Masukan Nama Penyanyi - Judul Lagu

Mesin Cari Free Download Mp3 Gratis

Translate To Your Language

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

Sabtu, 17 Mei 2008

100 tahun kebangkitan (kembali) Indonesia.

Dalam peringatan 100 tahun kebangkitan nasional 20 mei 2008, telah dilakukan dengan semarak di seluruh pelosok negeri, di lakukan di segala bidang kehidupan, mulai skala terkecil sampai skala terbesar yaitu di tingkat Negara. Ada yang melakukan dengan cara melakukan pameran seni rupa, pementasan teater, lomba menulis tentang kebangkitan nasional, dan ratusan seminar mulai tingkat local sampai tingkat nasional, dengan tema yang hampir sama tentang Re-Interpretasi Kebangkitan nasional setelah 100 tahun.
Dalam seminar-seminar yang berlangsung banyak materi-materi yang diseminarkan kebanyakan adalah tentang konsep, perencanaan, implementasi, metode, segala sesuatu yang berhubungan dengan kalkulasi, forecasting (peramalan), atau juga estimasi bagaimana seharusnya rebuilding (membangun kembali) Indonesia setelah diterpa krisis mulai 1998 sampai sekarang . saat peringatan kebangkitan nasional inilah momentum yang tepat untuk kembali bangkit dari segala krisis dan keterpurukan bangsa.
Menurut penulis, apabila sebuah dasar pemikiran untuk membuat bangsa ini bisa kembali bangkit dari krisis dikatakan sebagai sebuah titik nol, maka titik nol-nya adalah Toleransi. Dari titik nol inilah bisa kita buat garis ke segala arah yang nantinya akan berujung pada kesetaraan. Bukan sebagai sebuah toleransi yang pasif, tetapi lebih kepada toleransi aktif, dimana saling dikembangkan sebuah budaya saling percaya, mengakui adanya perbedaan baik agama, ras, etnis, budaya, suku, dan lainnya, sehingga setiap permasalahan yang paling elementer sekalipun bisa diselesaikan dengan mengedepankan sebuah dialog.
Setiap masyarakat harus menyadari bahwa Negara Indonesia dengan Pancasila dasarnya adalah sebuah Negara yang sudah final, Negara yang terbentuk dengan berbagai macam agama, suku, budaya, ras, etnis, dan keragaman lainnya, yang sudah dirumuskan dengan tepat oleh The Founding Father’s kita di masa lalu. Dengan menyadari hal yang demikian, maka sudah tidak perlu lagi untuk membuat sebuah Negara agama. Nilai-nilai yang ada pada agama hendaknya kita masukkan ‘Roh”-nya dalam penerapan hukum yang menjunjung tinggi nilai keadilan apapun agama kita.
Kita bisa ambil sebuah contoh dari peristiwa hijrah-nya nabi Muhammad SAW, dimana kaum Muhajirin yang bersama nabi dari mekah bisa berbaur dengan kaum anshor yang ada di madinah, karena nabi berusaha untuk “Mempersaudarakan” yang luas maknanya; yaitu dalam konteks transaksi cultural, sosiologis, politis, dan perbedaan lainnya. Kalupun ada friksi-friksi selalu diselesaikan dengan cara-cara dialog yang elegan. Di Indonesiapun, kalau kita selalu berpikir tentang keutamaan toleransi maka akan timbul rasa saling percaya dan kebersamaan. Baik antara sesame masyarakat, yang berlainan agama, berlainan suku, budaya , dan etnis, dan juga rasa percaya dan kebersamaan antara rakyat dan pemerintah-nya.
Kita sering lihat bahwa untuk menjadi “Togetherness” tidaklah mudah tetapi dengan selalu mengembangkan toleransi aktif maka penulis yakin, kebersamaan dan rasa saling percaya akan terwujud. Dalam skala yang tinggi di pemerintahan sering juga kita lihat, apa yang sudah menjadi keputusan dalam sebuah rapat cabinet dan disepakati bersama tetapi dalam tingkat eksekusi dan implementasinya saat membutuhkan koordinasi antara level atas dengan terendah sulit untuk diterapkan. Hal ini karena tidak ada rasa saling percaya dan kebersamaan bahwa kita hidup di bumi yang sama yaitu Indonesia.
Dalam criteria pemilihan kepemimpinan pun baik dari tingkat desa sampai kepala Negara hendaknya kita juga tetapkan tidak ada syarat-syarat primordialisme-nya, tidak ada syarat diskriminatifnya dalam agama, ras, suku, budaya dan lainnya.menurut penulis criteria kepemimpinan haruslah memuat criteria-kriteria obyektif yang ada, dimana secara sederhana ada tiga dimensi yang diperlukan, yaitu; Kejernihan Qolbu (hati), kecerdasan pikiran, dan keberanian mental. Tanpa memandang dari agama, suku, ras, budaya dan lainnya. Jika pemimpin hanya memiliki kejernihan qolbu, tanpa punya kecerdasan intelektual, dan keberanian mental maka tidak akan pernah bisa memujuddkan konsep-konsep yang sudah disepakati bersama.
Demikian juga apabila pemimpin hanya punya kecerdasan dan keberanian, tanpa adanya kejernihan qolbu maka akan menjadi sebuah rezim yang dictator dan otoriter. Dengan demikian tiga criteria tersebut lah yang menjadi acuan untuk memilih pemimpin kita. Memang tidak ada manusia sempurnya tetapi setidaknya kita sudah membuat sebuah formula cara pemilihan kepemimpinan yang baik, dan dengan dibuatkan Undang-undang dalam pemerintahan maka akan meminimalkan resiko pemimpin yang tidak peka pada rakyatnya.
Rasa Simpati, empati satu sama lain, persaudaraan, kebersamaan, solidaritas merupakan wujud dari sikap toleransi yang kita miliki, ini merupakan modal social yang harus dikembangkan secara aktif. Dengan demikian segala keputusan yang dibuat dalam rangka membangun bangsa ini haruslah didasari rasa toleransi ini, kita semua baik rakyat kecil, pengusaha, penguasa, kaum kelas menengah semua mempunyai hak yang sama untuk menikmati hasil pembangunan.
Dalam memperingati kebangkitan nasional ini ada sebuah kalimat yang bernada perenungan :
“rasa sakit dari krisis suatu bangsa itu hanya berlansung sementara: bisa dalam 1 jam, satu hari, satu tahun, atau satu dasawarsa, Namun, jika kita menyerah, rasa sakit itu akan terasa selamanya”
Selamat 100 tahun kebangkitan nasional, semoga bangsa ini bisa memakmurkan warganya. AMIN.

Tidak ada komentar: