Pemerintah hampir tiap tahun diuji oleh tuntutan kenaikan
upah buruh, yang selalu pelik penyelesaiannya. Pemerintah tentu harus
mengakomodasi kenaikan upah buruh sebab secara faktual kondisinya memang masih
mengenaskan, di luar alasan adaptasi dengan inflasi yang terjadi tiap tahun.
Namun, pemerintah tidak mungkin mengabulkan begitu saja karena harus berhitung
dengan kemampuan pengusaha menanggung tuntutan kenaikan upah tersebut. Situasi
ini bukan cuma dialami oleh Indonesia, tapi pada hampir seluruh negara. Di
Inggris, misalnya, buruh meminta kenaikan upah mencapai 20% menjadi 7,65
poundsterling/jam. Bahkan, di London buruh meminta kenaikan 25% sehingga
menjadi 8,80 poundsterling/jam (The Independent, 5/11/2013). Jadi, peristiwa
demonstrasi buruh tiap tahun yang terjadi di Indonesia bukan merupakan
perkecualian, bahkan di beberapa negara (seperti Perancis) tuntutan kenaikan
upah kerap diiringi dengan pemogokan hingga beberapa minggu.
Kewajiban yang Tak Ditunaikan
Secara khusus kenaikan upah merupakan hal yang lumrah karena
dua hal pokok. Pertama, biaya hidup yang berubah (meningkat) karena tekanan
inflasi. Oleh karena itu agar kualitas hidup tetap terjaga seperti semula, maka
peningkatan upah harus dilakukan. Jadi, pada dimensi ini kenaikan upah sekadar
untuk mengimbangi kenaikan ongkos kebutuhan hidup. Biasanya, pada sisi ini
kenaikan upah selalu mengacu kepada kenaikan inflasi yang terjadi. Pemerintah
biasa juga memakai patokan inflasi untuk menaikkan gaji pegawai negeri (PNS).
Kedua, memberikan ruang bagi peningkatan kesejahteraan untuk memerbaiki
kualitas hidup dan produktivitas. Seperti halnya petani, pedagang sektor
informal, nelayan, dan lain-lain; buruh adalah salah satu kelompok yang tingkat
kesejahteraannya rendah. Dengan meningkatkan upah lebih besar (di atas tingkat
inflasi), maka terbuka ruang bagi mereka memerbaiki produktivitas melalui
peningkatan gizi maupun akses terhadap pengetahuan (pendidikan/keterampilan).
Di luar dua aspek itu, kenaikan upah di Indonesia merupakan
hal yang niscaya karena selama ini standar penentuan upah menggunakan patokan
yang rendah sehingga tidak memenuhi kebutuhan hidup layak. Secara teoritis
masalah ini sebetulnya harus diselesaikan terlebih dulu sebelum dua hal di atas
dikerjakan. Pemerintah, buruh, dan pengusaha harus memutuskan “upah dasar” yang
mencerminkan standar kebutuhan hidup layak dengan variabel yang representatif
dan terukur. Tuntutan kenaikan upah yang akhir-akhir ini dianggap terlalu besar
sebenarnya berakar dari upah dasar sebelumnya yang dianggap sangat rendah
(karena memakai patokan kebutuhan hidup layak yang kurang laik). Jika titik
kritis ini dapat diatasi, maka sebetulnya penentuan upah buruh di masa depan
akan lebih mudah, yakni sekadar adaptasi atas kenaikan inflasi plus kenaikan
kesejahteraan. Ruang kenaikan kesejahteraan itu diambil dari variabel
pertumbuhan ekonomi tiap-tiap daerah, misalnya pada kisaran 5-7%.
Pola itu kelihatannya hanya membebani pengusaha, lantas apa
kewajiban yang harus dilakukan oleh buruh dan pemerintah? Kewajiban pokok buruh
adalah meningkatkan produktivitas setara dengan kenaikan upah. Tanpa kenaikan
produktivitas, kenaikan upah akan menenggelamkan perusahaan dalam daya saing
yang rendah sehingga tak dapat bertahan dalam jangka panjang, lebih-lebih dalam
era globalisasi. Bila skema ini yang terjadi, maka buruh justru akan dirugikan
pada masa depan. Sementara itu, pemerintah mesti mengerjakan tugas yang selama
ini nyaris ditelantarkan: menciptakan iklim usaha yang bagus, mengurangi rente
ekonomi (pungli), ongkos birokrasi yang rendah, dana investasi yang murah
(misalnya menekan bunga kredit), dan memerbaiki sistem logistik. Semua ini isu
lama tapi tak kunjung diperbaiki oleh pemerintah. Pengusaha mengeluh oleh
kenaikan upah bukan karena tak sanggup memikulnya, namun akibat beban yang
besar sebab pemerintah abai terhadap tugasnya.
Kesejahteraan Semesta
Lebih menukik lagi, sepatutnya pemerintah melihat persoalan
upah buruh dalam konteks yang lebih luas, yaitu dalam kerangka menciptakan
kesejahteraan semesta. Maksud dari kesejahteraan semesta lebih kurang paralel
dengan konsep negara kesejahteraan, yakni meningkatkan status kemanusiaan
secara menyeluruh sesuai mandat konstitusi. Problem utama di Indonesia saat ini
bukanlah meningkatkan pertumbuhan ekonomi, melainkan menurunkan disparitas
pendapatan. Kenaikan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita kurang
memiliki daya guna dalam konteks kesejahteraan semesta apabila ketimpangan
pendapatan meningkat. Artinya, ada bagian kelompok masyarakat tertentu yang
makin tertinggal dalam perolehan kesejahteraan (ekonomi). Seperti yang telah
disampaikan di muka, buruh merupakan salah satu kelompok yang selama ini
tertatih dalam mengejar ketertinggalan dengan kelompok ekonomi mapan lainnya, sehingga
soal kenaikan upah merupakan elemen vital dalam pencapaian tujuan kesejahteraan
semesta.
Tentu saja upah bukan merupakan satu-satunya instrumen yang
dipakai untuk menciptakan tatanan kesejahteraan semesta tersebut. Saat saya
berdiskusi dengan Prof. John Hassler (salah satu anggota komite penghargaan
Nobel Ekonomi) minggu lalu di Stockholm University, dia menyatakan bahwa konsep
negara kesejahteraan yang terpenting adalah peran negara yang besar dalam
belanja sosial, salah satunya pendidikan. Swedia merupakan negara yang anggaran
negaranya sangat besar (sekitar 30% terhadap PDB, sedangkan di Indonesia hanya
pada kisaran 12% dan habis untuk belanja birokrasi dan bayar utang), yang
sebagian besar untuk alokasi pendidikan, kesehatan, dan tunjangan sosial.
Dengan pendidikan dan kesehatan yang bagus, semua orang memiliki akses yang
sama untuk meraih pekerjaan yang laik dengan insentif upah yang tinggi. Inilah
yang menjadi kunci Swedia memeroleh pertumbuhan ekonomi tinggi, pendapatan per
kapita yang menjulang, daya saing hebat, dan ketimpangan pendapatan yang sangat
rendah (Gini Rasio 0,25). Semoga kita belum telat untuk memulai ikhtiar mulia
ini.
*Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef
Tidak ada komentar:
Posting Komentar