ingat keringat
Meleleh di langkah kaki, di punggung, kening, menantang
Matahari! Menunggingkan pantat ke muka-muka orang-
Orang yang dipuja sebagai dewa!
O, engkau telah membunuh kenangan demikian cepat.
Seperti kulindas kecoak dengan ujung sepatuku. Perutnya
Yang memburai, putih, mata yang keluar dari kepala,masih
Bergerak-gerak, aku menjadi pembunuh, seperti dirimu.
Demikian telengas. Tanpa belas. Kepada kenangan.
Biar. Jika kau tak mau temani. Biar kurasakan nyeri sendiri.
Di puncak sepiku sendiri.
Madiun, 10 mei 2011
Arif Gumantia
Penggemar Puisi dan aktif Di Gerakan Koin Sastra PDS HB Jassin
Berumah di http://kalbukita.blogspot.com
Kumpulan Puisi “Biar”
Diterbitkan oleh:
Indie Book Corner
Gambiran Baru UH5 Gg. Ksatria No. 36 RT 45/08
Yogyakarta
(0274) 9207841
Cetakan pertama, Februari 2011
Langganan:
Postingan (Atom)