Masukan Nama Penyanyi - Judul Lagu

Mesin Cari Free Download Mp3 Gratis

Translate To Your Language

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

Jumat, 18 Desember 2015

Upah dan Kesejahteraan



Pemerintah hampir tiap tahun diuji oleh tuntutan kenaikan upah buruh, yang selalu pelik penyelesaiannya. Pemerintah tentu harus mengakomodasi kenaikan upah buruh sebab secara faktual kondisinya memang masih mengenaskan, di luar alasan adaptasi dengan inflasi yang terjadi tiap tahun. Namun, pemerintah tidak mungkin mengabulkan begitu saja karena harus berhitung dengan kemampuan pengusaha menanggung tuntutan kenaikan upah tersebut. Situasi ini bukan cuma dialami oleh Indonesia, tapi pada hampir seluruh negara. Di Inggris, misalnya, buruh meminta kenaikan upah mencapai 20% menjadi 7,65 poundsterling/jam. Bahkan, di London buruh meminta kenaikan 25% sehingga menjadi 8,80 poundsterling/jam (The Independent, 5/11/2013). Jadi, peristiwa demonstrasi buruh tiap tahun yang terjadi di Indonesia bukan merupakan perkecualian, bahkan di beberapa negara (seperti Perancis) tuntutan kenaikan upah kerap diiringi dengan pemogokan hingga beberapa minggu.



Kewajiban yang Tak Ditunaikan

Secara khusus kenaikan upah merupakan hal yang lumrah karena dua hal pokok. Pertama, biaya hidup yang berubah (meningkat) karena tekanan inflasi. Oleh karena itu agar kualitas hidup tetap terjaga seperti semula, maka peningkatan upah harus dilakukan. Jadi, pada dimensi ini kenaikan upah sekadar untuk mengimbangi kenaikan ongkos kebutuhan hidup. Biasanya, pada sisi ini kenaikan upah selalu mengacu kepada kenaikan inflasi yang terjadi. Pemerintah biasa juga memakai patokan inflasi untuk menaikkan gaji pegawai negeri (PNS). Kedua, memberikan ruang bagi peningkatan kesejahteraan untuk memerbaiki kualitas hidup dan produktivitas. Seperti halnya petani, pedagang sektor informal, nelayan, dan lain-lain; buruh adalah salah satu kelompok yang tingkat kesejahteraannya rendah. Dengan meningkatkan upah lebih besar (di atas tingkat inflasi), maka terbuka ruang bagi mereka memerbaiki produktivitas melalui peningkatan gizi maupun akses terhadap pengetahuan (pendidikan/keterampilan).

Di luar dua aspek itu, kenaikan upah di Indonesia merupakan hal yang niscaya karena selama ini standar penentuan upah menggunakan patokan yang rendah sehingga tidak memenuhi kebutuhan hidup layak. Secara teoritis masalah ini sebetulnya harus diselesaikan terlebih dulu sebelum dua hal di atas dikerjakan. Pemerintah, buruh, dan pengusaha harus memutuskan “upah dasar” yang mencerminkan standar kebutuhan hidup layak dengan variabel yang representatif dan terukur. Tuntutan kenaikan upah yang akhir-akhir ini dianggap terlalu besar sebenarnya berakar dari upah dasar sebelumnya yang dianggap sangat rendah (karena memakai patokan kebutuhan hidup layak yang kurang laik). Jika titik kritis ini dapat diatasi, maka sebetulnya penentuan upah buruh di masa depan akan lebih mudah, yakni sekadar adaptasi atas kenaikan inflasi plus kenaikan kesejahteraan. Ruang kenaikan kesejahteraan itu diambil dari variabel pertumbuhan ekonomi tiap-tiap daerah, misalnya pada kisaran 5-7%.

Pola itu kelihatannya hanya membebani pengusaha, lantas apa kewajiban yang harus dilakukan oleh buruh dan pemerintah? Kewajiban pokok buruh adalah meningkatkan produktivitas setara dengan kenaikan upah. Tanpa kenaikan produktivitas, kenaikan upah akan menenggelamkan perusahaan dalam daya saing yang rendah sehingga tak dapat bertahan dalam jangka panjang, lebih-lebih dalam era globalisasi. Bila skema ini yang terjadi, maka buruh justru akan dirugikan pada masa depan. Sementara itu, pemerintah mesti mengerjakan tugas yang selama ini nyaris ditelantarkan: menciptakan iklim usaha yang bagus, mengurangi rente ekonomi (pungli), ongkos birokrasi yang rendah, dana investasi yang murah (misalnya menekan bunga kredit), dan memerbaiki sistem logistik. Semua ini isu lama tapi tak kunjung diperbaiki oleh pemerintah. Pengusaha mengeluh oleh kenaikan upah bukan karena tak sanggup memikulnya, namun akibat beban yang besar sebab pemerintah abai terhadap tugasnya.



Kesejahteraan Semesta

Lebih menukik lagi, sepatutnya pemerintah melihat persoalan upah buruh dalam konteks yang lebih luas, yaitu dalam kerangka menciptakan kesejahteraan semesta. Maksud dari kesejahteraan semesta lebih kurang paralel dengan konsep negara kesejahteraan, yakni meningkatkan status kemanusiaan secara menyeluruh sesuai mandat konstitusi. Problem utama di Indonesia saat ini bukanlah meningkatkan pertumbuhan ekonomi, melainkan menurunkan disparitas pendapatan. Kenaikan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita kurang memiliki daya guna dalam konteks kesejahteraan semesta apabila ketimpangan pendapatan meningkat. Artinya, ada bagian kelompok masyarakat tertentu yang makin tertinggal dalam perolehan kesejahteraan (ekonomi). Seperti yang telah disampaikan di muka, buruh merupakan salah satu kelompok yang selama ini tertatih dalam mengejar ketertinggalan dengan kelompok ekonomi mapan lainnya, sehingga soal kenaikan upah merupakan elemen vital dalam pencapaian tujuan kesejahteraan semesta.

Tentu saja upah bukan merupakan satu-satunya instrumen yang dipakai untuk menciptakan tatanan kesejahteraan semesta tersebut. Saat saya berdiskusi dengan Prof. John Hassler (salah satu anggota komite penghargaan Nobel Ekonomi) minggu lalu di Stockholm University, dia menyatakan bahwa konsep negara kesejahteraan yang terpenting adalah peran negara yang besar dalam belanja sosial, salah satunya pendidikan. Swedia merupakan negara yang anggaran negaranya sangat besar (sekitar 30% terhadap PDB, sedangkan di Indonesia hanya pada kisaran 12% dan habis untuk belanja birokrasi dan bayar utang), yang sebagian besar untuk alokasi pendidikan, kesehatan, dan tunjangan sosial. Dengan pendidikan dan kesehatan yang bagus, semua orang memiliki akses yang sama untuk meraih pekerjaan yang laik dengan insentif upah yang tinggi. Inilah yang menjadi kunci Swedia memeroleh pertumbuhan ekonomi tinggi, pendapatan per kapita yang menjulang, daya saing hebat, dan ketimpangan pendapatan yang sangat rendah (Gini Rasio 0,25). Semoga kita belum telat untuk memulai ikhtiar mulia ini.



*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef

Tidak ada komentar: