Masukan Nama Penyanyi - Judul Lagu

Mesin Cari Free Download Mp3 Gratis

Translate To Your Language

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

Jumat, 18 September 2009

Pemujaan Komiditi (commodity fetishism)

Pendapat Michael A. Lebowitz, mengatakan bahwa penjelasan paling baik tentang konsep Pemujaan Komoditi, dikemukakan oleh artis Wallace Shawn, seorang aktor dan penulis AS. Dalam pementasannya berjudul “The Fever,” Shawn sebagai sang protagonis, suatu ketika menemukan Capital dan mulai membacanya pada suatu malam. Dari bacaan terhadap Capital itu, Shawn lantas mengatakan,

Saya tiba pada frase yang telah saya dengar sebelumnya, sesuatu yang asing, menjengkelkan, urutan frase singkat yang buruk: itulah seksi tentang “pemujaan komoditi,” "komoditi yang diberhalakan." Saya ingin memahami frase yang terdengar aneh ini, tapi harus saya katakan, untuk memahami hal itu, seluruh kehidupan anda mungkin saja akan berubah.

Penjelasannya sangat sulit dimengerti. Ia menggunakan contoh tentang seseorang yang mengatakan, “20 yard linen berharga 2 pounds.” Orang-orang mengatakan, setiap benda pasti mengandung nilai tertentu. Demikian juga dengan barang-barang ini, seperti jas, sweater, dan secangkir kopi: ketiganya memiliki harganya sendiri-sendiri, atau setara dengan jumlah dari benda-benda lainnya—satu jas, berharga tiga sweater, atau lebih mahal lagi—seolah-olah jas tersebut muncul begitu saja ke dunia ini, datang dari suatu tempat yang pada dirinya sendiri melekat sejumlah nilai, layaknya jiwa-insani, seolah-olah jas itu adalah sebuah berhala, obyek fisikal yang padanya melekat spirit kehidupan. Tetapi, apa yang sebenarnya menentukan nilai dari jas tersebut? Harga dari jas muncul dari sejarah, sejarah seluruh masyarakat yang terlibat dalam pembuatan dan penjualannya dan seluruh hubungan tertentu yang mereka lakukan. Dan jika kita membeli jas, kita juga, dari hubungannya dengan seluruh masyarakat, maka hubungan kita tersembunyi dari kesadaran kita, seakan-akan kita hidup dalam sebuah dunia dimana jas tidak memiliki sejarah, tapi jatuh langsung dari surga dengan harga yang telah tertera di dalamnya. Lantas kita bilang, “saya suka jas ini.” “Jas ini murah” seolah-olah begitulah faktanya dan cerita tentang seluruh masyarakat yang membuat dan menjualnya tak pernah berakhir. “Saya suka gambar dalam majalah ini.”

Seorang perempuan telanjang bersandar di pagar. Seorang lelaki membeli sebuah majalah dan memandang foto perempuan tadi. Takdir keduanya membuat mereka saling terhubungkan. Si lelaki membayar si perempuan agar mau melepaskan pakaiannya, lalu bersandar di pagar. Juru foto terlibat dalam sejarah itu---pada moment dimana si perempuan melepaskan satu per satu kancung kemejanya, bagaimana perasaannya ketika mengikuti apa yang dikatakan oleh juru foto. Harga dari majalah tersebut adalah tanda yang menjelaskan hubungan di antara mereka: perempuan, laki-laki, penerbit, dan juru foto—siapa yang memerintah, siapa yang diperintah. Secangkir kopi melekat sejarah dari petani yang memetik biji kopi, bagaimana sebagian dari mereka terpaksa bekerja di bawah panas terik matahari, sebagian lainnya dipukuli, dan yang lainnya ditendang.

Selama dua hari saya melihat pemujaan komoditi di sekelilingku. Saya merasa aneh. Lalu pada hari yang ketiga saya kehilangan momen pemujaan komoditi itu, lenyap tak berbekas, saya tak pernah lagi melihatnya. (Lebowitz, 2006:44-45).


Kalau kita ikuti alur pemikiran Marx, maka penjelasannya tentang pemujaan komoditi mengambil jalur seperti ini: pertama, pemujaan komoditi tidak lahir dari nilai-guna sebuah komoditi, melainkan dari nilai-tukarnya. Sejauh benda yang merupakan produk dari kerja itu langsung dikonsumsi untuk memuaskan kebutuhan manusia (nilai-guna), tidak ada yang misterius di sana. Dalam bahasa Marx, karakter mistikal dari komoditi tidak muncul dari nilai-gunanya (opcit:164).

Sebagai contoh, jika di rumah anda ada sebuah meja antik nan indah, apa yang pertama kali muncul di kepala anda ketika melihat meja tersebut? Jika anda adalah seorang yang memiliki keahlian dalam bidang permebelan atau perkayuan, maka anda akan bisa dengan mudah menilai kualitas kayu yang menjadi bahan baku dari meja tersebut, keindahan ukirannya, atau kehalusan catnya. Tetapi, patut diragukan apakah anda tahu siapa produser meja tersebut, apakah ia seorang pengrajin, seorang buruh-upahan, atau tukang kayu amatiran, atau mungkin saja ia anggota sebuah partai terlarang di Indonesia.

Karena itu, asal-muasal munculnya pemujaan komoditi itu ada pada nilai-tukarnya, dimana barang diproduksi untuk dipertukarkan di pasar. Karena muncul dari nilai-tukar, maka yang mesti kita ingat, “sesuatu obyek yang berguna menjadi komoditi hanya karena mereka adalah produk dari kerja individu privat yang bekerja secara independen satu sama lain" (ibid:165). Individu privat itu adalah buruh dan kapitalis yang sama-sama merupakan pemilik komoditi: buruh memiliki tenaga kerja sebagai komoditinya dan kapitalis sebagai pemilik alat-alat produksi. Dan seperti yang telah kita diskusikan di atas, komoditi bisa saling dipertukarkan karena adanya nilai bersama yang dikandung oleh komoditi tersebut, bahwa ia adalah produk dari tenaga kerja manusia.

Dengan demikian, ketika kita bicara tentang nilai, kita tidak belajar tentang aspek-aspek teknikal dari benda itu sendiri (meja antik dalam contoh di atas). Apa yang kita pelajari adalah bentuk sosial produksi (social form of production), dan tentang orang-orang yang terlibat dalam proses produksi tersebut. Artinya, nilai tidak dikarakterisasikan oleh benda-benda, tapi oleh hubungan manusia dalam mana benda-benda itu diproduksi. Atau dalam bahasa Rubin, nilai adalah “hubungan sosial yang menjelma dalam hubungan di antara benda-benda,” sebuah hubungan produksi di antara orang-orang yang mengambil bentuk sebagai sesuatu yang melekat pada benda-benda" (op.cit:64).

Tetapi, dari mana kita tahu bahwa “nilai bersama itu” adalah “tenaga kerja manusia?” jawabnya, ketika komoditi itu saling dipertukarkan, bukan langsung dikonsumsi. Dari sini misteri itu perlahan-lahan muncul. Karena di bawah kapitalisme para penghasil komoditi tidak datang ke pasar untuk secara langsung mempertukarkan produknya, maka yang muncul ke permukaan adalah hubungan di antara benda-benda (relation between things): sepatu ditukar dengan sandal yang dimediasi oleh uang. Di sini, hubungan antar manusia (relation between man) menampakkan wujudnya dalam bentuk hubungan di antara benda-benda. Kata Marx, sejak para produser tidak muncul dalam kontak sosial hingga mereka mempertukarkan produk dari kerjanya, maka karakter sosial yang khusus dari kerja pribadinya muncul hanya dalam pertukaran (op.cit:165). Si A bisa berhubungan dengan si B yang tidak diketahuinya, bahkan melakukan kesepakatan jual-beli, karena adanya hubungan di antara benda-benda tersebut. Singkatnya, tanpa hubungan di antara benda-benda itu, tidak ada hubungan di antara manusia. Persis pada momen inilah karateristik misterius dari komoditi muncul.

