Masukan Nama Penyanyi - Judul Lagu

Mesin Cari Free Download Mp3 Gratis

Translate To Your Language

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

Minggu, 24 Juni 2012

Hidup dalam himpitan Pencitraan.

Milan Kundera pernah menyebut ini adalah era imagology, era kemenangan citra-citra. Dimana produsen budaya citra telah berhasil menjejalkan sebuah citra menjadi realitas, mimpi, juga harapan ke benak konsumen. Dalam era imagology, budaya citra tersebut di sebarkan ke berbagai media melalui televisi, radio, internet, surat kabar, maupun majalah.

Dan hal ini pararel dengan pandangan bahwa segala sesuatu itu bisa di komodifikasi, termasuk nilai-nilai dasar dalam hidup, seperti agama, gaya hidup, kebahagiaan, dan juga kekuasaan. Dengan mesin pencitraan yang paling dahsyat di era sekarang yaitu Iklan. Maka maraklah Baliho-baliho dan spanduk-spanduk yang memikat, untuk menanamkan kepada mereka yang melihat dan membaca terhadap “citra” seorang pemimpin dan calon pemimpin.

Barangkali hal inilah yang membuat kita jadi akrab dengan istilah “pencitraan”. Yang sering kita temui dalam wacana-wacana Politik, ekonomi, religi, sosial dan budaya. Bahkan angka-angka statitistik yang merupakan parameter dan indikator ekonomi sering juga dianggap sebagai Pencitraan atas kinerja pemerintah. Tentunya realitas ini tidak hadir begitu saja, hal ini terjadi karena rakyat melihat adanya disparitas antara apa yang di-retorika-kan oleh pemerintah dengan realitas yang terjadi.

Sebagai sebuah contoh adalah seorang Institusi tertinggi dalam pemerintahan dalam hal ini Presiden, pernah mengadakan Jumpa pers dan berpidato akan menindak tegas ormas-ormas yang sering melakukan tindak kekerasan, baik ormas yang berbasis agama, kepemudaan, dan juga daerah. Dan mencitrakan bahwa negeri ini adalah damai, Tapi kita semua juga melihat realitas yang terjadi akhir-akhir ini, bahwa semakin maraknya konflik-konflik Horizontal akibat terjadinya ormas-ormas yang melakukan kekerasan. Dan kita serasa hidup dalam kekerasan yang menghimpit.

Atau juga bagaimana kita baca angka-angka indikator ekonomi Makro di berbagai Media, tentang IHSG, tentang Inflasi, tentang menurunnya kemiskinan, yang menunjukkan bahwa ekonomi kita adalah “in the right track”, tapi kenyataan sehari-sehari memperlihatkan harga-harga semakin naik, seperti beras, gula, gas elpiji, dan kebutuhan primer rakyat lainnya. Semakin sulitnya mendapatkan perkerjaan, mahalnya biaya pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Sebuah relitas yang berbanding terbalik dengan indikator-indikator yang di gegap gempitakan oleh pemerintah.

Contoh bagaimana Pencitraan adalah panglima di negeri ini, adalah bagaimana kita lihat Iklan Pemberantasan korupsi. “katakan tidak pada korupsi”. Dan seperti kita sama-sama kita ketahui, para bintang iklannya justru yang sekarang jadi tersangka kasus korupsi dan menjadi tahanan Komisi Pemberantasan korupsi. Sebuah ironi yang sangat memprihatinkan. Juga tentang retorika-retorika dari para pemimpin tentang perlunya gaya hidup sederhana, tapi yang kita saksikan adalah pameran kekayaan dan gaya hidup hedonisme dari para pemimpin itu sendiri. Sehingga Retorika seperti gelembung-gelembung sabun yang mudah pecah dan terbang ke angkasa. Sementara rakyat kecil sudah dari dulu hidup sangat sederhana bahkan kekurangan.

Apalagi kalau kita lihat spanduk dan baliho para calon pemimpin yang mengiklankan dirinya dengan berbagai janji. Dengan bahasa yang membius, merayu, dan seakan menguasai kesadaran kita (sebagaimana dari prinsip iklan), tetapi setelah benar-benar menjadi pemimpin, janji tinggallah janji, dan kita sebagai rakyat sulit untuk menagih janji juga komitmen pada saat mereka berkampanye.

Sebenarnya hal-hal demikian ini tidak akan menjadi pencitraan jika para pemimpin dan penguasa di pemerintahan baik di pusat dan daerah itu sadar, dengan apa yang namanya integritas keteladanan. Jadi sebenarnya Rakyat itu akan menilai satunya ucapan dengan perbuatan. Adanya bukti nyata dari retorika juga angka-angka statistika. Rakyat lebih menyukai kejujuran untuk menggambarkan kenyataan yang pahit, daripada kebohongan yang manis. Asalkan ada upaya-upaya keras dari para pelaksana pemerintahan untuk melaksanakan pembangunan sesuai amanat Konstitusi, yaitu menyejahterakan seluruh lapisan masyarakat. Dan kata pencitraan tidak akan menjadi sebuah kosa kata yang negatif jika dibarengi dengan tindakan yang nyata dan keteladanan.





Arif Gumantia
Ketua Majelis Sastra Madiun

Tidak ada komentar: