Buku “Bilang Begini, Maksudnya
Begitu” Karya Sapardi Djoko Damono ini adalah Buku Apresiasi Puisi yang tidak
berisi teori teori sastra yang ‘njelimet’ atau rumit tetapi semacam
ajakan untuk mengapresiasi puisi dengan pengenalan medium yang digunakan penyair
yaitu alat kebahasaan berupa : gagasan, metafora, ironi, citraan, perlambang,
suasana, imajinasi, dan sebagainya. Dan cara penjelasannya pun sangat mudah
dipahami karena dengan menampilkan contoh contoh puisi.
Sapardi Djoko Damono, Sastrawan dan
Dosen Universitas Indonesia ini membagi bukunya dalam 11 bagian yaitu wujud
visual berita dan cerita, Puisi sebagai bunyi, jenis-jenis Puisi, Bilang
Begini, Maksudnya Begitu. Memilih Kata, Iman: Manusia dan Pencipta, Simpati
kepada orang susah, Cinta, Sikap Hidup, Memanfaatkan Dongeng, dan Penutup.
Dengan penekanan pada apresiasi yaitu penghargaan atau kesadaran akan adanya
nilai yang berharga dalam puisi.
Hal yang menarik di bab pertama
adalah perbedaan berita dan cerita dalam puisi, perbedaan pertama adalah tanda
baca, penyair bisa menyusun tanda baca sedemikian rupa agar bisa menimbulkan
perasaan tertentu bagi yang membacanya, dan yang kedua adalah susunan larik
yang berbeda dengan berita yang ditulis di Koran. Ada larik larik yang panjang
dan pendek, pada puisi sehingga pembaca bisa merasakan suasana yang dibangun
oleh penyair. (Hal 7)
Puisi sebagai bunyi, menjelaskan
betapa pentingnya bunyi dalam puisi tulis, karena pada saat kita membaca puisi,
huruf huruf yang tercetak dalam kertas itu berubah menjadi bunyi dulu dalam
pikiran kita, sebelum menjelma makna. Dalam menjelaskan jenis jenis puisi pun
Sapardi juga tidak menggunakan teori-teori tetapi dengan berbagai contoh puisi
diantaranya Puisi Taufiq Ismail “Tentang sersan Nurkholis” dan Puisi “Pidato di
kubur orang” karya Subagio Sastrowardoyo . yang dengan mudah dapat kita pahami
apa itu Puisi Sindiran atau Ironi.(Hal 31)
Menurut Sapardi Ironi inilah
sebenarnya terletak inti puisi : “bilang begini, maksudnya begitu”. Penyair
menyampaikan sesuatu gagasan tetapi cara penyampaiannya dengan menggunakan
peranti bahasa yang berupa metafora, personifikasi, dan ironi sehingga pembaca
harus menafsirkan makna yang tersirat dari larik larik puisi tersebut.dan
terkadang puisi puisi tersebut bisa menjadi puisi parabel atau nasehat bagi
pembacanya. Disini diperlukan kecerdasan pembaca untuk menafsirkan puisi bukan
hanya apa yang tersurat, tetapi juga apa yang tersirat, hingga bisa menggali
gagasan dan amanat puisi yang ingin disampaikan Penyair.
Sapardi memberi contoh seperti
soneta yang ditulis Chairil Anwar “Kabar dari Laut” :
…………………………..
Hidup berlangsung antara buritan dan
kemudi
Pembatasan Cuma tanbah menyatukan
kenang
Dan tawa gila pada wiski tercermin
tenang.
…………………………………….
Kata kata yang dipilih Chairil Anwar
mengekspresikan gejolak emosi yang kuat, dan menggunakan perumpamaan atau
ibarat bahwa hidup berlangsung antara buritan dan kemudi. Dan contoh metafora
pada Puisi WS. Rendra :
………………………..
Dadanya bagai daun talas yang lebar
Dengan keringat berpercikan
Ia selalu pasti sabar dan sederhana
Tangannya yang kuat mengolah
nasibnya
…………………………..
Penyair menggunakan kata bagai untuk
membandingkan dua hal, dadanya bagai daun talas yang lebar. Dada petani dan
daunt alas. Penyair menggunakan Metafora atau perbandingan : dua hal
dibandingkan dengan maksud menjelaskan maknanya. Tangannya yang kuat mengolah
nasibnya, nasib yang abstrak, dianggap sebagai sesuatu yang kongkret hingga
bisa diolah seperti sawah.
Perkembanga puisi erat kaitannya
dengan perkembangan bahasa, oleh karena itu Penyair harus cermat dalam memilih
kata dan gaya bahasa. Penyair memang sering dikatakan bisa menciptakan bahasa
‘baru’ karena memiliki licentia poetica atau hak khusus dalam menulis sastra.
Setidaknya mampu dan memiliki hak untuk menciptakan ungkapan baru. (Hal 72).
Atau sebaliknya, penyair bisa juga kembali ke bahasa klasik untuk mengusahakan
kecermatan ekspresi seperti yang dilakukan oleh penyair Amir Hamzah.
Karya sastra sering menyediakan
jawaban bagi berbagai persoalan, oleh karena itu penyair sering memberikan
amanat bagi pembacanya, penyair ingin membantu pembaca yang mencari pegangan
dalam menghadapi masalah dalam rohaninya. Bagian ini dibahas Sapardi dalam bab
Iman: Manusia dan Pencipta, dengan memberi contoh contoh puisi salah satunya
adalah puisi panjang Goenawan Mohamad yang berjudul Gatoloco, puisi yang
bersumber pada karya klasik jawa yang erat kaitannya dengan tasawuf, yakni
serat Gatholoco. Puisi yang menggoda kita untuk mempertimbangkan dan
merenungkan hubungan kawula-Gusti.
Di kebudayaan manapun di belahan
dunia ini puisi banyak ditulis sebagai bagian dari simpati kepada orang susah.
Hal ini juga dibahas oleh Sapardi, dengan memberi contoh dari puisi Toto
Sudarto Bachtiar “Gadis peminta-minta”
Setiap kita bertemu, gadis kecil
berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal untuk kenal
duka
……………………….
Duniamu lebih tinggi dari menara
katedral
Melintas-lintas di atas air kotor,
tetapi yang begitu kauhafal
Jiwa begitu murni, terlalu murni
Untuk bisa membagi dukaku
…………………
Sajak yang ditulis tahun 1955 itu
bisa dianggap mewakili puisi tahun 50-an yang banyak mengungkapkan simpati
penyair terhadap orang miskin.
Berbicara tentang puisi tentu tidak
pernah lepas tentang tema cinta, yang menurut Sapardi cinta adalah pengalaman
yang sangat merepotkan kita, hingga para penyair manapun sejak penciptaan puisi
klasik sampai sekarang sering menciptakan puisi dengan tema cinta. Puisi juga
bisa digunakan oleh penyairnya untuk memperlihatkan sikap hidupnya, baik dengan
teknik menggunakan gaya ungkap prosa liris atau puisi tentang peristiwa.
Di bagian akhir buku Sapardi
memaparkan puisi yang ditulis dengan memanfaatkan dongeng, situasi yang
melandasi proses kreatif penyair yang unik sebab ia berketepatan untuk
menggunakan dongeng, misalnya dongeng tentang wayang yang diambil dari kisah
mahabarata atau Ramayana yang mengalami modifikasi cerita. Hal ini menuntut
kecerdikan penyair untuk menuliskannya dalam lirik ringkas, dengan tafsir yang
menjadikannya dramatic karena diksi dan latar yang diciptakannya.(hal 130)
Secara keseluruhan buku yang ditulis
Sapardi Djoko Damono ini sangat bermanfaat untuk dibaca oleh siapapun. Baik
pelajar, mahasiswa, Guru, Dosen, sastrawan, atau anggota masyarakat lainnya,
karena gaya bahasanya yang sederhana dan disertai banyak contoh hingga mudah
untuk kita pahami. Dan layak kita beri apresiasi yang tinggi di tengah minimnya
buku tentang apresiasi Sastra di tengah hingar bingar kehidupan politik yang
mendominasi narasi negeri ini. Meskipun contoh yang diberikan kurang beragam
terutama tidak adanya karya puisi dari penyair jawa timur, bali, dan Indonesia
timur lainnya. Juga ketiadaan teori teori sastra yang membuat pisau analisanya
kurang tajam.
Judul Buku : Bilang Begini,
Maksudnya Begitu
Penulis : Sapardi
Djoko Damono
Cetakan : 2014
Jumlah halaman : 138 halaman
Penerbit : PT. Gramedia
Pustaka Utama
Kompas Gramedia Building Blok 1 lt.
5
Jl. Palmerah Barat N0. 29-37
Jakarta 10270
Tidak ada komentar:
Posting Komentar