Saat lagu “antisocial” dari anthrax menghentak
Mencakar-cakar kepedihan
Aku menatap
Begitu banyak duka derita orang miskin
Mencegat di delapan penjuru pintu para politisi
Yang sibuk memasang lencana di kemaluannya
Hingga lupa berkaca pada nuraninya
Aku putar lagu “Estranged” dari Guns and Roses
Keterasingan begitu menyergap
Meski aku pandang Monas dari stasiun Gambir
Dengan nyala emas
Angkuh tak kunjung padam
Dan akupun bertanya
Nyala itu untuk siapa?
Nyala itu untuk apa?
Ketika di bawah puncaknya
Tubuh-tubuh lusuh mengepung
Tubuh-tubuh kehilangan pesona kesejatian manusia
Ketika di sekitar tugunya
jakarta dipenuhi dengan padamnya api-api keadilan
laguku melaju pada steve vai “For the love God”
begitu dalam cinta Tuhan
tapi begitu banyak manusia
berkali-kali mencoba membunuh Tuhan
karena merasa dia adalah Tuhan
yang bisa menimbang siapa saja berhak masuk surga
begitu indah rahasia Tuhan
tapi begitu banyak manusia lupa menyembahNYA
karena terlalu sibuk memuja agamanya
aku masih saja duduk termenung
aku begitu ingin memutar Catch the rainbow
merindukan sayatan gitar blackmore
di udara yang begitu penuh luka
akan kuberikan kau keindahan biru langit
dan kau bisa lenyapkan mendung tebal
lewat angin mimpimu.
Arif Gumantia
Ketua Majelis Sastra Madiun
Rabu, 27 Juni 2012
Minggu, 24 Juni 2012
Hidup dalam himpitan Pencitraan.
Milan Kundera pernah menyebut ini adalah era imagology, era kemenangan citra-citra. Dimana produsen budaya citra telah berhasil menjejalkan sebuah citra menjadi realitas, mimpi, juga harapan ke benak konsumen. Dalam era imagology, budaya citra tersebut di sebarkan ke berbagai media melalui televisi, radio, internet, surat kabar, maupun majalah.
Dan hal ini pararel dengan pandangan bahwa segala sesuatu itu bisa di komodifikasi, termasuk nilai-nilai dasar dalam hidup, seperti agama, gaya hidup, kebahagiaan, dan juga kekuasaan. Dengan mesin pencitraan yang paling dahsyat di era sekarang yaitu Iklan. Maka maraklah Baliho-baliho dan spanduk-spanduk yang memikat, untuk menanamkan kepada mereka yang melihat dan membaca terhadap “citra” seorang pemimpin dan calon pemimpin.
Barangkali hal inilah yang membuat kita jadi akrab dengan istilah “pencitraan”. Yang sering kita temui dalam wacana-wacana Politik, ekonomi, religi, sosial dan budaya. Bahkan angka-angka statitistik yang merupakan parameter dan indikator ekonomi sering juga dianggap sebagai Pencitraan atas kinerja pemerintah. Tentunya realitas ini tidak hadir begitu saja, hal ini terjadi karena rakyat melihat adanya disparitas antara apa yang di-retorika-kan oleh pemerintah dengan realitas yang terjadi.
Sebagai sebuah contoh adalah seorang Institusi tertinggi dalam pemerintahan dalam hal ini Presiden, pernah mengadakan Jumpa pers dan berpidato akan menindak tegas ormas-ormas yang sering melakukan tindak kekerasan, baik ormas yang berbasis agama, kepemudaan, dan juga daerah. Dan mencitrakan bahwa negeri ini adalah damai, Tapi kita semua juga melihat realitas yang terjadi akhir-akhir ini, bahwa semakin maraknya konflik-konflik Horizontal akibat terjadinya ormas-ormas yang melakukan kekerasan. Dan kita serasa hidup dalam kekerasan yang menghimpit.
Atau juga bagaimana kita baca angka-angka indikator ekonomi Makro di berbagai Media, tentang IHSG, tentang Inflasi, tentang menurunnya kemiskinan, yang menunjukkan bahwa ekonomi kita adalah “in the right track”, tapi kenyataan sehari-sehari memperlihatkan harga-harga semakin naik, seperti beras, gula, gas elpiji, dan kebutuhan primer rakyat lainnya. Semakin sulitnya mendapatkan perkerjaan, mahalnya biaya pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Sebuah relitas yang berbanding terbalik dengan indikator-indikator yang di gegap gempitakan oleh pemerintah.
Contoh bagaimana Pencitraan adalah panglima di negeri ini, adalah bagaimana kita lihat Iklan Pemberantasan korupsi. “katakan tidak pada korupsi”. Dan seperti kita sama-sama kita ketahui, para bintang iklannya justru yang sekarang jadi tersangka kasus korupsi dan menjadi tahanan Komisi Pemberantasan korupsi. Sebuah ironi yang sangat memprihatinkan. Juga tentang retorika-retorika dari para pemimpin tentang perlunya gaya hidup sederhana, tapi yang kita saksikan adalah pameran kekayaan dan gaya hidup hedonisme dari para pemimpin itu sendiri. Sehingga Retorika seperti gelembung-gelembung sabun yang mudah pecah dan terbang ke angkasa. Sementara rakyat kecil sudah dari dulu hidup sangat sederhana bahkan kekurangan.
