Minggu, 29 Januari 2012
Lan Fang, sebuah Lelakon.
Kalau dunia ini panggung sandiwara...biarkan aku jadi penonton saja...aku cape, Tuhan!
Demikian ending dari novel ? Lelakon, karya dari novelis asal surabaya yang barusan meninggalkan kita semua Lan Fang. Sebuah novel yang menarik dan menyergap pikiran. Novel yang seperti sebuah puisi kaya makna. Novel yang didalamnya Lan Fang tidak memberikan sebuah jawaban, Novel yang tanpa banyak menggurui. Penulisnya tidak memberikan sebuah kesimpulan-kesimpulan tapi justru menghujamkan rentetan pertanyaan-pertanyaan , memberikan sebuah ruang yang terbuka untuk kontemplasi pembacanya. pembaca diajak untuk menyaksikan sebuah lanskap, yang merupakan representasi dari sebuah kehidupan nyata.
Ada dunia angan-angan dan ada dunia kenyataan dalam lelakon. Ada dunia tanda tanya yang tak berkesudahan. Dengan berbagai sifat manusia yang kadang begitu ekstrim tapi memang sifat demikian memang benar-benar ada. Lelakon bercerita tentang Sebuah upaya dari para tokoh-tokohnya yang ingin memeluk mimpi-mimpi. Memeluk hasratnya bahkan memeluk semua kepedihannya.
Tokoh-tokoh dalam Novel lelakon tidak hanya mempunyai makna yang tunggal, tapi lebih kepada metafora-metafora yang memendarkan berbagai tafsir bagi para pembacanya. Ada tokoh mon, yang hidup dalam kenyataan yang menghimpit. Selalu dikejar-kejar uang setoran, hingga ia selalu berhasrat “tidur nyenyak di kasur yang memberikan mimpi indah. Bangun tidur ketika matahari menghujani kehangatan dari jendela tanda tanya. Ada lelaki yang menciuminya sampai kelelahan. Ia ingin membuat gambar indah di hidupnya yang berlubang-lubang.”
Ada tokoh bernama Bulan yang hidupnya sangat menyenangkan. Dia punya bola kristal yang di dalamnya adalah dunia yang ideal. Dengan 3 anak mungil bernama Yes, iya dan Inggih. Dan juga punya suami yang (kelihatannya) penurut bernama angin puyuh. Sebuah metafora yang mengingatkan kita begitu indahnya jika kita kehidupan yang ideal, ketika semua menurut pada kehendak kita. Tapi benarkah demikian, ada suara menimbang dalam diriku, demikian kata chairil anwar dalam puisi Sorga. Kata Lan Fang benarkah kita bisa menikmati indahnya bangun jika kita tak pernah jatuh, benarkah kita bisa menikmati keindahan sebuah kesuksesan jika kita tak pernah mengalami nikmatnya menjalani sebuah proses.
Lan fang menyodorkan pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan alur yang begitu menggugah perasaan. Dalam bahasa Budi darma, dengan alur yang bergerak begitu lambat, tapi kadang juga bergerak begitu cepat, hingga seakan kita harus beradu cepat dengan makna yang harus segera kita tangkap.
Ada juga tokoh Fantasi yang keluar saat bola kristal dipecahkan oleh bulan. Sebuah Tokoh yang diciptakan untuk mendekontruksi pemikiran kita tentang kebenaran. Yang berucap :”kamu pikir Drupadi itu suci, hah? Puih! Cuh..cuh..! Apa yang dilakukan Drupadi, hah? Melayani lima lelaki tetapi tetap ingin kelihatan suci. Tahukah kau apa yang dilakukan Drupadi setelah lima hari menggilir lima lelaki? Hari keenam dia masturbasi sambil menangis sendiri! Hari ketujuh dia menulis di lontar bahwa lima lelaki itu tidak bisa apa-apa”!
Juga ada tokoh bernama Tongki, yang begitu kaya raya, tapi membangun istana kekayaannya dengan cara berbohong dan menipu. Kesuksesan yang pada akhirnya membuahkan keterasingan, dan kesia-siaan. Hasrat untuk kaya begitu kuat hingga dia kehilangan nilai-nilai kemanusiaannya.
“Berwacana atau bercakap adalah cara yang dengannya kita mengartikulasikan “secara signifikan” mengada-dalam-dunia.” Tulis Martin Heidegger seorang filsuf dalam karyanya Being and Time. Bagi Heidegger, bercakap-cakap adalah satu aktivitas yang membawa pada penemuan signifikansi keberadaan kita sebagai manusia di dunia. Karena itu percakapan adalah aktivitas yang hampir mustahil dihindari. Demikian juga novel, bisa menjadi semacam percakapan, antara Penulis dengan pembaca . Atau antara “kegelisahan jiwa” Penulis dengan “kesadaran” penulis itu sendiri. Bisa juga Percakapan antara “Nurani” dan “realitas yang harus dihadapi” .
Dan Novel lelakon, Lan Fang menceritakan sebuah lelakon kehidupan manusia dengan berbagai metafora, alegori,narasi ironis, dan kenyataan sejarah membentuk sebuah kesatuan tunggal. Lelakon menceritakan bagaimana manusia dengan berbagai sifat yang dimilikinya mengarungi hidup yang penuh jalinan yang asing dan rahasia. Dan inilah kenapa novel ini menjadi karya yang gemilang. Bagi saya Novel yang bagus selalu memberikan perenungan-perenungan. Gaya bercerita, dimana permainan tentang detail suasana dan dialog-dialog tokohnya begitu hidup. Dalam hal ini Lan Fang Berhasil menciptakan tokoh dengan berbagai karakternya, yang menjadikan jalinan cerita menjadi hidup dan penuh kejutan.
Sekarang Lan Fang telah berpulang. Meninggalkan karya –karya besar seperti : Reinkarnasi, Pai Yin, Kembang Gunung Purei, Laki-laki yang salah, Perempuan kembang jepun, Yang Liu, Kota tanpa Kelamin, Ciuman di bawah hujan. Semoga ada banyak Novelis perempuan yang akan meneruskan konsistensinya dalam menulis novel. Selamat jalan Lan Fang, selamat bermain pelangi di Surga.
Now the lights are going out
Along the boulevard
The memories come rushing back
and it makes it pretty hard
I've got nowhere left to go
And no one really cares
I don't know what to do
But I'm never giving up on you
Heaven isn't too far away
Closer to it every day
No matter what your friends say
I know we're gonna find a way
(Heaven, lagu dari grup Rock Warrant)
*Tulisan ini hasil sharing saya pada bincang sastra Majelis sastra Madiun rabu malam di warung i-kopi madiun.
Madiun, 30-1-2012
Arif Gumantia
Penasehat pada Majelis sastra Madiun
Kamis, 26 Januari 2012
Cinta Gus Dur akan terus merayap.
Dalam Buku Mohamad Guntur Romli yang berjudul “Ustadz, saya sudah di surga”, Gus Dur menulis kata pengantarnya yang salah satu kalimatnya begitu inspiratif dan sangat kontemplatif, bahwa “ Kita jangan pernah lupa, meskipun memikul tugas untuk mempertahankan kebenaran Ilahi, pada saat yang sama kita harus menjunjung tinggi perikemanusiaan. Penekanannya adalah pada paraphrase “pada saat yang sama”. Dari sinilah subtansi beragama secara kaffah bisa terwujud, atau dalam terminologi jawa sebagai sebuah laku “manunggaling kawula gusti”.
Hari-hari ini kita disuguhi kekerasan yang menghimpit ruang publik kita. Sebuah kekerasan yang terasa tak berkesudahan. Penyerangan warga ahmadiyah, pembakaran pesantren syiah, kasus mesuji, Sape Bima, pelarangan ibadah jemaat GKI Yasmin, dan masih banyak lagi. Hari-hari ini kita semua sedang menentukan arah yang sangat krusial pada bangsa ini. Apakah NKRI ini tetap berdiri, ataukah kita menjadi the next Yugoslavia? Tergantung bagaimana pemerintah menangani hal ini.
Dan kita semua begitu merindukan Gus Dur. Yang selalu ada bersama mereka yang tertindas, terintimidasi, dan semua yang diperlakukan tidak adil. Tuhan tidak perlu dibela, karena Tuhan sudah Maha segalanya, belalah mereka yang dipinggirkan oleh pembangunan dan yang diperlakukan tidak adil. Sebuah kalimat yang membuat kita “melambung dan terhenyak”. Sebuah kalimat yang menyadarkan pada kita, substansi-substansi keberagamaan. Bukan beragama yang religius artifisial. Sudahkah kita berlaku adil, sudahkah kita beradab, sudahkah kita membantu mereka yang diperlakukan tidak adil?
Pribumisasi nilai-nilai islam, pelestarian budaya, Pluralisme,Kedaulatan Hukum, implementasi Pancasila dalam kehidupan sehari-hari adalah Hal-hal yang selalu diperjuangkan Gus Dur. Dan semua bermuara agar negeri ini menjadi damai dalam keberagaman, atas dasar Keadilan, kesetaraan, dan persaudaraan. Memang tak mudah untuk memahaminya, apalagi jika hanya membacanya sekilas tanpa memahami maknanya.
Kita harus adil sejak dalam pikiran, demikian kata Pramoedya ananta Toer, maka menjadi sangat tidak arif jika belum pernah mengerti makna Pluralisme tapi sudah langsung antipati bahkan mengharamkannya. Akhirnya kita akan terjebak pada manusia-manusia, yang (meminjam istilah Milan Kundera) hanya dibatasi oleh 2 jurang yaitu : Fanatisisme di satu sisi, dan skeptisisme absolut di sisi lain.
Pluralisme agama tidak hendak menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Itu adalah singularisme demikian kata Kiai yang juga Doktor Abd. Moqsith Ghazali dalam bukunya yang sangat memukau “argumen Pluralisme Agama”. Setiap agama memiliki konteks partikularitasnya sendiri sehingga tak mungkin semua agama menjadi sebangun dan sama persis. Pluralisme adalah tidak saja mengisyaratkan adanya sikap bersedia mengakui hak kelompok agama lain untuk ada, melainkan juga mengandung makna kesediaan berlaku adil kepada kelompok lain itu atas dasar perdamaian dan saling menghormati, demikian ungkap cendekiawan muslim Nurcholis madjid.
Dalam era tebar pesona, pencitraan, dan Imagology, ingatan kita tiba-tiba melintas tentang apa yang dilakukan oleh Gus Dur. Untuk hal-hal yang Prinsip, seperti perjuangan kedaulatan hukum, Pancasila, UUD 45, membela yang diperlakukan tidak adil, Gus Dur tidak pernah berhitung secara politis. Apakah ucapan dan tindakan-tindakannya populer, Tidakkah takut pada hilangnya dukungan di parlemen, semua dikesampingkan. Suatu misal ada penyerangan warga ahmadiyah, kita pasti langsung mendapati Gus Dur berbicara di Media, menuntut tanggung jawab pemerintah. Tak peduli hal demikian akan menurunkan popularitasnya.
Gus Dur selalu bilang : yang saya bela bukanlah iman dan keyakinan mereka, tapi yang saya bela adalah hak mereka untuk hidup di negara Indonesia yang berdasarkan pancasila ini.dan coba kita lihat sekarang? Adakah para pemimpin yang demikian? Belum-belum kita sudah saksikan bukan pembelaan tapi membuat statement yang menstigma ahmadiyah dan syiah adalah sesat, dan yang cukup membuat kita sangat sedih adalah diucapkan oleh pejabat selevel menteri.
Tidakkah lebih baik selalu diadakan dialog tanpa henti dan merangkul semua yang berbeda, karena mereka adalah bagian dari bangsa ini, mereka semua juga berjuang bersama-sama dalam merebut kemerdekaan, bahu membahu membangun negeri ini. Jangan pernah sekali-sekali melupakan sejarah, karena bangsa yang lupa akan sejarah masa lalunya, perlahan akan pudar dan kehilangan dirinya. Berpikir tanpa sekat, dialog tanpa henti, anti kekerasan, pendekatan budaya adalah bagian yang diajarkan Gus Dur dalam rangka menyelesaikan adanya perbedaan.
Memang tak mudah untuk memperjuangkan hal-hal yang tidak populer, tapi tindakan kepahlawanan bukanlah seberapa banyak kita memperoleh tepuk tangan, tapi seberapa besar manfaat yang akan dirasakan oleh masyarakat. Dan sebagai pewaris negeri yang menurut penulis Zen rachmat sugito negeri yang diberkahi –atau mungkin dikutuk, tergantung bagaimana menghayatinya- keberagaman yang begitu kaya, maka sudah seharusnya kita lanjutkan apa yang menjadi pemikiran dan perjuangan Gus Dur tersebut.
Bukan menjadikan Gus Dur sebagai sebuah Kultus Individu dan kita agung-agungkan, karena Gus Dur Just a man kata inayah wahid, tapi menjadikan pemikiran dan perjuangan Gus Dur sebagai perjuangan yang tak kenal henti, untuk indonesia tercinta. Dan satu lagi jangan lupakan Humor. Karena dengan humor kita bisa mencairkan sebuah ketegangan dalam mengurai sebuah permasalahan yang pelik. Gitu aja kok repot.
Gus Dur tidak pergi tapi hanya Pulang. Dan cintanya akan terus merayap. Seperti puisi yang ditulis Oleh Penyair celurit emas D. Zamawi Imron:
Ode Buat GUS DUR
..................................................
Semua membisikkan doa
Seperti yang kuucapkan setelah kau dikuburkan
Bendera itu seperti tak punya alasan
Untuk berkibar, seperti kami yang tak punya alasan
Untuk meragukan cintamu
Kepada buruh pencangkul yang tak punya tanah
Atau kepada nelayan yang tak kebagian ikan
Cintamu akan terus merayap
Ke seluruh penjuru angin
Dan tak mengenal kata selesai
Madiun, 26-1-2012
Arif Gumantia
Gusdurian Madiun dan penasehat Majelis Sastra Madiun
Epilog 2011
Dalam lintasan waktu
Aku melihat
orang-orang terpanggang nasibnya
Di bawah langit yang tak mengenal belas kasihan
Aku melihat
Banyak orang lupa jalan pulang
Berharap pada arah angin
Sementara angin sudah membeku dan menempel
Pada pucuk-pucuk cemara
Waktu melintas berlalu
Mereka mencoba meminjam mata tuhan
Agar terus terjaga
Mereka membangun benteng pada hati
Untuk menanam kertas yang menuliskan takdirnya
Ketika waktu menjadi biru
Aku memohon pada bintang yang dijaga malam
Untuk jatuh menjadi butiran-butiran cahaya
Di atas kepalamu
Dan aku akan selalu ada
Di serbuk cahaya
Pada tiap helai rambutmu
madiun, 01-01-2012
Arif Gumantia
Aku melihat
orang-orang terpanggang nasibnya
Di bawah langit yang tak mengenal belas kasihan
Aku melihat
Banyak orang lupa jalan pulang
Berharap pada arah angin
Sementara angin sudah membeku dan menempel
Pada pucuk-pucuk cemara
Waktu melintas berlalu
Mereka mencoba meminjam mata tuhan
Agar terus terjaga
Mereka membangun benteng pada hati
Untuk menanam kertas yang menuliskan takdirnya
Ketika waktu menjadi biru
Aku memohon pada bintang yang dijaga malam
Untuk jatuh menjadi butiran-butiran cahaya
Di atas kepalamu
Dan aku akan selalu ada
Di serbuk cahaya
Pada tiap helai rambutmu
madiun, 01-01-2012
Arif Gumantia
Langganan:
Postingan (Atom)