Masukan Nama Penyanyi - Judul Lagu

Mesin Cari Free Download Mp3 Gratis

Translate To Your Language

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

Senin, 09 Februari 2015

Menikmati Puisi Musikal



 ( Dimuat di jawa pos minggu, 8 Februari 2015)



Haiku yang berasal dari jepang konon dibuat oleh para samurai setelah melakukan meditasi. Mereka menulis keadaan dan keindahan alam yang dilihatnya, tetapi ada unsur kedisiplinan, karena ada aturan yang ketat dengan tiga baris dan aturan tiga suku kata pada baris pertama, lima suku kata baris kedua, dan tiga suku kata baris ketiga. Dan dalam perkembangannya dalam bahasa inggris menjadi 5 -7 -5.

Sesuai dengan kaidah sastra yang selalu terjadi perubahan evolusi selera seperti kata rifatere maka muncullah puisi puisi pendek yang tidak ditulis dengan aturan aturan yang ketat sebagaimana haiku di jepang. Sebagaimana puisi puisi pendek yang ditulis oleh Candra Malik, penyair, penyanyi, pembicara, dan pejalan spiritual kelahiran solo ini.

Dia menuliskan pengalaman pengalaman cinta yang pernah, sedang, atau mungkin terjadi sebagai sebuah keadaan dan keindahan semesta, dalam Antologi #FatwaRindu Cinta 1001 Rindu. Puisi puisi pendek yang merupakan kumpulan kicauannya dalam media social Twitter. Puisi dengan satu baris, dua baris, tiga baris, atau beberapa puisi dengan lebih dari empat baris.

Meski pendek tetapi puisi tetaplah berasal dari sebuah “laku” atau Proses kreatif. Proses kreatif tentunya dimulai dengan pengalaman batin, pengalaman hati. Karena dalam hati manusia itulah terdapat jendela untuk melihat Tuhan, untuk melihat cerminan dirinya. Oleh karena itu, puisi juga merupakan katarsis, upaya bersih diri dari bentuk-bentuk kehidupan profan dengan nilai-nilai transendental. Puisi bisa menjadi pernyataan baru, sebuah cinta yang mendalam dan personal. seperti yang ditulis candra malik di bagian pembuka:

“Mencintai adalah kata kerja,/dicintai adalah “kata sifat”/tapi cinta bukan kata benda/cinta itu kata hati”
Candra Malik seakan mengajak kita bercakap-cakap melalui puisi-puisinya, dengan penggunakan diksi, kata, kalimat dan bait-baitnya yang berisi Ironi atau perlambang. Dengan gaya ungkap yang Liris, mentransformasikan antara “kegelisahan jiwa” Penyair dengan “kesadaran penyair itu sendiri. Puisi-Puisinya juga seakan sebuah percakapan antara “nurani” dan “realitas yang harus dihadapi”.

Seperti pada puisi Di halaman 254 :
“Rindu bahkan bersayap/ namun, bukan tentang terbang ia ke mana/melainkan tentang kepada
Anginlah ia setia.”

Sesuai dengan kredo media social yang mengharuskan kita menuliskan sesuatu dengan ringkas, cepat, dan bergegas karena adanya batasan ruang, maka beberapa puisi yang di tulis candra malik menjadi semacam ironi dari dunia yang semakin tanpa sekat, seolah olah dekat, tetapi karena hanya di dunia maya maka banyak jiwa jiwa yang terperangkap dalam rindu yang dalam pada dunia nyata. Seperti pada puisi di halaman 11:

“belum pernah kurasa yang kaurasa/ tapi, bagaimana cara bertukar nestapa?/cinta kita cinta terluka dari mula”

Octavio paz pernah menulis dalam the other voice “ kontribusi apa yang bisa diberikan oleh puisi dalam menciptakan teori politik baru? Bukan gagasan atau cita-cita baru, tetapi sesuatu yang lebih indah dan agung dan juga gampang pecah : MEMORI.” Ada suara lain yang disuarakan oleh para penyair dalam keriuhan huru hara politik, maka puisi menyuarakan nurani, menyuarakan sesuatu yang jujur, Dan nurani selalu mengajarkan agar hidup punya makna, yaitu Cinta. Sebuah kesadaran tertinggi , seperti apa yang ditulis candra malik di halaman 127 :

“cinta tidak mengajari aku apa-apa/selain bahwa aku bukan siapa siapa”
“Cinta tak mengenal jalan buntu/setiap kita, bukankah kekal dalam rindu”

Beberapa diksi metafora dalam puisi puisinya bisa bertransformasi dari makna konseptual menjadi  makna imajinatif. Hingga beberapa puisinya menjadi puisi Sufistik, seperti pada halaman 141 :

“jika dan hanya jika/kau kecup kedua mataku/seketika tiada dan selamanya tiada/akan pernah cukup aku melihatmu”
“aku mencintaimu seperti denyut/sewajarnya jika melulu terkejut kejut”


Latar belakangnya sebagai penyanyi membuat puisi-puisinya terasa meminjam istilah Carlyle “ merupakan pemikiran yang bersifat Musikal”. Pembaca bisa merasakan nada dan irama, yang kadang menghentak membuat kita meloncat, atau ritmis hingga seperti kita menggoyang-goyangkan kepala, bisa juga begitu lirih seperti sebuah sayatan gitar, biola atau harpa.

Meskipun beberapa puisinya terasa biasa dan bukan berasal dari pengalaman batin yang mendalam, tetapi keberanian untuk menerbitkan kumpulan puisi puisi pendek ini patut kita apresiasi, sebagai sebuah cara untuk merayakan hidup yang penuh dengan jalinan yang asing dan rahasia ini dengan puisi.



Arif Gumantia
Ketua Majelis Sastra Madiun

Tidak ada komentar: