Acara Gus Mus di Bandung dihadiri oleh Kapolda Jabar (Anton
Charliyan), Aster Pangdam Jabar, Walikota Bandung (Ridwan Kamil), Ketua PWNU
Jabar, Mustasyar PWNU Jabar, seluruh PCNU Jabar, unsur2 NU (banser, fatayat,
IPNU, muslimat, dll), dan jamaah bandung dan sekitarnya.
Kapolda Jabar waktu kasih sambutan menyampaikan harapannya
pada NU yang dalam sejarah selalu menjadi pembela terdepan keutuhan bangsa.
Ketua PWNU Jabar juga menyampaikan tentang komitmen NU yang sejak dulu selalu
menjadi tameng untuk kepentingan bangsa yang lebih besar, walaupun risikonya
sering menjadi bulan-bulanan muslimin yang lain (kalau istilah sekarang siap
di-bully ramai2 untuk menyelamatkan bangsa).
Walikota Ridwan Kamil, selain menyampaikan harapan besarnya
pada NU, dia juga bilang bahwa dalam darahnya mengalir darah “hubbul wathan”
nya NU. Dia mengharapkan NU bisa menjadi yang terdepan dalam menangkal zaman
penuh fitnah dan hoax ini. Bisa menampilkan Islam yang ramah, bukan Islam yang
marah yang belakangan terlihat dimana2. Islam yang Rahmatan lil ‘alamiin. Bukan
Islam yang pandai kutip2 ayat untuk kepentingan kelompoknya (tepuk tangan
hadirin bergemuruh).
Beliau menghimbau semua kita mensyukuri nikmat luar biasa
yang dimiliki bangsa Indonesia ini, sambil mengutip ayat “Fa bi ayyi aalaaa’i
rabbikuma tukadzibaan”. Nikmat Tuhan kamu yang manakah yang engkau dustakan?
Kita bangsa Indonesia ini aman, sejahtera, dll. Coba lihat negara2 timur
tengah, lihat Iraq, Afghanistan, Yaman, Suriah, dll. Lalu lihat negara ini yang
kita bisa tidur, ibadah, kerja dengan aman dan nyaman. Apakah kita rela untuk
merusak nikmat ini?
Selanjutnya pembicara utama Gus Mus mengawali ceramahnya
dengan mengatakan bahwa sebagaimana judul acara ini “Muhassabah”, maka saya
akan lebih banyak mengkritik NU bukan memuji2nya. Beberapa pesan penting dari
Gus Mus antara lain adalah:
(a) Seperti disampaikan pembicara2 sebelumnya, NU selalu
bergerak paling depan untuk membela keutuhan bangsa. Saat ini bangsa sedang
diancam oleh kelompok2 yang berusaha memecah belah kerukunan bangsa, lalu
dimana NU? Sedang tidurkah? Beliau menceritakan bahwa sehabis ini para kyai
sepuh akan berkumpul di Rembang untuk membahas masalah mutakhir bangsa ini.
Terpaksa kyai sepuh akan turun gunung, karena yang muda2 banyak yang malah
tertarik ikutan euphoria. Kenapa? Apa gentar sama takbir2nya? Lalu melanjutkan
dengan menjelaskan makna dari takbir dengan memberikan begitu kecilnya kita
dibanding seluruh ciptaan Allah yang Maha Luas. Apa yang mau kita sombongkan?
Allah yang Maha Besar itu kok diajak ikut kampanye, diajak ikut ke TPS urusan
lima tahunan. Apa ndak kebangeten banget itu?!
(b) Beliau cerita pengalamannya bicara berdua dengan Gusdur
sambil tiduran di lantai. Beliau bilang ke Gusdur, kalau NU itu dari dulu ndak
naik2 pangkatnya, jadi Satpam terus. Kalau ada sesuatu bahaya, maka NU maju ke
depan (seperti sewaktu resolusi jihad, sewaktu DI/TII, PKI, dll). Tapi begitu
bahayanya hilang, NU kembali duduk di pojokan sambil rokokan. Begitu terus, ini
gimana nih gus? Jawaban Gusdur seperti biasa langsung membuat diskusi berhenti.
Allah yarham Gusdur menjawab: “Apa masih kurang mulia kalau kita bisa jadi
Satpam nya bangsa ini?” Dan Gusmus pun terdiam tidak bisa melanjutkan
omongannya.
(c) Beliau juga berpesan untuk berhati2 terhadap yang
disebutnya Ulama. Ulama memang pewaris para nabi, tapi ulama yang mana? Harus
diteliti track record dari yang mengaku Ulama tersebut. Umat ini dibingungkan
dengan ulama yang ngeluarkan fatwa sembarangan tanpa ilmu dan tanpa
mempertimbangkan dampaknya pada masyarakat luas. Kalau perbedaan pendapat itu
biasa, sejak dulu ada. Beliau cerita kalau dulu para kyai itu kalau berdebat
seberapapun tajamnya sebisa mungkin berusaha santri2nya tidak tahu. Sehingga
sering kalau saling serang itu dengan menggunakan syair2 berbahasa Arab dengan
harapan santri2 masing2 tidak ikutan panas2an. Lha sekarang ini, pimpinannya
ribut ngajak2 jamaahnya. Menyedihkan. Lalu saling sebut kubu yang berbeda
dengan sebutan munafik, kafir, dll. Sampai2 belakangan ada yang melarang
jenazahnya disholatkan. Apa ndak menjijikkan sekali itu? Lha kalau yang sudah
meninggal ndak urusan. Itu kan kewajiban yang hidup, yang dosa ya yang hidup
bukan yang sudah meninggal. Lalu menceritakan kemarahan besar Nabi saw terhadap
salah seorang sahabat yang membunuh seseorang yg mengucapkan La ilaha illa Llah
karena mengatakannya Munafik.
(d) Yang dibilang Ulama jaman sekarang ini mau ikut2an
berpolitik, padahal sebenarnya tidak ngerti politik. Dan terus bawa2 agama,
padahal ya nggak terlalu ngerti agama. Ya apa ndak kacau balau jadinya.
(e) Gusmus berpesan kepada jamaah untuk tidak mengungkapkan
sesuatu, menulis sesuatu, atau menshare sesuatu yang dapat dipersepsikan
mendukung kelompok2 pemecah belah itu. Kalau tidak mampu berhujjah melawan,
lebih baik DIAM. Kalau mau tulis, ungkapkan yang baik2, hal2 yang positif,
tulis sendiri saja, tidak cuman share2 tulisan orang lain.
(f) Gusmus menyampaikan bahwa apa yang terjadi sekarang ini
adalah hanya pengulangan2 sejarah yang lampau. Sambil mencontohkan kejadian
sewaktu zaman khalifah Utsman bin Affan. Dimana fitnah2 bertebaran, informasi2
hoax disampaikan dari mulut ke mulut. Sehingga akhirnya memuncak dengan rakyat
yang melakukan pemberontakan (makar) terhadap khalifah Utsman yang akhirnya
menyebabkan terbunuhnya beliau. Ingat beliau dulu juga dilarang oleh umat waktu
itu untuk dishalatkan di Masjid Nabawi, sehingga akhirnya dishalatkan di rumah
beliau sendiri. Karena itu pelajarilah sejarah, karena seringkali sejarah itu
berulang.
(g) Gusmus juga berpesan bahwa pada setiap shalawatan, sebaiknya
didahului dengan kisah Syama’il ar-Rasul saw, dijelaskan tentang kepribadian
beliau SAW. Jadi ummat itu tahu bagaimana akhlaq Nabi saw. Sehingga bisa jadi
dasar untuk menilai apakah yang mengaku2 ulama itu memang pantas disebut para
pewaris nabi atau tidak. Allah SWT dalam al-Quran dari awal sampai akhir tidak
pernah memuji fisik Rasulullah (walaupun fisiknya dan ketampanannya sempurna),
tidak pernah memuji ilmu Rasul saw (walaupun ilmunya tak ada yang menandingi),
hanya Allah memuji keluhuran Akhlaq beliau SAW (wa innaka la ‘alaa khuluqin
adziem). Oleh karena itu jadikan akhlaq sebagai dasar utama penilaian. Karena
itulah tujuan diutusnya Nabi kita saw kepada kita semua.