Sebuah kota, adalah sebuah komunitas
yang di angankan, meminjam istilah Benedict Anderson. Tempat kita hidup,
bersosialisasi, memperjuangkan kesejahteraan dan merawat kenangan. Merawat
kenangan diperlukan sebagai bagian dari kita untuk belajar dari sejarah masa
lalu, agar bisa menjadi cermin instropeksi dalam merancang masa depan yang
lebih baik.
Dalam merawat kenangan tentu diperlukan
sebuah tanda, Sebuah symbol juga berbagai teks sebagai bagian dari
literasi sejarah. Salah satu tanda dan bisa menjadi sebuah ikon kota adalah
adanya nama kota yang menyimpan sejarah. Baik yang menyimpan
sejarah sebagai sesuatu yang menggembirakan dan kejayaan kota ataupun sejarah
yang berisi kegetiran dan kepedihan kota.
Dari keduanya kita bisa merawat peta
masa lalu kita agar sejarah hitam yang penuh kepedihan tidak akan terulang di
kemudian hari. Sehingga kota tersebut tidak menjadi kota yang penuh kemurungan
(novelis pemenang Nobel, Orhan Pamuk, dalam memoar yang berjudul Istanbul).
Tetapi menjadi kota yang nyaman dan aman bagi warganya.
Maka, ketika satu unit dump truk milik
Dinas Lingkungan Hidup ( DLH ) kabupaten Madiun dikerahkan untuk mengganti
papan nama gapura masuk di Desa Klitik, kecamatan Wonoasri, dan deretan huruf
yang sama-sama berjumlah tujuh itu diganti satu persatu, dalam rangka Pemkab
Madiun merealisasikan penggantian kota Caruban menjadi kota Mejayan, ada
sesuatu yang menyergap perasaan dan menimbulkan sebuah rasa kehilangan. Kehilangan
atas sesuatu yang menjadi milik bersama, yaitu Kota Caruban. bukan sekedar
fisik sebuah kota saja, tetapi semua mikrokosmos dan makrokosmos kota Caruban.
Kepala
Badan Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan Daerah (Bapelitbangda)
Kabupaten MadiunEdi Bintardjo menegaskan, penggantian nama dari Kota Caruban
menjadi Kota Mejayan memang diawali dari dua gapura masuk di Klitik, Wonoasri,
dan #Kaligunting,
Mejayan. ‘’Kami tak ingin terburu-buru. Semuanya dilakukan secara perlahan
namun pasti,’’ tegasnya kemarin ( Radar Madiun, Jawa Pos Grup).
Upaya
penggantian nomenklatur ini juga menyesuaikan kekuatan anggaran yang ada.
Karena itulah, di masa awal ini penggantian lebih menyasar pada deretan huruf
pada gapura masuk saja. ‘’Penggantian nama kedua gapura itu menjadi langkah
penting untuk menegaskan identitas ibu kota baru bagi kabupaten ini,’’
tukasnya.
Selanjutnya,
pemkab juga segera melayangkan surat kepada sejumlah instansi terkait. Instansi
itu meliputi organisasi perangkat daerah (OPD) seperti RSUD Caruban dan
Terminal Caruban. Juga lintas sektoral seperti PT KAI Daop VII Madiun untuk
penggantian nama bagi Stasiun Caruban. Serta PLN subarea Caruban yang notabene
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut. ‘’Kami tak memberikan deadline waktu
khusus. Prinsipnya, lebih cepat tentu lebih baik,’’ tegasnya.
Diketahui,
pergantian nama ini mendasar PP Nomor 52 Tahun 2010 tentang Pemindahan Ibu Kota
Kabupaten Madiun dari wilayah Kota Madiun ke wilayah Kecamatan Mejayan,
Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Secara geografis, koordinat Kota Caruban memang
tidaklah ada. Secara administrasi, di Kecamatan Mejayan juga tak dijumpai dusun
maupun kelurahan bernama Caruban. Hal ini tentu berbeda dengan Kota Mejayan
yang memiliki 11 desa dan tiga kelurahan pada koordinat 07032’28,71’’ lintang
selatan dan 111039’08,40’’ bujur barat.
Hal ini harusnya dilakukan kajian yang mendalam
terlebih dahalu sebelum melakukan tindakan-tindakan kongkrit mengganti nama
sebuah kota. Perlu riset bersama dari berbagai disiplin ilmu, seperti sejarah,
geografi, anthropologi, statistik dan lain-lainnya. Agar bisa ditemukan titik temu sebagai sebuah
penyelesaian yang “win-win solution’.
Benarkah secara geografis Titik koordinat Caruban
tidak ada? Sudahkah ada riset komprehensif tentang hal ini, yang bisa
dipertanggung jawabkan kredibilitasnya secara akademis? Karena menurut apa yang
ditulis sejarawan Widodogb Sastro di Facebook Historia Van Madioen, ( yang
bersumber dari Sumber : Buku
Sejarah Kabupaten Madiun, 1980 ) :
Istilah Caruban ,
berasal dari kata carub yang berarti campur, dahulu ada suatu tempat
berkumpulnya para pejabat,bangsawan, rakyat jelata, dan para priyayi untuk
keperluan adu jago, tempat ini kemudian disebut caruban. Majalah Altona
menerangkan , bahwa pada masa kekuasaan Hindu Jawa yang berpusat di Ngurawan
(Dolopo sekarang), ada sederet perkampungan untuk menempatkan para penjahat,
pemberontak dan para tahanan politik di pisahkan dari tempat tinggal dan
lingkungannya, orang-orang ini di beri tugas menanam pohon jati. Tetapi
hipotesa ini kurang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Yang jelas
Desa-desa di Caruban merupakan desa-desa tua, karena itu sudah sepantasnya
Caruban pernah menjadi ibukota kabupaten pada masa Kerajaan Mataram Islam.
Pada masa perang
Suropati pada tahun 1684 dan masa perebutan tahta kerajaan Mataram, Kartasura
antara Sunan Mas dengan Pangeran Puger pamannya, rakyat Caruban besar
andilnya dalam ikut berjuang melawan tentara Kompeni (VOC) salah satunya
di bawah pimpinan Demang Tampingan yang bergabung dengan Pangeran Mangkunegoro
IV Wedono Bupati Mancanegara Timur, Madiun.
Desa Krajan
merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Caruban, Kemungkinan Bupati pertama
dijabat oleh Raden Cokrokusumo I atau disebut Tumenggung Alap-alap. Ia semula
pejabat tinggi di Demak, Beliau adalah putra sulung Raden Pecat Tondo II,
Raden Pecat Tondo I adalah Adipati Terung, ini merupakan wilayah bekas Kerajaan
Majapahit yang terakhir. Bupati kedua adalah Raden Cokrokusumo II sering
disebut Tumenggung Emprit Gantil, kemudian bertahta Raden Tumenggung Notosari.
Raden Tumenggung Notosari adalah putra dari Bupati Jipang yang bergelar Raden
Tumenggung Purwowijoyo. Beliau adalah putra Paku Buwono I dari selir, jadi
Bupati Notosari adalah cucu raja besar Mataram.
Dari perintah
Bupati Notosari inilah kemudian salah satu desa di Caruban yaitu Desa Kuncen
yang terletak di selatan Desa Sidodadi menjadi Desa Perdikan sebagai tempat
makam Bupati Caruban beserta kerabatnya. Bupati Notosari sebelum bertahta di
Caruban merupakan salah satu bangsawan di istana Kartasura. Setelah wafat ,
beliau di makamkan di makam Kuncen Caruban, dengan biaya pemakaman dari
Kartasura. Selain Bupati Notosari, di Kuncen Caruban juga dimakamkan para
kerabat dan pengikut-pengikut setianya.
Sebagai Desa
Perdikan, Desa Kuncen, Caruban dibebaskan dari pajak dan diberi otonomi
seluasnya, dengan tanggungjawab merawat makam para Bupati Caruban, beserta
kerabatnya. Piagam tentang kemerdekaan desa ini masih ada, yang menunjukkan
tahun Wawu 1627 saka atau tahun 1705 Masehi, oleh Sunan Paku Buwono I.
Bupati berikutnya
adalah Raden Tumenggung Wignyosubroto, putra bupati sebelumnya, memindahkan
ibukota Caruban ke pusat Kota Caruban sekarang atau disebut Desa Tompowijayan
atau Bangunsari sekarang.
Bupati terakhir
adalah Raden Tumenggung Djayengrono, putra Bupati Ponorogo yang bernama
Pangeran Pedaten. Beliau kawin dengan putri Bupati Mangkudipuro yang
dipindahkan oleh Hamengku Buwono I dari Wedono Bupati di Madiun menjadi Bupati
kecil di Caruban, karena dianggap tidak tunduk pada perjanjian pemerintahan
Jogjakarta setelah adanya perjanjian Gianti. Wedono Bupati di Madiun di berikan
kepada panglima perang Kesultanan Jogjakarta, yaitu Ronggo Prawirosentiko
setelah menjadi bupati bergelar Ronggo Prawirodirjo I.Para Bupati Caruban dan
kerabatnya yang dimakamkan di pemakamam Kuncen Caruban, antara lain, Pangeran
Mangkudipuro Bupati Madiun ke 13, Raden Cokorokusumo I, Raden Cokorokusumo II,
Raden Tumenggung Notosari, Raden Tumenggung Wignyosubroto, dan Raden Tumenggung
Djayengrono.
Fakta-fakta sejarah ini tentu tidak bisa
diabaikan begitu saja untuk mengganti nama kota, karena kebenaran sejarah harus
terus diuji dengan berbagai penemuan-penemuan baru, sehingga terlalu dini jika
menyimpulkan bahwa secara geografi, Caruban tidak ada dalam koordinat. Bukankah
kita semua juga sebelumnya tidak pernah tahu bahwa di Dolopo dulu ada kerajaan
besar Gelang-gelang dan Ngurawan, sebelum situs-situs ditemukan dan sekarang
sedang diteliti, kesimpulan sementara adalah situs terbesar kedua setelah
Trowulan.
Dalam hal ini, kalimat : “apalah arti sebuah nama?”
dari Shakespeare tidak berlaku untuk penggantian nama kota Caruban ini, karena
ketika kita melupakan sejarah sebuah kota, maka kita akan menjadi orang-orang
yang “amnesia sejarah” seperti yang digambarkan oleh Gabriel Garcia Marquez
dalam novelnya Seratus Tahun kesunyian. Sehingga kita berada dalam kondisi yang
bener-bener lupa terhadap apapun, semua hal harus diingatkan yang bermuara pada
mandeknya peradaban.
Oleh karena sebelum melakukan langkah-langkah untuk
mengganti nama kota Caruban menjadi Mejayan, alangkah baiknya jika Pemangku
Wilayah kabupaten Madiun, mengadakan riset terlebih dahulu, melakukan berbagai
diskusi-diskusi publik dengan masyarakat Caruban, dan biarkan nama Kota Caruban
tetap menjadi Caruban.
Arif Gumantia
Ketua Majelis Sastra Madiun