Masukan Nama Penyanyi - Judul Lagu

Mesin Cari Free Download Mp3 Gratis

Translate To Your Language

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

Rabu, 23 Desember 2009

Daya Evokasi dalam puisi

Dalam Kereta

oleh : Chairil Anwar

Dalam kereta.
Hujan menebal jendela.

Semarang, Solo, makin dekat saja
Menangkup senja.

Menguak purnama.
Caya menyayat mulut dan mata.

Menjengking kereta. Menjengking jiwa.
Sayatan terus ke dada.

15 Maret 1944

----------------------------------------------------------------------------
Daya Evokasi dalam puisi bisa diartikan secara mudah sebagai sebuah kekuatan dari kata yang di ambil atau kalimat yang dipungut untuk menjelaskan gagasan dari penyairnya. gagasan yang di maksud bisa juga tema yang ingin di sampaikan oleh penyair. Coba kita belajar dari Puisi Chairil Anwar dengan Judul "Dalam Kereta" Di atas...

Sajak “Dalam Kereta” dibuka oleh dua baris berbunyi:

Dalam Kereta
Hujan menebal jendela

Dua baris itu langsung menyajikan suasana terkurung –mungkin(?) juga pengap. Chairil menggambarkan suasana yang dikurung oleh dua lapisan sekaligus: sudah berada (1) di “dalam kereta”, ealah…. (2) masih pula keretanya diguyuri hujan yang “menebali jendela”.

Tentu saja tidak semua penumpang yang berada dalam kereta yang ditebali hujan lebat akan merasakan suasana pengap dan muram. Penumpang yang sedang jatuh cinta atau yang baru saja naik pangkat akan tersenyum-senyum dan menikmati rinai hujan di luaran sebagai simfoni indah yang berdentang dalam dada. Hanya saja, baris-baris berikutnya –sehemat saya—lebih menunjukkan aura mencekam ketimbang riang.

Semarang, Solo? Makin dekat saja
Menangkup senja
Menguak purnama

Ya, ya, dua baris berikutnya dari sajak ini menunjukkan bahwa kereta yang dimaksud sedang menuju Semarang dan/atau Solo. Tapi, kenapa di situ Chairil menyebutkan dua kota tujuan sekaligus? Kenapa tidak salah satu saja? Yang mana yang benar? Adakah Chairil sedang menggambarkan kebingungan menentukan tujuan? Atau memang belum tahu tujuan? Tak bisa tidak, suasana ketidakpastian sudah menelisut di situ.

Kendati belum jelas dan pasti kota apa yang dituju, Chairil sepertinya sudah cukup jelas punya tujuan dari perjalanannya yaitu hendak “menangkup senja” dan “menguak purnama”. Mungkin senja akan ditangkup di Semarang sementara purnama akan dikuak di Solo.

Yang jelas, di situ Chairil menunjukkan satu target atau obsesi (“menangkup senja” dan “menguak purnama”). Tapi, target atau kehendak itu rasanya sedikit aneh dalam kosa kata sajak-sajak Chairil. Biasanya, atau lebih banyak, Chairil menguarkan obsesi dan tekad dengan bahasa yang lugas, tegas dan seringkali seperti hentakan dari ujung sebuah orasi yang menggelegar, macam: “Aku mau hidup seribu tahun lagi”.

Objek dari target atau obsesi atau tekad itu ternyata “senja” dan “purnama”; dua hal abstrak yang seringkali dirujuk untuk menggambarkan suasana hati yang teduh, indah, pendeknya jauh dari sesuatu yang hiruk-pikuk, menggelegar atau tantang-menantang.

Tiga baris terakhir sajak Chairil makin menyempurnakan kemuraman, rasa perih dan mencekam yang sudah disiapkan Chairil sejak baris pertama itu dalam satu pukulan ironi yang menggambarkan kepasrahan untuk dicincang-cincang:

Caya menyayat mulut dan mata
Menjengking kereta. Menjengking jiwa.
Sayatan terus ke dada.

Tidak ada komentar: