Masukan Nama Penyanyi - Judul Lagu

Mesin Cari Free Download Mp3 Gratis

Translate To Your Language

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

Kamis, 15 Oktober 2009

Resensi buku Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif

Sebuah Biografi Intelektual
Penulis : Syaiful Arif
Pengantar : Prof. Dr. Taufik Abdullah
Ulil Abshar-Abadalla
Penerbit : Koekoesan, Jakarta ( Juli 2009)

KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengkritik keras kapitalisme karena ia membaca Marxisme.Namun,ia juga mengkritik Marxisme karena membaca Gramsci.

Mengamini Gramsci, Gus Dur melihat Marxisme terjebak pada ’ekonomisme kasar’ sehingga tak melihat budaya sebagai potensi perubahan. Grasmci pun dikritik karena Gus Dur membaca teologi pembebasan. KesilapanGramsciyangtakmelihat agama sebagai potensi perubahan membuat Gus Dur tertarik pada gerakan teologi Katolik Amerika Latin yang mengawinkan agama dengan analisis kritis Marxian.

Hanya saja, di titik inilah Gus Dur kemudian mengkritik teologi pembebasan karena ia terjebak dalam ideologi. Sifat ideologis ini yang membuat para teolog pembebasan tidak bebas lagi karena terjebak dalam eksklusivisme gerakan. Maka, tak ayal, Gus Dur pun akhirnya menambatkan model gerakannya pada gerakan keagamaan berwawasan struktural, nonrevolusioner.

Pada titik inilah perbincangan seputar konsepsi pembebasan (berbasis keagamaan) dalam pemikiran Gus Dur menemukan relevansinya; satu hal yang digali oleh Syaiful Arif dalam buku Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif ini. Barangkali ide-ide kiri banyak memengaruhi dan menginspirasi sejumlah tendensi pemikiran dan langkah politik Gus Dur. Namun, faktanya, pembaca Das Kapital pada usia 14 tahun ini tidak sungkan melemparkan kritik terhadap beberapa titik lemah dari sebuah aksi pembebasan serta sinisme atas ‘impotensi’ unsur kebudayaan tertentu, tak terkecuali predikasi miring Marx kepada agama sebagai the opium of the people.

Bagi Marx, gerakan bisa dikatakan revolusioner ketika ia meniadakan agama di dalam dirinya. Tak sebatas kritik,Gus Dur pun menggariskan bahwa model pembebasan yang hakiki adalah pembebasan yang senantiasa berakar dan terarah pada penghargaan setinggi-tingginya terhadap kehidupan sosial manusiawi (human social life) (hlm 254). Garis ide ini tidak hanya menyadari pentingnya sebuah gerakan pembebasan dari jerat hegemoni penindasan demi kemanusiaan, tapi juga memberi jaminan perlakuan manusiawi tetap berlangsung dalam rangkaian prosesi maupun ‘capaian final’ gerak pembebasan itu sendiri.

Tak aneh bila Gus Dur akhirnya memilih aksi pembebasan yang ia sebut sebagai perubahan struktural ‘tanpa Marx’ atau transformasi struktural nonrevolusioner. Poin nonrevolusioner menjadi penting karena bagi Gus Dur, revolusionerisme memiliki ‘sisi gelap’, yakni memosisikan unsur kultural tidak sebagai kebudayaan yang berdiri sendiri dan berhak hidup, tapi hanya sebagai aparat ideologis bagi tercapainya revolusi (hlm 89).

Dengan demikian keragaman dikorbankan demi suksesnya revolusi, yang kemudian melahirkan penyeragaman dan kelembagaan. Dari penyeragaman ini terjadi apa yang disebut Gus Dur sebagai revolusi yang tercuri (the stolen revolution) untuk menjaga dan mengonsolidasikan kehadiran satu pihak saja yang memenangkan revolusi seperti yang terjadi pada Revolusi Iran 1979 atau ‘pencurian’ Joseph Stalin atas Revolusi Bolsjewik 1917 yang menciptakan diktator komunisme (hlm 70).

Kecenderungan ideologisasi dari gerakan inilah yang dihindarkan Gus Dur pada Islam, yang hanya akan menciptakan eksklusivisme dan ekstremisme, meskipun berangkat dari ‘paradigma pembebasan’. Baginya, agama memang menyimpan kekuatan pembebasan, tetapi dunia memiliki mekanisme perubahan tersendiri sehingga bahaya ketika agama diturunkan ke level ‘teknis’ (penentu), sebab ia bisa menjelma kekuasaan yang menindas atas nama ‘otoritas surga’.

Ini sejalan dengan hakikat pembebasan yang ia gariskan sebagai ‘...pembebasan tanpa dasar dan landasan apa pun,kecuali manusia itu sendiri. Jadi sangat eksistensialis (hlm 87).’ Di sinilah pentingnya meletakkan Islam sebagai etika sosial. Orientasi (pembebasan) etis yang dipegang Gus Dur merujuk pada satu tujuan politik yang tidak mengandaikan adanya struktur politik tandingan dari tatanan yang ingin diubah sehingga sebuah gerakan akan terselamatkan dari watak ideologis.

Penekanan pada watak etis ini merupakan sinambung dari pilihan strategi pembebasan Gus Dur yang tidak bersifat sosio-politis, tapi lebih pada sosio-kultural (hlm 95).Keyakinan ini pernah dipraktikkan Gus Dur ketika berhadapan dengan hegemoni pembangunanisme Orde Baru melalui usaha membangkitkan fungsi transformatif Islam sebagai kritik atas praktik penindasan sembari melakukan kerja-kerja praksis yang terkait langsung dengan kebutuhan riil masyarakat.

Dalam kaitan inilah ide pribumisasi Islam tak melulu bersifat budaya. Bagi Gus Dur, pribumisasi Islam adalah conditio sine qua non bagi tergeraknya fungsi etis sosial dari Islam. Karena Islam sudah melerai ketegangan dengan kebudayaan––melalui pribumisasi budaya, Islam tak lagi terjebak dalam perjuangan simbolis selayaknya formalisasi syariat.Islam yang telah membumikan lambaran kulturnya akhirnya bisa naik pada tataran nilai utama (Welstanschauung) dari Islam sendiri, yang tertuju pada keadilan (al-’adalah), persamaan (al-musawah), dan demokrasi (syura).

Pentingnya tiga nilai ini menjadi cita utama Islam karena Gus Dur melihat watak universal dari Islam yang melakukan perlindungan terhadap lima hak dasar manusia (al-kulliyat alkhams) berupa perlindungan terhadap hak hidup, berpikir, berkeyakinan, hak milik pribadi, dan kesucian keluarga. Hak dasar inilah yang menjadi tujuan utama maslahat (ghayatul mashlahat) dan menjadi tujuan utama syariat (maqashid al-syari’ah).

Jadi, nilai keadilan, persamaan (di muka hukum), dan demokrasi adalah kondisi struktural yang harus diwujudkan demi tergeraknya perlindungan terhadap hak dasar kemanusiaan tadi. Term transformatif dalam buku ini menjadi epistemologi kunci bagi kelahiran ide-ide segar dan sejumlah aksi perjuangan Gus Dur baik yang menyentuh wacana keagamaan, kebudayaan maupun ilmu sosial.Ada kesan, penulis berusaha melampaui mainstreamtipologisasi atas corak intelektualisme Gus Dur.

Banyak kritik disasarkan pada sejumlah ‘bias paradigmatis’ para peneliti saat mengotakkan pemikiran Gus Dur pada isme-isme tertentu.Kendati demikian, kritik tersebut sejatinya tidak sampai menganulir secara radikal, sebab yang berbeda dari ‘temuan baru’ ini dengan beberapa paham yang dialamatkan pada Gus Dur sebelumnya, semacam liberalisme, sekularisme, neomodernisme, pluralisme, atau pribumisasi Islam, terletak pada cita utama dan arah gerakan pemikiran Gus Dur.

Kalau yang lain memahami watak pemikirannya sebagai kesadaran pembaruan atas ‘keloyoan’ tradisi, maka watak transformatif mengandaikan pembaruan tersebut tak ubahnya ‘jembatan’ yang terhubung dengan cita pembebasan dari struktur politik otoriter yang tidak memihak.(*)

Mahbib Khoiron
Mahasiswa Filsafat Islam, ICAS Jakarta
Harian Seputar-Indonesia
8 Agustus 2009
Bagi yang berminat bisa menghubungi Syaiful Arif (081316299209)
atau penerbit Kokoesan (085868685177)

Tidak ada komentar: