Masukan Nama Penyanyi - Judul Lagu

Mesin Cari Free Download Mp3 Gratis

Translate To Your Language

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

Kamis, 06 April 2017

Kampanye Lewat Buku "A Man Called Ahok"

Salah satu tahapan dalam rangkaian Pemilihan Presiden, Pemilihan Kepala Daerah, dan
Pemilihan anggota legislatif adalah kampanye.  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Kampanye adalah kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi politik atau calon yang bersaing memperebutkan kedudukan dalam parlemen dan sebagainya untuk mendapat dukungan massa pemilih dalam suatu pemungutan suara. Tentu ada berbagai macam cara berkampanye, baik melalui media-media mainstream atau lewat media sosial. Media-media mainstream misalnya kampanye dengan menguimpulkan massa baik di ruang terbuka maupun tertutup, seperti kampanye di tempat terbuka dengan bintang tamu para artis, kampanye di café, memasang baliho dan poster, membagikan kaos, kalender, pamphlet, iklan di Televisi, dan lain-lain. sedangkan Media sosial adalah memanfaatkan tehnologi internet platform web 2.0 seperti Facebook, Twitter, Path, Instagram dan lainnya.

Dalam rangka memperoleh dukungan massa pemilih yang nantinya termanifestasikan di hari pemilihan/pencoblosan tentu para kandidat akan mengkampanyekan program-programnya, track recordnya, dan hal-hal lain yang menarik para pemilihnya. Di sinilah para kandidat akan diuji apakah akan melakukan kampanye yang jujur dengan mengkampanyekan program-programnya yang masuk akal dan dapat diterapkan, ataukah kampanye yang asal menarik calon pemilih tanpa memikirkan konsekuensi-konsekuensi penerapan program tersebut.

Apalagi sekarang menurut Milan Kundera adalah era imagology, era kemenangan citra-citra. Dimana produsen budaya citra telah berhasil menjejalkan sebuah citra menjadi realitas, mimpi, juga harapan ke benak konsumen. Dalam era imagology, budaya citra tersebut di sebarkan ke berbagai media melalui televisi, radio, internet, surat kabar, maupun majalah. Dan yang lebih tidak fair adalah Kampanye Hitam atau Black campaign, yaitu dengan cara pembunuhan kharakter  terhadap kandidat lainnya.

Salah satu cara kampanye yang positif sebenarnya adalah melalui Buku. Ada beberapa keuntungan yang bisa diperoleh dengan melakukan kampanye melalui Buku : yang pertama, kandidat tinggal menyebarkan buku tersebut kepada calon pemilih maka semua program, track record, performance bisa tersampaikan, sehingga kampanye menjadi efektif. Kedua, kampanye melalui buku bisa mendukung gerakan membaca masyarakat yang akan menumbuh kembangkan dunia literasi kita. Ketiga, Kampanye melalui buku bisa memberikan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat bahwa kampanye tidak harus di ruang terbuka yang bisa berpotensi menimbulkan ekses-ekses sosial.  Keempat kampanye dengan buku akan meraangsang kreasi-kreasi dengan argumentasi bagi tim sukses dari kandidat, karena sudah semestinya kampanye lewat buku ditindaklanjuti dengan forum bedah buku untuk menguji kredibilitasnya secara akademis.
Dalam hal ini,  saya memberi apresiasi pada Tim Ahok dalam kampanye Pemilihan Gubernur DKI Jakarta telah menggunakan buku sebagai salah satu cara kampanyenya. Yaitu Buku dengan Judul  “ A Man Called #Ahok “ karya Rudi Valinka atau akun @kurawa di twitter. Buku yang isinya pada mulanya adalah serial kultweet (Rangkainan tweet dengan membahas tema tertentu)  dari akun @kurawa di twitter. Dengan demikian pesan yang hendak disampaikan tidak hanya dijangkau oleh mereka yang mempunyai akun twitter tetapi juga pada semua orang yang bisa mengakses bukunya.

Selain melakukan pencarian data lewat buku maupun tulisan online penulis juga melakukan pencarian data fakta ke lokasi tempat Ahok lahir dan menjalani masa-masa sekolah yaitu Belitung Timur, dan menemui narasumber-narasumber (Hal 1).
latar belakang keluarga, masalah korupsi, SARA, dan kehidupan sehari-hari coba dieksplorasi oleh penulis untuk menampilkan seorang yang dipanggil Ahok. Kehidupan bapaknya yang merupakan pengusaha di zaman orba, di zaman etnis Tionghoa diatur oleh Soeharto, juga dituliskan di buku ini, Ahok sejak kecil sudah tahu bapaknya sering dipinjami uang, dimintai bantuan, sampai urusan dipalak oleh oknum aparat hukum (hal 24). Latar belakang seperti inilah yang mungkin membuat Ahok melakukan upaya-upaya untuk meminimalkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan saat dia berada di birokrasi pemerintahan dan menjadi pemimpin.

Narasumber-narasumber yang ditemui penulis buku ini antara lain Pak Mus, teman sebangku Ahok waktu SD, Bu Bundet guru SD Ahok, Bu Erni istri Pak Mus teman SMP Ahok, Pak Sayono teman SMP Ahok, Pak Bachtiar Guru SMP Ahok, Pak Nirwan Guru SMP Ahok, Pak Kani seorang Kepala Desa yang dulu “hater” ahok saat pilkada Bupati Belitung Timur, pak Agung Ustadz yang berinteraksi dengan Ahok, Haji Tare mantan ketua PKB Belitung Timur, ibu Yana salah satu penanggung jawab apotek Manggar Jaya Farma.
Dari para narasumber ini bisa terungkap latar belakang keluarga, kehidupan masa kecil, saat dewasa, kondisi geografi, sosio politik yang membentuk kharakter Ahok saat ini.

Seperti kisah bu Bundet bahwa setiap balik  ke Belitung, prioritas bertemu dengan bekas guru-gurunya menandakan bahwa ada rasa hormat Ahok kepada mereka. (Hal 65). Juga kisah haji Tare tentang pertemuan Ahok dan Gus Dur dilakukan di kantor DPP PKB. Pembicaraan mereka hampir 3 jam. ( hal 93). Dan masih banyak kisah-kisah menarik lainnya. Buku tipis 111 halaman dengan ukuran seperti smartphone 5.5” ini bisa menjadi contoh kampanye efektif lewat buku. Tujuan kampanye bisa tercapai sekaligus sebagai upaya untuk menumbuh kembangkan budaya literasi. Yang menarik di buku ini di setiap pergantian “bab”nya ada kutipan-kutipan yang filosofis dan kontemplatif  dari Goethe, Aristotle, Leo Tolstoy, dll...dan ditutup dengan quote Ahok:
Ingat saja pepatah Tiongkok, “sebelum bunyi empat paku di atas peti mati kamu, kamu tidak bisa nilai orang lain itu baik dan buruk.” Nanti kamu baru tahu apa yang saya kerjakan.









Arif Gumantia
Kerani literasi







Tidak ada komentar: