Menulis buku tentang Matematika dengan gaya bahasa yang
mudah dipahami tentu tidaklah mudah, karena harus bisa menjelaskan kepada
pembaca, logika matematika dan logika bahasa secara bersamaan. Sebagai mana
diketahui oleh sebagian besar orang, matematika adalah ilmu “pasti” yang
memerlukan aksioma, difinisi, teorema, dan rumus untuk memenuhi unsur-unsur kepastian tersebut. Sedangkan
“bahasa” dipandang sebagai sesuai yang tidak pasti, tergantung konteks
kalimat-kalimat yang disusun, sebuah kata bisa punya makna yang berbeda-beda
tergantung konteks kalimatnya.
Tetapi sebenarnya tidaklah demikian, keduanya merupakan
bagian dari ilmu pengetahuan, yang tentu tidak akan mencapai sebuah kebenaran
yang absolut, keduanya akan terus diuji oleh pembuktian-pembuktian secara
ilmiah, akan ada kebenaran-kebenaran baru yang hadir. Dari hal yang tidak mudah
inilah, maka Buku “Menuju Tak Terhingga”
karya Hendra Gunawan, Guru Besar Fakultas MIPA Institut Teknologi Bandung ini
harus kita apresiasi. Buku yang membahas
tentang ketakterhinggaan dalam matematika, sebuah bahasan yang menjadi
kontroversial dan perdebatan sejak jaman Yunani Kuno.
Perdebatan antara Zeno dan Aristoteles dengan Eudoxus dan Archimedes.
Dalam buku ini pembaca akan diajak berimajinasi dan
berkelana tentang infinitesimal, yang berpijak pada konsep ketakterhinggaan.
Infinitesimal inilah yang melandasi teori kalkulus. Bahasan-bahasan di buku ini
menarik, bukan hanya bagi para pelajar, mahasiswa, Guru, atau Dosen Matematika,
tetapi bagi siapa saja yang concern dan menyukai ilmu pengetahuan, karena
ditulis dengan gaya bahasa yang mudah dipahami, dengan contoh-contoh dan gambar
yang mudah kita bayangkan, dan terkadang dengan gaya bahasa puitis, juga
diselingi humor. Buku ini juga menarik untuk dibaca karena berisi sejarah penemuan Konsep dan rumus Matematika,
oleh para matematikawan sejak Jaman Yunani kuno sampai abad Modern. beberapa
Mulai dari keterbilangan himpunan bilangan asli, ketakterbilangan himpunan
bilangan real, perhitungan luas daerah di bawah kurva, kecepatan sesaat, dan
gradien garis singgung, seperti yang
dilakukan oleh Isaac Newton, dan Gottfried Wilhelm Leibniz.
Menurut Aristoteles, ketakterhingganan aktual sebenarnya
tidak ada, yang ada hanyalah ketakterhinggaan potensial, dalam pengertian bahwa
kita dapat mempunyai bilangan yang sangat besar, sebesar yang kita kehendaki,
tetapi tetap terhingga. ( Hal 14 ). Tetapi beberapa abad berikutnya beberapa
cabang matematika, menggunakan konsep-konsep ketakberhinggaan, seperti
Analiisis Geometri Diferensial dan Teori Kontrol. Begitu juga dengan
Pythagoras, yang rumus segitiga siku-sikunya mulai kita kenal sejak Sekolah
Dasar, pernah berfatwa bahwa “semua adalah bilangan” maksudnya adalah semua
yang ada di alam ini dapat dikuantifikasi atau dinyatakan seperti bilangan
rasional. Dan hal ini dipatahkan oleh cucu muridnya yaitu Hippasus yang
membuktikan bahwa panjang sisi miring segitiga siku-siku yang mempunyai alas
dan tinggi sama dengan 1 tidak dapat dinyatakan sebagai rasio dua bilangan
bulat, dan karena itu ia bukan merupakan bilangan rasional. Dan penerus
Phytagoras lainnya bernama Archytas menemukan fakta penting, hingga fatwanya
berubah menjadi : “semua dapat dihampiri oleh bilangan (rasional)” (Hal. 22).
Hal ini menunjukan bahwa tidak ada sebuah kebenaran absolut
dalam Matematika khususnya dan ilmu
pengetahuan pada umumnya, karena bisa berubah di kemudian hari, dengan
ditemukannya bukti-bukti secara ilmiah, hingga dapat kita katakan bahwa
kebenaran hari ini belum tentu kebenaran
esok hari.
