Salah satu tahapan dalam rangkaian Pemilihan Presiden, Pemilihan Kepala
Daerah, dan
Pemilihan anggota legislatif adalah kampanye. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia Kampanye adalah kegiatan yang dilaksanakan oleh
organisasi politik atau calon yang bersaing memperebutkan kedudukan dalam
parlemen dan sebagainya untuk mendapat dukungan massa pemilih dalam suatu
pemungutan suara. Tentu ada berbagai macam cara berkampanye, baik melalui
media-media mainstream atau lewat media sosial. Media-media mainstream misalnya
kampanye dengan menguimpulkan massa baik di ruang terbuka maupun tertutup,
seperti kampanye di tempat terbuka dengan bintang tamu para artis, kampanye di
café, memasang baliho dan poster, membagikan kaos, kalender, pamphlet, iklan di
Televisi, dan lain-lain. sedangkan Media sosial adalah memanfaatkan tehnologi
internet platform web 2.0 seperti Facebook, Twitter, Path, Instagram dan
lainnya.
Dalam rangka memperoleh dukungan massa pemilih yang nantinya
termanifestasikan di hari pemilihan/pencoblosan tentu para kandidat akan
mengkampanyekan program-programnya, track recordnya, dan hal-hal lain yang
menarik para pemilihnya. Di sinilah para kandidat akan diuji apakah akan
melakukan kampanye yang jujur dengan mengkampanyekan program-programnya yang
masuk akal dan dapat diterapkan, ataukah kampanye yang asal menarik calon
pemilih tanpa memikirkan konsekuensi-konsekuensi penerapan program tersebut.
Apalagi sekarang menurut Milan Kundera adalah era imagology, era kemenangan
citra-citra. Dimana produsen budaya citra telah berhasil menjejalkan sebuah
citra menjadi realitas, mimpi, juga harapan ke benak konsumen. Dalam era
imagology, budaya citra tersebut di sebarkan ke berbagai media melalui
televisi, radio, internet, surat kabar, maupun majalah. Dan yang lebih tidak
fair adalah Kampanye Hitam atau Black campaign, yaitu dengan cara pembunuhan
kharakter terhadap kandidat lainnya.
Salah satu cara kampanye yang positif sebenarnya adalah melalui Buku. Ada
beberapa keuntungan yang bisa diperoleh dengan melakukan kampanye melalui Buku
: yang pertama, kandidat tinggal menyebarkan buku tersebut kepada calon pemilih
maka semua program, track record, performance bisa tersampaikan, sehingga
kampanye menjadi efektif. Kedua, kampanye melalui buku bisa mendukung gerakan
membaca masyarakat yang akan menumbuh kembangkan dunia literasi kita. Ketiga,
Kampanye melalui buku bisa memberikan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat
bahwa kampanye tidak harus di ruang terbuka yang bisa berpotensi menimbulkan
ekses-ekses sosial. Keempat kampanye dengan buku akan meraangsang
kreasi-kreasi dengan argumentasi bagi tim sukses dari kandidat, karena sudah
semestinya kampanye lewat buku ditindaklanjuti dengan forum bedah buku untuk
menguji kredibilitasnya secara akademis.
Dalam hal ini, saya memberi apresiasi pada Tim Ahok dalam
kampanye Pemilihan Gubernur DKI Jakarta telah menggunakan buku sebagai salah
satu cara kampanyenya. Yaitu Buku dengan Judul “ A Man Called #Ahok
“ karya Rudi Valinka atau akun @kurawa di twitter. Buku yang isinya pada
mulanya adalah serial kultweet (Rangkainan tweet dengan membahas tema tertentu) dari
akun @kurawa di twitter. Dengan demikian pesan yang hendak disampaikan tidak
hanya dijangkau oleh mereka yang mempunyai akun twitter tetapi juga pada semua
orang yang bisa mengakses bukunya.
Selain melakukan pencarian data lewat buku maupun tulisan online penulis
juga melakukan pencarian data fakta ke lokasi tempat Ahok lahir dan menjalani
masa-masa sekolah yaitu Belitung Timur, dan menemui narasumber-narasumber (Hal
1).
latar belakang keluarga, masalah korupsi, SARA, dan kehidupan sehari-hari
coba dieksplorasi oleh penulis untuk menampilkan seorang yang dipanggil Ahok. Kehidupan
bapaknya yang merupakan pengusaha di zaman orba, di zaman etnis Tionghoa diatur
oleh Soeharto, juga dituliskan di buku ini, Ahok sejak kecil sudah tahu
bapaknya sering dipinjami uang, dimintai bantuan, sampai urusan dipalak oleh
oknum aparat hukum (hal 24). Latar belakang seperti inilah yang mungkin membuat
Ahok melakukan upaya-upaya untuk meminimalkan terjadinya
penyimpangan-penyimpangan saat dia berada di birokrasi pemerintahan dan menjadi
pemimpin.
Narasumber-narasumber yang ditemui penulis buku ini antara lain Pak Mus,
teman sebangku Ahok waktu SD, Bu Bundet guru SD Ahok, Bu Erni istri Pak Mus
teman SMP Ahok, Pak Sayono teman SMP Ahok, Pak Bachtiar Guru SMP Ahok, Pak Nirwan
Guru SMP Ahok, Pak Kani seorang Kepala Desa yang dulu “hater” ahok saat pilkada
Bupati Belitung Timur, pak Agung Ustadz yang berinteraksi dengan Ahok, Haji
Tare mantan ketua PKB Belitung Timur, ibu Yana salah satu penanggung jawab
apotek Manggar Jaya Farma.
Dari para narasumber ini bisa terungkap latar belakang keluarga, kehidupan
masa kecil, saat dewasa, kondisi geografi, sosio politik yang membentuk
kharakter Ahok saat ini.
Seperti kisah bu
Bundet bahwa setiap balik ke Belitung,
prioritas bertemu dengan bekas guru-gurunya menandakan bahwa ada rasa hormat
Ahok kepada mereka. (Hal 65). Juga kisah haji Tare tentang pertemuan Ahok dan Gus
Dur dilakukan di kantor DPP PKB. Pembicaraan mereka hampir 3 jam. ( hal 93). Dan
masih banyak kisah-kisah menarik lainnya. Buku tipis 111 halaman dengan ukuran
seperti smartphone 5.5” ini bisa menjadi contoh kampanye efektif lewat buku. Tujuan
kampanye bisa tercapai sekaligus sebagai upaya untuk menumbuh kembangkan budaya
literasi. Yang menarik di buku ini di setiap pergantian “bab”nya ada
kutipan-kutipan yang filosofis dan kontemplatif
dari Goethe, Aristotle, Leo Tolstoy, dll...dan ditutup dengan quote
Ahok:
Ingat saja pepatah
Tiongkok, “sebelum bunyi empat paku di atas peti mati kamu, kamu tidak bisa
nilai orang lain itu baik dan buruk.” Nanti kamu baru tahu apa yang saya
kerjakan.
Arif Gumantia
Kerani literasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar