Proses
kreatif tentunya dimulai dengan pengalaman batin, pengalaman hati. Karena dalam
hati manusia itulah terdapat jendela untuk melihat Tuhan, untuk melihat
cerminan dirinya. Oleh karena itu, puisi juga merupakan katarsis, upaya bersih
diri dari bentuk-bentuk kehidupan profan dengan nilai-nilai transendental.
Puisi bisa menjadi pernyataan baru, sebuah cinta yang mendalam dan personal.
Demikian pernyataan dari Penyair Profetik-sufistik Abdul Hadi WM.
Begitu
juga proses kreatif yang akhirnya melahirkan antologi 2 penyair madiun ini.
Panji Kuncoro Hadi (PKH) dan Syukur A. Mirhan (SAM). Panji Kuncoro Hadi,
kelahiran Madiun, menulis puisi sejak belajar Di Program Studi Bahasa dan
Sastra Indonesia,
Universitas Airlangga Surabaya. Tahun 1996, Pernah memenangi Lomba Cipta Puisi
Se-Indonesia di Universitas Udayana Bali yang
diselenggarakan sanggar Purbatjaraka. Pernah menerbitkan antologi Puisi “mimpi
mawar” pada tahun 1996. Puisi-puisinya pernah dimuat di Surabaya Pos dan cerpennya
pernah dimuat dimuat di jakarta
Post. Sekarang menjadi Pengajar di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
IKIP PGRI Madiun.
Syukur
A. Mirhan, Penyair kelahiran Bogor
dan lama di Bandung ini, alumnus Program Pendidikan Bahasa Jerman IKIP Bandung.
Puisi-puisinya pernah dimuat di Pikiran Rakyat, Mitra Budaya, Bandung Pos,
Suara Karya, Republika, dan lain-lain. Pernah menerbitkan antologi Puisi Forum
Kebun Raya (1996), Air mata yang jatuh di negeri rembulan Timur (2004), dan
Rembulan pun melapuk di reranting perak. (2012). Sekarang melanjutkan Studi S-2
di Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Pasca Sarjana IKIP PGRI Madiun.
Panji
Kuncoro Hadi seakan mengajak kita bercakap-cakap melalui puisi-puisinya, dengan
penggunakan diksi, kata, kalimat dan bait-baitnya yang berisi Ironi atau
perlambang. Dengan gaya
ungkap yang Liris, mentransformasikan antara “kegelisahan jiwa” Penyair dengan
“kesadaran penyair itu sendiri. Puisi-Puisinya juga seakan sebuah percakapan
antara “nurani” dan “realitas yang harus dihadapi”. Misalnya dalam sajak
“Kepada Nimas”
Kepada
Nimas,
Sebuah
uneg-uneg
Banyak
yang dipikirkan nimas,
Setelah
kita berpergian menempuh hutan yang panjang
Menentukan
makan, pakaian, papan dan hari depan
Perjalanan
lakon ini akan abyor nimas,
Kalau
dilihat dari mata kanak-kanakmu
Yang
ada hanya petak umpet, dan playon, lalu sembunyikan
Kekalahan
memanggil ibu manggil bapak
Hidup
ini punya satu makna nimas,
Yaitu
Cinta, kesadaran tertinggi kita, bekal kalau mati nanti
Nimas,
sirine hari telah terdengar,
Adalah
pertanda hari telah terdengar,
Adalah
pertanda kita mulai lagi
Bekerja
dan bekerja di hutan yang panjang.
Ini
semacam percakapan suami ke istrinya (Nimas, panggilan buat istri dalam
Bahasa Jawa), dan sebuah Uneg-uneg juga istilah Bahasa Jawa yang berarti Sebuah
kegelisahan yang harus disampaikan, agar tidak menjadi beban dalam pikiran.
Dengan Perlambang Hutan yang panjang sebagai kehidupan di dunia ini, dan
realitas yang harus diperjuangkan, karena akan selalu ada cobaan, dan gangguan
di setiap langkah. Dan itu perlu kedewasaan, karena kalau bersifat
kekanak-kanakan, maka hidup ini akan abyor (berantakan), karena masa
kanak-kanak adalah masa penuh dengan permainan, seperti petak umpet, dan
playon (bermain lari-larian).
Dan
nurani selalu mengajarkan agar hidup punya makna, yaitu Cinta. Sebuah kesadaran
tertinggi dan bekal untuk kehidupan yang abadi nanti.
Octavio
paz pernah menulis dalam the other voice “ kontribusi apa yang bisa diberikan
oleh puisi dalam menciptakan teori politik baru? Bukan gagasan atau cita-cita
baru, tetapi sesuatu yang lebih indah dan agung dan juga gampang pecah :
MEMORI.” Ada
suara lain yang disuarakan oleh para penyair. Seperti puisi di bawah ini :
Kami
akan selalu melewati hari-hari itu
Kami
akan selalu mewati hari-hari itu bersama, pada setiap hujan di awal tahun dan
pekerjaan yang telah menunggu, Cuma aku kini tak bisa merekamu lagi walau lewat
surat dan cuaca
yang cepat berubah sebab itu adalah bunyi kalimatku kepadamu. Mungkin kau
sedang memasak atau menjahit bahkan mungkin kau sedang bermain atau
tidur-tiduran atau mungkin kau sedang memandangi jendela dan laut di mukamu.
Hari-hari memang akan terasa pendek nanti dan kita akan cepat jadi tua. Maka
ketika hatiku bertanya tentang usia, aku mencoba tersenyum dan kubayangkan
diriku adalah pembuat pusara yang paling setia yang menunggu seorang pembeli.
Puisi
di atas adalah hasil dari kontemplasi penyairnya hingga ada nilai-nilai
transendental yang dipercakapkan atau disampaikan kepada pembacanya. Sebuah
suara lain, Sebuah renungan tentang waktu yang fana. Tentang rutinitas dalam
melewati hari-hari, dengan ironi yang cukup membuat pembacanya “melambung dan
terhenyak” pada ending Puisinya. Pembuat pusara yang paling setia yang menunggu
seorang pembeli. Sesuatu yang paling dekat dengan kita, yaitu Kematian, dan
barangkali kita tak akan pernah bisa membuat pusara kita sendiri.
Kepada
Bisik (Isyarat dari bibir dan desis)
Kepada
pramudhita septiani
..............................................
..............................................
Kebonsari
masih jauh, dia tetap berkendara. Di dadanya
Tumpukkan
surat dan hujan
menjadi satu bergumul dengan
Mantel
kelelawar. Adik....aku gigit bibir ku perat
Selembar
daun mangga segar kecut dan pedas tersimpan di sadel
Mungkin
dia akan suka. Menggendong anak-anaknya dan berteriak
Paman
Hujan Paman Hujan masihkah paman ingat Bunda
Karangmojo-kebonsari
Kacamata
tebal dan rambut keriting putih dan berisi
Padi..padi
kapan aku bisa meminjam lehermu
Karangmojo-kebonsari
Keramik
hijau rumah bangunan, pohon nangka
Dan
pohon rambutan
Bapak
botak agak gemuk dan adik yang ngungun
Kapan
aku bisa menaruh selembar daun mangga segar kecut dan
Pedas
di atas meja rumahmu.
Kepada
bisik, isyarat dari bibir dan desis – aku yakin kau adalah
Ular
yang menjelma Putri
Putri
yang menjelma ular
Dongeng
yang terus kujaga dari debu dan sungai
Ayat
ini adalah hujan dan kakinya sekaligus tempat kau
Memainkan
isyarat
Tentang
ibu guru, sekolah, dan Rumput
Tentang
karangmojo dan kebonsari
Tentang
selembar daun mangga segar kecut dan pedas yang
Masih
tersimpan di sadel
Tentang
peta masa lalu yang sakit
Adik....aku
gigit bibirku perat
Puisi
di atas sangat imajinatif, puisi yang membangun suasana imajinasi pembaca
pada sebuah suasana perjalanan, hujan, dan desa. Suasana masa lalu
kanak-kanak dengan kalimat paman hujan paman hujan masihkah paman ingat bunda
dan Putri yang menjelma ular, dongeng yang terus kujaga dari debu dan
sungai. metafora selembar daun mangga segar kecut dan pedas yang
diulang-ulang, memberikan pengungkapan yang indah, dan memberikan penekanan
pada makna keiklhasan menerima sesuatu hal yang terjadi. Juga permohonan agar
bisa lebih rendah hati, lewat kalimat Padi..padi kapan aku bisa meminjam lehermu.
Setiap
kejadian alam adalah ayat, yang harus kita baca, agar kita bisa membaca
isyarat-isyarat semesta.
Begitu
juga Syukur A. Mirhan, mencoba mengungkapkan gagasan lewat Puisi-Puisinya,
dalam emosi, imajinasi, ide, irama, dan metafora. Hingga diksinya bisa
bertransformasi dari makna konseptual menjadi makna imajinatif sekaligus
religius, sesuai dengan latar belakang Kesantriannya. Hingga beberapa puisinya
menjadi puisi Profetik-sufistik (mengandung pesan-pesan kenabian dalam
ajaran agama yang substansif-filosofis). Seperti Puisi :
Lalu
aku pun luruh dalam diam yang fitri
Lalu
aku pun luruh dalam diam yang fitri
Melumat
pada hakikat keras jiwa bebatu
Dengan
sesunyian suci semedi kalijaga
Kupuasi
nafsu sepanjang bantaran waktu
Dalam
dzikir-dzikir riak dan tadarus arus air
Kuhanyutkan
serpihan seluruh perasaan
Dalam
bengawan ketiadaan
........................................................
...........................................................
Membaca
puisi diatas kita seakan berada dalam suasana mistis, magis, dan menghantarkan
kita pada suasana yang penuh religiusitas. Seperti berada dalam dzikir yang
khusyu’ dan syahdu. Dzikir riak dan tadarus arus air.
Seperti
apa yang pernah di katakan oleh (alm) WS Rendra “hanya dalam solidaritas dengan
lingkungan alam, budaya dan kosmos, manusia dapat merasakan kedekatan dengan
Tuhan hingga bisa manjing ing kahanan dan manunggaling kawula Gusti”.
Dalam
Puisi yang berjudul “Mancing” , Syukur A. Mirhan membuat diksi yang berisi perlambang,
idiom, dan citraan untuk menggambarkan sebuah laku untuk mencapai hakekat
keagamaan. Saat jiwa begitu luruh pada serpih perasaan, hanyut di arus bengawan
ketiadaan.
Mancing
:
melamun di atas jembatan madiun
Melempar
senar tafakur, jauh dan dalam
Ke
kedung renung, memancing ilham
Di
pucuk malam. Luruh serpih perasaan
Hanyut
di arus bengawan ketiadaan
Jemari
dinihari januari yang tiris
Menyawer
embun dan gerimis
Antara
garis bentang bantaran
Dan
baris berbatu yang menisan
Di
reriak air detik mengalir
Menyisir
tepi-tepi sesunyi
Kali
hati pemancing terakhir
Sebelum
tanggal denyut nadi
Dalam
ilmu sastra (Poetika) disebutkan bahwa untuk membuat sebuah karya itu agar
memenuhi unsur kepuitisan dapat dicapai dengan bermacam-macam cara, misalnya
dengan Bentuk Visual : tipografi, susunan bait, dengan Bunyi :
persajakan,asonansi,aliterasi,kiasan bunyi, lambang rasa, dan juga
Orkestrasi dengan pemilihan kata (diksi), bahasa kiasan, sarana
retorika,unsur-unsur ketatabahasaan, gaya
bahasa, dan sebagainya. Dalam hal ini saya yakin sang penyair sungguh
memahaminya, hingga puisi-puisinya terasa meminjam istilah Carlyle “ merupakan
pemikiran yang bersifat Musikal”. Pembaca bisa merasakan nada dan irama, yang
kadang menghentak membuat kita meloncat, atau ritmis hingga seperti kita
menggoyang-goyangkan kepala, bisa juga begitu lirih seperti sebuah sayatan
gitar, biola atau harpa. Seperti sebuah puisi di bawah ini yang menjadi judul
buku antologi puisi ini, Di Stasiun Buitenzorg, Buitenzorg adalah nama Kota Bogor
waktu dulu dari asal kata bahasa Belanda.
Di
stasiun Buitenzorg
Hingga
aku menjadi tinggal hanya sebulir debu
Pada
koper, kresek oleh-oleh, koran bekas, sepatu
Dan
pantat celanaku. Dan musim-musim melapuk
Di
keriput waktu. Tak pernah beranjak aku
Dari
bangku tunggu
........................................
..........................................
Sampai
tubuh bogor
sudah bau ibukota
Anak-anak
asing kepada hujan petir, angin, dedaunan
Dan
buah-buahan yang berjatuhan dari pohonan
Tidak
seperti gerbong, lori. Gembok gudang, plang PJKA
Dan
gubuk seng kaum urban. Di stasiun Buitenzorg
Hingga
23 lebaran. Seluruh perasaan yang akan kucurahkan
Tak
Pernah karatan.
Madiun, 19 Desember 2012
Arif
Gumantia
Ketua
Majelis Sastra Madiun
Judul
Buku : Antologi Puisi “ Sungai Kecil Dekat Stasiun Buitenzorg”
Penulis
: Panji Kuncoro Hadi dan Syukur A. Mirhan
Penerbit
: Langgar Alit Press, Jl. Ciherang Kidul 41 RT. 02/02
Laladon Ciomas Bogor
16610 Tlp. (0251) 7521579
Cetakan
Pertama : Juli 2012