Tetapi dalam masyarakat kapitalis, hubungan di antara benda-benda (relation between things) lebih dari sekadar materialisasi atau objektivikasi dari pertukaran di antara orang-orang. Lebih jauh lagi, hubungan di antara benda-benda tersebut pada akhirnya menentukan hubungan di antara manusia, karena hanya melalui pertukaran benda-benda itulah manusia terhubung satu dengan lainnya. Nah, ketika hubungan di antara benda-benda atau komoditi ini terjadi secara berulang-ulang, pada akhirnya ia menjadi hal yang wajar dan diterima, bahkan, diyakini sebagai sesuatu yang demikian adanya. Inilah yang disebut dengan reifikasi atau kristalisasi dalam bentuk kualitas dari benda, kualitas yang sepertinya dimiliki benda itu sendiri dan bisa dipisahkan dari hubungan produksi (Rubin, op.cit:25). Akibatnya, manusia kehilangan kontrol terhadap produk ciptaannya, dan sebaliknya dirinya kini dikontrol oleh komoditi, dipaksa dengan sadar atau tidak, untuk mengikuti hukum pertukaran komoditi. Sehingga muncul keyakinan baru dimana pertukaran merupakan ukuran dan tujuan hubungan bermasyarakat. Tanpa pertukaran tak ada produksi, tanpa hubungan di antara benda-benda, tidak ada hubungan di antara manusia.

Situasi pemujaan komoditi ini, oleh Marx dianalogikannya dengan mitos yang terjadi dalam sejarah agama-agama. Dalam situasi krisis, ancaman ketidakpastian, dan ketakutan, manusia melalui pikirannya kemudian menciptakan figur/sosok yang superior di luar dirinya, guna menjaga tertib sosial dan suasana batin yang damai. Tetapi, oleh proses sejarah kian hari figur bentukan ini makin menjadi otonom dari manusia, makin tak terjangkau, berada dikejauhan, dan semakin misterius. Manusia pada akhirnya menyadari bahwa figur itu sesungguhnya nyata adanya, sehingga ia tak kuasa lagi mengontrol sosok ciptaannya itu. Lebih jauh lagi, manusia kemudian malah mengimani bahwa sosok tersebut adalah maha kuasa atas hidup dan kehidupannya. Jika ingin selamat dan hidup dalam damai, manusia wajib mengikuti segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Maka muncullah ungkapan, “manusia hanya berusaha, Tuhan yang menentukan."

Menurut Schmitt, pemujaan dalam dunia modern telah berpindah dari agama menuju ekonomi
Struktur masyarakat kapitalis, pembagian kerja, distribusi sumberdaya biasanya tidak dianggap sebagai hasil dari pilihan manusia tapi oleh kekuatan pasar yang impersonal. Umat manusia, sebagian besar, tidak berdaya untuk mengubah masyarakat yang ada karena mekanisme pasar tidak berada di bawah kontrol mereka. Para teoritikus saat ini menambahkan, usaha untuk mengontrol kekuatan pasar, selalu berakhir dengan kegagalan luar biasa. Kepercayaan terhadap kapitalisme yang bersifat kekal ini, adalah contoh lain dari kecenderungan kelas-kelas berkuasa untuk mengklaim universalitas pandangan mereka terhadap dunia. Kapitalis hadir di dunia hanya jika kapitalisme tetap eksis dan hanya jika keinginan mereka tak terganggu. Kekuatan pasar menjadi berhala sejauh mereka tampak pada rakyat sebagai kekuatan independen yang mendominasi urusan manusia”

Pemujaan Komoditi, membawa kita pada pemahaman bahwa hubungan sosial dalam kapitalisme adalah setara, yakni antara penjual dan pembeli secara individual. Transaksi, misalnya, terjadi secara sukarela, bergantung penilaian subyektif dan daya beli kita akan benda tersebut. Anda masuk ke supermarket untuk berbelanja barang yang anda inginkan, tanpa ada yang memaksa. Anda suka anda beli, tidak suka keluar dan cari tempat yang lain. Di sini muncul glorifikasi bahwa pasar yang bekerja tanpa intervensi dari negara dan kelompok sosial tertentu, adalah prasyarat bagi berkembangnya kebebasan dan kreativitas individu, yang pada ujugnya memunculkan sistem sosial-politik yang demokratis. Tradisi kebebasan yang terjadi di pasar, pelan tapi pasti akan menular ke sektor kehidupan yang lain.

Konsekuensinya, bukan perjuangan kelas yang menjadi motor perubahan sejarah, tapi kerjasama di antara masing-masing indidivu yang bertransaksi di pasar. Bukan mengubah hubungan produksi yang eksploitatif yang utama, tapi memperluas kesempatan setiap orang untuk berinteraksi di pasar. Celakanya, ini bukan sekadar teori, tapi adalah sebentuk iman atau keyakinan

Tidak ada komentar: