Masukan Nama Penyanyi - Judul Lagu

Mesin Cari Free Download Mp3 Gratis

Translate To Your Language

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

Rabu, 18 Juli 2012

Keterasingan dalam masyarakat urban (Cerpen-cerpen Vivi Diani Savitri)


Jika umurmu tak sepanjang umur dunia, maka sambunglah dengan tulisan ~ Pramoedya ananta toer.

Menulis adalah bekerja untuk keabadian, mengabadikan pemikiran, perenungan, kegelisahan, kejadian, juga kenangan. Barangkali dengan disadari atau tak disadari oleh Diani Savitri, akrab dipanggil vivi, ia telah melakukan kerja ini. Menulis cerita-cerita pendek, yang berawal dari kegelisahan bathin, saat melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi, saat menyusuri kejadian-kejadian di sekitarnya. Yang menurut pengakuannya :” bermula dari membuat tulisan, dengan coretan pensil di sudut buku teks pelajaran. Pada buku harianbergambar little twin star. Sebagai puppy love notes. Menjadi lirik lagu. Membentuk larik puisi yang disembunyikannya karena malu”. Dan pada akhirnya menjelma dengan cerita-cerita yang menarik karena kecermatan dan kelugasan dalam menguraikannya. Baik deskripsi latar maupun gagasan yang coba ditawarkannya.

Vivi menulis cerita pendek sejak kecil, saat remaja cepen-cerpennya sering dimuat di majalah Hai, dan majalah Hai pernah menjulukinya sebagai penulis muda berbakat, dan cerpen-cerpen di buku “Menanti Sekarini” ini pernah dimuat di The Jakarta Post, Media Indonesia, Koran Tempo, seputar Indonesia, Suara Pembaruan, lampung post, Republika, Jurnal Nasional, dan lain-lain. Sehari-hari mantan salah satu none jakarta selatan ini, bekerja sebagai konsultan dan peneliti riset konsumen.

Banyak orang menyukai cerpen, karena para pembaca diajak untuk menyaksikan sebuah lanskap, yang merupakan representasi dari sebuah kehidupan nyata. Dan dengan kemahiran Penulisnya dalam meghujamkan endingnya yang terbuka, akan memaksa pembaca untuk menggali makna yang ada didalamnya, memberikan sebuah ruang yang terbuka untuk kontemplasi. Dan menurut saya Vivi mencoba melakukannya di dalam menulis cerita-cerita pendeknya ini. Bercerita dengan lepas dan lugas, tanpa berpretensi untuk menggurui atau semacam berkhutbah.

Ada benang merah yang dapat saya tarik sebuah tema dalam 15 cerita pendeknya ini. Sebuah tema “keterasingan” para tokoh-tokoh (yang diciptakan Vivi) dalam menggeluti realitas masyarakat urban megapolitan. Bagaimana para tokoh-tokohnya berjuang untuk mempertahankan idealisme agar tidak diberangus oleh realitas. Dan vivi memelilih gaya bahasa yang “puitis” dalam bercerita. Sehigga bisa mengaduk-aduk emosi dan imajinasi pembaca. Serupa puisi panjang yang indah, dan banyak alegori dan ironi di dalamnya.

Keterasingan-keterasingan terjadi dalam cerita ini karena banyak hal, tapi bermuara pada sebab hilangnya sifat jujur pada diri sendiri. Karena realitas yang mengharuskan berbohong dan menjadi orang lain. Pada Cerpen “menanti” (hal 1) saya menafsirkannya sebagai sebuah keterasingan kelas menengah kaum Profesional. Bagaimana manusia justru menjadi terasing ketika menjadi sebuah narasi “manusia adalah kerja”. Ada sesuatu yang “hilang” dalam diri, ketika hidup menjadi mekanis, menjadi hitungan untung rugi, menjadi tergesa-gesa karena di buru oleh waktu yang kian runcing. Dan sang tokoh pun “ maka kini. Ia harus membohongi diri, setiap kali”. Memburu kebahagiaan, dan setelah “merasa mendapatkannya” tanpa membaginya pada orang lain, maka Pada saat yang sama, jiwanya akan serasa masuk dalam lorong keterasingan yang dalam.


Keterasingan dalam kebisingan kota juga bisa dirasakan oleh kaum miskin. Gambar wajah Masnah (hal. 12). Vivi bertutur Ketika kata-kata dan wajah-wajah menancap melukai kota, dalam bentuk spanduk, poster, dan baliho. Wajah calon pemimpin dan wakil rakyat. Lewat penglihatan sang tokoh Masnah (penjual es lilin dan es limun), yang didera kemiskinan dan suaminya lari dipelukan penjual jamu. Justru merasa terasing saat melihat poster dan spanduk-spanduk tersebut, meski banyak wajah rupawan, tapi tak pernah bisa menyelesaikan akar permasalahan, baik kemiskinan maupun hidup dalam keaneka ragaman. Karena ada disparitas antara “pencitraan” dan realitas inilah keterasingan kaum miskin dan para pemimpinnya atau wakil rakyatnya menyergap. Dan vivi berhasil menceritakannya dengan “gayeng” dengan bahasa lugas, dan diselingi dengan idiom-idiom jawa.

Buruk ini, pikir Effendy cepat. Ia pikir lingkar terdalamnya sudah aman. Ia bangkit bergesa, membuat perempuan linda terhuyung berdiri dan tergegas berusaha mengembalikan kerapian atasannya dan rok panjang terbelah samping. Effendy menghampiri pintu dan menilik dari kaca bundar pengintip sebesar setengah kuku ibu jari.
“kamu kok nggak bilang mau datang malam ini, aku lagi pijat.” (hal 23)

Dalam cerpen berjudul Minyak Tawon, keterasingan menghujam sejak awal. Sejak seseorang mau menjadi istri simpanan. Saat ia harus siap di perkenalkan sebagai “asisten saya”. Dan semakin terasing karena ia mencintai pria tersebut bukan karena akses ke lingkungan orang penting, bukan karena kemudahan dan kemurahan materi. Tapi karena cinta yang membuatnya “ada”. Sebuah cinta yang harusnya membuat “bahagia”. Tetapi justru menjadikannya “terasing”. Dan Minyak tawon sebagai judul ini menjadi metafora dan ironi yang menggelinding sepanjang cerita. Sungguh sebuah kejelian seorang vivi dalam membuat cerita ini menjadi begitu hidup penuh ironi, tanpa tendensi untuk menggurui.

Dalam olenka, Budi darma menulis, keterasingan adalah saat kita bersama orang-orang yang ingin kita berpura-pura. Dan saya menemukan hal ini dalam cerita “Masjid Baru Pak Kolonel”. Dengan deskripsi mudik lebaran dari sang perwira, cerita mengalir dengan wajah-wajah penuh kepura-puraan, dengan motivasi ingin mengambil hati Pak Kolonel dan ingin mengkorupsi dana sumbangan pembangunan masjidnya. Di satu sisi bagi sang kolonel sumbangan untuk Masjid adalah sebuah tangga untuk menjadi Bupati. Sebuah Masjid yang harusnya menjadi simbol religiusitas, tapi justru menimbulkan keterasingan bagi para tokoh di cerita ini.

Milan Kundera pernah menyebut ini adalah era imagology, era kemenangan citra-citra. Dimana produsen budaya citra telah berhasil menjejalkan sebuah citra menjadi realitas, mimpi, juga harapan ke benak konsumen. Dalam era imagology, budaya citra tersebut di sebarkan ke berbagai media melalui televisi, radio, internet, surat kabar, maupun majalah. Dan ketika kecantikan adalah sebuah hal yang bisa di komodifikasikan. Maka parameter “cantik” adalah apa yang ada di dalam iklan media. Lansing, putih mulus dan “berisi” maka para perempuan berolah raga bukan untuk kesehatan, tapi agar memenuhi kriteria yang ada dalam iklan tersebut. Dan bukan kebebasan yang di dapat tapi justru keterasingan. Dan diceritakan oleh Vivi dalam “ angka dan Sarita”. (hal 100).

Angka-angka yang merenggut kebebasan diri :
1.Ukuran biji kacang pada bawah mata. 2. Pada hidung dan pipi. 3. Pada dahi. Makin banyak krim untuk bagian yang lebih sulit mengelupas. Makin banyak keharusan yang mesti di jalani. Dokter janjikan 3 bulan untuk krim mengelupas kulit kusam ini jadi licin bening ala perawan ting ting. 3 bulan merasakan perih iritasi. 3 bulan tidak boleh kena sinar matahari. Ah, angka-angka yang memenjarakan diri.

Secara keseluruhan saya memberi apresiasi yg tinggi pada cerpen-cerpen ini, tapi sebagai pembaca dan penikmat sastra tentunya saya berharap untuk cerpen-cerpen berikutnya, vivi mengeksplorasi gagasan-gagasan yang lebih runcing tentang realitas negeri ini. Seperti menguatnya fundamentalisme agama dan juga skeptisisme absolut yang terjadi pada sebagian grass root terhadap pemerintahan negeri ini. Kalau hal ini diungkapkan dengan gaya bahasa vivi yang puitis saya yakin pembaca akan lebih “melambung dan terhenyak” (meminjam istilah chairil anwar).



Judul buku : menanti sekarini (sekumpulan cerita)
Penulis : Vivi Diani Savitri
Penerbit : Koekoesan, Jl. K.H. Ahmad Dahlan V No. 10 Kukusan Depok.
Jika ingin mendapatkan bukunya bisa menghubungi mas
Sms di 082114047071




Arif Gumantia
Ketua Majelis Sastra Madiun

Tidak ada komentar: