Pada tanggal 28 Oktober 1928 para pemuda dari berbagai
organisasi kesukuan berkumpul dan merumuskan satu bahasa bersama yakni Bahasa
Indonesia. Itulah satu tonggak penting bagaimana sebuah cita-cita yang semula
terbatas pada ikatan primordial atau pun agama terumuskan menjadi satu kesatuan
bersama yakni Indonesia.
Namun, barangkali tak banyak generasi hari ini yang tahu
bahwa bahasa nasional yang dijadikan pilihan adalah Bahasa Melayu Pasar, sebuah
bahasa yang tumbuh oleh aktivitas perdagangan di Nusantara. Sebagai bahasa
dagang, karenanya, bahasa tersebut tentunya hanyalah turunan atau
penyederhanaan dari akar bahasanya, Melayu Tinggi, yang menyimpan ratusan tahun
kekayaan sebuah peradaban
Sejak 1928, bahasa, yang kemudian disebut sebagai Bahasa
Indonesia ini terus berusaha mengembangkan dirinya. Menyerap kosakata dari
bahasa-bahasa daerah dan juga bahasa-bahasa asing.
Apa sebenarnya yang dipertaruhkan oleh bahasa baru ini,
kerja besar macam apa yang mesti terus digerakkan di masa-masa mendatang,
wartawan Koran Jakarta, Eko S Putra, mewawancarai pakar bahasa-bahasa
Nusantara, Manu W Padmadipura Wangsawikirama, di Yogyakarta, Rabu (26/10).
Berikut petikan selengkapnya.
Sebagai pakar bahasa-bahasa Nusantara dan juga menguasai
bahasa-bahasa asing, bagaimana Anda melihat peristiwa Sumpah Pemuda?
Itu sejarah kita sebagai sebuah negara bangsa. Semua catatan
sejarah, apa pun itu tentunya hal yang penting. Secara politis menggalang
nasionalisme melawan kolonialisme dari yang sebelumnya sifatnya sporadis di
tiap daerah. Sumpah Pemuda adalah tonggak penting nasionalisme kita.
Hanya saja sebenarnya masih perlu penggalian lebih lanjut
terhadap persoalan Bahasa Indonesia ini. Saya kira terpilihnya Bahasa Melayu
Pasar pada waktu itu barangkali sebuah langkah win win solution. Bahasa yang
bisa dipakai komunikasi oleh seluruh orang di Indonesia, ya Bahasa Melayu itu.
Tapi harus diingat, itu adalah Melayu Pasar. Karena bahasa perdagangan bahasa
yang dipilih ini kosakatanya miskin.
Melayu Pasar ini menjadi masalah ketika harus dipakai untuk
membahasakan masalah-masalah peradaban, kebudayaan, diplomasi politik,
ideologi, etika, bangunan sosial, dan seterusnya. Akibatnya kemudian, ketika
para tokoh pergerakan nasional mesti merumuskan bangunan negara bangsa,
berdiplomasi dengan bangsa asing, harus meminjam kata-kata asing, terutama
Belanda. Karena Bahasa Indonesia tidak bisa memberikan padanan untuk komunikasi
ideologi dan politik pada saat itu. Inilah yang harus kita sadari untuk terus
disempurnakan.
Nah pertanyaanya, penyempurnaan itu harus ditopang oleh
bahasa apa? Semestinya kan ya menggali dari akarnya sendiri yakni bahasa-bahasa
daerah. Beberapa kali dilakukan, mengambil kosakata dari berbagai bahasa
daerah, sayangnya kosakata itu diambil dan dilepas dari sistem bahasanya yakni
roh bahasanya.
Apa yang dimaksud dengan roh bahasa?
Semula bahasa perdagangan itu tidak punya nuansa semantik
yang bisa kita sebut sebagai rasa bahasa. Bahasa di kepulauan Nusantara ini,
semuanya memiliki rasa bahasa. Bali, Madura, Bugis, semuanya kental dengan
rasa.
Yang dimaksud dengan rasa di sini bukan rasa pahit atau
manis, tapi penghayatan estetik yang terkandung dalam kosakata itu yang
menunjukkan hubungan-hubungan antar kita semua di semesta ini. Di dalam
estetika itu tersimpan seluruh pengetahuan, apakah itu etika, moral, dan
sebagainya. Nah itu yang tidak dimiliki Bahasa Melayu Pasar.
Apa akibat dari bahasa yang tidak punya ‘rasa’ ini?
Sebelumnya mari kita melihat sistem pendidikan di Nusantara
yang namanya asrama, ada metodologi pengajaran yang namanya upanished. Arti
harafiah duduk di kaki guru. Relasinya demikian erat, berelasi membicarakan
segalanya.
Pada pertengahan abad 19 oleh pemerintah kolonial diubah
menjadi klasikal seperti yang kita kenal sekarang. Pada saat itu setiap suku
bangsa yang memiliki bahasa daerah diwajibkan mengajarkan bahasanya. Memberi
pengajaran Sunda pada orang Sunda, Bahasa Jawa ke orang Jawa. Hanya masalahnya,
cara mengajarkannya dengan metodologi mereka. Dengan tata bahasa struktural.
Ada subjek, predikat, objek, keterangan. Konsep struktural ini secara
semena-mena diadopsi ke bahasa Nusantara. Kalau di Bahsa Jawa subjek menjadi
jejer, predikat wasesa, objek lisan, dan keterangan menjadi katerangan.
Sejak itu mindset kita berubah menjadi mindset structural,
seperti itu. Para pemuda pelajar saat itu, termasuk mungkin yang menginisiasi
Sumpah Pemuda, masih bisa berbahasa daerahnya tetapi mulai melihat bahasanya
sendiri dengan mindset kolonial.
Apa sebenarnya beda utama bahasa Nusantara dengan bahasa
Barat?
Inti dari semua bahasa lokal kita adalah semantik. Di Jawa,
ada anjing, kirik, asu. Ada cemeng, ada kucing. Untuk menyebut beras saja ada
pari, gabah, beras, menir, yang masing-masing menandakan hubungan-hubungannya
yang berbeda dengan diri manusia dan alam.
Orang Jawa tidak pernah belajar kalimat. Yang diajarkana
adalah kosakata. Ketika tahu kosakata maka akan dengan sendirinya terbentuk
sebuah dunia, karena kosakata diajarkan dengan sistem rasa, yakni makna yang
menjelaskan hubungan rasa antar semuanya. Itulah hubungan bahasannya.
Bahasa kolonial yang terpenting adalah struktur subjek
predikat objek, di mana manusialah subjek dan alam adalah objek yang harus
dikuasai. Dalam kosakata Bahasa Jawa, alam dan manusia kedudukannya sejajar,
horizontal, tidak ada subjek atau objek, tidak ada eksplitasi subjek atas objek
melainkan satu kesatuan yang utuh.
Gradasi rasa yang semula horizontal ini kemudian
divertikalkan sehingga seolah jadi sangat feodal. Padahal, feodal itu kan cara
Barat mengerti dunia Nusantara memakai bahasa yang mereka kenal. Mereka tidak
faham dengan penghayatan estetik atas relasi antara manusia dan sesamanya serta
seluruh alam ini.
Nah, sejak kita mengenal bahasa ibu, kita sendiri dengan
mindset kolonial yang disebarkan lewat sistem pendidikan klasikal, sejak itu
dunia kesadaran kita sebenarnya sudah runtuh. Kita menjadi berpikir seolah
seperti mereka, namun menggunakan bahasa kita sendiri. Tentu saja akan susah
untuk menandingi mereka.
Apakah akar bahasa subjekpredikat- objek itu berbeda dengan
akar bahasa Nusantara?
Semula kita memiliki bahasa kuno. Bahasa Jawa Kuno,
misalnya. Sansekerta tumbuh oleh bangsa Indo Arya dari lembah Sungai Reins yang
kemudian hidup dan tinggal di India. Bahasa di dunia saat ini banyak yang
akarnya dari Bangsa Indo Arya itu.
Kalau melihat teknologi kapal yang berkembang di sini dan
tidak ada teknologi kapal yang berkembang dari India maka bangsa Jawa lah yang
kemungkinan melakukan perjalanan ke India dan membawa pulang kekayaan Bahasa
Sansekerta. Maka 60 persen Bahasa Jawa Kuno adalah Bahasa Sansekerta, sisanya
adalah kosakata yang tumbuh di Nusantara sendiri.
Bahasa juga berkembang bersama ekologi manusianya. Iklim
tropis dan tanah kita yang subur membuat peradaban kita cukup maju seperti
tersimpan dalam sejarah pertanian, artefak arkeologis, teks-teks yang berisi
kekayaan kosakata kita.
