Membaca puisi-puisi Jalaluddin Rumi, seperti membaca kitab
cinta. Cinta yang menembus ruang dan waktu, cinta yang melampaui dunia dan
seisinya, cinta yang menyentuh langit. Puisi-puisinya berbicara tentang cinta
pada Tuhan, cinta pada semesta, cinta pada sesame manusia
Puisi-Puisi Rumi, demikian sang filsuf penyair kelahiran
Afganistan ini sering disebut , merupakan
refleksi dari bagaimana menangkap
pengalaman batin dari berbagai peristiwa dan kejadian yang menghasilkan sebuah
kegelisahan. Kegelisahan tentang
pertanyaan kehadiran Tuhan di
halaman hati kita, kegelisahan tentang rasa cinta pada Tuhan, semesta, dan
manusia yang diolah dalam sebuah proses
kreatif, direnungkan secara mendalam dan digabungkan dengan nilai-nilai
transcendental sehingga menjadi Puisi-puisi cinta yang menyentuh jiwa
pembacanya.
Puisi –puisi Rumi ini juga bisa menjadi sebuah fungsi dari
hasil pengamatan dari sebuah waktu sejarah yang dilalui oleh sang penyair, ada
yang luput tak terjamah sejarah, di sini mungkin puisi dengan getir dan haru
mencatatnya, dengan sebuah bahasa yang bisa menjadi indah. Tentunya pembaca
puisi dalam membaca pesan moral dalam puisi, juga dituntut untuk punya
kreatifitas yang bisa membawanya menguak makna dari kata-kata yang di sajikan
penyair .
Pada titik inilah Upaya yang dilakukan oleh Haidar Baqir,
penulis kelahiran solo, alumni S-3 jurusan filsafat Universitas Indonesia
(UI) dengan menerjemahkan Puisi-puisi
Jalaluddin Rumi patut kita apresiasi.
Dengan memilih dan memilahnya menjadi Puisi-puisi pendek agar bisa
dituliskan dalam media sosial twitter.
Sehingga para pembaca bisa menikmati puisi-puisi tentang keagungan cinta
yang bisa membuat kita hidup dengan seluruh rahmatNYA.
“Mari kita pahat permata dari hati yang membatu/ dan
membuatnya sinari jalan kita/ menuju cinta”
( hal 15 )
Dengan gaya ungkap
yang Liris, Rumi mentransformasikan antara “kegelisahan jiwa” Penyair dengan
“kesadaran penyair itu sendiri. Puisi-Puisinya juga seakan sebuah percakapan
antara “nurani” dan “realitas yang harus dihadapi”. Dimana segala Hal ihwal
hidup ada di kedalaman hati nurani .
“ Tempat terindah di muka bumi adalah titik pusat hatimu, tempat
hidup bermula” ( hal 38 )
Rumi mengajak kita semua untuk selalu berkaca pada hati
nurani, karena di situlah diri sejati kita berada, segala kehidupan yang
sebenarnya bermula. Bukan kehidupan yang penuh kepura-puraan.
Tafsir atas puisi-puisi Rumi juga menghasilkan sebentuk
pemahaman bahwa kita harus selalu menebarkan kebaikan dimanapun dan dalam
kondisi apapun, karena hal inilah yang membuat hidup kita sebagai manusia
menjadi berarti.
“Dalam malam penuh derita dan kegelapan, jadilah lilin yang
tebarkan cahaya, hingga fajar tiba” (hal 48)
Betapa banyaknya orang mendefinisikan cinta, tetapi semua
definisi tersebut selalu berhenti pada pengertian yang menggetarkan hati,
definisi-definisi tersebut tak bisa dengan tepat menggambarkan apa itu cinta.
Karena cinta adalah sebuah “laku” sebuah proses yang tiada henti. Cinta hadir
di dalam jiwa setiap manusia, dan menunggu kita untuk melaksanakan segala rasa
dan isyarat tersebut agar selaras mewujud menjadi perilaku kita sehari-hari.
“jangan Tanya apa yang bisa dibuat dan diberikan oleh cinta.
Lihat saja warna-warni dunia” ( Hal 93 )
Puisi-puisi Rumi terkadang juga mendekonstruksikan apa yang
selama ini kita pahami sebagai sebuah kebenaran. Salah satunya adalah tentang
pencarian Tuhan, banyak diantara kita mencari Tuhan di kehidupan padahal Tuhan
ada di dalam diri kita, Tuihan lebih dekat dari urat nadi leher kita, sepertiyang
ada di halaman 111:
“ kaucari Tuhan, itu masalahnya. Tuhan dalam dirimulah yang
sedang mencarimu”
Berapa kali kita meninggalkan Tuhan dalam hidup ini, tetapi
Tuhan selalu mencintai kita tanpa syarat apapun.
Mengejawantahkan Cinta Tuhan inilah yang harus selalu kita
upayakan, bahwa mencintai kemanusiaan
itu harus tanpa syarat baik itu syarat suku, agama, ras, atau golongan apapun.
Kalau hal ini bisa diterapkan tentu tidak ada teror dan pembunuhan atas nama
Tuhan.
Sebagai salah satu unsur penyusun Puisi yaitu diksi,
puisi-puisi Rumi juga menggunakan metafora dalam diksi-diksinya sehingga
menjadi puisi yang indah, bertransformasi dari metafora imajinatif menjadi makna konseptual yang
dalam dan mengandumg estetika, seperti dalam Halaman 135
“ ada segumpal pagi dalam dirimu yang menanti untuk merekah
menjadi cahaya”
Dan halaman 140 :
“jadilah bak mentari, beri berkah dan rahmat/ Bak malam demi
menutupi salah orang/ bak air demi alirkan kedermawanan/ bak bumi demi pelihara
kerendahhatian.
Ada kedalaman makna yang bisa kita tafsirkan di dalamnya
tentang kehidupan manusia, dimanapun kita selalu bisa menjadi cahaya yang
menerangi sesama.
Puisi-puisi Rumi menjadi relevan ketika setiap saat kita
melihat tentang huru hara politik, teror, dan siasat siasat licik yang menimbulkan
luka-luka kemanusiaan.
Semua hal ini bermula dari ketiadaan cinta. Sehingga
menjelma menjadi manusia-manusia yang berbahaya. Untuk itulah membaca
puisi-puisi Rumi yang diterjemahkan Haidar Bagir ini, bisa memberikan
kontemplasi yang dalam agar kita kembali ke Jalan Cinta. Agar dunia ini menjadi
indah penuh warna warni cinta, sebagai mana yang dikatakan almarhum Gus Dur :
jangan hanya berhenti mencintai agama, tapi agamakanlah cinta.
“dalam cahayamu kubelajar mencinta/ dalam jelitamu, membuat
puisi/ Kau menari dalam dadaku/dari itu menjelmalah seni ini” (hal 141)
Arif Gumantia
Ketua Majelis Sastra Madiun
Judul buku
: Mereguk Cinta Rumi
(serpihan-serpihan puisi pelembut jiwa)
Penulis
: Dr. Haidar Bagir
Penerbit
: Mizan ( PT Mizan Publika) Jl. Jagakarsa Raya No. 40 Rt 7 Rw. 4
Jagakarsa,
Jakarta Selatan 12620 telp. 021-78880556
Cetakan
: Pertama, Februari 2016
Halaman
: 285 halaman