Masukan Nama Penyanyi - Judul Lagu

Mesin Cari Free Download Mp3 Gratis

Translate To Your Language

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

Sabtu, 12 September 2009

Tempo dan Bank Century

Sebagaimana yang sudah bisa diperkirakan, MBM Tempo edisi terbaru yang mulai
beredar hari Senin ini, mengangkat kasus Bank Century sebagai laporan
utamanya. (http://majalah. tempointeraktif. com/id/arsip/ 2009/09/07/LU/mbm.20090907. LU131350. id.html).Ini memang isu terpanas sepanjang pekan lalu (di samping,
tentu saja, benca gempa bumi yang menimpa sebagian wilayah Jawa Barat). Saya
sudah membaca semua tulisan yang terkait dengan laporan utama Tempo ini,

namun merasa lumayan kecewa karena Tempo relatif tidak memberikan banyak
tambahan informasi berharga apapun (kecuali mengenai jalannya rapat
saat para elit BI dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan, yang berlangsung
sejak Kamis malam 20November 2008 hingga usai pada pukul 07.00 pagi keesokan
harinya, Jumat 21 November. Rapat ini, menurut laporan Tempo, berlangsung diwarnai oleh perdebatan sengit dan panas antara pihak yang setuju dan tak setuju terhadap rencana pengucuran dana dari LPS untuk menyelamatkan Bank Century).

Secara keseluruhan, nuansa dari laporan utama Tempo ini“memaklumi keputusan penyuntikan dana LPS tersebut. Memang, ada sejumlah narasumber dalam laporan Tempo tersebut yang memiliki pandangan kontra terhadap putusan itu, namun mereka hanya diposisikan sebagai pengimbang dan pelengkap belaka.Bahkan kemudian sempat pula dikait-kaitkan bahwa para penentang ini memiliki persinggungan dengan Wapres Jusuf Kalla (sama-sama anti pengucuran, sama-sama dari Golkar. Ada satu narasumber yang non-Golkar, yaitu anggota DPR Dradjad Wibowo, namun disebutkan di laporan utama Tempo ini Dradjad dekat dengan JK sejak menjadi anggota tim sukses JK dalam pilpres yang lalu).

Laporan utama Tempo itu seperti tidak merasa berkepentingan untuk menelusuri beberapa hal penting berikut ini:

a) bagaimana dengan informasi yang sudah disebut-sebut sejumlah kalangan bahwa ada korporasi besar yang diuntungkan dengan penyuntikan dana LPS itu?Tidak terlihat ada upaya Tempo untuk “mengejar” dan“menguliti” informasi lebih jauh, lebih dalam

b) beberapa pihak juga telah menyebut-nyebut bahwa dana untuk Century itumengalir ke partai politik tertentu. Sama sekali Tempo tak mempedulikan informasi ini

c) bagaimana dengan legalitas Perppu yang dijadikan landasan keputusan KSSK dan LPS, yang dalam pandangan sebagian pihak sudah tak bisa diberlakukan lagi setelah pertengahan Desember 2008 (padahal pengucuran dana dari LPS masih berjalan beberapa tahap lagi, melewati patokan waktu Desember tersebut).

d) apakah mungkin ada kaitan antara peran Boediono sebagai Gubernur BI ketika itu, dengan keputusan SBY untuk memilihnya menjadi pendampingnya (Wapres)?

Tempo juga tidak berupaya mengorek lebih jauh informasi dari JK, apa persisnya latar belakang kebijakan ini. Setidaknya JK sudah kasih isyarat bahwa jika kasus ini dibuka, maka akan menjadi kotak Pandora dengan akibat yang luar biasa. JK memang bilang, dia tak mau memberikan informasi lebih jauh. Namun Tempo seyogianyalah berupaya membujuknya lebih jauh. Tempo juga tidak berhasil menampilkan Boediono dalam laporan utamanya ini. Padahal dia adalah tokoh kunci utama dalam keseluruhan proses pengambilan keputusan pengucuran dana LPS itu.

Last but not least, laporan utama Tempo ini dilengkapi pula dengan kolom dua halaman dari Bambang Harymurti, di bawah judul “Century: Astagfirullah atau Alhamdulillah?” Bisa dilihat di sini: ( http://majalah. tempointeraktif. com/id/arsip/ 2009/09/07/ KL/mbm.20090907. KL131320. id.html) (pertanyaan retoris yang sudah langsung dijawab sendiri oleh penulisnya pada alinea kedua: bahwa keputusan pengucuran dana untuk Century itu harus disambut dengan ucapan alhamdulillah alias disyukuri). Aliena-alinea berikutnya membeberkan alasan sang penulis mengenai kesimpulannya itu. Namun itu tadi, banyak hal yang tidak digugat lebih jauh dengan kritis oleh sang penulis, termasuk tiga pertanyaan yang saya sodorkan diatas. Tulisan kolom ini juga banyak menyinggung soal kehalalan dana LPS untuk tujuan penyelamatan seperti yang dilakukan terhadap Century, karena LPS memiliki kekayaan sendiri yang dikumpulkan sejak tahun 2005 (dengan kata lain: tak ada dana rakyat di sana). Apakah sang penulis lupa bahwa modal awal LPS sebesar Rp 4 triliun adalah dana rakyat?

Saya merasa, orang-orang atawa lembaga-lembaga di bawah ini
harus diupayakan sekuat tenaga oleh kawan-kawan media untuk bisa bicara
mengenai kasus ini:

a) JK

b) PPATK

c) Penyelidik dari BPK yang sudah melakukan audit investigasi terhadap
kasus ini sejak 26 Agustus lalu

d) Boediono

e) Robert Tantular

f) Dua warga Negara asing yang menjadi pemilik saham lainnya (yang kini kabur entah kemana. Apakah pemerintah Indonesia sudah meminta bantuan Interpol untuk memburu dan menangkap mereka?)

Demikianlah untuk sementara catatan saya terhadap laporan utama Tempo ini.
Kalau kawan-kawan lain sudah ada waktu, saya anjurkan untuk membacanya juga.
Siapa tahu dapat kita bahas lebih jauh di milis ini. Kalau
ada kawan-kawan wartawan MBM Tempo yang aktif di milis kita ini, tentu ingin juga saya dengarkan informasi atau komentar apapun darinya/mereka.

Trims dan salam,

Arya Gunawan


Terima kasih untuk komentar lanjutan dari Anda. Menarik juga berdiskusi
dengan Anda, terutama terkait dengan ingatan Anda yang panjang mengenai
berbagai peristiwa yang sudah lalu. Banyak orang punya ingatan pendek,
sehingga tak banyak memetik pelajaran dari kisah-kisah lalu.



Terima kasih juga untuk usul Anda agar menjadikan juga liputan SWA sebagai
bahan kuliah, akan saya pikirkan. Juga Kontan, mungkin.



Mengenai Kompas, menurut hemat saya, dengan segala pengalaman, sumber dana,
dan sumber daya, serta juga positioning yang dimilikinya, semestinya Kompas
bisa jauh lebih baik di hari-hari ini. Namun mungkin justru di situlah
paradoks-nya: lazimnya, semakin mapan seseorang atau sebuah lembaga, semakin
kurang daya sengatnya. Mungkin militansi dan etos intelektualisme itu yang
kini kian menyurut di Kompas (terutama barangkali sebagai dampak dari hidup
yang kian bersigegas, ikut larut di dalam irama yang supercepat dari dunia
di sekelilingnya itu, sehingga tiada lagi waktu atau bahkan kebutuhan untuk
melakukan kontemplasi dan refleksi – ini saya pinjam istilah yang saya
sukai, yang dulu sering diwejangkan oleh Pak Jakob Oetama – yang
sesungguhnya merupakan ruh dari sebuah lembaga media). Kawan-kawan Kompas,
mohon maaf apabila saya keliru.



Nah, kini back to laptop. Tentang kasus Century lagi, dalam kaitannya dengan
media terutama Tempo.



Tentu saja sah bagi satu lembaga media untuk memilih posisi dalam setiap
peristiwa, sepanjang itu dilakukan melalui prosedur jurnalisme yang ketat
(pengumpulan informasi/data di lapangan), pemikiran yang kritis, perdebatan
mendalam di ruang redaksi. Proses ini menjadi lebih ketat jika persoalan
yang tengah digarap terbilang kompleks, berpotensi kontroversial, seperti
halnya kasus Bank Century ini. Khusus untuk *Tempo*, proses ini menjadi
lebih berat mengingat sejumlah awaknya diketahui memberikan dukungan pada
Boediono dan Sri Mulyani, dua tokoh kunci dalam kasus Century. Dengan kata
lain, *Tempo* harus memiliki argumentasi yang superkokoh jika memutuskan
untuk mendukung keputusan penyelamatan Bank Century. Jika tidak, publik akan
menuding bahwa pilihan sikap *Tempo* itu lebih didasarkan pada kepentingan
dari dan demi orang atau kelompok tertentu, bukan pada kepentingan khalayak
luas.



Namun kekritisan dan pertimbangan matang inilah yang terasa kurang dilakukan
*Tempo* kali ini. Banyak pertanyaan yang masih menggantung. Ini berbeda dari
sejumlah karya liputan investigatif *Tempo* sebelumnya, misalnya skandal
Bulog II yang melibatkan Akbar Tanjung di tahun 2002, ataupun kasus dugaan
penggelapan pajak yang dilakukan oleh Asian Agri di tahun 2006/2007. Tak
banyak temuan investigatif penting/signifikan dalam laporan utama mengenai
kasus Bank Century, salah satunya mengenai jalannya rapat marathon semalam
suntuk antara KSSK, BI dan LPS yang berujung pada keputusan penalangan.
Informasi ini tidak terlalu penting, sekadar menjadi ilustrasi, dan mungkin
untuk menampilkan kesan bahwa keputusan pengucuran dana LPS untuk Bank
Century tersebut dibuat sudah dengan pertimbangan matang. Bandingkan
misalnya dengan kualitas investigasi Tempo yang jauh lebih tinggi saat
mengurai jejaring anak usaha kelompok Asian Agri dan dugaan penggelapan
pajak yang mereka lakukan, ataupun dengan keberhasilan Tempo mendapatkan
bukti cek dari dana skandal Bulog II yang mengalir ke dua orang bendahara
Partai Golkar.



Dalam kasus Century ini, ada baiknya kita melakukan kilas-balik sebentar, ke
kejadian di tanggal 6 Oktober 2008. Ketika itu, dalam pertemuan dengan Bank
Indonesia, dunia usaha, para pengamat ekonomi, dan para pemimpin media
massa, di Sekretariat Negara, Jakarta (sebagai bagian dari langkah
menanggapi gejolak ekonomi yang tengah berlangsung di Amerika Serikat), SBY
menyampaikan ucapan berikut: "Saya harus katakan secara tegas dan jelas
bahwa Insya Allah tidak akan terjadi krisis sebagaimana kita alami pada
sepuluh tahun lalu.” SBY meyakini, faktor-faktor yang hadir saat krisis
ekonomi 1997-1998, misalnya kebijakan yang tak konsisten dan menipisnya
kepercayaan masyarakat, kini tak ada lagi. SBY juga percaya bahwa kebijakan,
prioritas, dan arah perekonomian Indonesia sudah tepat, ditandai dengan
membaiknya pendapatan per kapita, menurunnya rasio utang terhadap pendapatan
domestik bruto.



Sehari sebelumnya, Gubernur BI, Boediono dan Menteri Keuangan, Sri Mulyani,
memberikan penjelasan senada: kondisi Indonesia relatif baik. Boediono
menyebutkan, perbankan masih terbilang solid, dengan posisi rasio kecukupan
modal berada di kisaran 16% atau jauh di atas ketentuan minimal 8%. Begitu
juga rasio kredit bermasalah yang bisa dibendung di posisi 3,59%. "Ini bisa
menjadi bekal kami menghadapi krisis ini," ujar Boediono.


Namun persis satu setengah bulan setelah pernyataan itu, 21 November 2008,
kita mendapat berita bahwa Bank Century berada di tepi jurang, dan harus
diselamatkan. Belakangan kita tahu, proses penyelamatan itu telah menyedot
Rp 6,7 triliun yang dikucurkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Alasan para
pihak (BI, Menkeu selaku Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan/KSSK dan
LPS), jika Century dilikuidasi, maka akan berdampak sistemik.