Masuknya bangsa Barat ke Nusantara menjadi sejarah
berikutnya yang kemudian keberhasilan penguasaan mereka atas kita, ratusan
tahun mereka di sini, salah satunya membawa perkembangan filsafat dan bahasa di
sana yakni filsafat strukturalisme. Saya menduga Revolusi Prancis - saya belum
pernah meneliti ini sendiri, saya tahu dari penelitian beberapa teman saja –
menjadi awal dari berkembangnya seluruh bangunan masyarakat Barat ini. Yang di dalam
bahasa tersimpan dalam struktur subjek predikat objek tersebut.
Tapi kesadaran baru masyarakat Barat tersebut, yang memang
membawa keberhasilan tertentu dalam teknologi yang menjadikan alam sebagai
objek dan manusia sebagai objek itu, kalau mau melihat sejarah panjang
peradaban sebenarnya belum bisa dikatakan sebagai peradaban yang benarbenar
unggul. Baru berapa ratus tahun sih Barat menguasai dunia, kita lihat alam
sudah sedemikian rusak.
Nah, kita bisa mulai lagi membuka kekayaan masa lalu kita
melalui penelusuran sejarah dan bahasa kita sendiri. Membuka lagi bagaimana
manusia berhubungan dengan sesamanya dan alam semesta karena mereka pun, bangsa
Barat itu, mengambil begitu banyak kekayaan pengetahuan kita sesuai dengan
kesadaran mereka atas alam dan seluruh isinya.
Dalam teks-teks Ronggowarsito di abad 19, belum ada struktur
bahasa Barat SPOK itu. Kita harus bergerak sampai akar untuk mengerti diri kita
sendiri. Kalau sudah tidak ada yang peduli dengan akar lagi, kita akan
selamanya kulakan gagasan tentang dunia ini dari Barat. Mereka yang merumuskan,
membuat, menjual eceran kepada kita. Dan kita hanya akan jadi konsumen gagasan
dan produk turunan dari mereka. Kalau identitas saja tidak punya bagaimana mau
punya tujuan?
Bagaimana peran negara dan kampus selama ini terkait dengan
akar Bahasa Indonesia itu sampai saat ini?
Saya kira kita mesti prihatin. Saat ini percakapan paling
dominan adalah politik dan ekonomi. Politik yang ditopang oleh fondasi ekonomi
yang merusak alam. Kampus, yang sistemnya sudah menganut klasikal Barat itu, di
mana ilmu-ilmu dipecah dalam jurusan-jurusan yang masing-masing berdiri sebagai
subjek sendiri itu, ya tidak lagi berurusan dengan bangunan dasar peradaban.
Keterpecahan studi tersebut tidak dikenal di studi asrama
dengan sistem uphanisad, di mana kita bisa baca sekarang dalam semua teks kuno
pasti mengandung lima unsur yakni pengetahuan, teknologi, religiusitas, seni,
dan intelektualitas. Tapi semua sudah tidak mau peduli.
Peran balai bahasa bagaimana?
Saya juga tidak tahu balai bahasa itu kerjaannya apa saja.
Memasukkan kosakata daerah ke kamus iya, tapi ya tidak ke manamana. Bahkan saat
kita sekarang disuguhi buku-buku orang asing yang tidak mengerti bahasa kita
saja semua diam saja. Elizabeth Inandiak, menafsir Serat Centini padahal dia
tidak bisa Bahasa Jawa juga kita diam saja malah dijadikan rujukan puluhan
mahasiswa.
Peter Carey, orang Inggris, membuka teks Diponegoro dalam
Bahasa Belanda, padahal Carey juga tidak fasih Bahasa Belanda apalagi Bahasa
Jawa, juga dijadikan kanon utama mengenai Diponegoro. Jadi seolah semua studi
mereka itu tentang kita itu kita terima saja sebagai kebenaran tentang diri
kita, tentang masa lalu kita.
Tapi bukannya sejarah perang antar kerajaan kita sendiri
membuat kita hancur, yang memudahkan devide et impera?
Makanya ayo kita pelajari bersama. Konflik kerajaan, mana
teks kita yang menceritakan itu ayo kita buka. Atau itu sebenarnya teks yang
dibuat oleh para orientalis. Kata musuh saja Bahasa Jawa itu tidak punya.
Perebutan tahta sejak Kediri, Ken Arok, Majapahit diserang lalu hancur, perang
bubat, teksnya mana yang mengatakan begitu?
Kita musti banyak belajar lagi. Pelajari diri kita sendiri.
Pertama, tentunya melalui bahasa, kembali belajar bahasa-bahasa kuno kita yang
menyimpang software identitas kita
Sumber : http://www.koran-jakarta.com/manu-w-padmadipura-wangsawikrama/
Sumber : http://www.koran-jakarta.com/manu-w-padmadipura-wangsawikrama/