Jangan
pernah menjual kesedihan dan tangismu hanya untuk masa depan, karena masa depan
adalah rancangan, kehidupan adalah sekarang, hadapi!
Demikian
prolog dari Novel “air mata terakhir bunda” karya Kirana Kejora, Novelis
Kelahiran Ngawi Jawa Timur. Sebuah kalimat yang membuat pembacanya diajak untuk
melayang menggapai bintang-bintang optimisme dalam hidup yang penuh dengan
Jalinan asing dan rahasia. Sebuah Novel dengan tokoh sentral Delta
santoso, nama yang diberikan ibunya, karena ayahnya pergi begitu saja tergoda
oleh perempuan lain, saat Delta berusia lima
bulan dalam kandungan. Nama yang berarti lahir di kota Delta, sidoarjo, dan diharapkan menjadi
manusia yang bisa mensentosakan bangsanya.
Secara
structural banyak hal yang bisa diangkat dari novel ini, dan bagi saya dapat
ditarik benang merah, ada tiga hal yang menarik saat membaca dan mengapresiasi
Novel ini. Yang pertama adalah tema yang dicoba diangkat dalam kisah novel ini,
kepedihan yang menghimpit dalam kemiskinan hidup karena adanya peristiwa Lumpur
lapindo, dan harapan-harapan yang coba disusun kembali dengan usaha keras dan
ikhlas dalam menjalani hidup.
Yang
kedua adalah penokohan. Sebagaimana dalam novel akan menjadi menarik, jika
penulis bisa menggambarkan perubahan karakter sang tokoh karena pengaruh
perkembangan usia, pengaruh lingkungan keluarga, juga kondisi sosio grafis.
Atau dalam istilah sastra sebagai proses karakterisasi dalam novel.
Yang
ketiga adalah Plot atau tehnik penceritaan dengan menggunakan alur cerita yang
disusun bolak balik, antara masa lalu dan kini. Bisa menciptakan semacam
lorong yang berputar, bisa menyergap emosi pembaca dan mengaduknya hingga
pembaca penasaran untuk segera menuntaskan endingnya. Dimana bagian awal dan
akhir novel bisa menjadi semacam “chemistry” dari novelnya.
Novel
yang tanpa banyak menggurui. Penulisnya tidak memberikan sebuah
kesimpulan-kesimpulan tapi justru menghujamkan rentetan pertanyaan-pertanyaan ,
memberikan sebuah ruang yang terbuka untuk kontemplasi pembacanya. pembaca
diajak untuk menyaksikan sebuah lanskap, yang merupakan representasi dari
sebuah kehidupan nyata.
Dalam
Novel Air mata terakhir bunda Kirana Kejora menuliskannya dengan gaya bahasa
yang mengalir, dengan sentuhan beberapa ironi yang memaparkan sebuah tatanan
soaial yang timpang, jurang antara kaya dan miskin, sebuah kondisi social
yang serupa kabut pagi, buram tapi selalu ada harapan untuk cerah mentari.
Kirana menawarkan cerita yang kontemplatif sekaligus imajinatif.
Delta
Santoso, kakaknya bernama iqbal, ibunya yang bernama sriyani, dan calon istri
Delta bernama Lauren, dengan tokoh-tokoh ini pembaca diajak menyaksikan lanskap
kehidupan kota
sidoarjo yang sebagian tenggelam oleh Lumpur lapindo. Kirana tidak memberikan
sebuah penghakiman pada peristiwa Lumpur lapindo ini, hanya beberapa halaman
yang menggambarkan kejadian ini, tapi dialog dan penggambaran emosi para
tokohnya bisa dirasakan oleh pembacanya, juga konsekuensi-konsekuensi dari
peristiwa tersebut, baik secara material maupun social budaya.
Desa
renokenongo, termasuk desa yang hilang terendam Lumpur. Sebuah makam sederhana
yang akan delta bangun itu telah tiada. Entah kini berada di titik mana, tak
jelas pandangan mata melihat keberdaaannnya. Semua telah tenggelam, membumi
dengan hadirnya gelombang Lumpur raksasa tiada duga. (makan Lumpur, halaman
167). Deskripsi sebuah kepedihan lewat narasi, tentang mereka yang kehilangan
tidak hanya rumah, tempat ibadah, sekolah, tapi juga “makam”, sebuah metafora
untuk penanda masa lalu.
penderitaan
yang ada ditambah dengan ditinggal dengan pergi oleh suaminya, maka
Sriyani (ibu Delta Santoso) harus menghidupi 2 anaknya dengan berjualan lontong
kupang, sate kerang petis udang. Hingga anak-anaknya berhasil menyelesaikan
sekolahnya di tingkat sarjana. Dengan deskripsi latar yang cermat, juga
tradisi-tradisi yang coba dituliskan di novel ini, mulai Delta santoso kecil
hingga dewasa, kirana mengajak kita untuk menyaksikan kota sidoarjo dengan atmosfer keindahan
sekaligus masalah-masalah yang menyertainya.
Milan
Kundera mengatakan Novel adalah sepotong prosa sintesis yang panjang. dan
didasarkan pada permainan dengan tokoh-tokoh yang diciptakan.
Prosa"sintesis" sebagai keinginan novelis utk memahami subyeknya dari
segala sisi dan dalam kelengkapannya yang paling penuh. kekuatan sintesis.
menyatukan "Esai ironis,narasi novelistis, penggalan otobiografis,
kenyataan historis, aliran fantasi" menjadi kesatuan tunggal. hingga
kekuatan sintesis novel ini sanggup mengkombinasikan segala hal ke dlm kesatuan
tunggal seperti bebunyian dari musik polifonis. kesatuan novel tidak
harus berasal dari plot, tapi bisa disediakan oleh tema.
Dan
Kirana Kejora mencoba menulis prosa sintesis ini, ada esai ironis tentang
Lumpur lapindo, narasi novelitis tentang kehidupan tokoh-tokohnya, kenyataan
histories dari tradisi masyarakat sebagaimana ada di novel Air mata terakhir
bunda, dengan memberikan penggalan kisah “legenda Candi Pari”. Juga aliran
fantasi dan imajinasi yang membuat pembacanya membayangkan apa yang sedang
terjadi dan dirasakan tokoh-tokohnya.
Dalam
konteks mengusung inovasi estetis, novel ini tidak merupakan sebuah novel
pembaharuan estetis. Tetapi dengan gaya
bercerita yang filmis, mengalir, dan lincah menujukkan kepiawaian pengarangnya
yang sudah lama malang
melintang di dunia tulis menulis. Kirana juga cermat dalam detail yang
mengingatkan saya pada gaya
John Steinbeck. Juga kecermatan menempatkan maksud dari judul air mata terakhir
bunda di ending cerita membuat pembaca diajak “melambung dan terhenyak”.
Saya
memberikan apresiasi yang tinggi pada Novel Air mata terakhir bunda Kirana
kejora ini., yang akan segera dapat kita
nikmati Versi layer lebarnya, dengan Happy Salma yang berperan menjadi Sriani. Semoga
Novel ini dapat menambah Khasanah Kesusasteraan Indonesia , agar semakin Hidup dan
semakin menyebar di seluruh Negeri Ini.
Arif Gumantia
Ketua Majelis Sastra Madiun