Aku bertemu khidir pada pertemuan sungai. Laut, dan rawa.
Dibawah jembatan tua berkarat, tempat menyeberang orang-orang yang diabaikan.
Khidir sedang mendirikan rumah dari kayu lapuk, dan atap dengan warna yang murung.
Aku berkata pada khidir : “kalau aku boleh bertanya padamu, akan kau beri batas berapa pertanyaan?’. “Dua pertanyaan dan satu pesan yang akan ku sampaikan pada masa lalu”
Akupun bertanya pada khidir : di mana rumah angin?
Khidir menjawab : “Rumah angin, adalah tempat di mana para nelayan melayarkan takdirnya, dengan perahu waktu, hingga tubuhnya berbuih ikan, dan selalu menggengam kompas bintang di hatinya.”
Pertanyaan keduaku pada khidir : di mana aku bisa temukan surga?
Dan khidirpun menjawab : “pada tempat yang paling gelap, di sebuah ruang dimana setiap saat kau ingat sekaligus kau lupakan, di ruang nuranimu, dimana diri sejatimu berada.”
Waktumu sudah habis, kata khidir. Aku harus kembali untuk merawat peta masa lalu yang sakit. Apa pesanmu?
Aku menjawab : “ tolong sampaikan pada musa, untuk meminjamkan tongkat pada firaun, agar firaun tidak mengejarnya, hingga tenggelam dan terkubur di lautan, dan kita yang berdiri di bawah langit ini, bisa mengetahui sebenar-benar kata memaafkan”.
Madiun saat lebaran
Arif Gumantia
Ketua majelis sastra madiun
Selasa, 04 September 2012
Langganan:
Postingan (Atom)