Masukan Nama Penyanyi - Judul Lagu

Mesin Cari Free Download Mp3 Gratis

Translate To Your Language

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

Jumat, 24 Januari 2014

sebuah Pengantar untuk Puisi Himas Nur



Sebuah sajak yang menjadi adalah sebuah dunia. dunia yang dijadikan, diciptakan kembali oleh si penyair. Diciptakannya kembali, dibentuknya dari benda (materi) dan rohani, keadaan alam dan penghidupan sekelilingnya, dia juga mendapat bahan dari hasil-2 kesenian lain yang berarti bagi dia, berhubungan djiwa dengan dia, dari pikiran-2 dan pendapat-2 orang lain.

segala yang masuk dalam bayangannya, anasir-2 atau unsur-2 yang sudah ada dijadikannya, dihubungkannya satu sama lain, dikawinkannya menjadi suatu kesatuan yang penuh (indah serta mengharukan) dan baru, suatu dunia baru, dunia kepunyaan penyair itu sendiri.

(Chairil Anwar, Pidato di radio tahun 1946)
Octavio paz pernah menulis dalam the other voice “ kontribusi apa yang bisa diberikan oleh puisi dalam menciptakan teori politik baru? Bukan gagasan atau cita-cita baru, tetapi sesuatu yang lebih indah dan agung dan juga gampang pecah : MEMORI.” Ada suara lain yang disuarakan oleh para penyair jika mereka melihat sebuah situasi keadaan. Meski dengan suara liris dan lirih.

Begitu juga buku antologi Puisi Himas Nuer ini, Bianglala Komedi Putar dan Negeri dongeng. mencoba menjadikan puisi-puisinya sebagai sebuah Dunia. Disuarakan dengan liris oleh Himas. yang mencoba menciptakan puisi untuk menjadi  , yaitu menjadi Dunia penyair

Kenapa “Bianglala, Komidi Putar? “dan ada apa dengan “Negeri Dongeng”? itulah keindahan misteri Puisi. Selalu menghujamkan pertanyaan  bahkan saat sejak membaca judulnya,  yang memaksa pembaca untuk menggali makna yang ada didalamnya, memberikan sebuah ruang yang terbuka untuk kontemplasi pembacanya.
Pertanyaan kedua adalah Apa sebenarnya tugas Penyair? Jawabannya menurut saya Sesuai dengan output yang dihasilkannya yaitu Puisi, maka tugasnya adalah bagaimana mengolah sebuah proses kreatif menjadi Puisi. Proses kreatif yang merupakan penjelajahan dari unsur pengalaman (empiris), unsur keindahan (estetis) dan unsur pengamatan (analitis). Di sini penyair bisa mengungkapkan dari sebuah gagasan yang abstrak menjadi sesuatu yang konkret bagi para pembaca. Dari menafsirkan sebuah kegelisahan diri pribadi sampai merefleksikan kegelisahan masyarakatnya.

Membaca Antologi ini, Bagi saya awal dan sesuatu yang paling awal dari Himas Nur tentunya adalah Buah dari kerendahan hati. Kerendahan Hati dalam memahami berbagai peristiwa yang berlalu. Meski kadang beku dan sekejap kehilangan realitasnya. Kerendahan hati ini begitu penting karena ini adalah awal dari “Keterharuan”. Mengutip Chairil Anwar kembali : Percintaan, kelahiran, kematian, kesepian, matahari, bulan, ketuhanan – inilah Pokok-pokok yang berulang selalu mengharukan Penyair. Dan keterharuan adalah “pokok” yang membuat himas nur melahirkan bait-bait yang indah dalam Puisinya.

Dalam Puisi Bianglala, komidi putar, dan negeri dongeng :

..................................................................
Aku tak suka sejarahmu yang melulu Hujan dan Desember
Kau tahu pasti.
aku bianglala dan kau komedi putar. Dan pada akhirnya dengan bianglala kau akan mampu menjangkau dunia. Dari puisi tersebut kalau saya paraphrasekan terasa bahwa sesuatu yang beragam baik itu sifat, pemikiran, ide akan selalu bisa menjangkau dan menikmati keindahan dunia.
Himas Nur seakan mengajak kita bercakap-cakap melalui puisi-puisinya, dengan penggunakan diksi, kata, kalimat dan bait-baitnya yang berisi Ironi atau perlambang. Dengan gaya ungkap yang Liris, mentransformasikan antara “kegelisahan jiwa” Penyair dengan “kesadaran penyair itu sendiri. Bisa saya rasakan dalam Puisi : Di Persimpangan.

Masih saja kau simpan sore itu
Biru yang tak juga semu
Di kecupku
Dan musim berbuah rintik

Metafora sore dan musim hujannya membuat bait ini jadi indah. Pada bait keduanya tiba-tiba kita terbentur pada sebuah ironi :
Selanjutnya
Terhenti
Di persimpangan
Dan pengulangan
Tinggal hanya.

Dan tiba-tiba imajinasi kita melayang menjangkau sebuah persimpangan sebuah pilihan yang selalu terus berulang dalam hidup.
Atau saya temukan juga di Puisi Jakarta, Dua Desember Dua ribu sebelas.
Aku diliputi Basah
Oleh gerimis yang jatuh terlambat
Olehmu
Kotamu abu abu
Tapi dadaku memetik biru

Kegelisahan saat melihat sebuah kota, pada kota yang hingar bingar tapi menghasilkan warna abu-abu yang senyap, bahkan gerimis pun jatuh terlambat. Tapi si aku tetap memendarkan harapan dengan perlambang “dadaku memetik biru”.

Ada puisi yang membuat saya merenung, haruskah perempuan selalu punya jalan pulang yang sama, adakah jalan itu sesuai dengan yang diinginkan, sebuah renungan yang berayun-ayun antara feminisme dan kodrat sebagai wanita. Berayun-ayun antara kegigihan, kerapuhan, dan rindu akan “pelukan” dan bahu tempat bersandar, meski yang selalu setia adalah kolong ranjang, yang berjudul : Perempuan dan jalan Pulang

pulanglah

pada kolong ranjang yang setia menanti kembalimu

meski musim telah separuh perak

dan asa adalah permulaan kesekian



selesaikan doadoa yang kau tanam di beranda

dan persilahkan tuhan mampir menyambut kepulanganmu

saya mencoba menggali makna, ada sebuah  ruang kontemplasi sekaligus tidak kehilangan keindahan sebuah puisi, karena ketepatan dalam menggunakan bahasa kiasan. Seperti metafora, melihat sesuatu dengan perantara benda yang lain. (Becker, 1978:317). Dan bagi saya keindahannya tak akan pernah pudar, meski tafsir makna yang saya dapatkan tidak akan setepat apa yang diingankan oleh Himas. Karena
Kita hanya bisa mendekati dengan jejak-jejak tafsir yang kita punyai, demikian kata heidegger.

Ada juga puisi yang menurut saya adalah sebuah potret realitas sosial, sebuah tikaman yang dingin pada bait-bait yang indah, : Perihal laut
Pada laut, aku mengirim sejarah
Tentang ayah yang sibuk memintal peluh
Tentang ibu yang sibuk menanak waktu
Tentang anakanak yang sibuk melarung doa
......................................................................

Fragmen-fragmen kemiskinan telak sudah berorasi
Di dada
Menjelma obituari di kakikaki malam
......................................
Pada Laut aku menerima Sejarah
Tentang ikanikan mati ditelan tikustikus kota
......................................
Selamat atas terbitnya Antologi Puisi ini, Dan terus terang saya memberi apresiasi yang tinggi tentang antologi Puisi Ini. Dengan usia yang masih Muda, masih di Bangku SMA, Himas Nur sudah melahirkan Puisi-Puisi dengan tema yang Beragam. Liris dengan metafora, dan ironi menghasilkan bait-bait yang indah. Meski ada beberapa Puisinya Yang masih bisa dicarikan Diksi yang lebih memikat, agar membuat pembaca lebih “melambung dan terhenyak” tetapi ini merupakan sebuah bagian dari proses kepenyairannya. Semoga selalu rendah hati, agar selalu muncul keterharuan dalam menyulam bait-bait indahnya.
Dan semoga Buku antologi ini bisa memberikan kontribusi bagi khazanah sastra indonesia, dan menarik minat pelajar dan anak muda untuk mencintai puisi.
 mari kita rayakan hidup yang penuh dengan jalinan yang asing dan rahasia ini dengan Puisi. Seperti Puisi yang ada di antologi ini yang paling saya suka : Selamat Ulang Tahun.

Puisi adalah kita saat senja merapat di percakapan.kali ini tak ada wajahwajah berpayung malam dan nanar. Yang kutemui hanyalah desember, senja bergerimis, sebuah buku antologi puisi.Dan matamu yang hening. damai.mereka menyusunmu menjelma kekunang pada malam kelam.

Sekali lagi Selamat dan Bravo Sastra Indonesia.



Madiun, 04-03-2013
Arif Gumantia
Ketua Majelis Sastra Madiun


Tidak ada komentar: