Masukan Nama Penyanyi - Judul Lagu

Mesin Cari Free Download Mp3 Gratis

Translate To Your Language

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

Senin, 14 April 2014

Potret sosial dalam puisi W. Haryanto

Sebuah karya sastra baik prosa maupun puisi, dalam proses kreatif lahirnya karya tersebut banyak unsur yang mempengaruhi. Terutama dengan konteks masyarakat tempat lahirnya karya tersebut. Dalam hal ini, karya sastra bisa dipandang sebagai suatu gejala social, berupa fenomena, norma, perilaku, adat istiadat, kejadian dan peristiwa yang berlalu di masyarakat.

Gejala social yang di olah oleh Penyair, cerpenis, atau novelis, direkakan, di imajinasikan, dirangkaikan, di sintesakan menjadi sebuah teks yang terpadu dan otonom. Begitu juga upaya yang di lakukan oleh W Haryanto,penyair,esais,penulis naskah drama,dansutradara Teater Mata  Angin Unair Surabaya dalam Buku “Manisfesto Ilusionisme”..Pernyataan terbuka para penyihir”.


Hanya sedikit saya temukan buku puisi dari penyair indonesia, setelah era (alm) WS. Rendra yang mengekspresikan karya-karyanya dengan menulis apa yang dilihat, didengar, dan dihayati dari kondisi masyarakat sekitarnya. Penyair yang bisa mengidentifikasikan dirinya dengan mereka yang terluka, mereka yang dimiskinkan oleh kekuasaan, mereka yang disergap kesepian dan membuatnya terasing dalam derap laju pembangunan yang gegap gempita.

Dari yang sedikit itu, saya temukan nama W Haryanto ini yang  telah   malang melintang didunia kepenyairan,dan menghasilkan berbagai     karya  antologi Puisi.       Dalam kata    pengantarnya  W haryanto mempunyai  “kredo” bahwa         Puisi  yang unsur esensinya   adalah   Bahasa,adalah    sebagai bahasa    Penyadaran dan bukan  hanya sebagai  bahasa      komunikasi.    Sebagai sebuah    alat        perjuangan menyadarkan masyarakat  bahwa    ada tatanan yang timpang,kejadian-kejadian penuh ironi di negeri ini    juga dunia.
Seperti pada Puisi  “Kemerdekaan “ :
.............

Jakarta! Hatta yang lama! Ada gemuruh
Burungburung membukabuka       peti
Mencari  kompas      dan cerita
“kemerdekaan   siapakah”? kita lekas
Menutup halaman buku

Puisi yang menyergap kesadaran    akan pertanyaan kemerdekaan negri  ini   untuk siapa?             Ketika rakyat kehilangan arah untuk memperbaiki nasibnya. Dan yang diuntungkan oleh kemerdekaan hanya beberapa orang saja.
Seperti apa yang pernah di katakan oleh (alm) WS Rendra “hanya dalam solidaritas dengan lingkungan alam, budaya dan kosmos, manusia dapat merasakan kedekatan dengan Tuhan hingga bisa manjing ing kahanan dan manunggaling kawula Gusti”. Demikian juga upaya yang dilakukan Penyair  W Haryanto dengan Puisi-puisinya ini adalah sebuah laku untuk Manunggaling kawula Gusti, dengan cara mengekspresikan perasaan dan kedalaman penghayatannya atas apa yang dilihat dan didengar di lingkungan masyarakatnya , seperti apa yang ditulisnya dalam Puisi-puisinya “sirkus pengadilan Indonesia,      balada orang mati di tugu tani,    pemilu, Lapindo, kereta   yang   datang sore hari”

Octavio paz pernah menulis dalam the other voice “ kontribusi apa yang bisa diberikan oleh puisi dalam menciptakan teori politik baru? Bukan gagasan atau cita-cita baru, tetapi sesuatu yang lebih indah dan agung dan juga gampang pecah : MEMORI.” Ada suara lain yang disuarakan oleh para penyair jika mereka melihat sebuah situasi ketidak adilan. Yang sebelum mengendap menjadi kenangan, selalu disuarakan. Sebuah suara yang meski liris dan lirih tetapi cukup untuk selalu mengasah Belati nurani kita agar tajam dan bisa menikam semua bentuk kemunafikan. Seperti Puisi:

Balada Perlawanan orang    Mesuji

.............................
Jangan tinggalkan mereka dimesuji
Saat desember  melepas  kavaleri,seperti bunyi  kincir,
Mereka tubuh yang menguap dan dihancurkan..jalan
Siapakah   di tapal batas ini? Firman tuhankah ?
Di mesuji setiap turun  dari awan hitam,
Gerimis yang mengetuk pintu
Dengan tangisan,seolah ada     yang takbisa  kembali

Perjuangan terberat kita adalah “perjuangan melawan lupa” demikian ungkapan yang terkenal dari Novelis Dunia Milan Kundera. Dan memang demikianlah kenyataannya.dan W Haryantomenulisnya dalampuisi-puisinya karena  Dalam kehidupan kenegaraan kita begitu gampang melupakan sebuah kepedihan dan penderitaan. Kita begitu cepat lupa dengan apa yang dilakukan Rejim ORBA, peristiwa Mei 1998, semburan Lumpur Lapindo, dan sebentar lagi kita juga akan melupakan kasus Gayus,dll.

Tentunya sah-sah saja seperti yang   ditulis dikata pengantar  Bahwa  W Haryanto menulisbahwa    dia ingin melawan “politik Salihara/utan kayu” dalampengertian Melawan dengan karya, maka Puisi-puisinya berusahauntuk menjadi bahasa penyadaran,bukan sebagai  puisinya para Penyair yang meminjamistilah  WS.Rendra Para penyair salon,yang bersyair    tentang anggur dan rembulan,sementara  ketidakadilan merajalela disekitarnya.  Tentunya halini      tidakmudah,  karena puisi  juga memerlukan bahasa yang  indah,   metafora-metafora,ironi,perlambang,dsb.  Tetapi kalau tidak hati-hati maka keindahan kata-kata hanya akanmenjadi  akrobat kata-kata dan permainan struktur teks tanpa makna...dan ini akan menjadi kontradiksi  dengan apa     yang diperjuangkannya.

Saya memberi apresiasi yang      tinggiatas  buku Manifesto Ilusionisme Ini, semoga bisamemberi   kontribusi yang  positif buat  Sastra Indonesia. BRAVO!


Arif Gumantia

Tidak ada komentar: