Menulis novel tentang Gus Dur tentu ada beberapa kesulitan
yang harus dihadapi. Karena ketokohan seorang Gus Dur, adalah tokoh tanpa
batas, tokoh pelintas batas. Gus Dur tidak bisa diletakkan dalam “frame” satu
kategori saja, bukan hanya Kiai atau tokoh pesantren, tetapi Gus Dur adalah
budayawan, cendekiawan, tokoh
perdamaian, negarawan yang demokratis, pejuang toleransi , pemimpin Negara atau
presiden, dan masih banyak lagi kategori lainnya.
Gus Dur ibarat sebuah
buku yang terbuka. Yang senantiasa siap kita baca, kita tafsirkan, kita
diskusikan, dan barangkali juga siap untuk dicaci maki oleh lawannya, meskipun
Gus Dur tidak pernah memposisikan bahwa, mereka yang berbeda ide dan pemikiran
adalah sebagai seorang “lawan” tapi lebih sebagai sahabat berdiskusi dan beradu
argumentasi. Dan jika diibaratkan sebuah Buku, Gus Dur sangat menantang untuk dibaca Karena Gus Dur tidak mengikuti arus, juga tidak
melawan arus, tapi Gus Dur menciptakan arus pemikiran-pemikiran, yang tidak
hanya berhenti pada sebuah ucapan yang bombastis, tapi secara konsisten juga
diwujudkan dalam perilaku, tindakan, dan amaliyah.
Dalam kondisi yang demikian, Aguk Irawan MN mencoba menulis
novel biografi Gus Dur dengan judul Peci
Miring. Novelis asal Lamongan, yang masa remajanya pernah menjadi santri di
Pondok pesantren Darul ulum, Langitan, Tuban dan kuliah di universitas Al-Azhar
Kairo, Mesir. Upaya elaborasi yang dilakukan patut kita apresiasi, karena
menulis novel biografi tentu diperlukan riset yang mendalam, baik riset pustaka
maupun riset secara empiris, dan juga
wawancara dengan berbagai pihak. Selain
itu diperlukan teknik bercerita yang cermat untuk menggabungkan imajinasi,
fiksi dan kisah nyata.
Dengan alur yang linier, mulai dari kelahiran Abdurrahman
Ad-Dakhil di denanyar, 4 Syaban (bulan ke-8 ) 1359 H, atau 7 september 1940,
tetapi waktu masuk SD ditulis 4 Agustus 1940, sampai Gus Dur berkeliling eropa,
di ceritakan dengan narasi yang runtut dan jelas, sehingga memudahkan pembaca
untuk menyulam benang merah dari tiap bab di dalam novel ini. Sebagai novel
biografi, novel ini juga bisa menjadi novel sejarah perjalanan hidup sang tokoh.
Banyak kenyataan historis yang di hadirkan oleh penulis, dimana selama
ini jarang kita ketahui, saat Gus Dur menjadi santri di pesantren Krapyak
Yogyakarta, Tegalrejo Magelang, dan Tambak beras jombang, dengan diselingi
berbagai joke dari Gus Dur hingga pembaca merasa tidak bosan untuk membaca
sampai akhir halaman.
Kenyataan historis tentang bapaknya Gus Dur yang suka
membaca buku (kutu buku) hingga menjadi kebiasaan baik yang diturunkan pada Gus
Dur, juga sering berdiskusi dengan banyak tokoh, termasuk dengan Tan Malaka. (
halaman 65 ). Hingga kebiasaan ini juga dilakukan oleh Gus Dur saat di Krapyak
Jogja, di mana saat Gus Dur menghabiskan waktunya untuk menonton Bioskop,
sehabis itu Gus Dur berdiskusi dengan anak
aktivis-aktivis Partai Komunis Indonesia ( PKI). (halaman 140 ), dan
juga yang menarik adalah kebiasaan memakai Peci warna hitam yang dipakai
sedikit miring adalah juga khas dari bapaknya Gus Dur, Wahid Hasyim.
Sebagai penulis dengan latar belakang pesantren, tentu Aguk
Irawan lebih banyak mengeksplorasi kisah-kisah yang terjadi di lingkungan
Pesantren, di mana Gus Dur belajar kitab-kitab islam tetapi juga membaca begitu
banyak buku novel-novel sastra klasik, ernest hemingway, john Steinbeck,
Faulkner, leo Tolstoy, dll, juga buku-buku “kiri” karya Karl Marx, antara
mengaji pada Kiai Ali Maksum sehabis subuh, dan sekolah di SMEP.
Masa-masa di kairo dan kemudian di Baghdad juga menjadi
kisah yang menarik den bisa membuat pembaca bisa mengikuti perubahan karakter
sang tokoh novel Gus Dur dari masa remaja ke masa dewasa, sehingga selain plot,
karakter tokoh juga menjadi perhatian penulis novel. Di novel ini dapat kita
temukan sebuah artefak sejarah pada novel ini, sebuah Puisi yang ditulis oleh
Gus Dur di tahun 1966, yang di dapat penulis dari K.H. Mustofa Bisri (Gus Mus),
teman Gus Dur saat di kairo ( halaman 333).
Menurut saya, novel ini cukup menarik untuk dijadikan salah
satu referensi untuk “membaca” seorang Gus Dur. Hal yang bisa saya berikan
catatan sebagai kritik adalah kurangnya esai-esai ironis di dalam narasi
novelistisnya, tentunya akan banyak hal ironis dalam Negara yang baru Merdeka.
Dan yang kedua adalah kesatuan dari aliran fantasi, penggalan otobiografis, dan
kenyataan historis masih bisa dieksplorasi lebih mendalam lagi dengan sosial
buadaya masyarakat sehingga menjadi novel yang punya nilai nilai humanisme
universal, sebagaimana nilai nilai yang diperjuangkan sang tokoh di novel ini
Gus Dur.
Judul buku : Peci
Miring
Penulis : Aguk
Irawan MN
Jumlah halaman : 389 halaman
cetakan I : September 2015
Penerbit : Javanica
( PT. Kaurama Buana Antara)
Jln. Permai Raya 11, Pamulang Permai I, Blok BX 2/9 RT.
02/012 Pamulang Barat
Pamulang. Telp : 021-7400789
Arif Gumantia
Ketua Majelis Sastra Madiun
Twitter : @arifgumantia