( Dimuat di jawa pos minggu, 8 Februari 2015)
Haiku yang berasal dari jepang konon
dibuat oleh para samurai setelah melakukan meditasi. Mereka menulis keadaan dan
keindahan alam yang dilihatnya, tetapi ada unsur kedisiplinan, karena ada
aturan yang ketat dengan tiga baris dan aturan tiga suku kata pada baris
pertama, lima suku kata baris kedua, dan tiga suku kata baris ketiga. Dan dalam
perkembangannya dalam bahasa inggris menjadi 5 -7 -5.
Sesuai dengan kaidah sastra yang
selalu terjadi perubahan evolusi selera seperti kata rifatere maka muncullah
puisi puisi pendek yang tidak ditulis dengan aturan aturan yang ketat
sebagaimana haiku di jepang. Sebagaimana puisi puisi pendek yang ditulis oleh
Candra Malik, penyair, penyanyi, pembicara, dan pejalan spiritual kelahiran
solo ini.
Dia menuliskan pengalaman pengalaman
cinta yang pernah, sedang, atau mungkin terjadi sebagai sebuah keadaan dan
keindahan semesta, dalam Antologi #FatwaRindu Cinta 1001 Rindu. Puisi puisi
pendek yang merupakan kumpulan kicauannya dalam media social Twitter. Puisi
dengan satu baris, dua baris, tiga baris, atau beberapa puisi dengan lebih dari
empat baris.
Meski pendek tetapi puisi tetaplah
berasal dari sebuah “laku” atau Proses kreatif. Proses kreatif tentunya dimulai
dengan pengalaman batin, pengalaman hati. Karena dalam hati manusia itulah
terdapat jendela untuk melihat Tuhan, untuk melihat cerminan dirinya. Oleh
karena itu, puisi juga merupakan katarsis, upaya bersih diri dari bentuk-bentuk
kehidupan profan dengan nilai-nilai transendental. Puisi bisa menjadi
pernyataan baru, sebuah cinta yang mendalam dan personal. seperti yang ditulis
candra malik di bagian pembuka:
“Mencintai adalah kata
kerja,/dicintai adalah “kata sifat”/tapi cinta bukan kata benda/cinta itu kata
hati”
Candra Malik seakan mengajak kita
bercakap-cakap melalui puisi-puisinya, dengan penggunakan diksi, kata, kalimat
dan bait-baitnya yang berisi Ironi atau perlambang. Dengan gaya ungkap yang
Liris, mentransformasikan antara “kegelisahan jiwa” Penyair dengan “kesadaran
penyair itu sendiri. Puisi-Puisinya juga seakan sebuah percakapan antara
“nurani” dan “realitas yang harus dihadapi”.
Seperti pada puisi Di halaman 254 :
“Rindu bahkan bersayap/ namun, bukan
tentang terbang ia ke mana/melainkan tentang kepada
Anginlah ia setia.”
Sesuai dengan kredo media social
yang mengharuskan kita menuliskan sesuatu dengan ringkas, cepat, dan bergegas
karena adanya batasan ruang, maka beberapa puisi yang di tulis candra malik
menjadi semacam ironi dari dunia yang semakin tanpa sekat, seolah olah dekat,
tetapi karena hanya di dunia maya maka banyak jiwa jiwa yang terperangkap dalam
rindu yang dalam pada dunia nyata. Seperti pada puisi di halaman 11:
“belum pernah kurasa yang kaurasa/
tapi, bagaimana cara bertukar nestapa?/cinta kita cinta terluka dari mula”
Octavio paz pernah menulis dalam the
other voice “ kontribusi apa yang bisa diberikan oleh puisi dalam menciptakan
teori politik baru? Bukan gagasan atau cita-cita baru, tetapi sesuatu yang
lebih indah dan agung dan juga gampang pecah : MEMORI.” Ada suara lain yang
disuarakan oleh para penyair dalam keriuhan huru hara politik, maka puisi
menyuarakan nurani, menyuarakan sesuatu yang jujur, Dan nurani selalu
mengajarkan agar hidup punya makna, yaitu Cinta. Sebuah kesadaran tertinggi ,
seperti apa yang ditulis candra malik di halaman 127 :
“cinta tidak mengajari aku
apa-apa/selain bahwa aku bukan siapa siapa”
“Cinta tak mengenal jalan
buntu/setiap kita, bukankah kekal dalam rindu”
Beberapa diksi metafora dalam puisi
puisinya bisa bertransformasi dari makna konseptual menjadi makna
imajinatif. Hingga beberapa puisinya menjadi puisi Sufistik, seperti pada
halaman 141 :
“jika dan hanya jika/kau kecup kedua
mataku/seketika tiada dan selamanya tiada/akan pernah cukup aku melihatmu”
“aku mencintaimu seperti
denyut/sewajarnya jika melulu terkejut kejut”
Latar belakangnya sebagai penyanyi
membuat puisi-puisinya terasa meminjam istilah Carlyle “ merupakan pemikiran
yang bersifat Musikal”. Pembaca bisa merasakan nada dan irama, yang kadang
menghentak membuat kita meloncat, atau ritmis hingga seperti kita
menggoyang-goyangkan kepala, bisa juga begitu lirih seperti sebuah sayatan
gitar, biola atau harpa.
Meskipun beberapa puisinya terasa
biasa dan bukan berasal dari pengalaman batin yang mendalam, tetapi keberanian
untuk menerbitkan kumpulan puisi puisi pendek ini patut kita apresiasi, sebagai
sebuah cara untuk merayakan hidup yang penuh dengan jalinan yang asing dan
rahasia ini dengan puisi.
Arif Gumantia
Ketua Majelis Sastra Madiun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar