:SS
(I)
Pada musim yang membara
Terperangkap Bising dan jalanan kota kecil
Dalam gegas yang menderas
Tapi alunan melodi hatimu
Alirkan percikan tetes hujan menuju muara hatiku
(II)
Kita bertatap dan bercakap
Diantara keheningan dalam pendam harapan
Bercerita tentang masa lalu yang lepas dari tangkai waktu
Tentang kenangan masa lalu di sekolah
Dimana kita pernah tumbuh dan merawat kenangan
(III)
Dan kita sama-sama terjerat
Dalam rentang lintasan waktu
Tapi bukankah hidup akan menjadi indah
Jika kita bisa mengendarai cahaya waktu
Indah, jika kita saling memberi bias warna
Menyusun bianglala
(IV)
bahkan sejenak waktu kita bertemu
ada jembatan hatiku dan hatimu
telah terbangun
oleh cinta, mimpi, angan, dan pesona harapan
meski hanya sebuah atau beberapa tatapan
tapi
serupa dua bintang di langit biru malam
tatapanmu akan selalu kukenang hingga ujung usia
Madiun, 1 september 2012
Arif gumantia
Kamis, 28 Januari 2016
Senin, 11 Januari 2016
Ode Buat GUS DUR
Karya D Zamawi Imron
I
Aku tak tahu, kata apa yang pantas kami ucapkan
untuk melepaskan, setelah engkau bulat
menjadi arwah
Setiap daun kering pasti terlepas dari tangkai
bersama takdir Tuhan
Untuk itu kami resapi Al-Ghazali
bahwa tak ada yang lebih baik
daripada yang telah ditakdirkan Allah
Karena itu kami rela
mesti tak sepenuhnya mengerti
karena yang terindah adalah rahasia
II
Bendera dinaikkan setengah tiang
Tapi angin seakan enggan menyentuhnya
apalagi mengibarkannya
Biarkan bendera itu merenung
menafakkuri kehilangan ini
yang bukan sekadar kepergian
Bendera itu diam-diam meneteskan juga
air mata, yang didahului tetesan embun di ujung daunan
Semua membisikkan doa
seperti yang kucapkan setelah kau dikuburkan
Bendera itu seperti tak punya alasan
untuk berkibar, seperti kami yang tak punya alasan
untuk meragukan cintamu
kepada buruh pencangkul yang tak punya tanah
atau kepada nelayan yang tidak kebagian ikan
Cintamu akan terus merayap
ke seluruh penjuru angin
dan tak mengenal kata selesai
III
Di antara kami ada yang mengenalmu
sebagai pemain akrobat yang piawai
sehingga kami kadang bersedih
dan yang lain tersenyum
Yang kadang terluput kulihat
adalah kelebat mutiara
yang membias sangat sebentar
Hanya gerimis dan sesekali hujan
yang menangisi momentum-momentum yang hilang
padahal kami tahu
momentum tak kan kembali
dan tidak akan pernah kembali
IV
Matahari besok akan terbit
mengembangkan senyummu
lalu dilanjutkan
oleh bibir bayi-bayi yang baru lahir
Merekalah nanti yang akan bangkit
membetulkan arah sejarah
V
Selamat jalan, Gus Dur!
Selamat berjumpa dengan orang-orang suci
Selamat berkumpul dengan para pahlawan
Karena engkau sendiri
memang pahlawan
*) D. Zawawi Imron, penyair, tinggal di Sumenep, Madura
Minggu, 03 Januari 2016
MAUKAH KAU MENGHAPUS BEKAS BIBIRNYA DI BIBIRKU DENGAN BIBIRMU?
Karya
Hamsad Rangkuti
Seorang wanita muda dalam sikap mencurigakan berdiri di
pinggir geladak sambil memegang tali kapal. Dia tampak sedang bersiap-siap
hendak melakukan upacara bunuh diri, melompat dari lantai kapal itu. Baru saja
ada diantara anak buah kapal berusaha mendekatinya, mencoba mencegah perbuatan
nekat itu, tetapi wanita muda itu mengancam akan segera terjun kalau sampai
anak buah kapal itu mendekat. Dengan dalih agar bisa memotretnya dalam posisi
sempurna, kudekati dia sambil membawa kamera. Aku berhasil memperpendek jarak
denganya, sehingga tegur sapa diantara
kami bisa terdengar:
“Tolong ceritakan sebab apa kau ingin bunuh diri ?” kataku
memancing perhatiannya.
Dia tak beralih dari menatap ke jauhan laut. Di sana ada
sebuah pulau. Mungkin impiannya yang telah retak menjadi pecah dan sudah tidak
bisa lagi untuk direkat.
“Tolong ceritankan penyebab segalanya. Biar ada bahan untuk
kutulis.”
Wanita itu membiarkan sekelilingnya. Angin mempermainkan
ujung rambutnya. Mempermainkan ujung lengan bajunya. Dan tampak kalau dia telah berketetapan hati untuk mengambil
sebuah keputusan yang nekat. Tiba-tiba dia
melepas sepatunya, menjulurkan ke
laut.
“ini dari dia,” katanya, dan melepas cincin itu.
“Semua yang ada padaku, yang berasal darinya, akan kubuang
kelaut. Sengaja hari ini kupakai semua yang pernah dia berikan kepadaku untuk
kubuka dan kubuang satu persatu ke laut. Tak satu pun benda-benda itu kuizinkan
melekat ditubuhku saat aku telah menjadi mayat di dasar laut. Biarkan aku tanpa
bekas sedikitpun darinya. Inilah saat yang tepat membuang segalanya ke laut,
dari atas kapal yang pernah membuat sejarah pertemuan kami.”
Wanita muda itu mulai melepas kancing-kancing bajunya,
melepas pakaiannya, dan membuang satu persatu kelaut. Upacara pelepasan benda
yang melekat ditubuhnya dia akhiri dengan melepas penutup bagian akhir
tubuhnya. Membuangnya ke laut.
“Apapun yang berasal darinya, tidak boleh ada yang melekat
pada jasadku, saat aku sudah menjadi mayat, didasar laut. Biarkan laut
membungkus jasadku seperti kain pembungkus mayat. Biarkan asin airnya
menggarami tubuhku tanpa sehelai benang penyekat.”
Wanita yang telanjang itu mengangkat sebelah kakinya
melampaui terali, bersiap-siap membuang dirinya kelaut. Kamera ku bidikan
kearahnya. Di dalam lensa terhampar pemandangan yang pantastis! Wanita muda,
dalam ketelanjangannya, berdiri ditepi geladak dengan latar ombakdan burung
camar. Sebuah pulau berbentuk bercak hitam dikejauhan samudera terlukis di
sampingnya dalam bingkai lensa. Sebelum melompat dia menoleh ke arahku. Seperti
ada yang terbesit dibenaknya yang hendak dia sampaikan kepadaku, sebelum dia
melompat mengakhiri ombak.
“Ternyata tidak segampang itu membuang segalanya,” katanya.
“ Ada sesuatu yang tak bisa dibuang begitu saja.” Dia diam sejenak, memandang
bercak hitam di kejauhan samudera. Dipandangnya lekung langit agak lama, lalu
bergumam: “Bekas bibirnya. Bekas bibirnya tak bisa kubuang begitu saja.” Dia
berpaling kearahku. Tatapannya lembut menyejukan. Lama, dan agak lama mata itu
memandang dalam tatapan yang mengambang.”Maukah kau menghapus bekas bibirnya
dibibirku dengan bibirmu?” katanya dalam nada ragu.
Aku tersentak mendengar permintaan itu. Sangat mengejutkan,
dan rasanya tak masuk akal diucapkan olehnya. Permintaan itu terasa datang dari
orang yang sedang putus asa. Kucermati wajahnya dalam lensa kamera yang
mendekat. Pemulas bibir berwarna merah tembaga dengan sentuhan berwarna emas,
memoles bibirnya, menyiratkan gaya aksi untuk kecantikan seulas bibir.
“Tidak akan aku biarkan bekas itu terbawa ke dasar laut.
Maukah kau menghapus bekas bibirnya dibibirku dengan bibirmu ? tolonglah.
Tolonglah aku melenyapkan segalanya.”
Orang-orang yang terpaku dipintu lantai geladak berteriak
kepadaku.
“Lakukanlah! Lakukanlah!”
Seorang muncul dipintu geladak membawa selimut terurai, siap
menutup tubuh wanita yang telanjang itu.
“Tolonglah. Tolonglah aku menghapus segalanya. Jangan
biarkan bekas itu tetap melekat dibibirku dalam kematian didasar laut.
Tolonglah.”
“Lakukanlah! Lakukanlah!”
Teriak orang-orang yang menyaksikan dari pintu lantai
geladak.
Aku hampiri wanita itu. Orang yang membawa selimut berlari
kearah kami, menyelimuti kami dengan kain yang terurai itu. Didalam selimut
kucari telinga wanita itu.
“Masih adakah bekas darinya di bagian lain tubuhmu yang
harus kuhapus dengan bibirku?” bisikku.
SAYA Chenchen, Pak, “kata wanita itu memperkenalkan dirinya
begitu aku selesai menyampaikan cerpen lisan itu dan berada kembali diantara
penonton. “Saya menggemari cerpen-cerpen Bapak. Saya mahasiswi fakultas sastra
semester tujuh. Saya senang sekali bisa bertemu dengan Bapak, pengarang dari
cerpen-cerpen yang telah banyak saya baca.”
“Terima kasih. Namamu Chenchen? Tidak nama seorang Minang.”
“Bagaimana kelanjutan cerpen lisan itu ?”
“Kau harus melanjutkannya. Kalian para pendengarnya.”
Sejak itu kami akrab. Aku seperti muda kembali. Berdua
kemana-mana didalam kampus Kayutanam maupun ke danau Singkarak, Desa Belimbing,
Batusangkar, Danau Maninjau, Ngalau Indah, Lubang jepang, Ngarai Sianok, Lembah
Anai dan Istana Pagaruyung.
Besok adalah hari terakhir aku di Kayutanan. Aku harus
kembali kekehidupan rutin di Jakarta. Perpisahan itu kami habiskan di kawasan
wisata luar kota Padang panjang. Sebuah kawasan semacam taman, berisi rumah
gadang dari berbagai daerah di Minangkabau. Kawasan itu bersebelah dengan
lokasi Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau. Tempat itu sejuk
diliputi kabut, terkenal sebagai kota hujan. Sebentar-sebentar kabut tebal
melintas menutup kawasan itu. Kami mencari tempat kosong disalah satu bangunan
berbentuk payung dengan meja bulat dan kursi sandar melingkar, yang disediakan
untuk para pengunjung duduk-duduk memendang puncak gunung Merapi. Kemi
berkeliling mencari tempat kosong, tetapi semua bangunan-bangunan kecil itu
telah dihuni pasangan-pasangan remaja. Mereka duduk memandang lembah dan lereng
gunung yang terus menerus diselimuti kabut yang datang seperti asap hutan
terbakar.
Kami akhirnya duduk dihamparan rumput berbukit, diantara
rumah gadang pajangan dalam ukuran yang sebenarnya.
“Selama lima hari, siang dan malam tak pernah berpisah.
Malam kita duduk berdekatan diwarung-warung membiarkan kopi dingin sambil kita
berpandangan. Aku mendengar proses kreatifmu sedang kau mendengarkan riwayat
dan asal usul tempat-tempat yang akan kita kunjungi besok pagi. Kita tidak
menghiraukan mata-mata yang memendang kita. Kita biarkan percakapan-percakapan
tentang kita. Tanganku kau pegang dan aku merebahkan kepala ke bahumu dalam
udara dingin Kayutanam. Semua itu akan menjadi kenangan. Besok kau akan pulang
dan aku akan kembali ke kampus.
”Kita pergi ke Lubang Jepara. Masuk ke dalam kegelapan gua.
Berdua kita di dalam kegelapan tanpa seorang pengunjung pun mengawasi kita. Aku
berbisik, seolah kita masuk kedalam kamar pengantin dan kau meminta lampu
dipadamkan. Kita duduk di puncak pendakian di Lembah Harau. Kita duduk berdua
memandang kebawah mengikuti arah air terjun. Lembah kita lihat dari ketinggian
dan tempat itu sangat sunyi. Kita biarkan kera-kera mendekat dan kita tidak
meras terganggu. Kita biarkan pedagang kelapa muda itu meletakan sebutir kelapa
dengan dua penyedot dilubang tempurungnya. Kita tidak hiraukan dia turun
meninggalkan kita dan membiarkan kita berdua menikmati kelapa muda yang kau
pesan. Kita benar-benar berdua ditempat
sunyi itu. Kita menyedot air kelapa muda itu dengan dua alat sedotan dari
lubang tempurung yang sama. Aku satu dan kau satu. Terkadang kening kita
bersentuhan pada saat menyedot air kelapa muda itu. Kita pun lupa, mana milikku
dan mana milikmu pada saat kita mengulang
menyedot air kelapa muda itu. Kita sudah tidak menghiraukannya. Sesekali
kedua penghisap air kelapa itu kita gunakan keduanya sekaligus, bergantian,
sambil kau menatap tepat ke mataku dan aku menatap tepat ke matamu. Aku yakin,
hal itu kita lakukan semacam isyarat yang tak berani kita ucapkan.
“Kelapa itu kita belah. Kau sebelah dan aku sebelah.
Alangkah indahnya semua itu.”
“Kenangan itu akan kubawa pulang.”
“Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan
bibirmu ?” aku mendekat kepadanya. Kabut tebal datang kepada kami. Begitu tebal
kabut itu, seolah kami terbungkus didalam selimut yang basah. Tak tampak
sesuatupun dalam jarak dua meter. Kelambu kabut itu menutup kami dari pandangan
dunia. Kami berguling-guling diatas rumput dalam kepompong kabut.
“Masih adakah bekas yang lain di bagian tubuhmu yang harus
kuhapus dengan bagian tubuhku?” bisikku.
Dia menggeliat didalam kabut. Dicarinya telingaku.
“Tak ada bekas yang lain, yang perlu dihapus, sayang.”
Bisikinya.
Serpihan kabut menyapu wajah kami bagaikan serbuk embun
dipercikan.
“Apakah kita akan keluar dari kepompong kabut ini sebagai
sepasang kupu-kupu?”
“Bekas ini akan kubawa pulang dan akan ada yang
menghapusnya. Bagaimana denganmu?”
“Akan kutunggu bekas yang baru di bekas yang lama, darimu.”
“Apakah itu mungkin?”
“Mungkin”
“Aku lima empat dan kau dua dua. Itu tidak mungkin.”
“Mungkin.”
“Aku Datuk Maringgih dan kau Siti Nurbaya, dalam usia. Apa
yang memaksamu?”
“Entahlah. Akupun tak tahu.”
Kami turun dari puncak bukit itu berpegangan tangan. Dia
memegang erat jari-jariku. Dan aku memegang erat jari-jarinya. Seolah ada lem
perekat di antara jari-jari kami
Langganan:
Postingan (Atom)