Ini kehilangan tak terperi. Tapi diam-diam aku merasakannya seperti formalitas saja. Ketuk palu atas sesuatu yang telah ditetapkan sebelumnya.
Kehilangan yang sesungguhnya telah terjadi dua belas tahun yang lalu, ketika suatu hari kamar mandi kantor PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), di Kramat Raya Jakarta, tak kunjung terbuka. Kamar mandi itu terkunci dari dalam dan Gus Dur ada didalamnya. Orang-orang menggedor-gedor pintu, tak ada sahutan. Ketika akhirnya pintu itu dijebol, orang mendapati Gus Dur tergeletak bersimbah darah muntahannya sendiri. Itulah strokenya yang pertama dan paling dahsyat, yang sungguh-sungguh merenggut kedigdayaan fisiknya.
Sebelum malapetaka itu, Gus Dur adalah sosok “pendekar” yang nyaris tak terkalahkan. Pada waktu itu, tak ada yang tak sepakat bahwa beliau adalah salah satu tumpuan harapan untuk masa depan Indonesia yang lebih baik. Tapi ketika akhirnya memperoleh kesempatan menakhodai bangsa ini, keruntuhan fisik telah membelenggu beliau sedemikian rupa sehingga gelombang pertempuran yang terlampau berat pun menggerusnya. Aku tak pernah berhenti percaya bahwa seandainya yang menjadi presiden waktu itu adalah Gus Dur sebelum sakit, pastilah hari ini Indonesia sudah punya wajah yang berbeda, wajah yang lebih cerah dan lebih bersinar harapannya.
Aku telah menjadi pengagum berat Gus Dur dan mendaulat diriku sendiri sebagai murid beliau sejak aku masih remaja. Tapi memang Gus Dur telampau besar untukku, sehingga aku tak pernah mampu menangkap secuil pemahaman yang berarti dari ilmunya, kecuali senantiasa terlongong-longong takjub oleh gagasan-gagasan dan tindakan-tindakannya.
Ketika datang kesempatan bagiku untuk benar-benar mendekat secara fisik dengan tokoh idolaku, yaitu saat aku ditunjuk sebagai salah seorang juru bicara presiden, saat itulah pengalaman-pengalaman besar kualami. Bukan karena aku melompat dari santri kendil menjadi pejabat negara. Bukan sorot kamera para wartawan, bukan pula ta’dhim pegawai-pegawai negeri. Tapi inspirasi-inspirasi yang berebutan menjubeli kepala dan dadaku dari penglihatanku atas langkah-langkah presidenku.
Sungguh, langkah-langkah Presiden Gus Dur waktu itu mengingatkanku kembali pada kitab DBR (Dibawah Bendera Revolusi) yang kukhatamkan sewaktu kelas satu SMP dulu. Mengingatkanku pada “Nawaksara”, mengingatkanku pada “Revolusi belum selesai!”
Orang-orang mengecam kegemarannya berkeliling dunia, mengunjungi negara-negara yang dalam pandangan umum dianggap kurang relevan dengan kepentingan Indonesia. Namun aku justru melihat daftar negara-negara yang beliau kunjungi itu identik dengan daftar undangan Konferensi Asia-Afrika. Brasil mengekspor sekian ratus ribu ton kedelai ke Amerika setiap tahunnya, sedangkan kita mengimpor lebih separuh jumlah itu, dari Amerika pula. Maka presidenku datang ke Rio De Janeiro ingin membeli langsung kedelai dari sumbernya tanpa makelar Amerika. Venezuela mengipor seratus persen belanja rempah-rempahnya dari Rotterdam, sedangkan kita mengekspor seratus –persen rempah-rempah kita kesana. Maka presidenku menawari Hugo Chavez membeli rempah-rempah langsung dari kita. Gus Dur mengusulkan kepada Sultan Hasanal Bolkiah untuk membangun Islamic Financial Center di Brunaei Darussalam, lalu melobi negara-negara Timur Tengah untuk mengalihkan duit mereka dari bank-bank di Singapura kesana…
Barangkali pikiranku melompat serampangan. Tapi sungguh yang terbetik dibenakku waktu itu adalah bahwa Gus Dur, presidenku, sedang menmpuh jalan menuju cakrawala yang dicita-citakan pendahulunya, Pemimpin Besarku, Bung Karno. Yaitu mengejar kemerdekaan yang bukan hanya label, tapi kemerdekaan hakiki bagi manusia-manusia Indonesia. Yaitu bahwa masalah-masalah bangsa ini hanya bisa dituntaskan apabila berbagai ketidakadilan dalam tata dunia yang mapan pun dapat diatasi. Yaitu bahwa dalam perjuangan semesta itu harus tergalang kerjasama diantara bangsa-bangsa tertindas menghadapi bangsa-bangsa penindas.
Hanya saja, Gus Dur mengikhtiarkan perjuangan itu dengan caranya sendiri. Bukan dengan agitasi politik, bukan dengan machtsforming, tapi dengan langkah-langkah taktis yang substansial, cara-cara yang selama karir politiknya sendiri memang menjadi andalannya. Yang bagi banyak orang terlihat sebagai kontroversi, bagiku adalah cara cerdik beliau menyiasati pertarungan melawan kekuatan-kekuatan besar, baik didalam negeri maupun diluar negeri, yang terlampau berat untuk ditabrak secara langsung dan terang-terangan. Gus Dur terhadap Bung Karno, bagiku layaknya Deng Xiao Ping terhadap Mao Tse Tung.
Tapi pahlawanku bertempur ditengah sakit, seperti Panglima Besar Soedirman di hutan-hutan gerilyanya. Maka nasib Diponegoro pun dicicipinya pula…
Banyak orang belakangan bertanya-tanya, mengapa orang tua yang sakit-sakitan itu tak mau berhenti saja, beristirahat menghemat umurnya, ketimbang ngotot seolah terus-menerus mencari-cari posisi ditengah silang-sengkarut dunia yang kian semrawut saja. Saksikanlah, wahai bangsaku, inilah orang yang terlalu mencintaimu, sehingga tak tahan walau sedetik pun meninggalkanmu. Inilah orang yang begitu yakin dan determined akan cita-citanya, sehingga rasa sakit macam apa pun tak akan bisa menghentikannya. Selama napas masih hilir-mudik di paru-parunya, selama detak masih berdenyut di jantungnya, selama hayat masih dikandung badannya.
Kini Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menyelimutkan kasih sayang paripurnanya untuk hambaNya yang mulia itu. Memperbolehkannya beristirahat dari dunia tempat ia mengais bekal akhiratnya. Semoga sesudah ini segera tercurah pula kasih sayang Allah untuk bangsa yang amat dicintainya ini, agar dapat beristirahat dari silang-sengkarut nestapa rakyatnya. Gus Durku, Bung Karnoku… Selamat jalan….
Rabu, 30 Desember 2009
Happy New Year!
Another fresh new year is here . . .
Another year to live!
To banish worry, doubt, and fear,
To love and laugh and give!
This bright new year is given me
To live each day with zest . . .
To daily grow and try to be
My highest and my best!
I have the opportunity
Once more to right some wrongs,
To pray for peace, to plant a tree,
And sing more joyful songs!”
_William Arthur Ward_
Another year to live!
To banish worry, doubt, and fear,
To love and laugh and give!
This bright new year is given me
To live each day with zest . . .
To daily grow and try to be
My highest and my best!
I have the opportunity
Once more to right some wrongs,
To pray for peace, to plant a tree,
And sing more joyful songs!”
_William Arthur Ward_
Selasa, 29 Desember 2009
Waspadai Makanan di Sekitar Kita
Judul : Bahan-bahan Berbahaya Dalam Kehidupan: Kenali Produk Sebelum Membeli
Penulis : Mia Siti Aminah & Andra Himawan
Penerbit : Salamadani, 2009
Tebal : 78 halaman
Akhir-akhir ini, kita dikagetkan oleh berita yang menayangkan acara penyelidikan mengenai kecurangan dan perbuatan tidak bertanggung jawab sejumlah orang yang memproduksi makanan dari bahan-bahan yang tidak layak, kemudian dipasarkan di pasar tradisional hingga dikonsumsi oleh anak-anak sekolah. Ditemukan pula puluhan jenis makanan olahan, seperti nugget, bakso, mi basah, tahu, dan ikan pindang laut yang mengandung bahan-bahan berbahaya, seperti rhodamin B (pewarna kertas), formalin, dan boraks (bahan pengawet mayat).
Fenomena tersebut memberikan informasi dan pengetahuan yang sangat berharga. Sebagai konsumen kita harus jeli, cerdas, dan teliti sekaligus waspada terhadap makanan maupun minuman yang kita beli untuk kebutuhan sehari-hari. Buku ini berisi informasi lengkap mengenai bahan tambahan pangan berbahaya, dan kasus penipuan yang merebak di masyarakat, seperti daging sapi glonggongan, ayam tiren, makanan berformalin, jajanan anak sekolah yang mengandung bahan kimia berbahaya, beras berpemutih, obat palsu, dan peralatan makanan berformalin.
Dengan uraian yang jelas, singkat, dan padat, buku ini dapat menjadikan Anda sebagai konsumen yang peduli terhadap kesehatan dan cerdas agar tidak terkecoh informasi palsu yang menyesatkan dan tidak bertanggung jawab. Sebuah buku yang menarik untuk disimak. (Nia Kurniawati, Pusat Data Redaksi)**
Penulis : Mia Siti Aminah & Andra Himawan
Penerbit : Salamadani, 2009
Tebal : 78 halaman
Akhir-akhir ini, kita dikagetkan oleh berita yang menayangkan acara penyelidikan mengenai kecurangan dan perbuatan tidak bertanggung jawab sejumlah orang yang memproduksi makanan dari bahan-bahan yang tidak layak, kemudian dipasarkan di pasar tradisional hingga dikonsumsi oleh anak-anak sekolah. Ditemukan pula puluhan jenis makanan olahan, seperti nugget, bakso, mi basah, tahu, dan ikan pindang laut yang mengandung bahan-bahan berbahaya, seperti rhodamin B (pewarna kertas), formalin, dan boraks (bahan pengawet mayat).
Fenomena tersebut memberikan informasi dan pengetahuan yang sangat berharga. Sebagai konsumen kita harus jeli, cerdas, dan teliti sekaligus waspada terhadap makanan maupun minuman yang kita beli untuk kebutuhan sehari-hari. Buku ini berisi informasi lengkap mengenai bahan tambahan pangan berbahaya, dan kasus penipuan yang merebak di masyarakat, seperti daging sapi glonggongan, ayam tiren, makanan berformalin, jajanan anak sekolah yang mengandung bahan kimia berbahaya, beras berpemutih, obat palsu, dan peralatan makanan berformalin.
Dengan uraian yang jelas, singkat, dan padat, buku ini dapat menjadikan Anda sebagai konsumen yang peduli terhadap kesehatan dan cerdas agar tidak terkecoh informasi palsu yang menyesatkan dan tidak bertanggung jawab. Sebuah buku yang menarik untuk disimak. (Nia Kurniawati, Pusat Data Redaksi)**
Centurygate dan Bhagavad Gita
OLEH ADHIE M MASSARDI
JEONG CHO-SHIN memang bukan kriminolog. Tapi film berjudul Jakarta (2001) yang disutradarainya, bisa dijadikan rujukan para kriminolog Indonesia untuk mempelajari praktek kejahatan, khususnya, perampokan bank, yang belakangan ngeren di negeri kita.
Meskipun judulnya Jakarta, film komedi thriller ini tidak berlokasi di Ibukota negara kita. Sebab “Jakarta” dalam film ini adalah kata sandi para bandit Korea yang artinya “kejahatan sempurna”, perfect crime. Memang, dalam film ini, komplotan perampok uang 3 juta dolar AS di sebuah bank di Seoul itu, sangat rapi. Untuk merayakan kesuksesannya, para bandit ini terbang ke Jakarta.
Tidak dijelaskan apakah setelah sampai Jakarta mereka bertemu Robert dan Dewi Tantular, atau bergabung dengan para penjahat perbankan kita yang juga sukses membobol Bank Indonesia Rp 600 T lewat skandal BLBI. Kita juga tidak diberi informasi apakah pemakaian judul Jakarta sebagai kata sandi “kejahatan sempurna” ini diilhami oleh sempurnanya kejahatan perbankan di Jakarta.
Kita hanya tahu, kejahatan perbankan seperti BLBI, Indover, Bahana, memang nyaris berjalan sempurna. Karena itu, meskipun kerugian negara sudah mencapai ratusan triliun rupiah, tapi yang masuk penjara bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Itu pun yang kelas milyaran…
Skandal perampokan uang negara Rp 6,7 T lewat Bank Century, misalnya, berjalan sempurna. Sebab para pelakukanya menutupi kejahatannya dengan berbagai argumentasi cerdas, sangat masuk akal. Mereka juga berlindung di tengah isu krisis global, berdampak sistemik, mengubah peraturan, mengelabui DPR, Polri, Kejaksaan Agung, dan memayungi semua itu dengan peraturan yang mereka bikin sendiri.
Lebih sempurna lagi, para penjahat perbankan kita adalah kalangan profesional terpelajar dengan berbagai gelar akademik tinggi. Perilaku mereka sehari-hari di depan publik juga santun, mengesankan pejabat pemerintah yang bersih. Itulah sebabnya meskipun skandal Bank Century centang-perentang, pelanggaran hukumnya juga sudah dibeberkan BPK dengan transparan, tetap saja masih ada kaum terpelajar, di antaranya saudara kita, teman kita, yang bersedia membela mereka.
Para pembela pelaku skandal Bank Century memang saudara kita sendiri, teman kita sendiri, yang saat melawan rezim Orde Baru, berada bersama kita. Ada Erry Riyana Hardjapamekas yang pernah menjabat Wakil Ketua KPK, ada Wimar Witoelar sohib saya ketika jadi jubir Gus Dur, ada Marsilam Simandjuntak, Goenawan Mohamad, Todung Mulya Lubis, Rachland Nashidik, Faisal Basri, dll.
Terus terang, melihat “di sana” berbaris saudara dan teman-teman sendiri, membuat saya ragu dan berpikir ulang apakah langkah saya (dan teman-teman Gerakan Indonesia Bersih) sudah benar?
Saya memang ingat pesan Mahatma Gandhi. “Buang rasa takut menegur atau melawan saudara sendiri, teman sendiri, bila itu untuk menegakkan keadilan…!” Tapi benarkah saya?
Di tengah kebimbangan yang menggundahkan ini, Khresna muncul dari balik kitab Bhagavad Gita. Lalu dengan suaranya yang menggetarkan, Khresna berkata: “Dari manakah timbulnya depresi batinmu ini, pada saat-saat yang penuh dengan krisis seperti ini? Menolak berperang adalah tidak pantas untuk seorang Aryan. Penolakan ini akan menutup pintu masuk ke sorga. Penolakan ini adalah puncak dari kehinaan, oh Arjuna!”
Belum hilang rasa kaget itu, Khresna berkata lagi: “Janganlah bertindak sebagai seorang pengecut, oh Arjuna! Tiada laba yang akan kau petik dari kelakuanmu ini. Buanglah jauh-jauh kelemahan hatimu. Bangkitlah, wahai Arjuna!”
Mungkinkah Khresna salah alamat? Saya memang adiknya Yudhistira (Massardi). Tapi kan bukan Arjuna?
JEONG CHO-SHIN memang bukan kriminolog. Tapi film berjudul Jakarta (2001) yang disutradarainya, bisa dijadikan rujukan para kriminolog Indonesia untuk mempelajari praktek kejahatan, khususnya, perampokan bank, yang belakangan ngeren di negeri kita.
Meskipun judulnya Jakarta, film komedi thriller ini tidak berlokasi di Ibukota negara kita. Sebab “Jakarta” dalam film ini adalah kata sandi para bandit Korea yang artinya “kejahatan sempurna”, perfect crime. Memang, dalam film ini, komplotan perampok uang 3 juta dolar AS di sebuah bank di Seoul itu, sangat rapi. Untuk merayakan kesuksesannya, para bandit ini terbang ke Jakarta.
Tidak dijelaskan apakah setelah sampai Jakarta mereka bertemu Robert dan Dewi Tantular, atau bergabung dengan para penjahat perbankan kita yang juga sukses membobol Bank Indonesia Rp 600 T lewat skandal BLBI. Kita juga tidak diberi informasi apakah pemakaian judul Jakarta sebagai kata sandi “kejahatan sempurna” ini diilhami oleh sempurnanya kejahatan perbankan di Jakarta.
Kita hanya tahu, kejahatan perbankan seperti BLBI, Indover, Bahana, memang nyaris berjalan sempurna. Karena itu, meskipun kerugian negara sudah mencapai ratusan triliun rupiah, tapi yang masuk penjara bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Itu pun yang kelas milyaran…
Skandal perampokan uang negara Rp 6,7 T lewat Bank Century, misalnya, berjalan sempurna. Sebab para pelakukanya menutupi kejahatannya dengan berbagai argumentasi cerdas, sangat masuk akal. Mereka juga berlindung di tengah isu krisis global, berdampak sistemik, mengubah peraturan, mengelabui DPR, Polri, Kejaksaan Agung, dan memayungi semua itu dengan peraturan yang mereka bikin sendiri.
Lebih sempurna lagi, para penjahat perbankan kita adalah kalangan profesional terpelajar dengan berbagai gelar akademik tinggi. Perilaku mereka sehari-hari di depan publik juga santun, mengesankan pejabat pemerintah yang bersih. Itulah sebabnya meskipun skandal Bank Century centang-perentang, pelanggaran hukumnya juga sudah dibeberkan BPK dengan transparan, tetap saja masih ada kaum terpelajar, di antaranya saudara kita, teman kita, yang bersedia membela mereka.
Para pembela pelaku skandal Bank Century memang saudara kita sendiri, teman kita sendiri, yang saat melawan rezim Orde Baru, berada bersama kita. Ada Erry Riyana Hardjapamekas yang pernah menjabat Wakil Ketua KPK, ada Wimar Witoelar sohib saya ketika jadi jubir Gus Dur, ada Marsilam Simandjuntak, Goenawan Mohamad, Todung Mulya Lubis, Rachland Nashidik, Faisal Basri, dll.
Terus terang, melihat “di sana” berbaris saudara dan teman-teman sendiri, membuat saya ragu dan berpikir ulang apakah langkah saya (dan teman-teman Gerakan Indonesia Bersih) sudah benar?
Saya memang ingat pesan Mahatma Gandhi. “Buang rasa takut menegur atau melawan saudara sendiri, teman sendiri, bila itu untuk menegakkan keadilan…!” Tapi benarkah saya?
Di tengah kebimbangan yang menggundahkan ini, Khresna muncul dari balik kitab Bhagavad Gita. Lalu dengan suaranya yang menggetarkan, Khresna berkata: “Dari manakah timbulnya depresi batinmu ini, pada saat-saat yang penuh dengan krisis seperti ini? Menolak berperang adalah tidak pantas untuk seorang Aryan. Penolakan ini akan menutup pintu masuk ke sorga. Penolakan ini adalah puncak dari kehinaan, oh Arjuna!”
Belum hilang rasa kaget itu, Khresna berkata lagi: “Janganlah bertindak sebagai seorang pengecut, oh Arjuna! Tiada laba yang akan kau petik dari kelakuanmu ini. Buanglah jauh-jauh kelemahan hatimu. Bangkitlah, wahai Arjuna!”
Mungkinkah Khresna salah alamat? Saya memang adiknya Yudhistira (Massardi). Tapi kan bukan Arjuna?
Rabu, 23 Desember 2009
Daya Evokasi dalam puisi
Dalam Kereta
oleh : Chairil Anwar
Dalam kereta.
Hujan menebal jendela.
Semarang, Solo, makin dekat saja
Menangkup senja.
Menguak purnama.
Caya menyayat mulut dan mata.
Menjengking kereta. Menjengking jiwa.
Sayatan terus ke dada.
15 Maret 1944
----------------------------------------------------------------------------
Daya Evokasi dalam puisi bisa diartikan secara mudah sebagai sebuah kekuatan dari kata yang di ambil atau kalimat yang dipungut untuk menjelaskan gagasan dari penyairnya. gagasan yang di maksud bisa juga tema yang ingin di sampaikan oleh penyair. Coba kita belajar dari Puisi Chairil Anwar dengan Judul "Dalam Kereta" Di atas...
Sajak “Dalam Kereta” dibuka oleh dua baris berbunyi:
Dalam Kereta
Hujan menebal jendela
Dua baris itu langsung menyajikan suasana terkurung –mungkin(?) juga pengap. Chairil menggambarkan suasana yang dikurung oleh dua lapisan sekaligus: sudah berada (1) di “dalam kereta”, ealah…. (2) masih pula keretanya diguyuri hujan yang “menebali jendela”.
Tentu saja tidak semua penumpang yang berada dalam kereta yang ditebali hujan lebat akan merasakan suasana pengap dan muram. Penumpang yang sedang jatuh cinta atau yang baru saja naik pangkat akan tersenyum-senyum dan menikmati rinai hujan di luaran sebagai simfoni indah yang berdentang dalam dada. Hanya saja, baris-baris berikutnya –sehemat saya—lebih menunjukkan aura mencekam ketimbang riang.
Semarang, Solo? Makin dekat saja
Menangkup senja
Menguak purnama
Ya, ya, dua baris berikutnya dari sajak ini menunjukkan bahwa kereta yang dimaksud sedang menuju Semarang dan/atau Solo. Tapi, kenapa di situ Chairil menyebutkan dua kota tujuan sekaligus? Kenapa tidak salah satu saja? Yang mana yang benar? Adakah Chairil sedang menggambarkan kebingungan menentukan tujuan? Atau memang belum tahu tujuan? Tak bisa tidak, suasana ketidakpastian sudah menelisut di situ.
Kendati belum jelas dan pasti kota apa yang dituju, Chairil sepertinya sudah cukup jelas punya tujuan dari perjalanannya yaitu hendak “menangkup senja” dan “menguak purnama”. Mungkin senja akan ditangkup di Semarang sementara purnama akan dikuak di Solo.
Yang jelas, di situ Chairil menunjukkan satu target atau obsesi (“menangkup senja” dan “menguak purnama”). Tapi, target atau kehendak itu rasanya sedikit aneh dalam kosa kata sajak-sajak Chairil. Biasanya, atau lebih banyak, Chairil menguarkan obsesi dan tekad dengan bahasa yang lugas, tegas dan seringkali seperti hentakan dari ujung sebuah orasi yang menggelegar, macam: “Aku mau hidup seribu tahun lagi”.
Objek dari target atau obsesi atau tekad itu ternyata “senja” dan “purnama”; dua hal abstrak yang seringkali dirujuk untuk menggambarkan suasana hati yang teduh, indah, pendeknya jauh dari sesuatu yang hiruk-pikuk, menggelegar atau tantang-menantang.
Tiga baris terakhir sajak Chairil makin menyempurnakan kemuraman, rasa perih dan mencekam yang sudah disiapkan Chairil sejak baris pertama itu dalam satu pukulan ironi yang menggambarkan kepasrahan untuk dicincang-cincang:
Caya menyayat mulut dan mata
Menjengking kereta. Menjengking jiwa.
Sayatan terus ke dada.
oleh : Chairil Anwar
Dalam kereta.
Hujan menebal jendela.
Semarang, Solo, makin dekat saja
Menangkup senja.
Menguak purnama.
Caya menyayat mulut dan mata.
Menjengking kereta. Menjengking jiwa.
Sayatan terus ke dada.
15 Maret 1944
----------------------------------------------------------------------------
Daya Evokasi dalam puisi bisa diartikan secara mudah sebagai sebuah kekuatan dari kata yang di ambil atau kalimat yang dipungut untuk menjelaskan gagasan dari penyairnya. gagasan yang di maksud bisa juga tema yang ingin di sampaikan oleh penyair. Coba kita belajar dari Puisi Chairil Anwar dengan Judul "Dalam Kereta" Di atas...
Sajak “Dalam Kereta” dibuka oleh dua baris berbunyi:
Dalam Kereta
Hujan menebal jendela
Dua baris itu langsung menyajikan suasana terkurung –mungkin(?) juga pengap. Chairil menggambarkan suasana yang dikurung oleh dua lapisan sekaligus: sudah berada (1) di “dalam kereta”, ealah…. (2) masih pula keretanya diguyuri hujan yang “menebali jendela”.
Tentu saja tidak semua penumpang yang berada dalam kereta yang ditebali hujan lebat akan merasakan suasana pengap dan muram. Penumpang yang sedang jatuh cinta atau yang baru saja naik pangkat akan tersenyum-senyum dan menikmati rinai hujan di luaran sebagai simfoni indah yang berdentang dalam dada. Hanya saja, baris-baris berikutnya –sehemat saya—lebih menunjukkan aura mencekam ketimbang riang.
Semarang, Solo? Makin dekat saja
Menangkup senja
Menguak purnama
Ya, ya, dua baris berikutnya dari sajak ini menunjukkan bahwa kereta yang dimaksud sedang menuju Semarang dan/atau Solo. Tapi, kenapa di situ Chairil menyebutkan dua kota tujuan sekaligus? Kenapa tidak salah satu saja? Yang mana yang benar? Adakah Chairil sedang menggambarkan kebingungan menentukan tujuan? Atau memang belum tahu tujuan? Tak bisa tidak, suasana ketidakpastian sudah menelisut di situ.
Kendati belum jelas dan pasti kota apa yang dituju, Chairil sepertinya sudah cukup jelas punya tujuan dari perjalanannya yaitu hendak “menangkup senja” dan “menguak purnama”. Mungkin senja akan ditangkup di Semarang sementara purnama akan dikuak di Solo.
Yang jelas, di situ Chairil menunjukkan satu target atau obsesi (“menangkup senja” dan “menguak purnama”). Tapi, target atau kehendak itu rasanya sedikit aneh dalam kosa kata sajak-sajak Chairil. Biasanya, atau lebih banyak, Chairil menguarkan obsesi dan tekad dengan bahasa yang lugas, tegas dan seringkali seperti hentakan dari ujung sebuah orasi yang menggelegar, macam: “Aku mau hidup seribu tahun lagi”.
Objek dari target atau obsesi atau tekad itu ternyata “senja” dan “purnama”; dua hal abstrak yang seringkali dirujuk untuk menggambarkan suasana hati yang teduh, indah, pendeknya jauh dari sesuatu yang hiruk-pikuk, menggelegar atau tantang-menantang.
Tiga baris terakhir sajak Chairil makin menyempurnakan kemuraman, rasa perih dan mencekam yang sudah disiapkan Chairil sejak baris pertama itu dalam satu pukulan ironi yang menggambarkan kepasrahan untuk dicincang-cincang:
Caya menyayat mulut dan mata
Menjengking kereta. Menjengking jiwa.
Sayatan terus ke dada.
Jumat, 18 Desember 2009
Orang-orang miskin
Orang-orang miskin di jalan,
yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan.
Angin membawa bau baju mereka.
Rambut mereka melekat di bulan purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
mengandung buah jalan raya.
Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.
Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.
Tak bisa kamu abaikan.
Bila kamu remehkan mereka,
di jalan kamu akan diburu bayangan.
Tidurmu akan penuh igauan,
dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.
Jangan kamu bilang negara ini kaya
karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.
Orang-orang miskin di jalan
masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi putra-putramu.
Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu biarkan.
Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
dan buku programma gedung kesenian.
Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah :
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim
Yogya, 4 Pebruari 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi
yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan.
Angin membawa bau baju mereka.
Rambut mereka melekat di bulan purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
mengandung buah jalan raya.
Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.
Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.
Tak bisa kamu abaikan.
Bila kamu remehkan mereka,
di jalan kamu akan diburu bayangan.
Tidurmu akan penuh igauan,
dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.
Jangan kamu bilang negara ini kaya
karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.
Orang-orang miskin di jalan
masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi putra-putramu.
Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu biarkan.
Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
dan buku programma gedung kesenian.
Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah :
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim
Yogya, 4 Pebruari 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi
Jumat, 11 Desember 2009
Alan Alexander Milne (1882 – 1956)
Alan Alexander Milne (1882 – 1956)
On Wednesday, when the sky is blue
And I have nothing to do
I sometimes wonder if it’s true
That who is what and what is who
(dari Winnie-the Pooh)
Penulis Inggris, pencipta “Winie-the-Pooh.” Milne menulis beragam jenis buku, syair-syair humor dan komedi ringan saat bekerja sebagai staf Punch. Dia juga menulis novel detektif, The Red House Mystery, yang dikritik keras oleh Raymond Chandler. Tetapi karya Milne paling populer adalah Winnie-the-Pooh (1926) dan The House at the Pooh Corner (1928). Walau terkenal sebagai penulis buku anak-anak, Milne bukanlah orang yang “sangat sayang anak.:”
Alan Alexander Milne lahir di London pada 18 Agustus 1882. Ayahnya mempunyai sekolah sendiri di Mortiner Road, The Henley House. Di antara gurunya selama beberapa waktu adalah penulis fiksi sains, H.G. Wells. Milne menempuh studi matematika di Trinity College, Cambridge dan menyunting majalah mahasiswa Granta. Setelah menerima gelar B.A. pada 1903, dia memulai karirnya sebagai penulis lepas. Esai dan puisinya dimuat dalam majalah satirikal, Punch dan St James Gazette, dan sejak 1906 dia masuk sebagai staff Punch. Atas saran H.G.Well, Milne beranjak untuk menulis novel. Buku pertamanya, Lovers in London terbit pada 1905. Pada 1910-an dia terkenal sebagai penulis drama, khususnya Mr Pim Passes By (1919). Pada 1913 Milne menikahi Dorothy de Sêlincourt dan satu-satunya putra mereka, Christopher Robin Milne, lahir pada 1920. Seusai perang Milne menulis drama The Dover Road (1921), dan menangguk sukses.
Dramanya yang sukses itu kemudian diproduksi di London dan Broadway dan popularitasnya membuat dirinya mampu membeli rumah pribadi di Cotchford Farm pada 1925. Di situlah, di sebuah ruangan kecil, dengan jendela menghadap ke halaman, Milne menulis sambil mengisap pipa rokoknya, dan setelah makan malam dia biasanya mengisi teka-teki silang. Pada usia 42 Milne menerbitkan When We Were Very Young, koleksi puisi untuk anak-anak. Dua tahun kemudian lahirlah Winnie-the-Pooh. Cerita yang sangat populer ini berlatar belakang Hutan Ashdown. Ceritanya menampilkan anak Milne, Christopher (1920-1996), bersama hewan-hewan yang bisa berbicara dan mainan bonekanya – yang terkenal adalah Teddy-bear, Piglet, Tiger, Eeyore dan sebagainya. Cerita itu pada awalnya diberi ilustrasi oleh E.H. Shepard. The House at the Pooh Corner (1928) melanjutkan petualangan Beruang Pooh dan kawan-kawannya. Belakangan Pooh menjadi industri, melahirkan mainan, komik dan film, seperti Winnie-the-pooh and the Honey Tree (1996) produksi Disney.
Milne meninggal pada 31 Januari 1956. Setelah istrinya wafat pada 1971 sebagian keuntungan dari buku-buku Pooh masuk ke ‘Royal Literary Fund,’ yang memberi dana kepada para penulis yang kantongnya kering. Karya-karyanya yang lain diantaranya adalah The Day's Play (1910); The Holiday Round (1912); Once a Week (1914); Happy Days (1915); Würzel-Flummery (1917); The Boy Comes Home (1918); Make-Believe (1918 – yang juga memuat kisah The Princess and The Woodcutter, Oliver's Island, Father Christmas dan The Hubbart Family); Belinda (1918); The Camberley Triangle (1919); The Romantic Age (1920); The Great Broxopp: Four Chapters in Her Life (1921); A Gallery of Children (1925); King Hilary and the Beggarman (1926); The Ivory Door: A Legend (1927); The Secret and Other Stories (1929); Behind the Lines (1940); The Table Near the Band and Other Stories (1950); dan lain-lain.
On Wednesday, when the sky is blue
And I have nothing to do
I sometimes wonder if it’s true
That who is what and what is who
(dari Winnie-the Pooh)
Penulis Inggris, pencipta “Winie-the-Pooh.” Milne menulis beragam jenis buku, syair-syair humor dan komedi ringan saat bekerja sebagai staf Punch. Dia juga menulis novel detektif, The Red House Mystery, yang dikritik keras oleh Raymond Chandler. Tetapi karya Milne paling populer adalah Winnie-the-Pooh (1926) dan The House at the Pooh Corner (1928). Walau terkenal sebagai penulis buku anak-anak, Milne bukanlah orang yang “sangat sayang anak.:”
Alan Alexander Milne lahir di London pada 18 Agustus 1882. Ayahnya mempunyai sekolah sendiri di Mortiner Road, The Henley House. Di antara gurunya selama beberapa waktu adalah penulis fiksi sains, H.G. Wells. Milne menempuh studi matematika di Trinity College, Cambridge dan menyunting majalah mahasiswa Granta. Setelah menerima gelar B.A. pada 1903, dia memulai karirnya sebagai penulis lepas. Esai dan puisinya dimuat dalam majalah satirikal, Punch dan St James Gazette, dan sejak 1906 dia masuk sebagai staff Punch. Atas saran H.G.Well, Milne beranjak untuk menulis novel. Buku pertamanya, Lovers in London terbit pada 1905. Pada 1910-an dia terkenal sebagai penulis drama, khususnya Mr Pim Passes By (1919). Pada 1913 Milne menikahi Dorothy de Sêlincourt dan satu-satunya putra mereka, Christopher Robin Milne, lahir pada 1920. Seusai perang Milne menulis drama The Dover Road (1921), dan menangguk sukses.
Dramanya yang sukses itu kemudian diproduksi di London dan Broadway dan popularitasnya membuat dirinya mampu membeli rumah pribadi di Cotchford Farm pada 1925. Di situlah, di sebuah ruangan kecil, dengan jendela menghadap ke halaman, Milne menulis sambil mengisap pipa rokoknya, dan setelah makan malam dia biasanya mengisi teka-teki silang. Pada usia 42 Milne menerbitkan When We Were Very Young, koleksi puisi untuk anak-anak. Dua tahun kemudian lahirlah Winnie-the-Pooh. Cerita yang sangat populer ini berlatar belakang Hutan Ashdown. Ceritanya menampilkan anak Milne, Christopher (1920-1996), bersama hewan-hewan yang bisa berbicara dan mainan bonekanya – yang terkenal adalah Teddy-bear, Piglet, Tiger, Eeyore dan sebagainya. Cerita itu pada awalnya diberi ilustrasi oleh E.H. Shepard. The House at the Pooh Corner (1928) melanjutkan petualangan Beruang Pooh dan kawan-kawannya. Belakangan Pooh menjadi industri, melahirkan mainan, komik dan film, seperti Winnie-the-pooh and the Honey Tree (1996) produksi Disney.
Milne meninggal pada 31 Januari 1956. Setelah istrinya wafat pada 1971 sebagian keuntungan dari buku-buku Pooh masuk ke ‘Royal Literary Fund,’ yang memberi dana kepada para penulis yang kantongnya kering. Karya-karyanya yang lain diantaranya adalah The Day's Play (1910); The Holiday Round (1912); Once a Week (1914); Happy Days (1915); Würzel-Flummery (1917); The Boy Comes Home (1918); Make-Believe (1918 – yang juga memuat kisah The Princess and The Woodcutter, Oliver's Island, Father Christmas dan The Hubbart Family); Belinda (1918); The Camberley Triangle (1919); The Romantic Age (1920); The Great Broxopp: Four Chapters in Her Life (1921); A Gallery of Children (1925); King Hilary and the Beggarman (1926); The Ivory Door: A Legend (1927); The Secret and Other Stories (1929); Behind the Lines (1940); The Table Near the Band and Other Stories (1950); dan lain-lain.
Senin, 07 Desember 2009
DERAI-DERAI CEMARA
Derai-derai Cemara
oleh : Chairil Anwar
Cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
Hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
1949
Dalam sebuah Puisi…tidaklah harus memilih kata-kata yang rumit dan asing untuk menyampaikan sebuah gagasan atau Pesan.
Kita lihat Puisi sang Legenda Penyair Chairil Anwar di atas…sangat sederhana bukan?
Dan keindahan yang di munculkan sangat kita rasakan…
Dan puisi-2 chairil banyak yang menjaga rima untuk menawarkan sebuah pembacaan yang indah ..bisa kita lihat..
Jauh…malam….merapuh…terpendam….(untuk bait pertama dan pada akhir kalimatnya)
Dan juga jalinan kata , pertautan antar baitnya sangat terasa..mulai penggambaran suasana pada bait pertama dan sebuah ending di bait terakhir yang merupakan sebuah renungan yang dalam.
“Hidup hanya menunda kekalahan” …..
Memang kita pada akhirnya kalah dan menyerah dengan kematian…karena jasad dan waktu adalah fana.
Tetapi penekanannya bukan pada kata KALAH tapi pada kata MENUNDA..
Mengandung pengertian “tundalah kematianmu dengan mengisi hidupmu dengan segala kebaikan yang kita miliki. Agar berguna bagi orang lain.”
Demikianlah Chairil Anwar yang meninggal di usia 27 tahun sudah begitu banyak memberikan perenungan pada kita tentang Hidup, dan juga bagaimana membuat puisi yang indah.
Tentunya kita tidak harus meniru gaya berpuisi d seperti CA, setiap orang punya style atau cara pengungkapan masing-masing.
Yang jelas menurut saya Puisi yang bagus adalah bagaimana merangsang daya imajinasi pembaca saat membaca larik-larik dalam puisi tersebut.
oleh : Chairil Anwar
Cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
Hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
1949
Dalam sebuah Puisi…tidaklah harus memilih kata-kata yang rumit dan asing untuk menyampaikan sebuah gagasan atau Pesan.
Kita lihat Puisi sang Legenda Penyair Chairil Anwar di atas…sangat sederhana bukan?
Dan keindahan yang di munculkan sangat kita rasakan…
Dan puisi-2 chairil banyak yang menjaga rima untuk menawarkan sebuah pembacaan yang indah ..bisa kita lihat..
Jauh…malam….merapuh…terpendam….(untuk bait pertama dan pada akhir kalimatnya)
Dan juga jalinan kata , pertautan antar baitnya sangat terasa..mulai penggambaran suasana pada bait pertama dan sebuah ending di bait terakhir yang merupakan sebuah renungan yang dalam.
“Hidup hanya menunda kekalahan” …..
Memang kita pada akhirnya kalah dan menyerah dengan kematian…karena jasad dan waktu adalah fana.
Tetapi penekanannya bukan pada kata KALAH tapi pada kata MENUNDA..
Mengandung pengertian “tundalah kematianmu dengan mengisi hidupmu dengan segala kebaikan yang kita miliki. Agar berguna bagi orang lain.”
Demikianlah Chairil Anwar yang meninggal di usia 27 tahun sudah begitu banyak memberikan perenungan pada kita tentang Hidup, dan juga bagaimana membuat puisi yang indah.
Tentunya kita tidak harus meniru gaya berpuisi d seperti CA, setiap orang punya style atau cara pengungkapan masing-masing.
Yang jelas menurut saya Puisi yang bagus adalah bagaimana merangsang daya imajinasi pembaca saat membaca larik-larik dalam puisi tersebut.
Sabtu, 05 Desember 2009
Kasus prita masuk "new york time"
New York Times
THE SATURDAY PROFILE
Trapped Inside a Broken Judicial System After Hitting Send
"People always lose to the powerful in this country. I'm a mother, a regular person like everybody else, so a lot of people identified with me and felt sympathy." PRITA MULYASARI
By NORIMITSU ONISHI
Published: December 05, 2009
TANGERANG, Indonesia
PRITA MULYASARI became famous, as her lawyer put it, for going from "e-mail to jail."
Her ordeal began when she sent an e-mail message complaining about the poor treatment she received at a hospital to 20 relatives, friends and co-workers. The message, forwarded from one mailing list to another, eventually fell into the hands of the hospital's lawyers, who sued for defamation. In no time, Ms. Mulyasari, 32, a mother of two infants, found herself sharing a jail cell with murderers and facing six years in prison, seemingly yet another ordinary Indonesian caught up in one of the world's most corrupt legal systems.
And yet Ms. Mulyasari's story didn't end there. After word of her predicament leaked out, support for her swelled in Indonesia's freewheeling news media and blogosphere, forcing the authorities to release her after three weeks in jail.
"People always lose to the powerful in this country," Mrs. Mulyasari said. "I'm a mother, a regular person like everybody else, so a lot of people identified with me and felt sympathy."
Being a symbol made her visibly uncomfortable, though, as she posed for photographs for supporters at a court hearing this week here in Tangerang, a city near the capital, Jakarta. A ruling in her trial is expected later this month, and Mrs. Mulyasari said she was hoping that a not-guilty verdict would allow her to slip back into anonymity. Prosecutors are seeking a six-month sentence.
Whatever the judgment, it will be scrutinized because of an unrelated, continuing scandal involving the national police, attorney general's office and anticorruption agency. Recent revelations have put a spotlight on a judicial netherworld where the rich routinely bribe corrupt police officials, prosecutors and judges for favorable treatment.
Meanwhile, ordinary people appear subject to severe punishment for seemingly harmless infractions. Last month, an illiterate grandmother in Central Java was convicted of stealing cacao fruits worth 15 cents, which she took by mistake, from a plantation company and handed a suspended sentence of 45 days. A Jakarta man arrested for charging his cellphone in a hallway inside his building is now on trial for theft.
As for Ms. Mulyasari, she said she had lost faith in the country's legal system.
"My only hope is to pray and to appeal to the judge's humanity," she said, a few minutes before her hearing began.
On this morning, as they had done for every court hearing in recent months, Ms. Mulyasari and her husband, Andri Nugroho, 30, took a day off from work and left their two children at home. It was her lawyers' turn to argue that Ms. Mulyasari had had no intention of forwarding her e-mail message beyond the original recipients.
In a courtroom with no air-conditioning, where many fanned themselves with sheets of paper, her lawyers took turns reading from a 178-page brief. Ms. Mulyasari, who did not speak, sat by herself in a chair facing three judges on an elevated bench. Only the white hijab covering her head was visible from the gallery.
It all began one night 16 months ago when Ms. Mulyasari went to the Omni International Hospital here with a high fever, a few months after the birth of her second child. She had driven by the hospital many times before and had been drawn by the word "international" on the modern building's facade. "You think the service must be good, that the standards are international," she said during breaks in the hearing.
ACCORDING to Mrs. Mulyasari's account, she was diagnosed with dengue fever, an infectious disease transmitted by mosquitoes that is common here, and began receiving injections. But her condition kept getting worse. As her neck, left hand and left eye swelled, she had trouble breathing. After six days at Omni, she transferred herself to another hospital, which immediately diagnosed her with mumps and treated her.
Angry about her treatment at Omni and what she described as the staff's unresponsiveness, she composed the long e-mail message detailing her experience there, criticizing physicians and others by name. Then, using her Yahoo account, she fired it off to her circle of family, friends and colleagues at the bank where she works in customer service. "I don't want to know who forwarded it," she said, "because they're all family and friends."
The message flitted from one address to another, bouncing onto a Yahoo mailing list of Indonesian physicians, before being picked up by Omni.
The hospital's lawyers filed a civil lawsuit, eventually winning $21,600 in damages, a ruling that Ms. Mulyasari's chief lawyer, Slamet Yuwono, is planning to appeal. What's more, acting on the hospital's complaints, prosecutors at first pursued criminal charges of defamation, which carries a maximum four-year prison sentence. Lawyers for Omni did not return phone calls requesting comment.
Then, for reasons that remain unclear, prosecutors indicted Ms. Mulyasari under a new law governing electronic information and transactions, which carries a maximum sentence of six years in prison. This law, originally intended to help regulate business transactions, was enacted in such a way that, human rights organizations warned, it could be used to rein in Indonesia's flourishing Internet culture. Ms. Mulyasari was one of the first people to be charged under the law, which, because it carries a maximum prison sentence of more than five years, allowed the authorities to put her in jail immediately.
"I asked the prosecutors to let me go home for one night to say goodbye to my family, but they refused," Ms. Mulyasari said.
During her 21 days in jail, she was kept in a small cell with 11 other inmates and was unaware that news of her incarceration had spread in the media, in blogs and on Facebook. Lawyers volunteered to defend her pro bono. She was freed, relieved to go home but no longer able to breastfeed her daughter Ranarya, who was 16 months old at the time.
Whenever her trial seemed over, a new development would bring her back to court. Her case was dismissed in July, but prosecutors quickly succeeded in obtaining a new trial.
A local politician tried to broker an out-of-court settlement between Ms. Mulyasari and the hospital. "But the hospital demanded a written apology," she said. "If I'd agreed, that would have meant admitting that I was wrong."
Born in Jakarta, Ms. Mulyasari has lived in this area her entire life, except for three years of college in Perth, Australia. For several years, she worked in customer service at an insurance company where she met her future husband, a graphic designer. When they married in 2006, in keeping with a widespread practice forbidding couples to work in the same company, she switched to her current employer, an Indonesian bank.
"When I first met her," said her husband, Mr. Nugroho, "I saw her as a strong and independent woman."
BY midafternoon, as the heat settled all over the courtroom, Ms. Mulyasari's lawyers neared the end of their 178-page brief. Some people in the gallery were sound asleep. The chief judge handed a piece of candy to an assistant judge who, clearly struggling to stay awake, kept rubbing his eyes. The tilt of Ms. Mulyasari's covered head, seen from the gallery, suggested that she, too, was nodding off.
With another hearing fixed for next week, the couple drove their Honda hatchback to the middle-class, gated community here where they live in a small rented house. Their neighborhood is more than two hours from their offices in Jakarta. But their children are free to play on their block.
One of the couple's two maids brought out a cake. It happened to be Mr. Nugroho's birthday. "I just hope this will be all over by the end of the year," Ms. Mulyasari said. "I'm not comfortable being famous. People recognize me in the malls or in the markets, and I have to be nice to them, even though I'm not in a good mood. I prefer being a normal person."
THE SATURDAY PROFILE
Trapped Inside a Broken Judicial System After Hitting Send
"People always lose to the powerful in this country. I'm a mother, a regular person like everybody else, so a lot of people identified with me and felt sympathy." PRITA MULYASARI
By NORIMITSU ONISHI
Published: December 05, 2009
TANGERANG, Indonesia
PRITA MULYASARI became famous, as her lawyer put it, for going from "e-mail to jail."
Her ordeal began when she sent an e-mail message complaining about the poor treatment she received at a hospital to 20 relatives, friends and co-workers. The message, forwarded from one mailing list to another, eventually fell into the hands of the hospital's lawyers, who sued for defamation. In no time, Ms. Mulyasari, 32, a mother of two infants, found herself sharing a jail cell with murderers and facing six years in prison, seemingly yet another ordinary Indonesian caught up in one of the world's most corrupt legal systems.
And yet Ms. Mulyasari's story didn't end there. After word of her predicament leaked out, support for her swelled in Indonesia's freewheeling news media and blogosphere, forcing the authorities to release her after three weeks in jail.
"People always lose to the powerful in this country," Mrs. Mulyasari said. "I'm a mother, a regular person like everybody else, so a lot of people identified with me and felt sympathy."
Being a symbol made her visibly uncomfortable, though, as she posed for photographs for supporters at a court hearing this week here in Tangerang, a city near the capital, Jakarta. A ruling in her trial is expected later this month, and Mrs. Mulyasari said she was hoping that a not-guilty verdict would allow her to slip back into anonymity. Prosecutors are seeking a six-month sentence.
Whatever the judgment, it will be scrutinized because of an unrelated, continuing scandal involving the national police, attorney general's office and anticorruption agency. Recent revelations have put a spotlight on a judicial netherworld where the rich routinely bribe corrupt police officials, prosecutors and judges for favorable treatment.
Meanwhile, ordinary people appear subject to severe punishment for seemingly harmless infractions. Last month, an illiterate grandmother in Central Java was convicted of stealing cacao fruits worth 15 cents, which she took by mistake, from a plantation company and handed a suspended sentence of 45 days. A Jakarta man arrested for charging his cellphone in a hallway inside his building is now on trial for theft.
As for Ms. Mulyasari, she said she had lost faith in the country's legal system.
"My only hope is to pray and to appeal to the judge's humanity," she said, a few minutes before her hearing began.
On this morning, as they had done for every court hearing in recent months, Ms. Mulyasari and her husband, Andri Nugroho, 30, took a day off from work and left their two children at home. It was her lawyers' turn to argue that Ms. Mulyasari had had no intention of forwarding her e-mail message beyond the original recipients.
In a courtroom with no air-conditioning, where many fanned themselves with sheets of paper, her lawyers took turns reading from a 178-page brief. Ms. Mulyasari, who did not speak, sat by herself in a chair facing three judges on an elevated bench. Only the white hijab covering her head was visible from the gallery.
It all began one night 16 months ago when Ms. Mulyasari went to the Omni International Hospital here with a high fever, a few months after the birth of her second child. She had driven by the hospital many times before and had been drawn by the word "international" on the modern building's facade. "You think the service must be good, that the standards are international," she said during breaks in the hearing.
ACCORDING to Mrs. Mulyasari's account, she was diagnosed with dengue fever, an infectious disease transmitted by mosquitoes that is common here, and began receiving injections. But her condition kept getting worse. As her neck, left hand and left eye swelled, she had trouble breathing. After six days at Omni, she transferred herself to another hospital, which immediately diagnosed her with mumps and treated her.
Angry about her treatment at Omni and what she described as the staff's unresponsiveness, she composed the long e-mail message detailing her experience there, criticizing physicians and others by name. Then, using her Yahoo account, she fired it off to her circle of family, friends and colleagues at the bank where she works in customer service. "I don't want to know who forwarded it," she said, "because they're all family and friends."
The message flitted from one address to another, bouncing onto a Yahoo mailing list of Indonesian physicians, before being picked up by Omni.
The hospital's lawyers filed a civil lawsuit, eventually winning $21,600 in damages, a ruling that Ms. Mulyasari's chief lawyer, Slamet Yuwono, is planning to appeal. What's more, acting on the hospital's complaints, prosecutors at first pursued criminal charges of defamation, which carries a maximum four-year prison sentence. Lawyers for Omni did not return phone calls requesting comment.
Then, for reasons that remain unclear, prosecutors indicted Ms. Mulyasari under a new law governing electronic information and transactions, which carries a maximum sentence of six years in prison. This law, originally intended to help regulate business transactions, was enacted in such a way that, human rights organizations warned, it could be used to rein in Indonesia's flourishing Internet culture. Ms. Mulyasari was one of the first people to be charged under the law, which, because it carries a maximum prison sentence of more than five years, allowed the authorities to put her in jail immediately.
"I asked the prosecutors to let me go home for one night to say goodbye to my family, but they refused," Ms. Mulyasari said.
During her 21 days in jail, she was kept in a small cell with 11 other inmates and was unaware that news of her incarceration had spread in the media, in blogs and on Facebook. Lawyers volunteered to defend her pro bono. She was freed, relieved to go home but no longer able to breastfeed her daughter Ranarya, who was 16 months old at the time.
Whenever her trial seemed over, a new development would bring her back to court. Her case was dismissed in July, but prosecutors quickly succeeded in obtaining a new trial.
A local politician tried to broker an out-of-court settlement between Ms. Mulyasari and the hospital. "But the hospital demanded a written apology," she said. "If I'd agreed, that would have meant admitting that I was wrong."
Born in Jakarta, Ms. Mulyasari has lived in this area her entire life, except for three years of college in Perth, Australia. For several years, she worked in customer service at an insurance company where she met her future husband, a graphic designer. When they married in 2006, in keeping with a widespread practice forbidding couples to work in the same company, she switched to her current employer, an Indonesian bank.
"When I first met her," said her husband, Mr. Nugroho, "I saw her as a strong and independent woman."
BY midafternoon, as the heat settled all over the courtroom, Ms. Mulyasari's lawyers neared the end of their 178-page brief. Some people in the gallery were sound asleep. The chief judge handed a piece of candy to an assistant judge who, clearly struggling to stay awake, kept rubbing his eyes. The tilt of Ms. Mulyasari's covered head, seen from the gallery, suggested that she, too, was nodding off.
With another hearing fixed for next week, the couple drove their Honda hatchback to the middle-class, gated community here where they live in a small rented house. Their neighborhood is more than two hours from their offices in Jakarta. But their children are free to play on their block.
One of the couple's two maids brought out a cake. It happened to be Mr. Nugroho's birthday. "I just hope this will be all over by the end of the year," Ms. Mulyasari said. "I'm not comfortable being famous. People recognize me in the malls or in the markets, and I have to be nice to them, even though I'm not in a good mood. I prefer being a normal person."
Jumat, 04 Desember 2009
Album-album Legenda Rock AC DC
AC/DC adalah kelompok musik hard rock yang dibentuk di Sydney, Australia pada November 1973 oleh rhythm guitarist Malcolm Young dan saudaranya lead guitarist Angus Young. Band ini telah menjual lebih dari 150 juta keping album di seluruh dunia. Album mereka dari tahun 1980, Back in Black, terjual 42 juta keping di dunia (21 juta di Amerika Serikat saja). Band ini telah memiliki dua lead singers, dan penggemarnya terbagi dua antara penggemar "Bon Scott era" (1974-80), dan "Brian Johnson era" (1980-sekarang).
Inilah kelompok rock yang tetap konsisten.AC/DC dari Australia.Tetap dengan semangat Rock n Roll rules.Mereka adalah orang-orang yang konsisten dengan musik Rock, tak perduli dengan selera pasar musik dunia.Dentaman musiknya tetap gahar dan sangar.Tentunya tetap dengan citarasa Rock n Roll yang kental terutama pada riff-riff Angus young yang menggetarkan penikmat dan penyimaknya.Walau usia telah pelan-pelan mengikis,toh AC/DC tetap berupaya untuk tetap digjaya.Semangat semacam ini harus dikembangbiakkan oleh band aliran apapun.
Dan yang pasti AC/DC adalah Angus Young.Gitaris yang selalu mengenakan seragam SD. berjiwa bagai dalam kisah Legenda Peter Pan,tak mau beranjak dewasa.
Current Members
Brian Johnson – lead vocals (1980–present)
Angus Young – lead guitar (1973–present)
Malcolm Young – rhythm guitar, backing vocals (1973–present)
Cliff Williams – bass guitar, backing vocals (1977–present)
Phil Rudd – drums, percussion (1975–1983, 1994–present)
Former members
Dave Evans – lead vocals (1973–74)
Bon Scott – lead vocals (1974–80)
Mark Evans – bass guitar, backing vocals (1975–77)
Simon Wright – drums, percussion (1983–89)
Chris Slade – drums, percussion (1989–94)
Diskografi
Studio Albums
• 1975: High Voltage (Australia)
• 1976: T.N.T. (Australia)
• 1976: High Voltage
• 1976: Dirty Deeds Done Dirt Cheap (Australia)
• 1976: Dirty Deeds Done Dirt Cheap
• 1977: Let There Be Rock (Australia)
• 1977: Let There Be Rock
• 1978: Powerage
• 1979: Highway to Hell
• 1980: Back in Black
• 1981: For Those About to Rock We Salute You
• 1983: Flick of the Switch
• 1984: '74 Jailbreak
• 1985: Fly on the Wall
• 1986: Who Made Who
• 1988: Blow Up Your Video
• 1990: The Razor's Edge
• 1995: Ballbreaker
• 1997: Bonfire
• 2000: Stiff Upper Lip
. 2008: Black Ice
Live Albums
• 1978: If You Want Blood You've Got It
• 1992: Live
• 1992: Live: 2 CD Collector's Edition
• 1997: Live from the Atlantic Studios
• 1997: Let There Be Rock: The Movie
Videography
• 1980: AC/DC: Let There Be Rock
• 1985: Fly on the Wall
• 1986: Who Made Who
• 1989: AC/DC (Released in Australia only)
• 1991: Clipped
• 1991: Live at Donington
• 1993: For Those About to Rock We Salute You
• 1996: No Bull
• 2001: Stiff Upper Lip Live
• 2003: Live '77 (Released in Japan only)
• 2004: Toronto Rocks
• 2005: Family Jewels
Arif Gumantia
Creator Grup Legenda Rock di FB.
"Only brave heart playing Rock"
Selasa, 01 Desember 2009
. ARTI KEJUJURAN ... Oleh : Hilda Hima
Abdullah bin Dinar meriwayatkan, suatu hari ia melakukan perjalanan bersama Khalifah Umar bin Khathab dari Madinah ke Mekah. Di tengah jalan mereka berjumpa dengan seorang anak gembala yang tampak sibuk mengurus kambing-kambingnya. Seketika itu muncul keinginan Khalifah untuk menguji kejujuran si gembala. Kata Khalifah Umar, “Wahai gembala, juallah kepadaku seekor kambingmu....”
.... “Aku hanya seorang budak, tidak berhak menjualnya,” jawab si gembala.
...“Katakan saja nanti kepada tuanmu, satu ekor kambingmu dimakan serigala,” lanjut Khalifah.
Kemudian si gembala menjawab dengan sebuah pertanyaan, ...“Lalu, di mana Allah?”...
Khalifah Umar tertegun karena jawaban itu. Sambil meneteskan air mata ia pun berkata,
... “Kalimat ‘di mana Allah’ itu telah memerdekakan kamu di dunia ini, semoga dengan kalimat ini pula akan memerdekakan kamu di akhirat kelak.” ...
Kisah di atas merupakan gambaran pribadi yang jujur, menjalankan kewajiban dengan disiplin yang kuat, tidak akan melakukan kebohongan walau diiming-imingi dengan keuntungan materi.
Islam menganjurkan berlaku jujur bagi setiap orang –apa pun profesinya– dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Nabi Muhammad saw menegaskan, “Berlaku jujurlah, karena sesungguhnya kejujuran itu menuntun kepada kebaikan, dan sesungguhnya kejujuran itu menuntun ke surga. Dan jauhilah dusta, karena dusta itu menyeret kepada dosa dan kemungkaran, dan sesungguhnya dosa itu menuntun ke neraka.” (HR Bukhari).
Berlaku jujur memang sulit manakala ia berbenturan dengan kepentingan-kepentingan tertentu yang bersifat duniawi. Orang rela mengorbankan kejujurannya demi kepentingan materi, pangkat, jabatan dan semacamnya. Yang tergambar dalam pikirannya bahwa dengan banyaknya materi yang dia miliki segera akan dihormati orang banyak, dengan ketinggian jabatan dan kedudukan yang dia sandang serta merta mendapatkan penghargaan dan prestise di masyarakat.
Dari sini maka muncullah spekulasi kebohongan untuk maksud asal bapak senang, menghalalkan segala cara, menumpuk kekayaan di atas keprihatinan orang lain, tidak peduli akan terjadinya kesenjangan sosial, dan meningkatnya angka kemiskinan. Alhasil, kebohongan demi kebohongan dengan mudah ia lakukan demi kesenangan dan kenikmatan sesaat.
Dalam kaitannya dengan kejujuran ini, ada seorang sahabat masuk Islam, yang sebelumnya sangat gemar melakukan dosa besar –berzina, berjudi, merampok, dan lain-lain. Dengan sangat jujur dia ceritakan perbuatannya ini di hadapan Rasulullah. Setelah Nabi memahami apa yang ia kisahkan itu, beliau memberi fatwa kepada sahabat ini dengan satu kalimat pendek, “Jangan berbohong.”
Awalnya, ia menganggap begitu sepele permintaan Rasulullah ini, namun ternyata implikasinya begitu indah, mampu membebaskannya dari segala perbuatan dosa. Setiap ada keinginan berbuat dosa, ia selalu teringat pada nasihat Nabi saw.
Sedangkan untuk berkata jujur bahwa ia telah berbuat kejahatan, ia malu dengan dirinya sendiri. Akhirnya, dengan kesadaran penuh ia pun meninggalkan segala perbuatan dosa dan menjadi pengikut setia Rasulullah... Subhanallah...
.... “Aku hanya seorang budak, tidak berhak menjualnya,” jawab si gembala.
...“Katakan saja nanti kepada tuanmu, satu ekor kambingmu dimakan serigala,” lanjut Khalifah.
Kemudian si gembala menjawab dengan sebuah pertanyaan, ...“Lalu, di mana Allah?”...
Khalifah Umar tertegun karena jawaban itu. Sambil meneteskan air mata ia pun berkata,
... “Kalimat ‘di mana Allah’ itu telah memerdekakan kamu di dunia ini, semoga dengan kalimat ini pula akan memerdekakan kamu di akhirat kelak.” ...
Kisah di atas merupakan gambaran pribadi yang jujur, menjalankan kewajiban dengan disiplin yang kuat, tidak akan melakukan kebohongan walau diiming-imingi dengan keuntungan materi.
Islam menganjurkan berlaku jujur bagi setiap orang –apa pun profesinya– dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Nabi Muhammad saw menegaskan, “Berlaku jujurlah, karena sesungguhnya kejujuran itu menuntun kepada kebaikan, dan sesungguhnya kejujuran itu menuntun ke surga. Dan jauhilah dusta, karena dusta itu menyeret kepada dosa dan kemungkaran, dan sesungguhnya dosa itu menuntun ke neraka.” (HR Bukhari).
Berlaku jujur memang sulit manakala ia berbenturan dengan kepentingan-kepentingan tertentu yang bersifat duniawi. Orang rela mengorbankan kejujurannya demi kepentingan materi, pangkat, jabatan dan semacamnya. Yang tergambar dalam pikirannya bahwa dengan banyaknya materi yang dia miliki segera akan dihormati orang banyak, dengan ketinggian jabatan dan kedudukan yang dia sandang serta merta mendapatkan penghargaan dan prestise di masyarakat.
Dari sini maka muncullah spekulasi kebohongan untuk maksud asal bapak senang, menghalalkan segala cara, menumpuk kekayaan di atas keprihatinan orang lain, tidak peduli akan terjadinya kesenjangan sosial, dan meningkatnya angka kemiskinan. Alhasil, kebohongan demi kebohongan dengan mudah ia lakukan demi kesenangan dan kenikmatan sesaat.
Dalam kaitannya dengan kejujuran ini, ada seorang sahabat masuk Islam, yang sebelumnya sangat gemar melakukan dosa besar –berzina, berjudi, merampok, dan lain-lain. Dengan sangat jujur dia ceritakan perbuatannya ini di hadapan Rasulullah. Setelah Nabi memahami apa yang ia kisahkan itu, beliau memberi fatwa kepada sahabat ini dengan satu kalimat pendek, “Jangan berbohong.”
Awalnya, ia menganggap begitu sepele permintaan Rasulullah ini, namun ternyata implikasinya begitu indah, mampu membebaskannya dari segala perbuatan dosa. Setiap ada keinginan berbuat dosa, ia selalu teringat pada nasihat Nabi saw.
Sedangkan untuk berkata jujur bahwa ia telah berbuat kejahatan, ia malu dengan dirinya sendiri. Akhirnya, dengan kesadaran penuh ia pun meninggalkan segala perbuatan dosa dan menjadi pengikut setia Rasulullah... Subhanallah...
Langganan:
Postingan (Atom)