Masukan Nama Penyanyi - Judul Lagu

Mesin Cari Free Download Mp3 Gratis

Translate To Your Language

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

Selasa, 03 November 2009

Festival sastra utan kayu

Merandai Kata, Musik, dan Rupa

> Festival Sastra Utan Kayu menghadirkan 30
> sastrawan dalam dan luar negeri. Meski masing-masing dengan bahasanya
> sendiri, universalitas tetap mengemuka.
> KOPER tua itu ditemukan di kamar ayahnya
> yang baru wafat. Di dalamnya ada selembar pasfoto. Kecil, buram, hanya
> menampakkan raut wajah perempuan muda, tapi kuyu. Ia kemudian memaksa
> membangun kontak dengan sepasang mata yang tampak di wajah itu. "Mata
> itu, mata Solo. Mata nenekku," kata penyair Belanda Reggie Baay. Ada
> selembar surat di koper itu, yang mengutip nama sang nenek, singkat:
> Muinah, asal Solo-Jengkilung.

> Kakek Reggie seorang Belanda totok. Semasa bertugas di Hindia
> Belanda, ia mengambil seorang perempuan muda menjadi gundiknya. Seorang
> anak lelaki lahir dari hubungan mereka. Kemudian kakeknya kembali ke
> Belanda. Si anak lelaki, berusia lima tahun, menurut hukum yang
> berlaku, dibawa serta. Surat itu adalah bukti penyerahan si anak dari
> ibunya kepada sang ayah. Tali kasih yang diputus, selama-lamanya.
> Pasfoto dan surat itu menjadi inspirasi buku kumpulan cerpen De
> ogen van Solo (Mata Solo) karya Reggie, sang cucu, pada 2005. Isinya
> kisah-kisah migrasi dan ketercerabutan anak-anak Indo-Belanda yang
> dibawa paksa. Salah satunya dibacakan Reggie pada malam pertama Bienal
> Sastra Utan Kayu di Teater Salihara, Jakarta Selatan, 21 Oktober silam.

> Perjumpaan hangat Reggie dan 30 sastrawan dalam dan luar negeri
> menerjemahkan tema Bienal kali ini, yakni merandai yang diartikan
> berpindah dari satu tempat ke tempat lain pada bidang setara. Tak
> berhenti dalam puisi, merandai dalam hal ini juga perpindahan dari
> disiplin seni yang berbeda, dari sastra, rupa, dan musik. Pada saat
> yang sama Bienal juga menggelar pameran seni rupa: lukisan, patung, dan
> instalasi yang berangkat dari puisi yang dibacakan.

> Selama empat hari mereka silih berganti membawakan puisi dan
> cerpen dalam bahasa masing-masing: Belanda, Italia, Korea, dan
> Indonesia. Saat tampil, sebuah layar di belakang mereka menayangkan
> terjemahannya dalam bahasa Inggris. Setelah membacakan puisi, para
> penyair berdiskusi. Sesungguhnya keempat diskusi itu menarik, meski
> singkat dan lamban karena pemandu harus bolak-balik menerjemahkan.
> Reggie menikmati ketika, dalam bienal, sejarah versi Belandanya
> bersanding dengan sejarah kolonial versi penyair Tanah Air. Penyair
> Iksaka Banu menyuguhkan Mawar di Kanal Macan, tentang perselingkuhan di
> era kolonial yang dihukum cambuk dan gantung. Penyair A.S. Laksana
> menyodorkan Bagaimana Murjangkung Mendirikan Kota dan Mati Sakit Perut,
> berisi cerita tentang asal-muasal Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon
> Coen membangun Batavia. Penyair Indonesia dan penyair Belanda, menurut
> Reggie, berbagi banyak kesamaan. Reggie mengutip Sulak, panggilan akrab
> A.S. Laksana, yang menyebut "raksasa berwajah bayi". "Itu metafor
> serupa yang pernah dipakai penyair Belanda, wajah merah, hidung merah,"
> dia tertawa.

> Eksplorasi terhadap sejarah pribadi juga dilakukan yang lain.
> Seperti Dacia Maraini, feminis Italia yang membacakan cerpen The Ship
> for Kobe. Inilah kisah perjalanan keluarganya yang naik kapal ribuan
> kilometer dari Italia menuju Jepang, menghindari pemerintahan fasis
> Mussolini pada 1938. Dacia baru berusia satu tahun saat itu. Juga
> Bernice Chauly, penyair Malaysia yang satu dari tiga puisinya menyitir
> memoar yang tengah ia kerjakan. Bernice besar dalam keluarga yang
> plural, ibunya Tionghoa dan ayahnya Punjabi. Ia sendiri menulis dalam
> bahasa Melayu dan Inggris. "Kami penyair mengerti satu sama lain, kami
> bicara bahasa universal," kata Bernice.