*Tempo* semestinya bisa mengajukan pertanyaan di hulu sekali: ketangguhan
fundamental ekonomi macam apa yang sebetulnya dimaksudkan SBY, Boediono dan
Sri Mulyani sebagaimana yang saya kutip di atas? Kalau memang situasi
perbankan kita sehat, perekonomian kita berada pada arah yang benar, tentu
tak akan muncul alasan ”dampak sistemik” yang dijadikan landasan utama
keputusan menyelamatkan Century. Jadi, bisa disimpulkan salah satu dari dua
pernyataan tadi – entah mengenai perbankan kita sehat, ataukah ihwal bahwa
jika Century dibiarkan mati maka akan berdampak sistemik – pastilah
mengandung kekeliruan, atau sedikit-dikitnya masih berupa asumsi. Ataukah
dalam tenggang waktu 1,5 bulan, sejak pernyataan itu mereka lontarkan sampai
saat keputusan menyelamatkan Century ditetapkan, telah terjadi goncangan
dahsyat pada landasan perekonomian kita?



Masih sederet hal lagi yang luput “dikuliti” *Tempo*: informasi lebih jauh
dari Wapres Jusuf Kalla; informasi tentang nasabah besar Bank Century
(setidaknya ada satu nama deposan besar yang sudah dipastikan memiliki
simpaman dalam jumlah raksasa di bank itu); mengorek lebih jauh dugaan yang
dilontarkan sejumlah kalangan bahwa ada dana yang mengalir ke partai politik
yang berasal dari dana talangan itu; mempersoalkan proses pengambilan
keputusan itu (misalnya, mengapa Presiden tidak dilibatkan, padahal
Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang LPS di pasal 2 ayat 4 jelas-jelas
menyebutkan bahwa LPS bertanggungjawab kepada Presiden. Kini mengapa para
pendukung pengucuran dana talangan itu bisa dengan mudah mengatakan bahwa
Presiden tidak ikut-ikut dalam keputusan ini?).

* *

*Tempo* juga seharusnya mencari Boediono. Mengapa selaku orang nomor satu di
BI dia tidak menempuh tindakan tegas lebih awal terhadap Century, meskipun
memang Century telah menjadi beban yang diwariskan oleh para pendahulunya?
Sebetulnya menarik melihat kenyataan bahwa sudah tiga pekan heboh kasus
Century ini berlangsung, namun sampai email balasan ini saya tulis untuk
Anda (11 September), suara Boediono tak terdengar juga. Padahal dia adalah
kunci utama sesungguhnya, karena dua hal: a) BI lah yang selama ini
mengawasi kinerja setiap bank (terbukti Century tidak terawasi oleh BI
sehingga bisa berdarah-darah begitu parah), dan b) BI pula yang menjadi
pangkal rekomendasi perlunya dana talangan tadi. Banyak pertanyaan yang
perlu diajukan pada Boediono. Termasuk juga mungkin pertanyaan “nakal” yang
yang sudah pula diutarakan sejumlah kalangan: apakah benar ada kaitan antara
pilihan SBY untuk menjadikan Boediono sebagai Wapres, dengan kebijakan dana
talangan untuk Century itu. Mungkin pertanyaan ini bernuansa syuudzon. Namun
cobalah Anda ingat-ingat lagi, Bung, nama Sri dan Boediono memang sempat
“berkibar” disebut-sebut akan mendampingi SBY menjadi Wapres. Akhirnya SBY
memastikan bahwa Boediono yang menjadi pendampingnya dalam Pilpres. Lalu
sempat juga muncul diskursus bahwa Sri yang akan menggantikan dia di posisi
Gubernur BI, bukan? Sekarang, di tengah kecamuk Century ini, ingatan akan
diskursus sekian bulan silam itu menjadi menarik juga untuk dilacak lebih
jauh. Tentu saja ini masih berupa dugaan kasar. Namun jika ada wartawan
investigatif sejati, dia pasti akan tertantang untuk menelusuri dugaan ini.



Boediono juga bisa ditanyai mengenai satu perkembangan terbaru, yaitu
pernyataan dari anggota DPR Habil Marati, yang menemukan kenyataan bahwa BI
telah mengubah peraturan mengenai batas minimal CAR (rasio kecukupan modal)
untuk menjadi syarat agar dapat diselamatkan oleh pemerintah, dan dengan
perubahan syarat CAR minimal inilah Century menjadi memenuhi syarat untuk
dibantu dengan suntikan dana. Keputusan perubahan peraturan BI ini tertuang
dalam surat tertanggal 18 November 2008 yang ditandatangi Boediono, hanya
terpaut beberapa hari saja sebelum BI, KSSK dan LPS menyelesaikan “rapat
semalam suntuk” mereka di tanggal 21 November 2008, yang bermuara pada
keputusan untuk menyetujui kucuran dana bagi Century itu.



Saya salinkan saja di bawah ini berita dari salah satu media – yakni situs
berita metronews.com edisi 11 September 2009; Anda bisa dengan mudah
menemukan berita yang sama dari media lainnya -- yang memuat ihwal
pernyataan Habil Marati ini (saya muat di antara dua strip panjang di atas
dan di bawah):

========================================================================

Habil Marati: Boediono Berperan Mengubah CAR Bank**

*Metrotvnews.com, Jakarta: *Mantan Gubernur Bank Indonesia, Boediono
dianggap berperan mengubah peraturan Bank Indonesia tentang kewajiban rasio
penyediaan modal minimum atau CAR. Perubahan kebijakan ini disebut-sebut
untuk menyelamatkan Bank Century. Dugaan keterlibatan Boediono dikemukakan
anggota Komisi XI DPR, Habil Marati di Jakarta, Jumat (11/9).

Menurut Habil, dua dari tiga dokumen yang berisi perubahan peraturan BI
diteken Boediono dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalata pada
November 2008. Saat itu Boediono masih menjabat Gubernur BI. Dalam perubahan
peraturan BI ini, ada bagian penting yang menarik perhatian, yakni revisi
CAR yang semula delapan persen menjadi nol persen.

Dengan perubahan kebijakan ini, Bank Century yang semula hanya memiliki CAR
kurang dari empat persen berhak mengajukan permohonan fasilitas pendanaan
jangka pendek untuk menutup kerugian. Habil menambahkan pemerintah juga
bertanggung jawab dalam masalah ini. Sebab, Menteri Keuangan Sri Mulyani
selaku Ketua Komite Kebijakan

===================================================================

Saya juga sudah menyempatkan melihat-lihat peraturan baru BI yang disebut
oleh Habil Marati ini, sekaligus menengok peraturan lama yang digantikannya.
Beberapa hal yang berbeda di peraturan baru BI ini dibandingkan dengan
peraturan yang digantikannya (PBI No. 8/1/2006) adalah sbb:

- Tentang sumber pendanaan. Di peraturan lama, sumber pendanaan (tertera
di Pasal 5) adalah, antara lain, dari APBN. Jika kondisi keuangan Negara
sedang sulit, maka Menkeu dapat menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) untuk
mendanai Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD) ini. Sedangkan dalam peraturan
baru, yang diterbitkan 18 November 2009 itu, sumber pendanaannya dirumuskan
sbb (pada Pasal 3): (a) Sumber pendanaan FPD dalam rangka pencegahan krisis
berasal dari Bank Indonesia yang dijamin oleh pemerintah; (b) Sumber
pendanaan FPD dalam rangka penanganan krisis berasal dari pemerintah.



- Tentang persyaratan pemberian FPD. Dalam peraturan lama, ada empat
syarat, yaitu: a) bank mengalami kesulitan likuiditas; b) bank berdampak
sistemik; c) rasio kewajiban penyertaan modal minimum bank paling sedikit
5%; d) dijamin dengan agunan. Berdasarkan peraturan baru, syarat-syarat ini
berubah menjadi hanya tiga, yakni: a) bank mengalami kesulitan likuiditas
yang memiliki dampak sistemik; b) bank memiliki rasio kewajiban penyediaan
modal minimum POSITIF (huruf kapital dari Arya Gunawan); c) bank memiliki
aset yang dapat dijadikan agunan.



Perhatikan perubahan-perubahan di atas. Saya serahkan saja kepada
kawan-kawan yang memang ahli di bidang ekonomi/keuangan yang ada di milis
ini, untuk menerjemahkan makna perubahan ini. Adakah yang patut dicurigai
sebagaimana yang disinyalir oleh Habil Marati? sehingga dapat memperkuat
dugaan bahwa penyelamatan Century memang dirancang demi sebuah tujuan yang
tak ada kaitannya dengan kepentingan publik?



Bagi yang ingin merujuk langsung ke kedua peraturan yang saya sebutkan di
atas, bisa melihatnya di: a)
http://www.djpp.depkumham.go.id/inc/buka.php?czoyNjoiZD0yMDAwKzYmZj1wYmk4LTEtMjAwNi5odG0iOw==
(untuk peraturan BI 8/1/2006); dan b)
http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/B46F01BB-82CB-4649-82DD-660E550C7302/15038/pbi_103108r.pdf(untuk
peraturan yang baru, PBI 10/31/2008).



What a coincidence of all these facts. Buhul-buhul kian banyak bermunculan.
Tinggal terpulang pada mereka-mereka yang tertantang untuk mencari
tali-temali yang menghubungkan buhul-buhul alias simpul-simpul tadi, apakah
mau berupaya mati-matian mendapatkannya sehingga berujung pada QED alias
terbukti. Mereka-mereka yang saya maksud di sini antara lain BPK, dan tentu
saja wartawan. Termasuk Tempo. Masih berminatkah Tempo mencari kemungkinan
kait-kaitan tadi? Kita lihat sajalah dalam hari-hari ke depan ini.



*Tempo* juga terkesan “membeli” pendapat yang menyebutkan bahwa kinerja
Century kini sudah mulai membaik, dan bukan mustahil jika dijual kembali
beberapa tahun mendatang, harga jualnya lebih tinggi dari biaya penyelamatan
yang Rp 6,7 triliun itu. Ini lagi-lagi sebuah asumsi, mirip dengan asumsi
mengenai “dampak sistemik” seperti yang disebutkan terdahulu. Siapa dan
bagaimana bisa menjamin bahwa keuntungan tersebut bisa terwujud?



Lalu tentang pernyataan Anda mengenai nuansa politisasi dalam kasus Century
ini, kemungkinan diwarnai “balas dendam” JK terhadap Menkeu. Ada juga kawan
lain yang menanggapi saya dengan “mengingatkan” bahwa meledaknya kasus
Century ini adalah bagian dari konspirasi hitam untuk melengserkan Menkeu?
Ditambahkan oleh sang kawan, banyak pihak yang ingin Menkeu lengser karena
dia dianggap keras terhadap para penjahat ekonomi, misalnya pengemplang
pajak.



Jawaban saya: dalam jurnalisme investigatif (teori maupun praktek), urusan
motif ini jangan sampai menjadi halangan. Dengan kata lain, wartawan
investigatif yang baik seyogianya tidak usah terlampau peduli pada motif
pembocoran informasi mengenai kasus tertentu, tentu saja dengan catatan:
bahwa si wartawan harus yakin peristiwa tertentu itu memiliki dampak yang
merugikan kepentingan publik/Negara. Ini tentu dilakukan lewat proses dan
prosedur jurnalisme yang ketat, terutama pada tahap verifikasi data yang
diterima si wartawan. Jadi, siapa pun sumber yang memberikan tips informasi
dan bahan-bahan, jika si wartawan yakin bahwa informasi itu benar dan
berdampak pada kerugian publik, maka dia akan gunakan informasi tersebut.
Kalau kemudian pihak pemberi informasi itu ikut memetik keuntungan dari
berita kita, sejauh itu tidak diniatkan oleh si wartawan, maka tidak jadi
masalah, dan itu adalah implikasi yang tak terelakkan. Jika kita memusingkan
ihwal motivasi, tentu mestinya kita juga bisa mempertanyakan posisi Tempo
saat memberitakan kasus korupsi dana Bulog II yang dilakukan Akbar Tanjung
tahun 2002 silam, karena banyak informasi yang diperoleh Tempo berasal dari
lawan politik Akbar. Apakah kita memusingkan bahwa lawan-lawan politik Akbar
memetik untung besar dari pemberitaan itu? Saya sih tidak peduli, yang
penting kasus itu diungkap, karena unsur kepentingan publiknya jelas besar.



Begitu pula saat Tempo mengungkap kasus dugaan penggelapan pajak Asian Agri.
Apakah saya peduli bahwa disebut-sebut ada pengusaha yang notabene
“musuhnya” Asian Agri memetik keuntungan atas gonjang-ganjing yang dialami
Asian Agri karena dugaan penggelapan pajak itu dibeberkan Tempo? Saya juga
tidak peduli.



Begitu pula “bisikan” seorang kawan bahwa ada konspirasi kelompok hitam di
luar sana yang menggunakan kasus Century ini untuk melengserkan Menkeu. Bagi
saya, itu TIDAK PENTING. Lagipula, APA PEDULINYA SEBAGIAN KITA – termasuk
saya, tentu saja -- JIKA SRI MULYANI LENGSER SEBAGAI MENKEU? Apakah memang
dia indispensable alias tak tergantikan? Kalau iya, alangkah malangnya rezim
pemerintahan SBY. Pemimpin yang baik tentulah pemimpin yang menciptakan
sistem yang baik, bukan menyandarkan diri pada orang-orang yang
indispensable. Tentang informasi yang bilang bahwa jika Sri lengser maka
para konglomerat hitam termasuk yang mengemplang pajak, akan bertempik-sorak
riuh-rendah girang-gembira gegap-gempita, maka pertanyaan saya: apakah
benar? Pada titik ini, ada dua pertanyaan yang bisa diajukan: a) kalau
memang Sri dianggap hebat dan anti konglomerat hitam, apakah tak bisa SBY
mencarikan gantinya?; dan b) apa iya Sri memang hebat memerangi konglomerat
hitam/pengemplang pajak? Bukti menunjukkan, untuk kasus dugaan penggelapan
pajak yang dilakukan Asian Agri saja, Menkeu (yang membawahi Ditjen Pajak)
ujung-ujungnya tak berdaya juga saat harus berhadapan dengan Kejaksaan
Agung. Bahkan SBY sekali pun seperti tak berdaya menyelesaikan kasus Asian
Agri ini.



Jadi, jika memang Sri harus terpental, be it. Itulah risiko jabatan.



Oya, Bung Liman, sebagai catatan kecil saja: saya menyatakan semua hal di
atas itu, demi Allah (sebagai seorang Muslim), tanpa dilandasi kepentingan
apapun. Saya tidak kenal Sri, tidak kenal juga dengan kubu yang anti
terhadap keputusan penyuntikan dana untuk Century ini. Saya juga tak bisa
menyajikan data-data yang canggih dari sudut ekonomi. Saya bukanlah orang
yang menguasai ilmu ekonomi (latar belakang pendidikan saya Kimia dari
Institut Teknologi Bandung, satu almamater dengan Bambang Harymurti; dia
lima atau enam tahun di atas saya, dan berbeda Jurusan). Saya hanya tahu
serba sedikit tentang ekonomi, kulit-kulitnya saja, memenuhi tuntutan
profesi jurnalistik yang menganjurkan agar wartawan yang baik harus mencoba
menjadi generalis (baru kemudian menjadi spesialis, dengan menekuni dan
mendalami satu bidang tertentu). Jadi, saya tentu tak bisa menyajikan
analisis yang kompleks, seperti beberapa kawan di milis ini yang memang
pakar di bidang itu. Saya hanya menggunakan nalar dan akal sehat, juga hati
nurani saya, plus naluri jurnalistik yang masih tersisa. Dan dengan semua
perangkat terbatas yang saya punyai itu, saya menganggap keputusan
pengucuran dana untuk Century itu tidak benar. Saya prihatin, karena Tempo
tampak berupaya keras membela keputusan yang sesungguhnya sangat layak
dipertanyakan itu...Saya tentu saja bisa keliru. Biarlah waktu yang nanti
akan menjadi penentu, apakah saya (dan kawan-kawan lain yang sehaluan
pemikirannya dengan saya) yang keliru, ataukah Tempo (dan kelompok para
pendukung kebijakan penalangan dana untuk Century itu).



Oh iya, ada yang lucu juga saat memperhatikan karikatur Boediono dan Sri
Mulyani di kulit muka majalah Tempo edisi terbaru yang memuat laporan utama
mengenai kasus Century ini: perhatikan bahwa kepala ikat pinggang yang
dikenakan Boediono berlambang bintang, maksudnya logo merek Converse, atau
lambang di topi yang sering dipakai Che Guevara itu barangkali ya? Pesan apa
yang ingin disiratkan oleh Tempo dari karikatur itu? Atau memang dalam
kehidupan nyata sehari-hari, Boediono sering pakai ikat pinggang dengan
kepala berlambang bintang itu ya?



Bung, setelah catatan yang satu ini, mohon maaf, mungkin saya akan absen
dulu untuk diskusi yang panjang mengenai topik ini di milis FPK ini. Rasanya
saya sudah menuangkan semua pemikiran yang saya punya. Ibarat pesilat, sudah
tak ada lagi varian atau kembangan jurus/gerakan dan ilmu andalan yang saya
punya. Mohon maaf apabila terasa masih sangat terbatas. Hanya segitulah CAR
saya untuk sementara ini. Kalau CAR saya meningkat setelah dapat suntikan
dari LPS, barulah saya akan kasih komentar lagi. Hehehe...





Trims dan salam,

Arya Gunawan

Tidak ada komentar: