Ada sebuah puisi di facebook, yang membuat saya ingin menganalisanya secara teoritis, meski puisi adalah sebuah organisme, sesuatu barang hidup, yang bila diletakkan di atas meja analisis untuk diuraikan dengan pisau ilmu bedah ilmu sastra, atau untuk disinari dengan sinar roentgen intelek, ia akan menjadi barang mati! Tapi hal demikian tetap akan berguna demi pendekatan ilmiah terhadap sastra, demi pencerdasan apresiasi puisi, demi sumbangan untuk menumbuhkan dan memelihara iklim sastra, demikianlah sebuah uraian dari penyair Sitor Situmorang.
Dan puisi yang telah menyergap, membuat saya “melambung dan terhenyak” untuk menganalisanya adalah puisi dari Himas Nur dari semarang. Dengan dua alasan, yang pertama adalah (meminjam istilah dari chairil anwar ) Sebuah puisi yang menjadi, adalah sebuah dunia. dunia yang dijadikan, diciptakan kembali oleh si penyair. Diciptakannya kembali, dibentuknya dari benda (materi) dan rohani, keadaan alam dan penghidupan sekelilingnya, dia juga mendapat bahan dari hasil-2 kesenian lain yang berarti bagi dia, berhubungan djiwa dengan dia, dari pikiran-2 dan pendapat-2 orang lain.
Yang kedua adalah dengan usia yang masih sangat muda, kalau tidak salah masih sekolah di SMA 5 semarang, tapi puisinya telah demikian membuat saya untuk membacanya berulang-ulang dan mengurai beberapa maknanya.
Inilah puisi tersebut :
Perempuan dan jalan pulang
mari berkemas
sebab tak lagi ada sisa bagi waktu
dan sia sudah menemu rumah baginya pulang
pada jejalan kota tua
serta peluh yang menganak di tiap trotoar
mari bergegas
sebab pada sepuh matamu
gerimis mulai sembunyi di sudutsudut
dan anakanak mulai kehilangan arah pulang
oleh nisbi yang menjelma ruang antara
menjadikannya alpa
menjadikannya tiada
pulanglah
pada kolong ranjang yang setia menanti kembalimu
meski musim telah separuh perak
dan asa adalah permulaan kesekian
selesaikan doadoa yang kau tanam di beranda
dan persilahkan tuhan mampir menyambut kepulanganmu
meski mungkin bersimpang arah
pada jalan yang akhirnya entah,
pulanglah
karena analisis yg bersifat dichotomis, yaitu pembagian dua bentuk dan isi belum dapat memberikan gambaran yang memuaskan, maka menurut rene welleck (1968;151) perlu dianalisa dengan strata norma (lapis norma) masing-masing norma menimbulkan lapis norma di bawahnya. Analisis tersebut adalah analisis norma roman ingarden, seorang filosof polandia dalam bukunya Das literarische kunstwerk.
Lapis pertama adalah lapis bunyi, saya membayangkan membaca puisi ini dengan jeda panjang pendek, agak panjang, dan panjang. Dan saya coba membacanya dengan cara membaca puisi yang pernah saya pelajari, ternyata memang menimbulkan suasana yang memikat, suasana hati yang menuju jalan pulang, pada jejalan kota tua
mari bergegas
sebab pada sepuh matamu
gerimis mulai sembunyi di sudutsudut
dan anakanak mulai kehilangan arah pulang
Lapis pertama ini, menjadi dasar timbulnya lapis arti, yaitu lapis kedua.dan puisi menjadi indah karena tetap menjadikannya “ yang terindah adalah rahasia”. Kita hanya bisa mendekati dengan jejak-jejak tafsir yang kita punyai, demikian kata heidegger. Lapis arti di puisi ini menjadi menarik karena pemilihan diksi yang sederhana, mengalir, tapi begitu tepat menyampaikan apa yang “menggelisahkan” penyair. Sebagaimana tugas penyair adalah bagaimana mengolah sebuah proses kreatif menjadi Puisi. Proses kreatif yang merupakan penjelajahan dari unsur pengalaman (empiris), unsur keindahan (estetis) dan unsur pengamatan (analitis). Di sini penyair bisa mengungkapkan dari sebuah gagasan yang abstrak menjadi sesuatu yang konkret bagi para pembaca. Dari menafsirkan sebuah kegelisahan diri pribadi sampai merefleksikan kegelisahan masyarakatnya.
lapis arti juga menjadi sebuah ruang kontemplasi sekaligus tidak kehilangan keindahan sebuah puisi, karena ketepatan dalam menggunakan bahasa kiasan. Seperti metafora, melihat sesuatu dengan perantara benda yang lain. (Becker, 1978:317).
pulanglah
pada kolong ranjang yang setia menanti kembalimu
meski musim telah separuh perak
dan asa adalah permulaan kesekian
selesaikan doadoa yang kau tanam di beranda
dan persilahkan tuhan mampir menyambut kepulanganmu
membaca bait diatas saya seperti merasakan bagaimana seorang perempuan selalu mengantar dengan iklhas“doa-doa yang di tanam di beranda” dan tulus menerima kolong ranjang yang setia, bila tuhan menyambutnya, persilahkan, jika tidak pun tak apa..karena cinta perempuan tak pernah mengenal musim meski “separuh perak” atau “sepenuh tembaga”. Tersebab harapan adalah sebuah awal atau Permulaan.
Juga lapis arti terbentuk karena gaya pengucapan penyair. Sebagai misal adalah adanya Tautologi yang menyatakan hal atau keadaan dua kali, agar lebih mendalam, seperti :
oleh nisbi yang menjelma ruang antara
menjadikannya alpa
menjadikannya tiada
lapis ketiga adalah lapis “dunia” dipandang dari titik pandang tertentu yg tak perlu dinyatakan, tetapi terkandung didalamnya. Seperti :
meski mungkin bersimpang arah
pada jalan yang akhirnya entah,
pulanglah
bait penutup yang memberikan Sugesti sebuah kepasrahan secara Implisit, dan tak dikatakan dengan eksplisit, cukup dengan simpang arah, entah, dan pulanglah.
Dan lapis terakhir adalah metafisis, dari lapis bunyi, arti, dunia yg implisit, maka menimbulkan ruang perenungan (kontemplasi) yang membuat pembacanya menerka apa makna dari puisi tersebut.
Dan puisi ini membuat saya merenung, haruskah perempuan selalu punya jalan pulang yang sama, adakah jalan itu sesuai dengan yang diinginkan, sebuah renungan yang berayun-ayun antara feminisme dan kodrat sebagai wanita. Berayun-ayun antara kegigihan, kerapuhan, dan rindu akan “pelukan” dan bahu tempat bersandar, meski yang selalu setia adalah kolong ranjang.
Selamat buat Himas Nur, kau telah berhasil membuatku menulis ini.....
Madiun, 2 juni 2012
Arif Gumantia
Penasehat pada Majelis sastra Madiun
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
jadi belajar banyak tentang sastra nih.
salam,
@utamiutar
Posting Komentar