Sebuah sajak yang menjadi adalah sebuah
dunia. dunia yang dijadikan, diciptakan kembali oleh si penyair. Diciptakannya
kembali, dibentuknya dari benda (materi) dan rohani, keadaan alam dan
penghidupan sekelilingnya, dia juga mendapat bahan dari hasil-2 kesenian lain
yang berarti bagi dia, berhubungan djiwa dengan dia, dari pikiran-2 dan
pendapat-2 orang lain.
segala yang masuk dalam bayangannya, anasir-2 atau unsur-2 yang sudah ada
dijadikannya, dihubungkannya satu sama lain, dikawinkannya menjadi suatu kesatuan
yang penuh (indah serta mengharukan) dan baru, suatu dunia baru, dunia
kepunyaan penyair itu sendiri.
(Chairil Anwar, Pidato di radio tahun 1946)
Octavio paz pernah menulis dalam the other
voice “ kontribusi apa yang bisa diberikan oleh puisi dalam menciptakan teori
politik baru? Bukan gagasan atau cita-cita baru, tetapi sesuatu yang lebih
indah dan agung dan juga gampang pecah : MEMORI.” Ada suara lain yang
disuarakan oleh para penyair jika mereka melihat sebuah situasi keadaan. Meski dengan
suara liris dan lirih.
Begitu juga buku antologi Puisi Himas Nuer
ini, Bianglala Komedi Putar dan Negeri dongeng. mencoba menjadikan
puisi-puisinya sebagai sebuah Dunia. Disuarakan dengan liris oleh Himas. yang
mencoba menciptakan puisi untuk menjadi , yaitu menjadi Dunia penyair
Kenapa “Bianglala, Komidi Putar? “dan ada
apa dengan “Negeri Dongeng”? itulah keindahan misteri Puisi. Selalu
menghujamkan pertanyaan bahkan saat sejak membaca judulnya, yang
memaksa pembaca untuk menggali makna yang ada didalamnya, memberikan sebuah
ruang yang terbuka untuk kontemplasi pembacanya.
Pertanyaan kedua adalah Apa sebenarnya
tugas Penyair? Jawabannya menurut saya Sesuai dengan output yang dihasilkannya
yaitu Puisi, maka tugasnya adalah bagaimana mengolah sebuah proses kreatif
menjadi Puisi. Proses kreatif yang merupakan penjelajahan dari unsur pengalaman
(empiris), unsur keindahan (estetis) dan unsur pengamatan (analitis). Di sini
penyair bisa mengungkapkan dari sebuah gagasan yang abstrak menjadi sesuatu yang
konkret bagi para pembaca. Dari menafsirkan sebuah kegelisahan diri pribadi
sampai merefleksikan kegelisahan masyarakatnya.
Membaca Antologi ini, Bagi saya awal dan
sesuatu yang paling awal dari Himas Nur tentunya adalah Buah dari kerendahan
hati. Kerendahan Hati dalam memahami berbagai peristiwa yang berlalu. Meski
kadang beku dan sekejap kehilangan realitasnya. Kerendahan hati ini begitu
penting karena ini adalah awal dari “Keterharuan”. Mengutip Chairil Anwar
kembali : Percintaan, kelahiran, kematian, kesepian, matahari, bulan, ketuhanan
– inilah Pokok-pokok yang berulang selalu mengharukan Penyair. Dan keterharuan
adalah “pokok” yang membuat himas nur melahirkan bait-bait yang indah dalam
Puisinya.
Dalam Puisi Bianglala, komidi putar, dan
negeri dongeng :
..................................................................
Aku tak suka sejarahmu yang melulu Hujan
dan Desember
Kau tahu pasti.
aku bianglala dan kau komedi putar. Dan
pada akhirnya dengan bianglala kau akan mampu menjangkau dunia. Dari puisi
tersebut kalau saya paraphrasekan terasa bahwa sesuatu yang beragam baik itu
sifat, pemikiran, ide akan selalu bisa menjangkau dan menikmati keindahan
dunia.
Himas Nur seakan mengajak kita
bercakap-cakap melalui puisi-puisinya, dengan penggunakan diksi, kata, kalimat
dan bait-baitnya yang berisi Ironi atau perlambang. Dengan gaya ungkap yang
Liris, mentransformasikan antara “kegelisahan jiwa” Penyair dengan “kesadaran
penyair itu sendiri. Bisa saya rasakan dalam Puisi : Di Persimpangan.
Masih saja kau simpan sore itu
Biru yang tak juga semu
Di kecupku
Dan musim berbuah rintik
Metafora sore dan musim hujannya membuat
bait ini jadi indah. Pada bait keduanya tiba-tiba kita terbentur pada sebuah
ironi :
Selanjutnya
Terhenti
Di persimpangan
Dan pengulangan
Tinggal hanya.
Dan tiba-tiba imajinasi kita melayang
menjangkau sebuah persimpangan sebuah pilihan yang selalu terus berulang dalam
hidup.
Atau saya temukan juga di Puisi Jakarta,
Dua Desember Dua ribu sebelas.
Aku diliputi Basah
Oleh gerimis yang jatuh terlambat
Olehmu
Kotamu abu abu
Tapi dadaku memetik biru
Kegelisahan saat melihat sebuah kota, pada
kota yang hingar bingar tapi menghasilkan warna abu-abu yang senyap, bahkan
gerimis pun jatuh terlambat. Tapi si aku tetap memendarkan harapan dengan
perlambang “dadaku memetik biru”.
Ada puisi yang membuat saya merenung,
haruskah perempuan selalu punya jalan pulang yang sama, adakah jalan itu sesuai
dengan yang diinginkan, sebuah renungan yang berayun-ayun antara feminisme dan
kodrat sebagai wanita. Berayun-ayun antara kegigihan, kerapuhan, dan rindu akan
“pelukan” dan bahu tempat bersandar, meski yang selalu setia adalah kolong
ranjang, yang berjudul : Perempuan dan jalan Pulang
pulanglah
pada kolong ranjang yang setia menanti kembalimu
meski musim telah separuh perak
dan asa adalah permulaan kesekian
selesaikan doadoa yang kau tanam di beranda
dan persilahkan tuhan mampir menyambut kepulanganmu
saya mencoba menggali makna, ada sebuah
ruang kontemplasi sekaligus tidak kehilangan keindahan sebuah puisi,
karena ketepatan dalam menggunakan bahasa kiasan. Seperti metafora, melihat
sesuatu dengan perantara benda yang lain. (Becker, 1978:317). Dan bagi saya
keindahannya tak akan pernah pudar, meski tafsir makna yang saya dapatkan tidak
akan setepat apa yang diingankan oleh Himas. Karena
Kita hanya bisa mendekati dengan
jejak-jejak tafsir yang kita punyai, demikian kata heidegger.
Ada juga puisi yang menurut saya adalah
sebuah potret realitas sosial, sebuah tikaman yang dingin pada bait-bait yang
indah, : Perihal laut
Pada laut, aku mengirim sejarah
Tentang ayah yang sibuk memintal peluh
Tentang ibu yang sibuk menanak waktu
Tentang anakanak yang sibuk melarung doa
......................................................................
Fragmen-fragmen kemiskinan telak sudah
berorasi
Di dada
Menjelma obituari di kakikaki malam
......................................
Pada Laut aku menerima Sejarah
Tentang ikanikan mati ditelan tikustikus
kota
......................................
Selamat atas terbitnya Antologi Puisi ini,
Dan terus terang saya memberi apresiasi yang tinggi tentang antologi Puisi Ini.
Dengan usia yang masih Muda, masih di Bangku SMA, Himas Nur sudah melahirkan
Puisi-Puisi dengan tema yang Beragam. Liris dengan metafora, dan ironi
menghasilkan bait-bait yang indah. Meski ada beberapa Puisinya Yang masih bisa
dicarikan Diksi yang lebih memikat, agar membuat pembaca lebih “melambung dan
terhenyak” tetapi ini merupakan sebuah bagian dari proses kepenyairannya. Semoga
selalu rendah hati, agar selalu muncul keterharuan dalam menyulam bait-bait
indahnya.
Dan semoga Buku antologi ini bisa
memberikan kontribusi bagi khazanah sastra indonesia, dan menarik minat pelajar
dan anak muda untuk mencintai puisi.
mari kita rayakan hidup yang penuh
dengan jalinan yang asing dan rahasia ini dengan Puisi. Seperti Puisi yang ada
di antologi ini yang paling saya suka : Selamat Ulang Tahun.
Puisi adalah kita saat senja merapat di
percakapan.kali ini tak ada wajahwajah berpayung malam dan nanar. Yang kutemui
hanyalah desember, senja bergerimis, sebuah buku antologi puisi.Dan matamu yang
hening. damai.mereka menyusunmu menjelma kekunang pada malam kelam.
Sekali lagi Selamat dan Bravo Sastra
Indonesia.
Madiun, 04-03-2013
Arif Gumantia
Ketua Majelis Sastra Madiun