Jumat, 16 November 2007
INVISIBLE HAND
Mencermati kenaikan harga minyak yang terus melambung di pasaran dunia, ujung-ujungnya pembekakan terhadap subsidi pemerintah. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan Subsidi, sepanjang dilakukan dengan benar. Dalam artian Subsidi silang , dimana Kelompok yang lebih kaya dalam suatu negara memberikan subsidi kepada kelompok miskin dengan mekanisme Pajak. Kalo kita tengok perjalanan sejarah Indonesia setelah dijatuhkannya Presiden Sukarno, Maka mulailah era baru Kapitalisme di Indonesia. Modal-modal asing mulai masuk, dengan penolakan sebagian masyarakat di peristiwa MALARI, yang akhirnya ditangkapi semua Aktor Intelektualnya. Kemudian Deregulasi Perbankan yang membuat BANK bermunculan bagai jamur di musim kemarau. Puncaknya adalah krisis Keuangan di tahun 1998, di tengah ketakutan akan demontrasi besar-besaran akibat krisis tersebut, di undanglah IMF, digelarlah Karpet merah buat IMF tanpa reserve, karena dianggap membawa obat panacea yang mujarab buat Krisis keuangan tersebut. Tidak ada makan siang gratis buat IMF, Letter of intent harus ditanda tangani, yang berisi membuka pasar sebebas-bebasnya buat investor asing masuk di Indonesia. Memang ada nilai positivnya yaitu Transparansi dan Akuntabilitas BUMN dimasukkan sebagai syarat Pinjaman. Tetapi yang lainnya adalah membuka pasar selebar-lebarnya badi investor asing baik yang langsung maupun lewat bursa Saham, sebagai syarat dikucurkannya Pinjaman yang katanya "lunak". Mulailah Era kapitalisme semakin lebar, dengan Pasar sebagai panglimanya, Semua Perusahaan BUMN bisa dimiliki baik secara langsung maupun lewat pembelian saham. Telkomsel, Indosat, Bank Mandiri, BCA, Bank Danamon, dll, adalah sebagian contoh Perusahaan yang kepemilikannya sudah diamnbil oleh investor asing. Rakyat kecil dan masyarakat hanya bisa melihat hal ini dan terbengong-bengong saat laba yang dihasilkan tiap tahun diterbangkan ke Luar negeri. Mereka yang menganut paham kapitalisme, memang akan selalu mendukung tesis dari kapitalisme klasik maupun liberal, baik adam smith maupun keynes, yang menyatakan bahwa akan ada invisible hand bagi pasar yang efektif. Dimana dengan adanya kompetisi dan kompetensi, akan menghasilkan harga yang terbaik bagi konsumen dalam hal ini masyarakat. selanjutnya akan ada trickle down effect ( efek menetes ke bawah), sehingga rakyat bawah akan ikut merasakan manfaatnya. Akan tetapi setelah sekian tahun kita perjuangkan pasar terbuka, ternyata invisible handnya tidak menghasilkan trickle down effect bagi masyarakat, itu kalo kita lihat kesejahteraan masyarakat bawah sekarang ini. Seharusnya menurut penulis, harus kita ambil sisi positif dari kapitalisme yaitu transparansi dari pengelolaan sebuah perusahaan, akuntabilitas, good corporate governance ( tata kelola perusahaan yang baik), akan tetapi negara tetap harus mengatur pasar yang penuh ketidaksempurnaan. Entitas ekonomi yang menguasai hajat hidup masyarakat harus tetap dalam komando pemerintah, sesuai alternatif yang ditawarkan oleh anthony giddens dengan teori Jalan Tengahnya. Selain itu mekanisme pajak harus berjalan dalam koridor yang benar, sehingga bisa untuk membangun sarana dan prasarana, pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, dan menyantuni Fakir miskin. Telekomunikasi, minyak bumi, Air, listrik, dan sesuatu yang menguasai hajat masyarakat, harus dipegang pemerintah demi memberikan harga yang tepat, dimana masyarakat banyak tidak akan keberatan membelinya. kalau kita biarkan pasar berjalan dengan sendirinya akan terjadi pertarungan yang tidak seimbang, antara pemilik kapital besar dengan masyarakat bawah. Pemilik modal akan mendikte pasar sesuai harga yang ditetapkan, rakyat mau tidak mau harus tetap membelinya. Dan kalo itu kita biarkan sama saja dengan membiarkan rakyat menjadi penonton dalam gegap gempitanya kapitalisme pasar. Bagaikan kisah dalam Novel pemenang nobel, Hidup dalam 1000 tahun kesunyian.
Senin, 12 November 2007
Fatwa-Fatwa yang berhamburan.
Mengikuti silang sengketa yang katanya MUI adalah aliran sesat, Penulis merasa ada di sebuah negara yang tidak pernah "Selesai". Kalo meminjam tesis dari Benedict Anderson, bahwa sebuah negara adalah suatu Komunitas yang diangankan. Berarti komunitas yang kita angankan di negara ini jauh dari angan-angan yang ideal. Karena apa, dengan mudahnya Sebuah Entitas yang bernama MUI dengan mudahnya memberikan sebuah Fatwa yang bisa mengikat sebuah hukum tentang Aturan yang Menjadi Hak Asasi. Keyakinan dan Agama adalah salah satu Hak asasi dari manusia, ini sudah diratifikasi oleh negara kita. Alangkah baiknya kalo ada suatu Aliran kepercayaan atau Agama baru para Ketua dan Anggota MUI mengutamakan Dialog, dimana Dialog tersebut dilakukan dengan sistem yang beradab, duduk satu meja dengan melakukan argumentasi-argumentasi tanpa caci maki. Bukankah adalam teks Ayat Suci disebutkan Bahwa Rosulluloh Muhammad SAW diutus oleh Alloh SWT berdakwah dengan cara-cara yang elegan penuh etika, dan tugasnya hanya berdakwah, sedangkan urusan mau mengikuti ajaran-Nya atau tidak itu sudah urusan Alloh SWT, apabila menentukan masuk surga apa negara, itu betul-betul Hak Alloh SWT yang Absolut. Kalo memang ada unsur pidananya dalam artian meresahkan masyarakat, harus kita kaji dulu masyarakat yang mana? kalo sudah ada bukti kuat barulah aparat penegak hukum baru bergerak. Pertanyaan Penulis, kalo Fatwa MUI itu salah terus siapa yang berhak meluruskan dan Mengawasi Fatwa-fatwa MUI tersebut? Kalo tidak ada, berarti MUI memposisikan wakil Alloh di muka bumi Indonesia, apa Bisa? penulis hanya bisa b erucap Gusti Alloh ora sare. (Alloh SWT tidak pernah tidur).
Jumat, 09 November 2007
10 Nopember
Masihkah kita ingat tentang hari pahlawan? kalaupun kita ingat, bisakah kita memberikan makna tgl. 10 nopember sebagai hari pahlawan dan membuat relevansi dengan kehidupan kita sekarang? dalam kategori-kategori yang bagaimana seseorang bisa disebut pahlawan? Pertanyaan-pertanyaan demikian selalu memenuhi kalbu kita, saat 17 agustus, 28 oktober, ataupun 10 nopember. Kalo pahlawan kita persempit maknanya hanya mereka yang berjuang menghadapi penjajah, maka hanya mereka yang hidup di jaman penjajahan dan revolusi kemerdekaan yang berhak menyandang gelar tersebut, dan selesai sampai di sini. Akan tetapi, apabila pahlawan kita kontruksikan sebagai seseorang yang berjuang melawan ketidak adilan, kemiskinan, kerterbelakangan teknologi, pemerataan keadilan, peningkatan kecerdasan masyarakat, dan masalah-masalah yang aktual untuk kemakmuran rakyat, maka akan sangat relevan dengan kehidupan sekarang. Menurut pemerintah, generasi muda sekarang sudah mulai luntur rasa hormat dan kagum terhadap pahlawan bangsa, memperingati hari pahlawan hanya karena ada kewajiban di sekolah. Sudah saatnya pemerintah merubah acara-acara peringatan hari pahlawan dengan acara-acara yang tidak kering maknanya. misalnya memberikan perhargaan terhadap insan-insan pendidikan, pers, aktivis, musisi, ataupun pejuang Lingkungan yang tiada henti berjuang demi bangsa, dengan memberikan nama pahlawan bagi mereka. Karena kalo kita hanya memberikan makna pahlawan bagi mereka yang memegang senjata melawan penjajah, itu hanya akan berhenti sebagai mitos. Memang akan menjadi perdebatan yang panjang untuk menyematkan siapa yang akan diberi nama pahlawan zaman sekarang, akan tetapi kalo tidak dimulai sekarang, kapan lagi? menurut penulis, sebagai contoh seorang alm. gombloh pun bisa dikatakan pahlawan, karena lirik-lirik lagunya di kebyar-kebyar bisa memompa semangat nasionalisme, sebagaimana larik-larik puisinya Chairil Anwar. Seorang guru yang mengajar di pedalaman papua dengan berjalan kaki sekian puluh kilometer untuk sampai di sekolahnya, itupun bisa dikategorikan sebagai pahlawan. sehingga kontruksi pemikiran dari generasi muda bisa berkembang bahwa seorang pahlawan bukan hanya seseorang yang bergaya seperti Rambo.
Kamis, 08 November 2007
Sunset Generation.
Teringat lagunya Elpamas saat kuliah, "Pak Tua sudahlah, Engkau sudah terlihat lelah", Analogi dari liryc lagu tersebut sangat sesuai dengan kepemimpinan Indonesia Saat ini. Semua yang memimpin baik dari kalangan eksekutif, yudikatif, legislatif, bahkan Pilar keempat demokrasi yaitu pers dan non Goverment Organization pun dikuasai oleh Generasi Tua semua. Dari SBY, JK, Gus Dur, Mbak Mega, Hidayat Nur W, Ginanjar K, Bagir Manan, jacob utama, Adnan Buyung N, jenderal Joko S, dan masih banyak lainnya semua dari generasi tua. Bahkan saat deklarasi Komite Indonesia Bangkit yang digagas oleh Rizal Ramli berisi muka lama dan tokoh tua yang sudah punya kesempatan memimpin Indonesia. Pertanyaan yang timbul, jika dengan prestasi seperti ini, maka kenapa Young generationnya belum ada yang muncul? Apakah ini sudah merupakan grand design dari para tokoh tuanya, ataukah yang muda belum ada yang mau dan mampu? Menurut Penulis, Ini semua adalah kesalahan konsep kaderisasi di masa ORBA, baik pengkaderan di Parpol, pemerintahan, Militer, dan Ormas. Bukankah Bung karno dan Bung Hatta, Sjahrir, berikut bung-bung yang lain memimpin Indonesia di Usia Dibawah 50 tahun. Karena dalam ORBA sistem kaderisasi dengan metode urut kacang, yang senior meminpin dulu tanpa melihat kompentensi dan kapabilitasnya, maka generasi muda yang punya kompetensi tidak akan pernah muncul. Dilanjutnya sekarang ORDe yang katanya Reformasi ternyata sama juga, tidak memberi kesempatan ke generasi muda. harusnya dimulai Para generasi Tua, Bisa dari lembaga kepresidenan, mencoba memilih dari generasi muda untuk anggota kabinetnya, sekedar contoh Mohamad Chatib bisri dari UI itu khan ahli di bidang ekonomi, pemikiran-pemikirannya bagai matahari di musim kemarau, bisa dijadikan BAPPENAS. Terus Yudi Latif dari paramadina, Yenny Wahid, Patra m Zein, dan lain-lain. Dari Parpol juga harus mencoba memberikan tongkat estafet bagi para kader mudanya untuk memimpin. Bukankah di teks Ayat suci dikisahkan kepemimpinan: rasulluloh Muhammad SAW diangkat Rosul di usia 40 th. Terus ada kisah tentang Iskandar yang Agung atau Alexander the Great ( judul lagu dari Iron Maiden) menjadi panglima perang menaklukkan jazirah barat dan timur juga pada usia yang sangat muda, kisah ini di kisahkan juga di Al Qur'an. Konklusi yang bisa kita petik adalah sudah saatnya Generasi tua legowo menyerahkan ke generasi muda, yang muda pun penulis kira juga akan menghormati yang tua, masih kita perlukan advis dan wisdomnya. jangan sampai terjadi seperti di lagunya Slank, kaum muda berteriak dan menghardik : Generasi tua Minggir.........!
Rabu, 07 November 2007
Tetes embun
Kapan terakhir ada tetes embun?
Di mana sekarang?
Apakah hilang bersama Kesejukan hati?
Hilang bersama retaknya rasa toleransi,
Hilang bersama musnahnya Tradisi,
Hilang bersama kesucian visi,
Kehidupan lebih mementingkan makna yang artifisial,
Tanpa ada kedalaman arti,
Sampai kapan?
Di mana sekarang?
Apakah hilang bersama Kesejukan hati?
Hilang bersama retaknya rasa toleransi,
Hilang bersama musnahnya Tradisi,
Hilang bersama kesucian visi,
Kehidupan lebih mementingkan makna yang artifisial,
Tanpa ada kedalaman arti,
Sampai kapan?
Selasa, 06 November 2007
UMKM (Usaha mikro, kecil, dan Menengah)
Kemarin Presiden kita SBY mencanangkan Kredit untuk Rakyat dengan skim penjaminan. Dengan konsep yang sangat bombastis berharap semua rakyat bisa bankable (mempunyai akses ke dunia perbankan) tanpa memerlukan agunan yang harus diserahkan ke Bank karena sudah ada penjaminan dari pihak insurance. Pertanyaan yang menggelitik dalam hati, apakah di tataran konsep tersebut dengan mudah dapat cepat di eksekusi di tataran implementasinya. Sudahkah diperhitungkan aspek monitoring terhadap kemungkinan penyelewengan-penyelewengan terhadap dananya. Sejarah telah mengajarkan kepada kita bagaimana sebuah konsep pemberian kredit kepada UMKM dengan subsidi bunga seperti kredit kepada kelompok tani dan nelayan banyak yang macet, bukan karena itikad jelek dari petaninya, tetapi sudah didistorsi oleh para pengurus, konsultan, dan para pembuat kebijakannya. Belum lagi JPS yang syarat dengan muatan politis, BLT (bantuan langsung tunai) yang menimbulkan pro kontra dalam implementasinya. Dimana secara statistik jumlah orang miskin tidak menurun secara signifikan. Menurut penulis alangkah lebih baik kalo program-program seperti di atas dalam taraf implementasi juga disinergikan dengan pembukaan akses yang luas terhadap UMKM dalam pemasaran hasil produksinya. Selama ini jangankan akses menuju pasar, dalam hal sebuah informasi produkpun sudah terjadi informasi yang asimetris antara Pengusaha Kakap dan UMKM. Alangkah lebih baik kalo hasil produksi baik pertanian, perikanan, peternakan, kerajinan, dll difasilitasi oleh pemerintah bisa masuk ke Giant, carrefour, Hypermart, dll. Karena meskipun sudah bisa bankable dan dapat kredit, apabila sudah menghasilkan output produksi, mau dijual kemana? Kalau Pengusaha besar sudah menguasai semua rantai proses produksi dari hulu ke hilir(mulai bahan mentah distribusi, proses produksi, pemasaran produksi, semua milik satu grup perusahaan). Sehingga para pengusaha UMKM bisa menikmati hasil usahanya, tidak hanya menjadi Penonton di kelas festival dalam konser Pembangunan ini.
Senin, 05 November 2007
Penagihan kredit di Nias
Membaca di harian Kompas bebehari yang lalu, tentang bekas korban gempa nias yang masih ditagih Kreditnya oleh Bank BRI dan Bank BNI, saya sangat mengelus dada. Bagaimana mungkin korban yang sudah kehilangan tidak saja seluruh harta bendanya saja, tetapi sebagian nyawa dari keluarganya masih diuber-uber oleh pihak perbankan. Dimanakah kalbu dan hati nurani mereka baik dari jajaran lini maupun management perbankan tersebut. Seingat saya bahwa dalam aturan perbankan ada yang menyatakan bahwa sebuah pinjaman yang gagal bayar akan ditoleransi apabila ada hal-hal yang bersifat force majeur, dalam hal ini terjadi bencana di luar kekuasaan manusia. Bukankah ada mekanisme restrukturing dan resceduling dalam penyelesaiannya. Apakah penagihan yang dilakukan hanya mengejar target-target anggaran yang digariskan oleh kantor pusatnya? tidak bisakah para petugas lininya memberikan sebuah argumentasi? Kalau demikian benarlah teori dari Karl Marx kita munculkan untuk kejadian ini, bahwa kelas yang berkuasa dalam politik dan ekonomi hidup karena penghisapan oleh kelas yang lebih rendah. Alangkah bijaksananya kalo para management dari kedua Bank tersebut melakukan langkah kemanusiaan dengan menolong mereka meretrukturisasi dan menjadwalkan pembayaran kembali kredit para korban gempa tersebut. Sudah sewajarnya mulai sekarang Perbankan mulai menerapkan prinsip-prinsip "syariah" dalam arti sebenarnya. Dalam artian tidak hanya menyandang label Syariah di belakang nama Bank-nya, tapi menerapkanya juga. Salah satunya adalah Bank jangan hanya menerima bagi untungnya saja, tetapi juga harus menerima pembagian ruginya apabila usaha dari nasabah benar-benar rugi karena diluar kekuasannya. Suatu misal ya diatas tadi, korban gempa tidak mungkin tahu bahwa usaha mereka kolaps karena terjadi gempa, Mereka semua dalam proyeksi pembelanjaan kreditnya sudah benar semua, tapi karena ada bencana otomatis semua proyeksi jadi tidak ada artinya. Oleh karena itu mari kita kesampingkan dulu target-target yang membuat kita bagai memakai kacamata kuda, sudah saatnya kita bicara masalah humanisme universal.
Sabtu, 03 November 2007
aliran sesat
coba kita tanya dalam kalbu kita, yang paling dalam, bagaimana proses pencarian identitas sebuah agama yang kita miliki. apakah merupakan sebuah proses pencarian dari diri kita, ataukah hanya sebuah warisan dari orang tua kita. ini kita perlukan agar kita terutama hati dan pikiran kita tidak mudah untuk menghakimi sesuatu. mengutip ucapan pengarang besar milik bangsa ini Pramoedya ananta toer "bahwa kita harus adil sejak dalam pikiran'. kalo menurut saya keyakinan merupakan Hidayah dari ALLOH SWT kepada kita. jadi kalo ada sebuah keyakinan ataupun menamakan Agama yang baru, kita jangan dengan mudah menuduh itu merupakan aliran yang sesat, sepanjang itu dipakai para pemeluknya untuk beribadah dan menimbulkan kedamaian dan ketenangan para pemeluknya. Akan tetapi apabila pemeluk keyakinan dan agama baru tersebut sudah mulai memaksa dalam perekrutan jemaahnya ataupun menghalangi orang yang beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing, maka aparat pemerintah berhak untuk memproses secara hukum. jadi harus kita pisahkan antara keyakinan yang dimiliki masing-masing orang, dengan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum. Sehingga kita nantinya dapat hidup berdampingan dengan damai dalam sebuah masyarakat yang majemuk.
Langganan:
Postingan (Atom)