> Dari Tanah Air, berderet nama penyair seperti Sapardi Djoko
> Damono, Triyanto Triwikromo, Agus R. Sarjono, Ahda Imran, Handry T.M.,
> Gus tf Sakai, Yanusa Nugroho, dan Lily Yulianti Farid. Karya merekalah
> yang diberikan kepada perupa dan dimanifestasi dalam seni rupa.
> Wahyudin, kurator pameran, mengatakan para perupa sila memaknai puisi
> dengan bebas. Menyitir Sapardi, mereka boleh ikut dalam permainan atau
> melemparkannya saja.

> Sapardi membacakan sajak Bayangkan Seandainya yang diambil dari
> buku puisinya yang terbaru, Kolam. Perupa Faisal Habibi telah
> menerjemahkannya dalam karya Hybridize: Table Mirror 2009. Tentu saja
> Wahyudin tidak mengkritik interpretasi Habibi. Namun ia menulis seperti
> cemas: "Bentuk ini semoga saja tidak membekukan gambar bergerak dalam
> benak dan menyurutkan kekuatan gaib kata-kata dalam puisinya itu."
> Penyair Australia, Jan Cornall, kagum terhadap Reggie yang
> disebutnya seperti tokoh Minke yang melangkah keluar dari novel Bumi
> Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Namun Jan dan penyair Korea, Moon
> Chung-hee, sama-sama menyebut nama penyair muda Makassar, M. Aan
> Mansyur, sebagai penyair muda potensial yang mereka sukai. Aan, 28
> tahun, yang tampil dengan sweatshirt abu-abu bertulisan "Batman",
> mengatakan ia mesti menulis dengan kata-kata yang jernih agar sang
> ibunda, yang tak lulus sekolah menengah, bisa paham. Seperti penutup
> pada sajak Pagi Ini:
> Pagi ini aku memutuskan pura-pura jadi orang gila dan tidur di trotoar.
> >
> >Aku biarkan kepalaku diinjak-injak pejalan kaki yang ringan bagai topi.
> >
> >Aku biarkan kepalaku pecah bagai telur yang hendak dibuat jadi
> >omelet. Aku biarkan peristiwa-peristiwa meleleh ke jalan dan melengket
> >pada sol sepatu orang-orang. Aku terpingkal-pingkal agar sekalian bisa
> >buang air.

> l l l
> Paruh kedua acara, pukul 9 hingga tengah malam, diisi dengan poetry
> slam. Terjemahannya, bantingan puisi: setiap orang yang ingin
> membacakan puisinya tinggal mendaftar dan berlaga, juri akan memilih
> yang terbaik. Dari ruang teater blackbox di lantai dasar, para
> pengunjung pun pindah ke atap. Di tempat terbuka seluas sekitar
> setengah lapangan bola itu seperangkat pengeras suara telah disiapkan.
> Pisang goreng, wedang ronde, dan tahu isi tersedia. Sebagian duduk di
> kursi, sebagian lain duduk di bangku batu yang mengelilingi area. Asap
> rokok mengepul ke langit mendung.

> Ada empat band berbeda setiap malamnya. Mereka mengisi jeda
> antara pembacaan puisi dan musik yang berangkat dari karya penyair.
> Seperti band pada malam pertama, Tika and The Dissidents, yang
> menginterpretasi karya Iyut Fitra, penyair asal Payakumbuh. Setelah 5-6
> penyair tampil, yang menang adalah seorang guru bahasa Italia di
> Istituto Italiano di Cultura, Jakarta. Qissera el Thirfiarani, 26
> tahun, sang guru itu, tampil renyah dengan puisi Aldo Pallazeschi, La
> Fontana Malata. Meski tak bisa dimengerti, bunyi dan irama yang
> diucapkan Qissera terdengar lantang, segar, dengan sesekali berdesah.
> Qissera tertawa menanggapinya. "Itu tentang air mancur yang
> batuk-batuk, sakit," katanya. Tiga malam berikutnya, mereka yang menang
> adalah para penyair muda yang sederhana tapi bersemangat.
> Sebuah insiden kecil terjadi. Seorang penyair yang dipanggil
> namanya menyambar pengeras suara. Ia memegang pinggang celananya dan
> berguncang-guncang. "K***** adalah alat penyambung kehidupan!"
> teriaknya, tanpa teks. Ini masih disusul dengan celotehan lain yang
> serupa. Tak ada yang mencemooh, tapi tak ada pula yang bersorak.
> Seolah-olah mereka yang hadir mendadak jengah dan salah tingkah.
> Syukurlah, malam-malam berikutnya tak ada lagi yang begitu. "Cuma itu
> yang bisa dia tawarkan," seorang penyair senior berbisik.

> Kurie Suditomo

Tidak ada komentar: