Masukan Nama Penyanyi - Judul Lagu

Mesin Cari Free Download Mp3 Gratis

Translate To Your Language

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

Selasa, 29 Desember 2009

Centurygate dan Bhagavad Gita

OLEH ADHIE M MASSARDI

JEONG CHO-SHIN memang bukan kriminolog. Tapi film berjudul Jakarta (2001) yang disutradarainya, bisa dijadikan rujukan para kriminolog Indonesia untuk mempelajari praktek kejahatan, khususnya, perampokan bank, yang belakangan ngeren di negeri kita.

Meskipun judulnya Jakarta, film komedi thriller ini tidak berlokasi di Ibukota negara kita. Sebab “Jakarta” dalam film ini adalah kata sandi para bandit Korea yang artinya “kejahatan sempurna”, perfect crime. Memang, dalam film ini, komplotan perampok uang 3 juta dolar AS di sebuah bank di Seoul itu, sangat rapi. Untuk merayakan kesuksesannya, para bandit ini terbang ke Jakarta.

Tidak dijelaskan apakah setelah sampai Jakarta mereka bertemu Robert dan Dewi Tantular, atau bergabung dengan para penjahat perbankan kita yang juga sukses membobol Bank Indonesia Rp 600 T lewat skandal BLBI. Kita juga tidak diberi informasi apakah pemakaian judul Jakarta sebagai kata sandi “kejahatan sempurna” ini diilhami oleh sempurnanya kejahatan perbankan di Jakarta.

Kita hanya tahu, kejahatan perbankan seperti BLBI, Indover, Bahana, memang nyaris berjalan sempurna. Karena itu, meskipun kerugian negara sudah mencapai ratusan triliun rupiah, tapi yang masuk penjara bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Itu pun yang kelas milyaran…

Skandal perampokan uang negara Rp 6,7 T lewat Bank Century, misalnya, berjalan sempurna. Sebab para pelakukanya menutupi kejahatannya dengan berbagai argumentasi cerdas, sangat masuk akal. Mereka juga berlindung di tengah isu krisis global, berdampak sistemik, mengubah peraturan, mengelabui DPR, Polri, Kejaksaan Agung, dan memayungi semua itu dengan peraturan yang mereka bikin sendiri.

Lebih sempurna lagi, para penjahat perbankan kita adalah kalangan profesional terpelajar dengan berbagai gelar akademik tinggi. Perilaku mereka sehari-hari di depan publik juga santun, mengesankan pejabat pemerintah yang bersih. Itulah sebabnya meskipun skandal Bank Century centang-perentang, pelanggaran hukumnya juga sudah dibeberkan BPK dengan transparan, tetap saja masih ada kaum terpelajar, di antaranya saudara kita, teman kita, yang bersedia membela mereka.

Para pembela pelaku skandal Bank Century memang saudara kita sendiri, teman kita sendiri, yang saat melawan rezim Orde Baru, berada bersama kita. Ada Erry Riyana Hardjapamekas yang pernah menjabat Wakil Ketua KPK, ada Wimar Witoelar sohib saya ketika jadi jubir Gus Dur, ada Marsilam Simandjuntak, Goenawan Mohamad, Todung Mulya Lubis, Rachland Nashidik, Faisal Basri, dll.

Terus terang, melihat “di sana” berbaris saudara dan teman-teman sendiri, membuat saya ragu dan berpikir ulang apakah langkah saya (dan teman-teman Gerakan Indonesia Bersih) sudah benar?
Saya memang ingat pesan Mahatma Gandhi. “Buang rasa takut menegur atau melawan saudara sendiri, teman sendiri, bila itu untuk menegakkan keadilan…!” Tapi benarkah saya?

Di tengah kebimbangan yang menggundahkan ini, Khresna muncul dari balik kitab Bhagavad Gita. Lalu dengan suaranya yang menggetarkan, Khresna berkata: “Dari manakah timbulnya depresi batinmu ini, pada saat-saat yang penuh dengan krisis seperti ini? Menolak berperang adalah tidak pantas untuk seorang Aryan. Penolakan ini akan menutup pintu masuk ke sorga. Penolakan ini adalah puncak dari kehinaan, oh Arjuna!”

Belum hilang rasa kaget itu, Khresna berkata lagi: “Janganlah bertindak sebagai seorang pengecut, oh Arjuna! Tiada laba yang akan kau petik dari kelakuanmu ini. Buanglah jauh-jauh kelemahan hatimu. Bangkitlah, wahai Arjuna!”

Mungkinkah Khresna salah alamat? Saya memang adiknya Yudhistira (Massardi). Tapi kan bukan Arjuna?

Tidak ada komentar: