Masukan Nama Penyanyi - Judul Lagu

Mesin Cari Free Download Mp3 Gratis

Translate To Your Language

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

Selasa, 08 Juni 2010

Kecerobohan Negara terhadap nasib warganya dalam Buku Puisi "Suatu Cerita dari Negeri Angin" penyair Agus R. Sarjono

Sebuah sajak yang menjadi adalah sebuah dunia. dunia yang dijadikan, diciptakan kembali oleh si penyair. Diciptakannya kembali, dibentuknya dari benda (materi) dan rohani, keadaan alam dan penghidupan sekelilingnya, dia juga mendapat bahan dari hasil-2 kesenian lain yang berarti bagi dia, berhubungan djiwa dengan dia, dari pikiran-2 dan pendapat-2 orang lain.
segala yang masuk dalam bayangannya, anasir-2 atau unsur-2 yang sudah ada dijadikannya, dihubungkannya satu sama lain, dikawinkannya menjadi suatu kesatuan yang penuh (indah serta mengharukan) dan baru, suatu dunia baru, dunia kepunyaan penyair itu sendiri.
(Chairil Anwar, Pidato di radio tahun 1946).

Begitu juga sajak-sajak dari Agus R Sarjono (saya lebih suka memanggilnya kang Agus), dalam buku Puisinya “Suatu Cerita dari Negeri Angin” adalah sebuah dunia, dunia yang dijadikan, diciptakan dan dibentuknya dari kenyataan negeri ini, kenyataan di mana hampir sebagian besarnya berpulang pada atau disebabkan oleh urusan penanganan negara yang sangat ceroboh terhadap nasib warganya. Sebuah indonesia yang tak terhindarkan bagi sang Penyair, yang selalu berhubungan dengan jiwanya, yang membuatnya tak bisa berpaling. Karena dimanapun kang Agus berada, meskipun ada di belanda, jerman, perancis, filipina, dan kemanapun menghadapkan pandangan, selalu saja dihadapkan pada wajah negara Indonesia.

Agus R. Sarjono (dan sampai sekarang saya tak pernah tahu, apa kepanjangan dari huruf “R”-nya), adalah salah satu penyair besar negeri ini. Lahir di Bandung, 27 Juli 1963. Bekerja sebagai pengajar pada jurusan teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, redaktur Majalah sastra Horison, dan anggota majelis sastra Asia Tenggara. Kang Agus menulis puisi, cerpen, esai, kritik, dan drama. Sebagaimana ditulis oleh Alm. WS Rendra pada kata kalimat pembuka buku puisi ini :” Saya gembira puisi Indonesia, terus ditulis, bagai ombak tak putus-putus, setiap generasi diikuti generasi lainnya. Generasi saya disusul generasi berikutnya, dan berikutnya. Pada Ombak Puisi generasi kini, Agus R. Sarjono-lah puncaknya.”

“Berwacana atau bercakap adalah cara yang dengannya kita mengartikulasikan “secara signifikan” mengada-dalam-dunia.” Tulis Martin Heidegger seorang filsuf dalam karyanya Being and Time. Bagi Heidegger, bercakap-cakap adalah satu aktivitas yang membawa pada penemuan signifikansi keberadaan kita sebagai manusia di dunia. Karena itu percakapan adalah aktivitas yang hampir mustahil dihindari. Demikian juga sajak, bisa menjadi semacam percakapan, antara Penyair dengan pembaca atau penikmat puisinya. Atau antara “kegelisahan jiwa” Penyair dengan “kesadaran” penyair itu sendiri. Bisa juga Percakapan antara “Nurani” dan “realitas yang harus dihadapi” Sebagaimana Percakapan antara “Bedil” dan “tangan” dalam Puisi Kang Agus Yang berjudul :”Airmata Hujan” berikut ini:

…………………………………………………………
Jangan bidikkan aku, raung Bedil. Diam!
Ini bukan persoalan pribadi, hardik Tangan.
Ini masalah politik. Satu dua nyawa
Sebagai taktik. Tapi ini bukan soal angka,
Bukan soal satu dua
Tapi soal ibu meratap kehilangan,
Soal dimusnahkannya satu kehidupan
Soal masa depan manusia yang dibekam. Soal hak….
Tutup mulutmu barang dinas! Kamu hanya alat
Dan jangan berpendapat. Itu urusan politisi di majelis sana.

Perjuangan terberat kita adalah “perjuangan melawan lupa” demikian ungkapan yang terkenal dari Novelis Dunia Milan Kundera. Dan memang demikianlah kenyataannya. Dalam kehidupan kenegaraan kita begitu gampang melupakan sebuah kepedihan dan penderitaan. Kita begitu cepat lupa dengan apa yang dilakukan Rejim ORBA, peristiwa Mei 1998, semburan Lumpur Lapindo, dan sebentar lagi kita juga akan melupakan kasus Gayus. Hal ini juga ada dalam salah satu sajak dari kang Agus yang berjudul “Belajar Menulis Sejarah”

………………………………………………….
Aku ingin menjadi ikan
Pewaris negeri bahari, ucapmu tiba-tiba.
Aku bergegas pergi sambil memejamkan mata
Seperti sejarah, berlari-larian
Ke negeri seribu lupa. Tapi tv-tv bersiap
Membangun sejarah baru, pahlawan-pahlawan baru
Di antara merk-merk rokok, jamu kuat
Dan kembang gula yang dijajakan di antara dada
Dan paha wanita. Katanya
………………………………………..

Bait-bait yang ditulis kang agus , adalah bait-bait yang evokatif. Bait-bait yang “menggugah rasa”. Sehingga sajak-sajaknya berisi kata atau kalimat yang punya Daya Evokasi. Daya Evokasi dalam sajak bisa diartikan secara mudah sebagai sebuah kekuatan dari kata yang di ambil atau kalimat yang dipungut berhasil menggugah rasa dan menjelaskan gagasan dari penyairnya. gagasan yang di maksud bisa juga tema yang ingin di sampaikan oleh penyair. Salah satu sajaknya yang begitu menggugah rasa dan menyergap kesadaran kita adalah ;”Catatan Harian Diam-diam”

Akupun sarapan seperti biasa. Hutan-hutan tropis
Di piring porselin dengan mayonnaise.
Tentu juga steak hangat tubuh-tubuh remaja
Anak sekolah. Tapi tak ada keringat buruh
Dengan es batu di gelas minumku.
Sekarang mereka terlalu pemberang
Hingga keringatnya masam, tak cocok
Untuk lambungku. Aku pun bersiul.

……………………………………………………………

Menurut saya kang Agus Tidak hanya menulis untuk di baca, tetapi juga untuk di dengar, tidak menghidangkan teka-teki tetapi menulis untuk dimengerti. Sebagaimana seperti yang ditulis Intelektual Ignas Kleden, pada buku puisi ini:”Metafor puisi yang dipakainya ternyata juga gejala sosial atau bahkan gejala ekonomi. Tidak lagi diceritakan percakapan burung dan bulan atau awan dan matahari. Tetapi percakapan penuh lambang antara buldozer dan pematang sawah yang harus pergi sebelum fajar pagi.”
Bukan Untuk Kita

……………………………………
Nasib kami yang meranggas, hari-hari yang keras.
Kami kejar dan kami bakar pencuri panci,
Sepeda, dan motor kami. Kami hajar
Dan kami terjang lelaki-lelaki yang mengerling
Gadis-gadis sekolah kami, kami bakari
Rumah-rumah kampung seberang
Karena mencuci kaki di sumur kami.
Maka kami pilih pemimpin-pemimpin
Untuk mendamaikan sengketa kami dan menghukum
Semua pencuri dan perusak ladang kami..
Para petinggi itu pun menghilang dari tengah kami
Kami dengar mereka berpesta di hotel-hotel
Mewah sambil tertawa-tawa membuat lelucon
Tentang kami.
………………………………..
Pencuri-pencuri raksasa yang merampok seluruh
Masa depan kami dipersilahkan mencuci tangan
Dengan air mata kami. Maka kami pun mengerti
Basa-basi reformasi sekarang ini.
Dan proklamasi merdeka dulu itu,
Semuanya memang bukan
Untuk kita.



Secara keseluruhan sajak-sajak dalam puisi kang Agus ini, sangat memikat, untuk kita baca, kita nikmati, kita apresiasi, dan kita mengerti. Seperti apa yang dikatakan kang Agus dalam wawancara dengan Linde Voute :”Lewat sajak, saya justru ingin belajar dan bukan mengajar, ingin bertanya dan bukan menjawab, dan sesekali menangis atau berduka bersama orang-orang pinggiran di berbagai pelosok negeri saya yang tidak punya massa, tidak punya kekuasaan, tidak punya harta, tidak punya partai, dan terus menerus dibisukan”. Saya sangat setuju dengan hal ini, Sajak-sajak justru menemukan pengertiannya saat begitu banyak pertanyaan-pertanyaan yang menghimpit kesadaran kita. Semoga ketekunan dan konsistensi dari kang Agus dalam berkecimpung di dunia sastra, semakin membuat kita-kita para generasi selanjutnya semakin bersemangat dalam menggairahkan sastra Indonesia. BRAVO SASTRA INDONESIA.

Lalu orang-orang palsu
Meneriakkan kegembiraan palsu dan mendebatkan
Gagasan-gagasan palsu di tengah seminar
Dan dialog-dialog palsu menyambut tibanya
Demokrasi palsu yang berkibar-kibar begitu nyaring
Dan palsu. (Sajak Palsu)




Madiun, 9 Juni 2010
Arif Gumantia
Penggemar Puisi dan penggemar nasi pecel
Juru Tulis dari Komunitas ESOK (Emperan Sastra COK…Surabaya)


Judul Buku : Suatu Cerita dari Negeri Angin
Penyair : Agus R Sarjono
Penerbit : Komodo Books
Jl. Permata IV A1/4 Kompleks Permata Puri I,
Cimanggis Depok Indonesia.
Telp. 021-8730205
Cetakan pertama, 2002
Cetakan kedua, 2006
Cetakan ketiga, 2010.

Tidak ada komentar: