Dalam sebuah obrolan ringan di pangkalan ojek, seorang tukang ojek berkata :”BBM naik lagi”, terus tukang ojek lainnya barkata:”Ya mesti aja BBM khan singkatan dari Bolak balik mundak (Sering naik)”. Ada sebuah satire yang sublime, saat penulis mendengar obrolan tersebut. Mungkin terkesan guyon sekenanya, tapi itulah gambaran yang mereka ketahui, hanya sebatas itulah kemampuan masyarakat kita menyikapi kenaikan BBM baru-baru ini, dan itulah masyarakat terbanyak yang menghuni struktur kependudukan di Indonesia. Mereka tidak pernah tahu hitung-hitungan yang rumit tentang neraca APBN, subsidi, Harga minyak dunia, penghematan energy, kompensasi, dan lainnya. Dan inilah sebenarnya tugas kita bersama untuk membuat mereka jadi tahu ada apa dibalik kenaikan harga BBM.
Ada 2 kubu yang menurut penulis bersikap pro dan kontra dalam rencana kenaikan harga BBM, masing-masing punya argumentasi dan didukung data-data yang menurut mereka sama-sama sahih dan Valid, dengan tingkat presisi yang tinggi. Kubu pertama yang Pro diwakili oleh pemerintah dan para insan akademis yang mendukungnya. Sedangkan kubu kedua yang bersikap Kontra diwakili oleh mahasiswa dan didukung oleh para menteri yang pernah mencicipi nikmatnya kekeuasaan. Sedangkan sebenarnya ada kubu yang paling besar jumlahnya tapi tidak mempunyai akses untuk sekedar mengetahui apa yang terjadi, yaitu masyarakat awam yang menuruti apapun yang menjadi keputusan pemerintah.
Dari kubu pemerintah dalam beberapa hari menjelang kenaikan sering menampilkan alas an-alasan kenapa harga BBM harus dinaikkan beserta solusi praktis dalam pengurangan efek negative yang dirasakan masyarakat. Disebutkan harga minyak di pasaran dunia yang mencapai 125 US Dolar amerika per barel telah menjadikan subsidi jadi membengkak, karena kita masih jadi pengimpor minyak. Ini sebagai alas an pertama. Alas an yang kedua Subsidi tidak tepat sasaran, karena dari 113 trilyun rupiah nilai subsidi, 75 trilyun-nya diberikan kepada masyarakat kaya yang punya mobil pribadi, berarti hanya 40 % masyarakat kaya menikmati 70 % subsidi BBM.
Dari kubu yang Kontra kenaikan harga BBM memberikan data bahwa biaya Produksi untuk 1 barel minyak adalah 10 US Dolar amerika, apabila kita bisa menjual per barel 70 US Dolar di pasar domestic sudah berapa keuntungan yang di dapat, belum lagi kalau bisa diekspor 125 US Dolar amerika di pasar Internasional, berarti pada dasarnya tidak memerlukan Subsidi. Alas an yang kedua hanya berapa mobil pribadi yang dimiliki orang kaya dan sebenarnya yang memerlukan untuk pembelian BBM adalah benar-benar rakyat miskin yang hanya bisa naik angkutan umum, merekalah konsumen terbesar karena konsumsi terbesar pada BBM adalah terdapat pada angkutan UMUM. Sehingga memang sangat diperlukan harga BBM yang murah. Yang ketiga adalah akan adanya second Effect secara tidak langsung bila ada kenaikan BBM yaitu kenaikan harga-harga barang karena membengkaknya biaya produksi dan transportasi atas barang dan jasa, yang muaranya menjadi beban hidup masyarakat menjadi semakin berat.
Kembali kubu pertama yang pro memberikan argumentasi bahwa nantinya uang hasil penghematan subsidi akan digunakan untuk Bantuan kepada rakyat miskin dengan analogi di media massa :
1.Diberi ikan.
Yaitu memberikan bantuan langsung tunai, beras untuk rakyat miskin, bantuan operasional sekolah, dan jaminan kesehatan Masyarakat.
2. Diajari memancing.
Yaitu memberikan bimbingan kepada masyarakat dengan sarana program pendampingan untuk memberdayakan Usaha kecil dan menengah dalam mengelola usahanya.
3. Dibantu punya pancing dan perahu sendiri.
Dengan memberikan kredit kepada rakyat miskin berupa KUR (kredit untuk rakyat) 5 juta ke bawah tanpa agunan sama sekali, dan menurut versi pemerintah sudah tersalurkan 4 trilyun.
Sama-sama argumentative data dan alas an yang diberikan kedua kubu. Menurut penulis yang awam dan naïf dalam samudera ilmu ekonomi yang dalamnya tak terduga, ada beberapa alas an yang bisa dikompromikan dari kedua kubu.
Yang pertama, kita mulai dari segi produksi minyak, harusnya mulai sekarang kita optimalkan semua produksi kilang-kilang minyak yang ada, kita sesuaikan dengan kemampuan kapasitas produksi yang optimal. Kita buat aturan yang mendukung efisiensi biaya produksi, dipangkas biaya-biaya siluman yang tidak perlu, dibuat iklim usaha yang kondusif bebas dari Pungutan-pungutan liar, korupsi dan nepotisme. Untuk Kontrak kerja yang menguntungkan pihak asing kita negoisasi ulang dengan sharing laba yang saling menguntungkan seperti EXXON, MOBIL Oil, BP, dan lainnya. Sehingga kita bisa menjadi pengekspor minyak dan mendapatkan untung bila harga minyak naik di pasaran dunia. Sehingga kita tidak memerlukan subsidi lagi. Dan juga mulai dipikirkan untuk Konversi dan difersifikasi Energi alternative agar ketergantungan kepada BBM berkurang.
Yang kedua, langkah-langkah mulia yang direncanakan pemerintah sebagai pengentasan kemiskinan kita dukung sepenuhnya dengan cara ada pengawasan implementasi di lapangan sampai ke tingkat yang paling rendah, sehingga apa yang direncanakan akan sampai kepada masyarakat dengan efektif dan efisien. Menurut penulis analogi diberi ikan, diajari memancing, dan dibantu punya pancing dan perahu sendiri, masih ada tambahan lagi, yaitu diajari cara menjual ikan di pasar. Maksudnya adalah bagaimana mengajari rakyat untuk paham jalur distribusi dalam mekanisme pasar, bagaimana cara mengetahui perubahan harga, bagaimana cara mempunyai skill untuk pemasaran, semua itu sangat diperlukan.
Belajar dari masa lalu saat pemberian kredit dengan bunga lunak kepada petani dan nelayan yang kurang berhasil pada saat implementasinya, karena mereka yang sudah mendapat pancing, perahu, dan ikan tidak berhasil secara optimal menjual ikannya, karena tidak mengetahui jalur distribusi dan harga yang tepat, terutama adanya informasi yang asimetris mengenai disparitas harga. Maka setelah sekarang ada Program kredit tanpa Agunan dengan nama KUR (kredit untuk rakyat) ini, juga harus diberikan pasar oleh pemerintah beserta rantai distribusinya dengan harga yang tepat untuk output produksi dari UMKM tersebut, suatu misal memberikan kemudahan bagi pelaku UMKM masuk ke Supermarket-supermarket besar dalam menjual hasil produknya. Bisa ke Carrefour, Giant, Indomaret, Alfamart, dan sebagainya.
Dan yang perlu diperhatikan lagi adalah dalam program pemberdayaan dan pendampingan dari pengusaha besar kepada pengusaha kecil, haruslah di awali dengan niat yang betul-betul ikhlas untuk memberdayakan usahanya dan bukan dengan tujuan tersembunyi untuk menguasainya dan mengeksploitasi labanya.
Harga BBM sudah dinaikkan, dan kita berharap semoga program-program pengentasan kemiskinan yang direncanakan bisa berjalan optimal pada tahap ekskusi dan implementasinya. Kita doakan para pembuat kebijakan, terutama Ibu Sri Mulyani sebagai Menkeu yang setiap helai rambutnya bagaikan cahaya ilmu, bisa memberikan yang terbaik baik masyarakat Indonesia. AMIN.
Sabtu, 24 Mei 2008
Sabtu, 17 Mei 2008
100 tahun kebangkitan (kembali) Indonesia.
Dalam peringatan 100 tahun kebangkitan nasional 20 mei 2008, telah dilakukan dengan semarak di seluruh pelosok negeri, di lakukan di segala bidang kehidupan, mulai skala terkecil sampai skala terbesar yaitu di tingkat Negara. Ada yang melakukan dengan cara melakukan pameran seni rupa, pementasan teater, lomba menulis tentang kebangkitan nasional, dan ratusan seminar mulai tingkat local sampai tingkat nasional, dengan tema yang hampir sama tentang Re-Interpretasi Kebangkitan nasional setelah 100 tahun.
Dalam seminar-seminar yang berlangsung banyak materi-materi yang diseminarkan kebanyakan adalah tentang konsep, perencanaan, implementasi, metode, segala sesuatu yang berhubungan dengan kalkulasi, forecasting (peramalan), atau juga estimasi bagaimana seharusnya rebuilding (membangun kembali) Indonesia setelah diterpa krisis mulai 1998 sampai sekarang . saat peringatan kebangkitan nasional inilah momentum yang tepat untuk kembali bangkit dari segala krisis dan keterpurukan bangsa.
Menurut penulis, apabila sebuah dasar pemikiran untuk membuat bangsa ini bisa kembali bangkit dari krisis dikatakan sebagai sebuah titik nol, maka titik nol-nya adalah Toleransi. Dari titik nol inilah bisa kita buat garis ke segala arah yang nantinya akan berujung pada kesetaraan. Bukan sebagai sebuah toleransi yang pasif, tetapi lebih kepada toleransi aktif, dimana saling dikembangkan sebuah budaya saling percaya, mengakui adanya perbedaan baik agama, ras, etnis, budaya, suku, dan lainnya, sehingga setiap permasalahan yang paling elementer sekalipun bisa diselesaikan dengan mengedepankan sebuah dialog.
Setiap masyarakat harus menyadari bahwa Negara Indonesia dengan Pancasila dasarnya adalah sebuah Negara yang sudah final, Negara yang terbentuk dengan berbagai macam agama, suku, budaya, ras, etnis, dan keragaman lainnya, yang sudah dirumuskan dengan tepat oleh The Founding Father’s kita di masa lalu. Dengan menyadari hal yang demikian, maka sudah tidak perlu lagi untuk membuat sebuah Negara agama. Nilai-nilai yang ada pada agama hendaknya kita masukkan ‘Roh”-nya dalam penerapan hukum yang menjunjung tinggi nilai keadilan apapun agama kita.
Kita bisa ambil sebuah contoh dari peristiwa hijrah-nya nabi Muhammad SAW, dimana kaum Muhajirin yang bersama nabi dari mekah bisa berbaur dengan kaum anshor yang ada di madinah, karena nabi berusaha untuk “Mempersaudarakan” yang luas maknanya; yaitu dalam konteks transaksi cultural, sosiologis, politis, dan perbedaan lainnya. Kalupun ada friksi-friksi selalu diselesaikan dengan cara-cara dialog yang elegan. Di Indonesiapun, kalau kita selalu berpikir tentang keutamaan toleransi maka akan timbul rasa saling percaya dan kebersamaan. Baik antara sesame masyarakat, yang berlainan agama, berlainan suku, budaya , dan etnis, dan juga rasa percaya dan kebersamaan antara rakyat dan pemerintah-nya.
Kita sering lihat bahwa untuk menjadi “Togetherness” tidaklah mudah tetapi dengan selalu mengembangkan toleransi aktif maka penulis yakin, kebersamaan dan rasa saling percaya akan terwujud. Dalam skala yang tinggi di pemerintahan sering juga kita lihat, apa yang sudah menjadi keputusan dalam sebuah rapat cabinet dan disepakati bersama tetapi dalam tingkat eksekusi dan implementasinya saat membutuhkan koordinasi antara level atas dengan terendah sulit untuk diterapkan. Hal ini karena tidak ada rasa saling percaya dan kebersamaan bahwa kita hidup di bumi yang sama yaitu Indonesia.
Dalam criteria pemilihan kepemimpinan pun baik dari tingkat desa sampai kepala Negara hendaknya kita juga tetapkan tidak ada syarat-syarat primordialisme-nya, tidak ada syarat diskriminatifnya dalam agama, ras, suku, budaya dan lainnya.menurut penulis criteria kepemimpinan haruslah memuat criteria-kriteria obyektif yang ada, dimana secara sederhana ada tiga dimensi yang diperlukan, yaitu; Kejernihan Qolbu (hati), kecerdasan pikiran, dan keberanian mental. Tanpa memandang dari agama, suku, ras, budaya dan lainnya. Jika pemimpin hanya memiliki kejernihan qolbu, tanpa punya kecerdasan intelektual, dan keberanian mental maka tidak akan pernah bisa memujuddkan konsep-konsep yang sudah disepakati bersama.
Demikian juga apabila pemimpin hanya punya kecerdasan dan keberanian, tanpa adanya kejernihan qolbu maka akan menjadi sebuah rezim yang dictator dan otoriter. Dengan demikian tiga criteria tersebut lah yang menjadi acuan untuk memilih pemimpin kita. Memang tidak ada manusia sempurnya tetapi setidaknya kita sudah membuat sebuah formula cara pemilihan kepemimpinan yang baik, dan dengan dibuatkan Undang-undang dalam pemerintahan maka akan meminimalkan resiko pemimpin yang tidak peka pada rakyatnya.
Rasa Simpati, empati satu sama lain, persaudaraan, kebersamaan, solidaritas merupakan wujud dari sikap toleransi yang kita miliki, ini merupakan modal social yang harus dikembangkan secara aktif. Dengan demikian segala keputusan yang dibuat dalam rangka membangun bangsa ini haruslah didasari rasa toleransi ini, kita semua baik rakyat kecil, pengusaha, penguasa, kaum kelas menengah semua mempunyai hak yang sama untuk menikmati hasil pembangunan.
Dalam memperingati kebangkitan nasional ini ada sebuah kalimat yang bernada perenungan :
“rasa sakit dari krisis suatu bangsa itu hanya berlansung sementara: bisa dalam 1 jam, satu hari, satu tahun, atau satu dasawarsa, Namun, jika kita menyerah, rasa sakit itu akan terasa selamanya”
Selamat 100 tahun kebangkitan nasional, semoga bangsa ini bisa memakmurkan warganya. AMIN.
Dalam seminar-seminar yang berlangsung banyak materi-materi yang diseminarkan kebanyakan adalah tentang konsep, perencanaan, implementasi, metode, segala sesuatu yang berhubungan dengan kalkulasi, forecasting (peramalan), atau juga estimasi bagaimana seharusnya rebuilding (membangun kembali) Indonesia setelah diterpa krisis mulai 1998 sampai sekarang . saat peringatan kebangkitan nasional inilah momentum yang tepat untuk kembali bangkit dari segala krisis dan keterpurukan bangsa.
Menurut penulis, apabila sebuah dasar pemikiran untuk membuat bangsa ini bisa kembali bangkit dari krisis dikatakan sebagai sebuah titik nol, maka titik nol-nya adalah Toleransi. Dari titik nol inilah bisa kita buat garis ke segala arah yang nantinya akan berujung pada kesetaraan. Bukan sebagai sebuah toleransi yang pasif, tetapi lebih kepada toleransi aktif, dimana saling dikembangkan sebuah budaya saling percaya, mengakui adanya perbedaan baik agama, ras, etnis, budaya, suku, dan lainnya, sehingga setiap permasalahan yang paling elementer sekalipun bisa diselesaikan dengan mengedepankan sebuah dialog.
Setiap masyarakat harus menyadari bahwa Negara Indonesia dengan Pancasila dasarnya adalah sebuah Negara yang sudah final, Negara yang terbentuk dengan berbagai macam agama, suku, budaya, ras, etnis, dan keragaman lainnya, yang sudah dirumuskan dengan tepat oleh The Founding Father’s kita di masa lalu. Dengan menyadari hal yang demikian, maka sudah tidak perlu lagi untuk membuat sebuah Negara agama. Nilai-nilai yang ada pada agama hendaknya kita masukkan ‘Roh”-nya dalam penerapan hukum yang menjunjung tinggi nilai keadilan apapun agama kita.
Kita bisa ambil sebuah contoh dari peristiwa hijrah-nya nabi Muhammad SAW, dimana kaum Muhajirin yang bersama nabi dari mekah bisa berbaur dengan kaum anshor yang ada di madinah, karena nabi berusaha untuk “Mempersaudarakan” yang luas maknanya; yaitu dalam konteks transaksi cultural, sosiologis, politis, dan perbedaan lainnya. Kalupun ada friksi-friksi selalu diselesaikan dengan cara-cara dialog yang elegan. Di Indonesiapun, kalau kita selalu berpikir tentang keutamaan toleransi maka akan timbul rasa saling percaya dan kebersamaan. Baik antara sesame masyarakat, yang berlainan agama, berlainan suku, budaya , dan etnis, dan juga rasa percaya dan kebersamaan antara rakyat dan pemerintah-nya.
Kita sering lihat bahwa untuk menjadi “Togetherness” tidaklah mudah tetapi dengan selalu mengembangkan toleransi aktif maka penulis yakin, kebersamaan dan rasa saling percaya akan terwujud. Dalam skala yang tinggi di pemerintahan sering juga kita lihat, apa yang sudah menjadi keputusan dalam sebuah rapat cabinet dan disepakati bersama tetapi dalam tingkat eksekusi dan implementasinya saat membutuhkan koordinasi antara level atas dengan terendah sulit untuk diterapkan. Hal ini karena tidak ada rasa saling percaya dan kebersamaan bahwa kita hidup di bumi yang sama yaitu Indonesia.
Dalam criteria pemilihan kepemimpinan pun baik dari tingkat desa sampai kepala Negara hendaknya kita juga tetapkan tidak ada syarat-syarat primordialisme-nya, tidak ada syarat diskriminatifnya dalam agama, ras, suku, budaya dan lainnya.menurut penulis criteria kepemimpinan haruslah memuat criteria-kriteria obyektif yang ada, dimana secara sederhana ada tiga dimensi yang diperlukan, yaitu; Kejernihan Qolbu (hati), kecerdasan pikiran, dan keberanian mental. Tanpa memandang dari agama, suku, ras, budaya dan lainnya. Jika pemimpin hanya memiliki kejernihan qolbu, tanpa punya kecerdasan intelektual, dan keberanian mental maka tidak akan pernah bisa memujuddkan konsep-konsep yang sudah disepakati bersama.
Demikian juga apabila pemimpin hanya punya kecerdasan dan keberanian, tanpa adanya kejernihan qolbu maka akan menjadi sebuah rezim yang dictator dan otoriter. Dengan demikian tiga criteria tersebut lah yang menjadi acuan untuk memilih pemimpin kita. Memang tidak ada manusia sempurnya tetapi setidaknya kita sudah membuat sebuah formula cara pemilihan kepemimpinan yang baik, dan dengan dibuatkan Undang-undang dalam pemerintahan maka akan meminimalkan resiko pemimpin yang tidak peka pada rakyatnya.
Rasa Simpati, empati satu sama lain, persaudaraan, kebersamaan, solidaritas merupakan wujud dari sikap toleransi yang kita miliki, ini merupakan modal social yang harus dikembangkan secara aktif. Dengan demikian segala keputusan yang dibuat dalam rangka membangun bangsa ini haruslah didasari rasa toleransi ini, kita semua baik rakyat kecil, pengusaha, penguasa, kaum kelas menengah semua mempunyai hak yang sama untuk menikmati hasil pembangunan.
Dalam memperingati kebangkitan nasional ini ada sebuah kalimat yang bernada perenungan :
“rasa sakit dari krisis suatu bangsa itu hanya berlansung sementara: bisa dalam 1 jam, satu hari, satu tahun, atau satu dasawarsa, Namun, jika kita menyerah, rasa sakit itu akan terasa selamanya”
Selamat 100 tahun kebangkitan nasional, semoga bangsa ini bisa memakmurkan warganya. AMIN.
Minggu, 11 Mei 2008
WAKTU
Dalam sebuah novel fisika-nya alan lightman yang berjudul Einstein’s dreams (mimpi-mimpi Einstein), ada sebuah paragraph yang sangat menarik :
“Andaikan waktu adalah suatu lingkaran, yang mengitari dirinya sendiri. Demikian juga dunia, akan selalu mengitari dirinya sendiri, orang tidah tahu, bahwa setiap saat dia menjalani kehidupan mereka kembali. Pedagang tidak merasa bahwa mereka akan saling menawar lagi dan lagi. Politikus tidak tahu bahwa mereka akan berseru dari mimbar berulang-ulang dalam putaran waktu. Orang tua menikmati sepuas-puasnya tawa pertama anak-anak mereka seolah-olah tak akan mendengar lagi. Sepasang suami istri yang pertama kali bermain cinta malu-malu melepas busana, mereka semua tidak tahu bahwa akan terulang lagi tanpa henti, persis sebelumnya.”
Lalu kemana sebenarnya perginya waktu? Kenapa yang tersisa hanya kenangan-kenangan yang bagai kerak di dasar sungai, yang mengendap dalam pikiran kita, menunggu hujan yang akan melarutkannya. Kapan saat ini menjadi masa lalu, dan kemana perginya masa lalu. Kalau Al-Ghozaly menyatakan bahwa hal yang paling jauh dari kita adalah masa lalu, tetapi ada juga pepatah yang menyatakan bahwa seseorang yang lupa akan masa lalunya akan ditakdirkan untuk mengulanginya.
Dalam Teks Ayat suci disebutkan bahwa malaikat jibril menuju langit ke-7 hanya sekelebat yang takarannya adalan 50 tahun waktu bumi, dengan demikian sangatlah benar bahwa waktu adalah relative, tergantung kecepatan kita mengarunginya. Dan waktu adalah penanda sebuah peristiwa, dimana kadang terjadi secara berulang-ulang. Peristiwa yang sedetik telah lewat akan menjadi sebuah kenangan. Peristiwa , sekali terjadi akan kehilangan sebuah realitas. Yang tertinggal adalah bagaimana kita memberi makna dan mengambil hikmah dari sebuah peristiwa yang kita lalui.
Menurut penulis setiap kali kita mengalami sebuah peristiwa apapun pada diri kita, kegembiraan, kesedihan, duka, cinta, bahagia, tangis, tawa, semua fenomena yang ada, paling tidak kita harus bisa mengambil hikmah atau mendapatkan suatu hal-hal yang baru sebagai bekal kehidupan kita selanjutnya dalam mengarungi samudra waktu. Sebuah peristiwa bisa kita jadikan sebagai sebuah jawaban dari rasa penasaran dan kebelumtahu-an kita. Sebagai suatu misal kenapa kita harus merasakan Jatuh cinta, karena sebagai jawaban dari rasa penasaran keingintahuan kita tentang jatuh cinta. Kenapa harus ada air mata yang jatuh saat kesedihan, biar kita bisa berempati atau bahasa jawa-nya tepo sliro (merasakan penderitaan orang lain), dan peristiwa-peristiwa lainnya yang bisa menjawab kebelumtahuan kita.
Sebuah peristiwa bisa dijadikan sebagai pencerahan bagi kita, bisa menimbulkan sebuah inspirasi baru untuk mencipta sesuatu. Peristiwa jatuhnya sebuah apel dari pohon, menjadikan seorang Newton, cukup untuk menemukan sebuah teori gravitasi. Sebuah bencana akan memberikan pencerahan bagi kita untuk kembali menyerahkan semuanya pada Tuhan setelah berbagai macam ikhtiar yang kita lakukan. Semua berpulang pada kita untuk memaknai sebuah peristiwa yang terjadi.
Sebuah peristiwa bisa juga digunakan sebagai pembuktian atau penguatan Pendapat yang telah kita miliki dan kita yakini. Kejadian-kejadian yang bermakna spiritual biasanya sudah kita yakini sebelumnya apapun agama dan keyakinan kita. Suatu misal peristiwa Isra’ dan Mi’raj Rasulullah SAW yang kalo dilihat hanya dengan “Ilmiah semata” akan terasa controversial. Tetapi kalo sudah ada keyakinan sebelumnya, peristiwa tersebut akan menguatkan pendapat yang telah kita yakini tentang keAgungan Tuhan. Memang ada kalanya, suatu peristiwa dengan mudah dapat dijelaskan melalui ilmu pengetahuan dan tekhnologi, tetapi masih banyak juga ilmu pengetahuan dan tekhnologi belum mampu menguak hakikat dari suatu peristiwa. Bidang inilah sebenarnya yang harus menjadi tantangan bagi kita semua untuk selalu iqro’ (membaca), berpikir, dan bekerja keras dalam rangka ikhtiar untuk memahami peristiwa-peristiwa yang oleh Tuhan sengaja diciptakan untuk meningkatkan derajat keilmuan kita. Pada akhirnya hasil dari Ikhtiar kita harus bermuara pada semakin kuatnya keyakinan kita akan KeAgungan Tuhan.
Waktu dan peristiwa tergantung bagaimana kita memaknainya, bisa berjalan terasa lambat atau cepat yang semuanya akan melahirkan kenangan. Saat kita menantikan sesuatu yang kita harapkan, waktu bisa sedemikian lambat-nya, ada kalanya waktu seakan bergerak sangat cepat yang kita serasa ingin menahannya sedetik saja, saat-saat terindah yang kita miliki.
Demikianlah waktu, maka menurut penulis apa yang ditulis seniman besar kita, yang pernah meninggal di usia masih muda Chairil Anwar dalam sebait Puisinya:
“Hidup hanya menunda kekalahan”.
Bukan sebagai sebuah pesimisme dalam menghadapi hidup, tetapi lebih kepada kepasrahan kepada sang Pencipta bahwa pada akhirnya kita akan dikalahkan oleh usia dan Waktu.
Ya pada akhirnya…………………………………………………………………………………………………………………………………
“Andaikan waktu adalah suatu lingkaran, yang mengitari dirinya sendiri. Demikian juga dunia, akan selalu mengitari dirinya sendiri, orang tidah tahu, bahwa setiap saat dia menjalani kehidupan mereka kembali. Pedagang tidak merasa bahwa mereka akan saling menawar lagi dan lagi. Politikus tidak tahu bahwa mereka akan berseru dari mimbar berulang-ulang dalam putaran waktu. Orang tua menikmati sepuas-puasnya tawa pertama anak-anak mereka seolah-olah tak akan mendengar lagi. Sepasang suami istri yang pertama kali bermain cinta malu-malu melepas busana, mereka semua tidak tahu bahwa akan terulang lagi tanpa henti, persis sebelumnya.”
Lalu kemana sebenarnya perginya waktu? Kenapa yang tersisa hanya kenangan-kenangan yang bagai kerak di dasar sungai, yang mengendap dalam pikiran kita, menunggu hujan yang akan melarutkannya. Kapan saat ini menjadi masa lalu, dan kemana perginya masa lalu. Kalau Al-Ghozaly menyatakan bahwa hal yang paling jauh dari kita adalah masa lalu, tetapi ada juga pepatah yang menyatakan bahwa seseorang yang lupa akan masa lalunya akan ditakdirkan untuk mengulanginya.
Dalam Teks Ayat suci disebutkan bahwa malaikat jibril menuju langit ke-7 hanya sekelebat yang takarannya adalan 50 tahun waktu bumi, dengan demikian sangatlah benar bahwa waktu adalah relative, tergantung kecepatan kita mengarunginya. Dan waktu adalah penanda sebuah peristiwa, dimana kadang terjadi secara berulang-ulang. Peristiwa yang sedetik telah lewat akan menjadi sebuah kenangan. Peristiwa , sekali terjadi akan kehilangan sebuah realitas. Yang tertinggal adalah bagaimana kita memberi makna dan mengambil hikmah dari sebuah peristiwa yang kita lalui.
Menurut penulis setiap kali kita mengalami sebuah peristiwa apapun pada diri kita, kegembiraan, kesedihan, duka, cinta, bahagia, tangis, tawa, semua fenomena yang ada, paling tidak kita harus bisa mengambil hikmah atau mendapatkan suatu hal-hal yang baru sebagai bekal kehidupan kita selanjutnya dalam mengarungi samudra waktu. Sebuah peristiwa bisa kita jadikan sebagai sebuah jawaban dari rasa penasaran dan kebelumtahu-an kita. Sebagai suatu misal kenapa kita harus merasakan Jatuh cinta, karena sebagai jawaban dari rasa penasaran keingintahuan kita tentang jatuh cinta. Kenapa harus ada air mata yang jatuh saat kesedihan, biar kita bisa berempati atau bahasa jawa-nya tepo sliro (merasakan penderitaan orang lain), dan peristiwa-peristiwa lainnya yang bisa menjawab kebelumtahuan kita.
Sebuah peristiwa bisa dijadikan sebagai pencerahan bagi kita, bisa menimbulkan sebuah inspirasi baru untuk mencipta sesuatu. Peristiwa jatuhnya sebuah apel dari pohon, menjadikan seorang Newton, cukup untuk menemukan sebuah teori gravitasi. Sebuah bencana akan memberikan pencerahan bagi kita untuk kembali menyerahkan semuanya pada Tuhan setelah berbagai macam ikhtiar yang kita lakukan. Semua berpulang pada kita untuk memaknai sebuah peristiwa yang terjadi.
Sebuah peristiwa bisa juga digunakan sebagai pembuktian atau penguatan Pendapat yang telah kita miliki dan kita yakini. Kejadian-kejadian yang bermakna spiritual biasanya sudah kita yakini sebelumnya apapun agama dan keyakinan kita. Suatu misal peristiwa Isra’ dan Mi’raj Rasulullah SAW yang kalo dilihat hanya dengan “Ilmiah semata” akan terasa controversial. Tetapi kalo sudah ada keyakinan sebelumnya, peristiwa tersebut akan menguatkan pendapat yang telah kita yakini tentang keAgungan Tuhan. Memang ada kalanya, suatu peristiwa dengan mudah dapat dijelaskan melalui ilmu pengetahuan dan tekhnologi, tetapi masih banyak juga ilmu pengetahuan dan tekhnologi belum mampu menguak hakikat dari suatu peristiwa. Bidang inilah sebenarnya yang harus menjadi tantangan bagi kita semua untuk selalu iqro’ (membaca), berpikir, dan bekerja keras dalam rangka ikhtiar untuk memahami peristiwa-peristiwa yang oleh Tuhan sengaja diciptakan untuk meningkatkan derajat keilmuan kita. Pada akhirnya hasil dari Ikhtiar kita harus bermuara pada semakin kuatnya keyakinan kita akan KeAgungan Tuhan.
Waktu dan peristiwa tergantung bagaimana kita memaknainya, bisa berjalan terasa lambat atau cepat yang semuanya akan melahirkan kenangan. Saat kita menantikan sesuatu yang kita harapkan, waktu bisa sedemikian lambat-nya, ada kalanya waktu seakan bergerak sangat cepat yang kita serasa ingin menahannya sedetik saja, saat-saat terindah yang kita miliki.
Demikianlah waktu, maka menurut penulis apa yang ditulis seniman besar kita, yang pernah meninggal di usia masih muda Chairil Anwar dalam sebait Puisinya:
“Hidup hanya menunda kekalahan”.
Bukan sebagai sebuah pesimisme dalam menghadapi hidup, tetapi lebih kepada kepasrahan kepada sang Pencipta bahwa pada akhirnya kita akan dikalahkan oleh usia dan Waktu.
Ya pada akhirnya…………………………………………………………………………………………………………………………………
Minggu, 04 Mei 2008
Di Bawah Matahari Yang Sama
Judul diatas penulis ambil dari judul lagu grup music asal Jerman SCORPION dengan Judul “Under the same sun”. Sebagai Pengingat kepada kita semua khususnya pemimpin-pemimpin kita bahwa Kita hidup dalam Negara Indonesia, menghuni tanah air yang sama, dan Di bawah Matahari yang sama,sehingga harus berusaha sekuat tenaga untuk bersikap adil kepada seluruh warga Negara Indonesia.Saat-saat seperti sekarang memang dibutuhkan sebuah kebijaksanaan yang tinggi bagi para pemimpin kita yang sebentar lagi akan ada Pemili di 2009. Saat Dimana harga BBM di tingkat dunia semakin tinggi harganya yang mau tidak mau pemerintah juga harus menaikkan harga BBM di dalam Negeri.
Berbicara tentang kebutuhan dan pemenuhan kebutuhan apalgi tentang kepuasan bagi manusia memang tidak akan pernah ada habisnya. Karena pada dasarnya menurut Psikolog Abraham maslow tentang Teori pemuasan kebutuhan, dimana Hirarki kebutuhan manusia dimulai dari yang paling rendah, yaitu Pangan, Sandang, papan, terus ke tingkat rasa aman, dilanjutkan dengan kebutuhan akan interaksi social, lalu self esteem, dan terakhir adalah aktualisasi diri. Bagi seorang Pemimpin yang bijaksana harus bisa menyediakan kebutuhan dasar rakyatnya, pangan, sandang, dan papan dengan menjalankan sebuah program pembangunan yang bisa mencapai Tujuan tersebut.
Dalam hal ini ada sebuah kata bijak bagi seorang Pemimpin bahwa jadilah sekeras batu dalam mendidik diri sendiri, dan jadilah selembut air dalam melayani orang lain. Dalam hal ini penulis sempat tercengang saat membaca berita “ada 3 menteri dan ratusan pengusaha kelas kakap hadir di singapura untuk menghadiri acara pernikahan seorang konglomerat Indonesia, dengan Disuguhkan berlian-berlian superlangka”. Demikiankah cara seorang pejabat dan pemimpin dalam pemenuhan kebutuhan akan Self esteem dan aktualisasi diri mereka. Kenapa hanya mengacu pada satu ukuran yang bernama financial semata untuk mendapatkan kepuasan akan aktualisasi diri.
Di satu sisi kita lihat kehidupan di Pedesaan atau di pinggiran kota hanya menonton gemerlap sebuah mall, dimana ada sebuah gerai kopi dari amerika yang harga secangkir kopi sama dengan Hasil kerja mereka satu hari penuh baik di sawah maupun di jalanan. Bagaimana kita menjawab semua Paradoks ini. Sudah saatnya para pemimpin dan pengatur negeri kita tercinta ini, mengubah paradigm mereka semua, bahwa untuk membuat mereka terpenuhi kebutuhan level tertingginya pada self esteem dan Aktualisasi diri, bukan dari segi financial atau kekayaan materi semata, tetapi kepada seberapa besar kontribusi yang diberikan kepada bangsa dan Negara ini.
Abraham Lincoln, presiden Amerika penghapus perbudakan di Amerikan, terkenal dengan Ucapanya:”Apa yang sudah anda sumbangkan kepada Negara Ini?” itulah pertanyaan yang selalu ada dalam kalbu masing-masing pemimpin, pejabat, pegawai, dosen, guru, dan semua warga Negara Indonesia, Apa kontribusi yang sudah saya berikan pada negeri ini? Kalo kita sudah punya niat yang kuat maka apapun kontribusinya, seberapa pun besarnya, kepada lembaga terkecilpun mulai dari keluarga, Rukun Tetangga, Perusahaan Kita, bahkan Negara, dan kita sudah melakukannya dengan baik, maka kita akan merasa sangat “Kaya” dan sudah bisa duduk dalam level aktualisasi diri dalam diagram Maslow.
Dalam sebuah berita di Televisi, ada seorang guru di daerah terpencil yang rela menjadi guru honorer dengan gaji di bawah Rp. 300 ribu sebulan, Dia mengajar, mendidik murid-murid-nya dengan tekun dan tanggung jawab, meskipun harus dengan mencari kerja sampingan sebagai tukang Ojek, agar besuk masih bisa makan, sebuah perjuangan yang berat memang, Tapi dalam hal Kontribusi-nya dalam bidang Pendidikan adalah sangat tinggi, dan dia tidak perlu kaya setingkat menteri untuk mendapatkan self esteem dan aktualisasi diri. Ada sebuah pelajaran ataupun hikmah yang bisa kita ambil, bahwa aktualisasi diri tidaklah memerlukan sebuah kekayaan materi saja, dia bisa datang dari siapa saja, tanpa melihat pangkat, kekayaan, pangkat, dan jabatan.
Dalam sebuah Milis di antara teman-teman penulis, di mana Milis tersebut berisi dari satu alumni Matematika Universitas Brawijaya Malang, dengan latar pekerjaannya yang beragam, dalam setiap hari email yang masuk selalu berisi hal-hal sederhana, mungkin tentang tempat makan yang enak, kadang laporan sebuah perjalanan, membeli sebuah rumah baru, bagaimana menjadi ibu baru, kadang juga penulis ajak untuk menceritakan bagaimana bisa bertemu dengan Suami atau istri mereka sekarang.
Dalam milis tersebut, ada yang penulis tangkap bahwa dengan hanya menceritakan hal-hal yang sederhana, kadang bahkan ada seorang yang dulu naksir seseorang, tapi tidak mendapatkannya, karena yang ditaksir justru senang sama perantaranya, diceritakan dengan lepas dalam milis tersebut, menggambarkan bahwa dengan hal yang sangat sederhana akan terjadi apresiasi yang mendalam terhadap sebuah persahabatan. Persahabatan yang tidak akan pernah bisa digantikan uang.
Dari mils sederhana tersebut ada sebuah pelajaran yang tidak kita dapatkan saat kuliah bahwa tidak selamanya harta yang berlimpah membuat orang merasa “Kaya”. Kekayaan akan Pengetahuan, kekayaan akan Pesaraan empati terhadap penderitaan, Kekayaan akan kreatifitas, kekayaan akan kasih sayang ke sesame, ternyata bisa menjadikan kita semua berada pada level Aktualisasi Diri.
Sudah selayaknya para pemimpin yang ada di negeri ini baik dari tingkat terendah sampai tertinggi, mempelajari hal-hal yang sederhana ini, daripada membuat slogan-slogan yang bombastis yang sulit untuk mewujudkannya.ada sebuah Ilustrasi yang memikat dari seorang Sufi besar milik dunia EL Jalalludin Rumi tentang kehidupan:
“Hidup ini bagaikan bawang merah, di luarnya tampak kusam dan berdebu, begitu kita mulai iris perlahan, akan muncul warna putih, semakin dalam kita iris akan semakin putih…dan semakin putih,…dan pada akhirnya hanya tersisa air mata.”
Berbicara tentang kebutuhan dan pemenuhan kebutuhan apalgi tentang kepuasan bagi manusia memang tidak akan pernah ada habisnya. Karena pada dasarnya menurut Psikolog Abraham maslow tentang Teori pemuasan kebutuhan, dimana Hirarki kebutuhan manusia dimulai dari yang paling rendah, yaitu Pangan, Sandang, papan, terus ke tingkat rasa aman, dilanjutkan dengan kebutuhan akan interaksi social, lalu self esteem, dan terakhir adalah aktualisasi diri. Bagi seorang Pemimpin yang bijaksana harus bisa menyediakan kebutuhan dasar rakyatnya, pangan, sandang, dan papan dengan menjalankan sebuah program pembangunan yang bisa mencapai Tujuan tersebut.
Dalam hal ini ada sebuah kata bijak bagi seorang Pemimpin bahwa jadilah sekeras batu dalam mendidik diri sendiri, dan jadilah selembut air dalam melayani orang lain. Dalam hal ini penulis sempat tercengang saat membaca berita “ada 3 menteri dan ratusan pengusaha kelas kakap hadir di singapura untuk menghadiri acara pernikahan seorang konglomerat Indonesia, dengan Disuguhkan berlian-berlian superlangka”. Demikiankah cara seorang pejabat dan pemimpin dalam pemenuhan kebutuhan akan Self esteem dan aktualisasi diri mereka. Kenapa hanya mengacu pada satu ukuran yang bernama financial semata untuk mendapatkan kepuasan akan aktualisasi diri.
Di satu sisi kita lihat kehidupan di Pedesaan atau di pinggiran kota hanya menonton gemerlap sebuah mall, dimana ada sebuah gerai kopi dari amerika yang harga secangkir kopi sama dengan Hasil kerja mereka satu hari penuh baik di sawah maupun di jalanan. Bagaimana kita menjawab semua Paradoks ini. Sudah saatnya para pemimpin dan pengatur negeri kita tercinta ini, mengubah paradigm mereka semua, bahwa untuk membuat mereka terpenuhi kebutuhan level tertingginya pada self esteem dan Aktualisasi diri, bukan dari segi financial atau kekayaan materi semata, tetapi kepada seberapa besar kontribusi yang diberikan kepada bangsa dan Negara ini.
Abraham Lincoln, presiden Amerika penghapus perbudakan di Amerikan, terkenal dengan Ucapanya:”Apa yang sudah anda sumbangkan kepada Negara Ini?” itulah pertanyaan yang selalu ada dalam kalbu masing-masing pemimpin, pejabat, pegawai, dosen, guru, dan semua warga Negara Indonesia, Apa kontribusi yang sudah saya berikan pada negeri ini? Kalo kita sudah punya niat yang kuat maka apapun kontribusinya, seberapa pun besarnya, kepada lembaga terkecilpun mulai dari keluarga, Rukun Tetangga, Perusahaan Kita, bahkan Negara, dan kita sudah melakukannya dengan baik, maka kita akan merasa sangat “Kaya” dan sudah bisa duduk dalam level aktualisasi diri dalam diagram Maslow.
Dalam sebuah berita di Televisi, ada seorang guru di daerah terpencil yang rela menjadi guru honorer dengan gaji di bawah Rp. 300 ribu sebulan, Dia mengajar, mendidik murid-murid-nya dengan tekun dan tanggung jawab, meskipun harus dengan mencari kerja sampingan sebagai tukang Ojek, agar besuk masih bisa makan, sebuah perjuangan yang berat memang, Tapi dalam hal Kontribusi-nya dalam bidang Pendidikan adalah sangat tinggi, dan dia tidak perlu kaya setingkat menteri untuk mendapatkan self esteem dan aktualisasi diri. Ada sebuah pelajaran ataupun hikmah yang bisa kita ambil, bahwa aktualisasi diri tidaklah memerlukan sebuah kekayaan materi saja, dia bisa datang dari siapa saja, tanpa melihat pangkat, kekayaan, pangkat, dan jabatan.
Dalam sebuah Milis di antara teman-teman penulis, di mana Milis tersebut berisi dari satu alumni Matematika Universitas Brawijaya Malang, dengan latar pekerjaannya yang beragam, dalam setiap hari email yang masuk selalu berisi hal-hal sederhana, mungkin tentang tempat makan yang enak, kadang laporan sebuah perjalanan, membeli sebuah rumah baru, bagaimana menjadi ibu baru, kadang juga penulis ajak untuk menceritakan bagaimana bisa bertemu dengan Suami atau istri mereka sekarang.
Dalam milis tersebut, ada yang penulis tangkap bahwa dengan hanya menceritakan hal-hal yang sederhana, kadang bahkan ada seorang yang dulu naksir seseorang, tapi tidak mendapatkannya, karena yang ditaksir justru senang sama perantaranya, diceritakan dengan lepas dalam milis tersebut, menggambarkan bahwa dengan hal yang sangat sederhana akan terjadi apresiasi yang mendalam terhadap sebuah persahabatan. Persahabatan yang tidak akan pernah bisa digantikan uang.
Dari mils sederhana tersebut ada sebuah pelajaran yang tidak kita dapatkan saat kuliah bahwa tidak selamanya harta yang berlimpah membuat orang merasa “Kaya”. Kekayaan akan Pengetahuan, kekayaan akan Pesaraan empati terhadap penderitaan, Kekayaan akan kreatifitas, kekayaan akan kasih sayang ke sesame, ternyata bisa menjadikan kita semua berada pada level Aktualisasi Diri.
Sudah selayaknya para pemimpin yang ada di negeri ini baik dari tingkat terendah sampai tertinggi, mempelajari hal-hal yang sederhana ini, daripada membuat slogan-slogan yang bombastis yang sulit untuk mewujudkannya.ada sebuah Ilustrasi yang memikat dari seorang Sufi besar milik dunia EL Jalalludin Rumi tentang kehidupan:
“Hidup ini bagaikan bawang merah, di luarnya tampak kusam dan berdebu, begitu kita mulai iris perlahan, akan muncul warna putih, semakin dalam kita iris akan semakin putih…dan semakin putih,…dan pada akhirnya hanya tersisa air mata.”
Langganan:
Postingan (Atom)