Dalam alam fisis, ada bilangan-bilangan positif yang sangat
kecil dan bilangan-bilangan yang sangat besar yang menyatakan ukuran dari
sesuatu di alam semesta, bilangan sangat kecil misal massa sebuah electron yang
diam atau stasioner, sedangkan bilangan sangat besar contohnya diameter alam
semesta yang dapat dilihat, tetapi dalam matematika bilangan positif terkecil
tersebut masih dapat kita bagi dua, dan bilangan terbesar tersebut itu dapat
kita kuadratkan, ini membuktikan bahwa bilangan-bilangan tersebut bisa menuju
tak terhingga, sehingga alam matematika lebih luas dari alam fisis. ( Hal. 52).
Membaca buku Menuju Tak Terhingga ini, meskipun berisi
teori-toeri matematika tetapi tetap enak dibaca dan dinikmati karena adanya
contoh-contoh yang mudah dipahami pembaca seperti kisah lomba lari Achilles dan kura-kura,
paradoks Lampu Thompson, balapan katak
Thompson, paradoks Hotel Hilbert, dan lain-lainnya. Selain itu juga diceritakan
tentang sejarah penemuan-penemuan rumus Matematika.
Misal tentang
peristiwa dan proses bagaimana Isaac Newton menemukan konstanta
gravitasi berdasarkan konsep Infinitesimal, konon pada suatu hari Isaac Newton
sedang belajar duduk di bawah pohon apel (anggaplah memang begitu kejadiannya),
sebuah apel jatuh dan Newton bertanya dalam hatinya, apa yang membuat apel
tersebut jatuh. Kemudian dari penemuan Galileo Galilei sebelumnya, Newton bisa
menghitung dan menyimpulkan bahwa benda jatuh tersebut mengalami percepatan konstanta, yang kemudian ia sebut
sebagai konstanta gravitasi. (Hal 77 ) Bagi para pengajar ilmu matematika, hal
demikian ini penting juga diberikan ke murid-murid agar mereka bisa belajar
memahami konsep-konsep matematika sekaligus belajar ilmu sejarah.
Sebagai catatan kritis terhadap buku ini, karena Matematika
itu erat kaitannya dengan Puisi, bahkan Einstein menyatakan Matematika murni
adalah puisi berisi ide-ide yang logis (logical ideas), maka alangkah baiknya
kalau lebih banyak kalimat-kalimat puitis yang dituliskan saat menjelaskan teorema-teorema dengan metafora-metafora
matematika yang memenuhi unsur estetika.
Saya memberi apresiasi yang tinggi buat buku ini,
semoga Menginspirasi para Pengajar Matematika,
atau matematikawan apapun profesinya
untuk menulis buku tentang matematika, sehingga bisa bermanfaat bagi banyak
orang yang membacanya, dan bisa menumbuh kembangkan budaya literasi di negeri
ini. Peradaban sebuah bangsa akan semakin maju, jika dunia literasinya terus
tumbuh dan berkembang .
Benang merah yang dapat saya tarik sebagai kesimpulan
setelah membaca buku ini, menurut saya ada 3 hal yaitu, pertama adalah
diperlukan pikiran yang selalu terbuka
dalam memahami kebenaran ilmiah, karena kebenaran tersebut akan selalu diuji
oleh bukti-bukti ilmiah di kemudian hari, kedua adalah pentingnya mengembangkan
riset-riset dasar Matematika dan Ilmu Pengetahuan, karena bukan sesuatu yang
berlebihan bila kita katakana bahwa dunia modern yang berkembang hingga saat
ini dibangun antara lain di atas sejumlah teori Matematika yang dikontruksi
pada abad ke-17, dan yang ketiga menulis buku matematika, agar mudah dipahami
pembacanya adalah dengan menggunakan
contoh-contoh atau peristiwa sehari-hari
saat menjelaskan teorema yang rumit. Sebagaimana yang ditulis oleh Hendra
Gunawan di halaman depan, bahwa setiap orang pasti akan bertemu dengan
hantu matematika, tapi tenang saja karena hantunya “cakep”.
Arif Gumantia
Alumni Matematika UB Malang
Ketua Majelis Sastra Madiun