Apalagi kalau kita lihat spanduk dan baliho para calon pemimpin yang mengiklankan dirinya dengan berbagai janji. Dengan bahasa yang membius, merayu, dan seakan menguasai kesadaran kita (sebagaimana dari prinsip iklan), tetapi setelah benar-benar menjadi pemimpin, janji tinggallah janji, dan kita sebagai rakyat sulit untuk menagih janji juga komitmen pada saat mereka berkampanye.
Sebenarnya hal-hal demikian ini tidak akan menjadi pencitraan jika para pemimpin dan penguasa di pemerintahan baik di pusat dan daerah itu sadar, dengan apa yang namanya integritas keteladanan. Jadi sebenarnya Rakyat itu akan menilai satunya ucapan dengan perbuatan. Adanya bukti nyata dari retorika juga angka-angka statistika. Rakyat lebih menyukai kejujuran untuk menggambarkan kenyataan yang pahit, daripada kebohongan yang manis. Asalkan ada upaya-upaya keras dari para pelaksana pemerintahan untuk melaksanakan pembangunan sesuai amanat Konstitusi, yaitu menyejahterakan seluruh lapisan masyarakat. Dan kata pencitraan tidak akan menjadi sebuah kosa kata yang negatif jika dibarengi dengan tindakan yang nyata dan keteladanan.
Arif Gumantia
Ketua Majelis Sastra Madiun
Dan hal ini pararel dengan pandangan bahwa segala sesuatu itu bisa di komodifikasi, termasuk nilai-nilai dasar dalam hidup, seperti agama, gaya hidup, kebahagiaan, dan juga kekuasaan. Dengan mesin pencitraan yang paling dahsyat di era sekarang yaitu Iklan. Maka maraklah Baliho-baliho dan spanduk-spanduk yang memikat, untuk menanamkan kepada mereka yang melihat dan membaca terhadap “citra” seorang pemimpin dan calon pemimpin.
Barangkali hal inilah yang membuat kita jadi akrab dengan istilah “pencitraan”. Yang sering kita temui dalam wacana-wacana Politik, ekonomi, religi, sosial dan budaya. Bahkan angka-angka statitistik yang merupakan parameter dan indikator ekonomi sering juga dianggap sebagai Pencitraan atas kinerja pemerintah. Tentunya realitas ini tidak hadir begitu saja, hal ini terjadi karena rakyat melihat adanya disparitas antara apa yang di-retorika-kan oleh pemerintah dengan realitas yang terjadi.
Sebagai sebuah contoh adalah seorang Institusi tertinggi dalam pemerintahan dalam hal ini Presiden, pernah mengadakan Jumpa pers dan berpidato akan menindak tegas ormas-ormas yang sering melakukan tindak kekerasan, baik ormas yang berbasis agama, kepemudaan, dan juga daerah. Dan mencitrakan bahwa negeri ini adalah damai, Tapi kita semua juga melihat realitas yang terjadi akhir-akhir ini, bahwa semakin maraknya konflik-konflik Horizontal akibat terjadinya ormas-ormas yang melakukan kekerasan. Dan kita serasa hidup dalam kekerasan yang menghimpit.
Atau juga bagaimana kita baca angka-angka indikator ekonomi Makro di berbagai Media, tentang IHSG, tentang Inflasi, tentang menurunnya kemiskinan, yang menunjukkan bahwa ekonomi kita adalah “in the right track”, tapi kenyataan sehari-sehari memperlihatkan harga-harga semakin naik, seperti beras, gula, gas elpiji, dan kebutuhan primer rakyat lainnya. Semakin sulitnya mendapatkan perkerjaan, mahalnya biaya pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Sebuah relitas yang berbanding terbalik dengan indikator-indikator yang di gegap gempitakan oleh pemerintah.
Contoh bagaimana Pencitraan adalah panglima di negeri ini, adalah bagaimana kita lihat Iklan Pemberantasan korupsi. “katakan tidak pada korupsi”. Dan seperti kita sama-sama kita ketahui, para bintang iklannya justru yang sekarang jadi tersangka kasus korupsi dan menjadi tahanan Komisi Pemberantasan korupsi. Sebuah ironi yang sangat memprihatinkan. Juga tentang retorika-retorika dari para pemimpin tentang perlunya gaya hidup sederhana, tapi yang kita saksikan adalah pameran kekayaan dan gaya hidup hedonisme dari para pemimpin itu sendiri. Sehingga Retorika seperti gelembung-gelembung sabun yang mudah pecah dan terbang ke angkasa. Sementara rakyat kecil sudah dari dulu hidup sangat sederhana bahkan kekurangan.
Apalagi kalau kita lihat spanduk dan baliho para calon pemimpin yang mengiklankan dirinya dengan berbagai janji. Dengan bahasa yang membius, merayu, dan seakan menguasai kesadaran kita (sebagaimana dari prinsip iklan), tetapi setelah benar-benar menjadi pemimpin, janji tinggallah janji, dan kita sebagai rakyat sulit untuk menagih janji juga komitmen pada saat mereka berkampanye.
Sebenarnya hal-hal demikian ini tidak akan menjadi pencitraan jika para pemimpin dan penguasa di pemerintahan baik di pusat dan daerah itu sadar, dengan apa yang namanya integritas keteladanan. Jadi sebenarnya Rakyat itu akan menilai satunya ucapan dengan perbuatan. Adanya bukti nyata dari retorika juga angka-angka statistika. Rakyat lebih menyukai kejujuran untuk menggambarkan kenyataan yang pahit, daripada kebohongan yang manis. Asalkan ada upaya-upaya keras dari para pelaksana pemerintahan untuk melaksanakan pembangunan sesuai amanat Konstitusi, yaitu menyejahterakan seluruh lapisan masyarakat. Dan kata pencitraan tidak akan menjadi sebuah kosa kata yang negatif jika dibarengi dengan tindakan yang nyata dan keteladanan.
Arif Gumantia
Ketua Majelis Sastra Madiun
Senin, 18 Juni 2012
Cinta yang menyentuh langit
: GUS DUR
(1)
Sungguh ini kehilangan yang tak terperi
dan aku kehilangan kata-kata yang tepat
untuk melepasmu dan merelakanmu
ketika engkau harus pulang ke rumahMU
ketika engkau selesai benamkan dalam-dalam
jejak-jejak kakimu di pantai kehidupan
(2)
air mata tak akan cukup
mengalirkan kehilangan ini
dan goresan-goresan doa kami
yang tak sempat kau tatap
juga kami disini
berdiri tanpa pernah meragukan cintamu
pada mereka korban kekerasan atas nama agama
pada petani yang retak cangkulnya
pada buruh yang lubang kedua sakunya
pada TKI yang disayat hatinya
pada kaum miskin yang kosong gelas dan piringnya
(3)
"Tuhan tidak perlu dibela
karena Tuhan sudah maha segalanya
belalah mereka yang diperlakukan tidak adil"
itu ucapmu suatu saat
"Mayoritas yang baik
adalah yang melindungi minoritas"
itu juga kalimatmu
selalu kuingat
selalu kucatat dalam hati
(4)
ingatanku melayang pada embun pagi
yang turun serendah-rendahnya
tetapi selalu diangkat ke langit yang tinggi
oleh sang mentari
kali ini, aku hanya ingin mengucap
"Gus Dur,engkau tidak pergi hanya pulang
karena
cinta dan doa yang kau tanam
akan selalu tumbuh dan menyentuh langit
dan menjadikannya abadi
pada hati negeri ini"
(1)
Sungguh ini kehilangan yang tak terperi
dan aku kehilangan kata-kata yang tepat
untuk melepasmu dan merelakanmu
ketika engkau harus pulang ke rumahMU
ketika engkau selesai benamkan dalam-dalam
jejak-jejak kakimu di pantai kehidupan
(2)
air mata tak akan cukup
mengalirkan kehilangan ini
dan goresan-goresan doa kami
yang tak sempat kau tatap
juga kami disini
berdiri tanpa pernah meragukan cintamu
pada mereka korban kekerasan atas nama agama
pada petani yang retak cangkulnya
pada buruh yang lubang kedua sakunya
pada TKI yang disayat hatinya
pada kaum miskin yang kosong gelas dan piringnya
(3)
"Tuhan tidak perlu dibela
karena Tuhan sudah maha segalanya
belalah mereka yang diperlakukan tidak adil"
itu ucapmu suatu saat
"Mayoritas yang baik
adalah yang melindungi minoritas"
itu juga kalimatmu
selalu kuingat
selalu kucatat dalam hati
(4)
ingatanku melayang pada embun pagi
yang turun serendah-rendahnya
tetapi selalu diangkat ke langit yang tinggi
oleh sang mentari
kali ini, aku hanya ingin mengucap
"Gus Dur,engkau tidak pergi hanya pulang
karena
cinta dan doa yang kau tanam
akan selalu tumbuh dan menyentuh langit
dan menjadikannya abadi
pada hati negeri ini"
Minggu, 10 Juni 2012
Kita dan Batas Senja
:ummi
(1)
Pada kedai di sisi sebuah jalan
Kita duduk
Sore ini secangkir kopi terasa begitu bahagia
Serupa bunga bersemi di langit yang temaram
Meski di jalanan bising berkejaran
Tapi melodi hatimu menyegarkan harapan
(2)
Dalam musim yang basah
Kita berbincang tentang negara yang kian tergesa-gesa
Tentang negara yang lebih absurd dari kisah novel
Tentang buku puisi yang kian sepi dan teronggok di pojok
Tentang manusia yang harus menggengam jari-jarinya
Meski tahu garis takdir ada di telapaknya
(3)
Matahari menarik tirai senja dan cangkir ini seakan bercerita
Aku tak ingin seperti senja yang merindukan padi
Pelukan yang dalam tapi tak terjangkau
Tak ingin berkejaran serupa matahari dan rembulan
Tanpa pernah berhenti di pelukan
Aku hanya ingin
Keindahan biru langitmu dan biru lautku
Saling berkaca dan memberi warna
Pada gelembung hidup yang kian mudah pecah
(4)
Ketika senja berubah menuju sunyi dan kelam
Aku kian tersudut oleh runcingnya waktu
Pada batas-batas ruang yang menjulang
Kenapa garis senyummu tak bertemu di waktu lalu
Juga cahaya-cahayamu yang berpendaran
Tapi
Bukankah Hidup akan tetap menjadi indah
Jika berada dalam jalinan asing dan rahasia
(1)
Pada kedai di sisi sebuah jalan
Kita duduk
Sore ini secangkir kopi terasa begitu bahagia
Serupa bunga bersemi di langit yang temaram
Meski di jalanan bising berkejaran
Tapi melodi hatimu menyegarkan harapan
(2)
Dalam musim yang basah
Kita berbincang tentang negara yang kian tergesa-gesa
Tentang negara yang lebih absurd dari kisah novel
Tentang buku puisi yang kian sepi dan teronggok di pojok
Tentang manusia yang harus menggengam jari-jarinya
Meski tahu garis takdir ada di telapaknya
(3)
Matahari menarik tirai senja dan cangkir ini seakan bercerita
Aku tak ingin seperti senja yang merindukan padi
Pelukan yang dalam tapi tak terjangkau
Tak ingin berkejaran serupa matahari dan rembulan
Tanpa pernah berhenti di pelukan
Aku hanya ingin
Keindahan biru langitmu dan biru lautku
Saling berkaca dan memberi warna
Pada gelembung hidup yang kian mudah pecah
(4)
Ketika senja berubah menuju sunyi dan kelam
Aku kian tersudut oleh runcingnya waktu
Pada batas-batas ruang yang menjulang
Kenapa garis senyummu tak bertemu di waktu lalu
Juga cahaya-cahayamu yang berpendaran
Tapi
Bukankah Hidup akan tetap menjadi indah
Jika berada dalam jalinan asing dan rahasia
Jumat, 08 Juni 2012
"You Don't Remember, I'll never Forget" YNGWIE MALMSTEEN !!!
Saat usia 10 tahun, Yngwie johann malmsteen (lahir di stockholm, swedia 30 juni 1963) melihat tayangan di TV tentang kematian jimi hendrix, sejak saat itu dia memutuskan menjadi seorang gitaris. Sejak kecil dia sudah mengagumi jimi hendrix dan Richie Blackmore yang membuatnya tertarik mendengarkan musik klasik seperti Bach, vivaldi, bethoven, dan mozart. Tapi setelah melihat konser pemain biola gideon kremer dari rusia di televisi, yngwie mulai terkagum-kagum pada niccolo paganini. Sejak saat itu ia seakan ingin mengkombinasikan Biola musik klasik pada permainan gitarnya.
Grup pertamanya adalah steeler, bersama vokalis ron keel, yang menghasilkan album bertitel steeler, dengan lagu jagoan cold day in hell, di awal tahun 1983. Setelah itu Yngwie cabut dan bergabung dengan ALCATRAZZ yang musiknya sangat dipengaruhi grup Rainbow karena Vokalisnya Graham Bonnet adalah mantan Vokalis Rainbow. Yang menghasilkan dua album “No parole from Rock “, dengan lagu andalan island in the sun, incubus, Too Young to Die, Too Drunk to Live. Dan album kedua “Live sentence”. Merupakan album live yang ada lagu Rainbownya “All Night Long"
Tidak lama kemudian Yngwie cabut dan bersolo karir, dengan debut album “Rising Force” yang mengguncang musik Rock dunia. Dengan lagu-2 evil eye, "Icarus' Dream Suite Op. 4" (based on Remo Giazotto's "Adagio in G minor"), balck star, far beyond the sun, etc. Dengan kecepatan, keanggunan, virtuoso, dan teknik sweeping dan arpeggio. Komposisi-komposisi gitarnya berhasil mengkombinasikan Rock dan musik klasik berdasarkan komposisi struktur J.S Bach dan pemain biola Paganini.
Tak mengherankan para gitaris muda lainnya mengikuti jejaknya seperti jason becker, marty friedman, paul gilbert, tony macalpine, dan vinnie moore. Album ini dinominasikan sebagai best rock instrumental di grammy award. Album ini dirilis tahun 1984. Setelah itu tahun 1985 Yngwie merilis album “Marching out” dengan lagu-2 , "I'll See the Light, Tonight, don’t let it end, dengan vokalis masih tetap yaitu jeff scot sotto dan instrumental . Overture 1383 dan marching out. Dan pengaruh gaya gitar Yngwie saat itu mungkin hanya bisa disaingi oleh Edward Van Halen.
Tahun 1986 dalam album Trilogy, Yngwie menggati vokalisnya dengan Mark Boals dengan lagu Hit-nya..You don’t Remember, i’ll never forget. Dan Trilogy Suite Op:5, dan juga lagu “liar”. Yngwie memang paling suka bongkar pasang Vokalis. Di tahun 1988 Yngwie menelurkan album yang merupakan album fenomenalnya yaitu “Odessey” dengan mantan vokalis rainbow Joe Lynn Turner. Yang menghasilkan lagu hit Heaven tonight, dreaming (tell me) dengan petikan gitar akustik yang maut yang seakan melambungkan pendengarkan dalam dunia impian dan harapan..juga lagu rising force, deja vu, crystal ball...dan instrumental tentang meletusnya gunung krakatau “krakatau” juga “memories”
Tahun 1989 Yngwie melaunch album live “trial By Fire : Live in leningrad” yang ada lagu dari jimi hendrix-nya yaitu "Spanish Castle Magic (LP Version)". dengan vokalis baru lagi Goran Edman album di tahun 1990 “eclipse” yang menghasilkan lagu-lagu hit Save our love, judas, demon driver, dan instrumental “eclipse” yang membuat pendengarnya merasakan sebuah “gerhana jiwa”. Dan di tahun 1991 Yngwie mengumpulkan album-album koleksinya dalam album The Yngwie Malmsteen collection. Dan tahun 1992 dengan album “ Fire and ice” yang menghasilkan Hit lagu teaser, in my own enemy yang mengingatkan kita bahwa musuh terbesar kita adalah diri kita sendiri. Dan tetep memukau pada instrumental leviathan.
Dengan vokalis baru michael vescera , tahun 1994 Yngwie melaunch album The seven sign dengan lagu hit prisoner of your love, never die, dan instrumental “sorrow”. Setelah itu tahun 1994 Yngwie melaunch single instrumental CD khusus di jepang yaitu power and glory dan di tahun 1995 album Mini (EP) i can’t wait yang berisi lagu lama dan single power and glory. Tahun 1995 album magnum opus beredar dengan lagu hit : i’die without you, cross the line, dan instrumen Overture 1622.
Ditahun 1996 Yngwie merilis album “inspiration” yang berisi lagu-lagu lama dari Deep purple, jimi hendrix, kansasn scorpion, rainbow, dan Rush. Seperti lagu child in time, anthem, carry on wayward son, manic depression, etc dengan vokalis-vokalis lamanya. Dengan vokalis baru di tahun 1997 mats leven, album barupun diluncurkan dengan titel facing the animal dg lagu alone in paradise, brave heart, etc. Di susul tahun 1997 Yngwie bermain untuk album klasik :concerto suite for electric guitar and orchestra in Eb Minor Op. 1. Bersama Czech Philharmonic orchestra.
Ditahun 2003, Yngwie bersama Joe satriani dan Steve vai membentuk G3, dan melakukan tur keliling dunia. Dan menghasilkan double album yang fenomenal yaitu G3 : Rockin’ the free world. Hingga bisa memuaskan dahaga para penggemar gitaris legendaris dunia. Dan Yngwie benar-benar mencatatkan dirinya sebagai gitaris Neo-classic metal dunia.
Diskografi album selanjutnya adalah :
Double Live!
• Released: 18 September 1998
• Label: Pony Canyon
1999 Alchemy
• Released: 17 September 1999
• Label: Pony Canyon
2000 Anthology 1994–1999
• Released: 15 March 2000
• Label:
The Best Of: 1990-1999
• Released: 9 May 2000
• Label: Dream Catcher
War to End All Wars
• Released: 22 November 2000
• Label: Pony Canyon
2002 Concerto Suite LIVE With the New Japan Philharmonic
• Released: 9 January 2002
• Label: Pony Canyon
Attack!!
• Released: 4 September 2002
• Label: Pony Canyon
•
• — The Genesis
• Released: 30 December 2002
• Label: Pony Canyon
2004 Oujya Ressou – Instrumental Best Album
• Released: 1 January 2004
• Label: Pony Canyon
G3: Rockin' in the Free World
• Released: 10 March 2004
• Label: Epic
2005 Unleash the Fury
• Released: 23 February 2005
• Label: Universal Music
20th Century Masters — The Millennium Collection: The Best of Yngwie Malmsteen
• Released: 24 May 2005
• Label: Polydor
2008 Perpetual Flame
• Released: 14 October 2008
• Label: Rising Force Records / Universal Music Japan
— 2009 Angels of Love
• Released: 10 March 2009
• Label: Rising Force Records
High Impact
• : 8 December 2009
• Label: Rising Force Records
Relentless
• Released: 23 November 2010
• Label: Rising Force Records / Universal Music Japan
Madiun, 09 juni 2012
Arif Gumantia
“only brave heart playing rock”
Minggu, 03 Juni 2012
Kemarau
Aku berdiri di lereng gunung
kemarau datang mengepung
kucari jejak tetes hujan terakhir
yang menempel di kelopak hatimu
Ketika angin kering merangkum
Dan menampar gelisah di tiap lembah
pada gurat nasib orang orang yang menggores pinus
nestapa tiada henti mengisi piring piring takdir mereka
dan gelas gelas kebahagiaan begitu kosong
sementara rumah hanyalah
tempat menyimpan ilalang keteduhan semu
sebelum terbakar sempurna dalam api gundah
aku berdiri di lereng gunung
jurang masa lalu begitu dalam
dan jembatan dengan ruas ruas ingatan
masih tertahan pada tebing kenangan
kemarau menghujamkan anak panah
ketika rindu serupa tetes tetes hujan
yang beku dan menggantung di langit
sementara
cinta tak pernah mengenal musim yang berlalu
Lereng gunung wilis, 03 Juni 2012
Arif Gumantia
kemarau datang mengepung
kucari jejak tetes hujan terakhir
yang menempel di kelopak hatimu
Ketika angin kering merangkum
Dan menampar gelisah di tiap lembah
pada gurat nasib orang orang yang menggores pinus
nestapa tiada henti mengisi piring piring takdir mereka
dan gelas gelas kebahagiaan begitu kosong
sementara rumah hanyalah
tempat menyimpan ilalang keteduhan semu
sebelum terbakar sempurna dalam api gundah
aku berdiri di lereng gunung
jurang masa lalu begitu dalam
dan jembatan dengan ruas ruas ingatan
masih tertahan pada tebing kenangan
kemarau menghujamkan anak panah
ketika rindu serupa tetes tetes hujan
yang beku dan menggantung di langit
sementara
cinta tak pernah mengenal musim yang berlalu
Lereng gunung wilis, 03 Juni 2012
Arif Gumantia
Jumat, 01 Juni 2012
Analisa Strata Norma dalam Puisi "Perempuan dan jalan pulang" Himas Nur.
Ada sebuah puisi di facebook, yang membuat saya ingin menganalisanya secara teoritis, meski puisi adalah sebuah organisme, sesuatu barang hidup, yang bila diletakkan di atas meja analisis untuk diuraikan dengan pisau ilmu bedah ilmu sastra, atau untuk disinari dengan sinar roentgen intelek, ia akan menjadi barang mati! Tapi hal demikian tetap akan berguna demi pendekatan ilmiah terhadap sastra, demi pencerdasan apresiasi puisi, demi sumbangan untuk menumbuhkan dan memelihara iklim sastra, demikianlah sebuah uraian dari penyair Sitor Situmorang.
Dan puisi yang telah menyergap, membuat saya “melambung dan terhenyak” untuk menganalisanya adalah puisi dari Himas Nur dari semarang. Dengan dua alasan, yang pertama adalah (meminjam istilah dari chairil anwar ) Sebuah puisi yang menjadi, adalah sebuah dunia. dunia yang dijadikan, diciptakan kembali oleh si penyair. Diciptakannya kembali, dibentuknya dari benda (materi) dan rohani, keadaan alam dan penghidupan sekelilingnya, dia juga mendapat bahan dari hasil-2 kesenian lain yang berarti bagi dia, berhubungan djiwa dengan dia, dari pikiran-2 dan pendapat-2 orang lain.
Yang kedua adalah dengan usia yang masih sangat muda, kalau tidak salah masih sekolah di SMA 5 semarang, tapi puisinya telah demikian membuat saya untuk membacanya berulang-ulang dan mengurai beberapa maknanya.
Inilah puisi tersebut :
Perempuan dan jalan pulang
mari berkemas
sebab tak lagi ada sisa bagi waktu
dan sia sudah menemu rumah baginya pulang
pada jejalan kota tua
serta peluh yang menganak di tiap trotoar
mari bergegas
sebab pada sepuh matamu
gerimis mulai sembunyi di sudutsudut
dan anakanak mulai kehilangan arah pulang
oleh nisbi yang menjelma ruang antara
menjadikannya alpa
menjadikannya tiada
pulanglah
pada kolong ranjang yang setia menanti kembalimu
meski musim telah separuh perak
dan asa adalah permulaan kesekian
selesaikan doadoa yang kau tanam di beranda
dan persilahkan tuhan mampir menyambut kepulanganmu
meski mungkin bersimpang arah
pada jalan yang akhirnya entah,
pulanglah
karena analisis yg bersifat dichotomis, yaitu pembagian dua bentuk dan isi belum dapat memberikan gambaran yang memuaskan, maka menurut rene welleck (1968;151) perlu dianalisa dengan strata norma (lapis norma) masing-masing norma menimbulkan lapis norma di bawahnya. Analisis tersebut adalah analisis norma roman ingarden, seorang filosof polandia dalam bukunya Das literarische kunstwerk.
Lapis pertama adalah lapis bunyi, saya membayangkan membaca puisi ini dengan jeda panjang pendek, agak panjang, dan panjang. Dan saya coba membacanya dengan cara membaca puisi yang pernah saya pelajari, ternyata memang menimbulkan suasana yang memikat, suasana hati yang menuju jalan pulang, pada jejalan kota tua
mari bergegas
sebab pada sepuh matamu
gerimis mulai sembunyi di sudutsudut
dan anakanak mulai kehilangan arah pulang
Lapis pertama ini, menjadi dasar timbulnya lapis arti, yaitu lapis kedua.dan puisi menjadi indah karena tetap menjadikannya “ yang terindah adalah rahasia”. Kita hanya bisa mendekati dengan jejak-jejak tafsir yang kita punyai, demikian kata heidegger. Lapis arti di puisi ini menjadi menarik karena pemilihan diksi yang sederhana, mengalir, tapi begitu tepat menyampaikan apa yang “menggelisahkan” penyair. Sebagaimana tugas penyair adalah bagaimana mengolah sebuah proses kreatif menjadi Puisi. Proses kreatif yang merupakan penjelajahan dari unsur pengalaman (empiris), unsur keindahan (estetis) dan unsur pengamatan (analitis). Di sini penyair bisa mengungkapkan dari sebuah gagasan yang abstrak menjadi sesuatu yang konkret bagi para pembaca. Dari menafsirkan sebuah kegelisahan diri pribadi sampai merefleksikan kegelisahan masyarakatnya.
lapis arti juga menjadi sebuah ruang kontemplasi sekaligus tidak kehilangan keindahan sebuah puisi, karena ketepatan dalam menggunakan bahasa kiasan. Seperti metafora, melihat sesuatu dengan perantara benda yang lain. (Becker, 1978:317).
pulanglah
pada kolong ranjang yang setia menanti kembalimu
meski musim telah separuh perak
dan asa adalah permulaan kesekian
selesaikan doadoa yang kau tanam di beranda
dan persilahkan tuhan mampir menyambut kepulanganmu
membaca bait diatas saya seperti merasakan bagaimana seorang perempuan selalu mengantar dengan iklhas“doa-doa yang di tanam di beranda” dan tulus menerima kolong ranjang yang setia, bila tuhan menyambutnya, persilahkan, jika tidak pun tak apa..karena cinta perempuan tak pernah mengenal musim meski “separuh perak” atau “sepenuh tembaga”. Tersebab harapan adalah sebuah awal atau Permulaan.
Juga lapis arti terbentuk karena gaya pengucapan penyair. Sebagai misal adalah adanya Tautologi yang menyatakan hal atau keadaan dua kali, agar lebih mendalam, seperti :
oleh nisbi yang menjelma ruang antara
menjadikannya alpa
menjadikannya tiada
lapis ketiga adalah lapis “dunia” dipandang dari titik pandang tertentu yg tak perlu dinyatakan, tetapi terkandung didalamnya. Seperti :
meski mungkin bersimpang arah
pada jalan yang akhirnya entah,
pulanglah
bait penutup yang memberikan Sugesti sebuah kepasrahan secara Implisit, dan tak dikatakan dengan eksplisit, cukup dengan simpang arah, entah, dan pulanglah.
Dan lapis terakhir adalah metafisis, dari lapis bunyi, arti, dunia yg implisit, maka menimbulkan ruang perenungan (kontemplasi) yang membuat pembacanya menerka apa makna dari puisi tersebut.
Dan puisi ini membuat saya merenung, haruskah perempuan selalu punya jalan pulang yang sama, adakah jalan itu sesuai dengan yang diinginkan, sebuah renungan yang berayun-ayun antara feminisme dan kodrat sebagai wanita. Berayun-ayun antara kegigihan, kerapuhan, dan rindu akan “pelukan” dan bahu tempat bersandar, meski yang selalu setia adalah kolong ranjang.
Selamat buat Himas Nur, kau telah berhasil membuatku menulis ini.....
Madiun, 2 juni 2012
Arif Gumantia
Penasehat pada Majelis sastra Madiun
Dan puisi yang telah menyergap, membuat saya “melambung dan terhenyak” untuk menganalisanya adalah puisi dari Himas Nur dari semarang. Dengan dua alasan, yang pertama adalah (meminjam istilah dari chairil anwar ) Sebuah puisi yang menjadi, adalah sebuah dunia. dunia yang dijadikan, diciptakan kembali oleh si penyair. Diciptakannya kembali, dibentuknya dari benda (materi) dan rohani, keadaan alam dan penghidupan sekelilingnya, dia juga mendapat bahan dari hasil-2 kesenian lain yang berarti bagi dia, berhubungan djiwa dengan dia, dari pikiran-2 dan pendapat-2 orang lain.
Yang kedua adalah dengan usia yang masih sangat muda, kalau tidak salah masih sekolah di SMA 5 semarang, tapi puisinya telah demikian membuat saya untuk membacanya berulang-ulang dan mengurai beberapa maknanya.
Inilah puisi tersebut :
Perempuan dan jalan pulang
mari berkemas
sebab tak lagi ada sisa bagi waktu
dan sia sudah menemu rumah baginya pulang
pada jejalan kota tua
serta peluh yang menganak di tiap trotoar
mari bergegas
sebab pada sepuh matamu
gerimis mulai sembunyi di sudutsudut
dan anakanak mulai kehilangan arah pulang
oleh nisbi yang menjelma ruang antara
menjadikannya alpa
menjadikannya tiada
pulanglah
pada kolong ranjang yang setia menanti kembalimu
meski musim telah separuh perak
dan asa adalah permulaan kesekian
selesaikan doadoa yang kau tanam di beranda
dan persilahkan tuhan mampir menyambut kepulanganmu
meski mungkin bersimpang arah
pada jalan yang akhirnya entah,
pulanglah
karena analisis yg bersifat dichotomis, yaitu pembagian dua bentuk dan isi belum dapat memberikan gambaran yang memuaskan, maka menurut rene welleck (1968;151) perlu dianalisa dengan strata norma (lapis norma) masing-masing norma menimbulkan lapis norma di bawahnya. Analisis tersebut adalah analisis norma roman ingarden, seorang filosof polandia dalam bukunya Das literarische kunstwerk.
Lapis pertama adalah lapis bunyi, saya membayangkan membaca puisi ini dengan jeda panjang pendek, agak panjang, dan panjang. Dan saya coba membacanya dengan cara membaca puisi yang pernah saya pelajari, ternyata memang menimbulkan suasana yang memikat, suasana hati yang menuju jalan pulang, pada jejalan kota tua
mari bergegas
sebab pada sepuh matamu
gerimis mulai sembunyi di sudutsudut
dan anakanak mulai kehilangan arah pulang
Lapis pertama ini, menjadi dasar timbulnya lapis arti, yaitu lapis kedua.dan puisi menjadi indah karena tetap menjadikannya “ yang terindah adalah rahasia”. Kita hanya bisa mendekati dengan jejak-jejak tafsir yang kita punyai, demikian kata heidegger. Lapis arti di puisi ini menjadi menarik karena pemilihan diksi yang sederhana, mengalir, tapi begitu tepat menyampaikan apa yang “menggelisahkan” penyair. Sebagaimana tugas penyair adalah bagaimana mengolah sebuah proses kreatif menjadi Puisi. Proses kreatif yang merupakan penjelajahan dari unsur pengalaman (empiris), unsur keindahan (estetis) dan unsur pengamatan (analitis). Di sini penyair bisa mengungkapkan dari sebuah gagasan yang abstrak menjadi sesuatu yang konkret bagi para pembaca. Dari menafsirkan sebuah kegelisahan diri pribadi sampai merefleksikan kegelisahan masyarakatnya.
lapis arti juga menjadi sebuah ruang kontemplasi sekaligus tidak kehilangan keindahan sebuah puisi, karena ketepatan dalam menggunakan bahasa kiasan. Seperti metafora, melihat sesuatu dengan perantara benda yang lain. (Becker, 1978:317).
pulanglah
pada kolong ranjang yang setia menanti kembalimu
meski musim telah separuh perak
dan asa adalah permulaan kesekian
selesaikan doadoa yang kau tanam di beranda
dan persilahkan tuhan mampir menyambut kepulanganmu
membaca bait diatas saya seperti merasakan bagaimana seorang perempuan selalu mengantar dengan iklhas“doa-doa yang di tanam di beranda” dan tulus menerima kolong ranjang yang setia, bila tuhan menyambutnya, persilahkan, jika tidak pun tak apa..karena cinta perempuan tak pernah mengenal musim meski “separuh perak” atau “sepenuh tembaga”. Tersebab harapan adalah sebuah awal atau Permulaan.
Juga lapis arti terbentuk karena gaya pengucapan penyair. Sebagai misal adalah adanya Tautologi yang menyatakan hal atau keadaan dua kali, agar lebih mendalam, seperti :
oleh nisbi yang menjelma ruang antara
menjadikannya alpa
menjadikannya tiada
lapis ketiga adalah lapis “dunia” dipandang dari titik pandang tertentu yg tak perlu dinyatakan, tetapi terkandung didalamnya. Seperti :
meski mungkin bersimpang arah
pada jalan yang akhirnya entah,
pulanglah
bait penutup yang memberikan Sugesti sebuah kepasrahan secara Implisit, dan tak dikatakan dengan eksplisit, cukup dengan simpang arah, entah, dan pulanglah.
Dan lapis terakhir adalah metafisis, dari lapis bunyi, arti, dunia yg implisit, maka menimbulkan ruang perenungan (kontemplasi) yang membuat pembacanya menerka apa makna dari puisi tersebut.
Dan puisi ini membuat saya merenung, haruskah perempuan selalu punya jalan pulang yang sama, adakah jalan itu sesuai dengan yang diinginkan, sebuah renungan yang berayun-ayun antara feminisme dan kodrat sebagai wanita. Berayun-ayun antara kegigihan, kerapuhan, dan rindu akan “pelukan” dan bahu tempat bersandar, meski yang selalu setia adalah kolong ranjang.
Selamat buat Himas Nur, kau telah berhasil membuatku menulis ini.....
Madiun, 2 juni 2012
Arif Gumantia
Penasehat pada Majelis sastra Madiun
Langganan:
Postingan (Atom)