Telah lelah dan basah ranjang ini
Dalam jalinan hisap yang menghisapi
Tapi selalu ada misteri
Sebuah ruang kosong untuk ditempati
Perkawinan adalah bersatunya dua hati
Dan saling berbagi akan hak pribadi
Berdua merangkak dan menguak takdir diri
Agar keperkasaan dan kelembutan saling melengkapi
Tidak terkunci pada sensasi puncak birahi
Tapi melesat dalam setubuh bathin yang hakiki
Walau jiwa kadang ingin sembunyi
Agar bebas merasakan rindu pada sunyi
Perkawinan akan selalu punya arti
Jika saat padang asmara berisi air mawar melati
setiap hujan tawa menemani hari
ataupun
Setiap pedih dan luka memayungi diri
setiap ditikam sepi
selalu ada dua hati yang memikul beban ini
Selasa, 17 Maret 2009
Pada Inflasi kita bertanya..
Dalam sebuah percakapan ringan di sebuah warung kopi, ada seseorang yang bertanya pada penulis, “Mas Arif, kalo kit abaca di Koran atau majalah inflasi khan tidak begitu tinggi bahkan di bawah 3 %, tapi kenapa kok rasanya masyarakat bawah masih kesulitan untuk mencukupi kebutuhan pokoknya?”. Sebuah pertanyaan yang datar tapi memberikan implikasi yang panjang untuk menjawabnya.
Karena sedikit sekali ada sebuah lembaga yang menghitung Indeks Inflasi selain BPS, karena lembaga lain lebih suka terlibat dalam survey politik, maka penulis akan menengok pada data resmi yang dikeluarkan BPS meskipun punya time-lag terkecil.
Meskipun juga ada anggapan bahwa tingkat inflasi yg dihitung lebih rendah dari kenyataan naiknya harga-harga di pasar sebenarnya.
Mengacu pada Negara lain, BPS juga menghitung inflasi berdasarkan IHK (indeks harga konsumen), sebuah indeks dari harga-harga sejumlah barang dan jasa yg mewakili konsumsi rumah tangga secara rata-2. dan dalam IHK sendiri dibagi 7 kelompok : makanan, bahan makanan termasuk tembakau, perumahan, sandang, perawatan kesehatan, pendidikan dan rekreasi, serta transportasi dan komunikasi.
Inflasi secara mudahnya adalah kenaikan indeks harga, baik secara umum maupun kelompok, sedangkan deflasi adalah sebaliknya. Yang menjadi persoalan dan titik pijak jawaban di atas adalah jarang sekali kita mempertanyakan Inflasi per kelompok, dalam hal ini kelompok makanan berapa inflasinya, atau transportasi? Tapi lebih melihat secara langsung inflasi secara keseluruhan, dan inflasi keseluruhan inilah yang sering digunakan sebagai diskusi-2 tentang ekonomi makro, sehingga resume yang dihasilkan dalam diskusi tersebut sering menimbulkan bias yang menyimpang dari realitas.
Padahal kalo dilihat data tahun 2008, inflasi secara umum adalah 11,06 % tetapi inflasi di kelompok makanan adalah 16,35 % jauh melaumpaui inflasi umum. Bahkan data terakhir di bulan maret, Inflasi untuk bulan pebruari adalah 0,21 % tapi inflasi kelompok makanan mencapai 0,95 %. Dan menurut Engel : dalam Rumah tangga, semakin kaya sebuah rumah tangga maka akan semakin kecil porsi pengeluaran untuk makanan. Karena kelompok ini sudah mampu untuk memenuhi kebutuhan yang lainnya yg merupakan kebutuhan tersier.
Bahkan dalam inflasi tinggi pun kelompok kaya akan tetap bisa investasi dalam deposito ataupun Saham. Kalau Inflasi tertinggi ada pada kelompok makanan maka yang paling terpukul tentunya kelompok yang punya uang tapi hanya cukup untuk membeli makanan dan bahan makanan lainnya. Disinilah para masyarakat bawah yg sebagian besar ada di republic tercinta ini berada. Pegawai rendahan, buruh, petani, dan pedagang kecil. Mereka semua adalah korban terparah.
Karena mau tidak mau untuk tetap hidup mereka harus makan, sedangkan dengan gaji tetap rendah, sedangkan untuk petani dan pedagang para pembelinya sedang berada dalam daya beli yang rendah. Untuk kaum Buruh dan pegawai rendah, meskipun gajinya sudah dinaikkan, tetapi karena gaji sebelumnya memang hanya cukup untuk makan, sedangkan harga makanan selalu merangkak naik, maka lengkaplah sudah penderitaan mereka.
Dalam hal ini sudilah kiranya mereka yang punya tanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat untuk bisa memberi makna pada data-data inflasi yang ada untuk menyusun kebijakan tentang mau di bawa kemana Ekonomi Makro kita. Karena seperti penulis amati selama ini, perhitungan untuk menaikkan gaji dan UMR selalu mengacu pada inflasi umum, bukan per kelompok. Dan juga perhitungan untuk suku bunga kredit pun mengacu pada Inflasi umum juga, padahal yg selalu melejit lebih tinggi adalah inflasi kelompok makanan, yang merupakan kebutuhan paling dasar dari masyarakat. Dengan suku bunga kredit yang tinggi, semakin mempersulit kehidupan petani dan pedagang kecil. Di satu sisi daya beli sudah melemah, sedangkan di sisi yang lain mau pinjam modal, terkendala pada suku bunga yang tinggi.
Akankah hal ini akan terus terjadi, kita tanyakan saja pada para Caleg-Caleg yang sekarang sedang Ber-ORASI.
Karena sedikit sekali ada sebuah lembaga yang menghitung Indeks Inflasi selain BPS, karena lembaga lain lebih suka terlibat dalam survey politik, maka penulis akan menengok pada data resmi yang dikeluarkan BPS meskipun punya time-lag terkecil.
Meskipun juga ada anggapan bahwa tingkat inflasi yg dihitung lebih rendah dari kenyataan naiknya harga-harga di pasar sebenarnya.
Mengacu pada Negara lain, BPS juga menghitung inflasi berdasarkan IHK (indeks harga konsumen), sebuah indeks dari harga-harga sejumlah barang dan jasa yg mewakili konsumsi rumah tangga secara rata-2. dan dalam IHK sendiri dibagi 7 kelompok : makanan, bahan makanan termasuk tembakau, perumahan, sandang, perawatan kesehatan, pendidikan dan rekreasi, serta transportasi dan komunikasi.
Inflasi secara mudahnya adalah kenaikan indeks harga, baik secara umum maupun kelompok, sedangkan deflasi adalah sebaliknya. Yang menjadi persoalan dan titik pijak jawaban di atas adalah jarang sekali kita mempertanyakan Inflasi per kelompok, dalam hal ini kelompok makanan berapa inflasinya, atau transportasi? Tapi lebih melihat secara langsung inflasi secara keseluruhan, dan inflasi keseluruhan inilah yang sering digunakan sebagai diskusi-2 tentang ekonomi makro, sehingga resume yang dihasilkan dalam diskusi tersebut sering menimbulkan bias yang menyimpang dari realitas.
Padahal kalo dilihat data tahun 2008, inflasi secara umum adalah 11,06 % tetapi inflasi di kelompok makanan adalah 16,35 % jauh melaumpaui inflasi umum. Bahkan data terakhir di bulan maret, Inflasi untuk bulan pebruari adalah 0,21 % tapi inflasi kelompok makanan mencapai 0,95 %. Dan menurut Engel : dalam Rumah tangga, semakin kaya sebuah rumah tangga maka akan semakin kecil porsi pengeluaran untuk makanan. Karena kelompok ini sudah mampu untuk memenuhi kebutuhan yang lainnya yg merupakan kebutuhan tersier.
Bahkan dalam inflasi tinggi pun kelompok kaya akan tetap bisa investasi dalam deposito ataupun Saham. Kalau Inflasi tertinggi ada pada kelompok makanan maka yang paling terpukul tentunya kelompok yang punya uang tapi hanya cukup untuk membeli makanan dan bahan makanan lainnya. Disinilah para masyarakat bawah yg sebagian besar ada di republic tercinta ini berada. Pegawai rendahan, buruh, petani, dan pedagang kecil. Mereka semua adalah korban terparah.
Karena mau tidak mau untuk tetap hidup mereka harus makan, sedangkan dengan gaji tetap rendah, sedangkan untuk petani dan pedagang para pembelinya sedang berada dalam daya beli yang rendah. Untuk kaum Buruh dan pegawai rendah, meskipun gajinya sudah dinaikkan, tetapi karena gaji sebelumnya memang hanya cukup untuk makan, sedangkan harga makanan selalu merangkak naik, maka lengkaplah sudah penderitaan mereka.
Dalam hal ini sudilah kiranya mereka yang punya tanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat untuk bisa memberi makna pada data-data inflasi yang ada untuk menyusun kebijakan tentang mau di bawa kemana Ekonomi Makro kita. Karena seperti penulis amati selama ini, perhitungan untuk menaikkan gaji dan UMR selalu mengacu pada inflasi umum, bukan per kelompok. Dan juga perhitungan untuk suku bunga kredit pun mengacu pada Inflasi umum juga, padahal yg selalu melejit lebih tinggi adalah inflasi kelompok makanan, yang merupakan kebutuhan paling dasar dari masyarakat. Dengan suku bunga kredit yang tinggi, semakin mempersulit kehidupan petani dan pedagang kecil. Di satu sisi daya beli sudah melemah, sedangkan di sisi yang lain mau pinjam modal, terkendala pada suku bunga yang tinggi.
Akankah hal ini akan terus terjadi, kita tanyakan saja pada para Caleg-Caleg yang sekarang sedang Ber-ORASI.
Jumat, 13 Maret 2009
Tersesat di pintu Surga
Di saat
Lidah ini bertasbih memuji-MU
Sudah sampaikah aku pada Arasy-MU
Sebagaimana Jibril utusan-MU
Ataukah aku masih ada di duniaku
Sungguh aku tak tahu Tuhan
Yang kutahu Engkau tidak hanya ada
Di dinding-dinding Mushola
Di puncak-puncak gereja dan pura
Tapi Engkau juga hadir dan ada
Pada tawa anak jalanan yang membawa sebotol vodka
Pada pemulung yang meng-kais-kais sisa mimpinya
Pada Tubuh menggigil di etalase-etalase wanita
Yang menjajakan cintanya
Ketika
Jiwa ini bersujud dalam tumpukan Tanya
Sampaikah aku pada Sidratul Muntaha
Ataukah aku justru tersesat di pintu surga?
Aku hanya bisa berkata
Peduli apa aku pada surga dan neraka
Kalau Kasih-MU meliputi segala sesuatu
Dan pada-MU jua aku merindu
11/03/2009
Madiun menjelang senja
Lidah ini bertasbih memuji-MU
Sudah sampaikah aku pada Arasy-MU
Sebagaimana Jibril utusan-MU
Ataukah aku masih ada di duniaku
Sungguh aku tak tahu Tuhan
Yang kutahu Engkau tidak hanya ada
Di dinding-dinding Mushola
Di puncak-puncak gereja dan pura
Tapi Engkau juga hadir dan ada
Pada tawa anak jalanan yang membawa sebotol vodka
Pada pemulung yang meng-kais-kais sisa mimpinya
Pada Tubuh menggigil di etalase-etalase wanita
Yang menjajakan cintanya
Ketika
Jiwa ini bersujud dalam tumpukan Tanya
Sampaikah aku pada Sidratul Muntaha
Ataukah aku justru tersesat di pintu surga?
Aku hanya bisa berkata
Peduli apa aku pada surga dan neraka
Kalau Kasih-MU meliputi segala sesuatu
Dan pada-MU jua aku merindu
11/03/2009
Madiun menjelang senja
Jumat, 06 Maret 2009
Lumpur yang mencari muara
Lumpur-lumpur yang menyembur
Merayap mencari jalan menuju muara
Tapi sia-sia jua
Kaki-kaki gerimis yang jatuh dari langit
berlomba mencoba tunjukkan muara
Tak akan pernah bisa
Lumpur menerkam apa yang ada
Rumah, tanah, kuburan, mushola, dan kota
Lumpur tenggelamkan masa lalu dan masa depan kita
Para politisi datang silih berganti
Menawarkan ujung pelangi
Agar kami bisa membuat lukisan pagi
Pengusaha lalu lalang menyapa
Mencoba membawa sebongkah purnama
Untuk menemani malam-malam kami yang gulita
Dan Pejabat Negara bagai dewa
Membawakan sepotong surga
Agar anak-anak kami bisa sedikit tertawa
Semua berjanji bagai matahari
Tapi lelah kami sudah tak terperi
Mereka bagai kerumunan orang-orang telanjang
Yang menari-nari di atas ganti rugi
Madiun, 05/03/2009
(buat mbak Rini Asmoro)
Merayap mencari jalan menuju muara
Tapi sia-sia jua
Kaki-kaki gerimis yang jatuh dari langit
berlomba mencoba tunjukkan muara
Tak akan pernah bisa
Lumpur menerkam apa yang ada
Rumah, tanah, kuburan, mushola, dan kota
Lumpur tenggelamkan masa lalu dan masa depan kita
Para politisi datang silih berganti
Menawarkan ujung pelangi
Agar kami bisa membuat lukisan pagi
Pengusaha lalu lalang menyapa
Mencoba membawa sebongkah purnama
Untuk menemani malam-malam kami yang gulita
Dan Pejabat Negara bagai dewa
Membawakan sepotong surga
Agar anak-anak kami bisa sedikit tertawa
Semua berjanji bagai matahari
Tapi lelah kami sudah tak terperi
Mereka bagai kerumunan orang-orang telanjang
Yang menari-nari di atas ganti rugi
Madiun, 05/03/2009
(buat mbak Rini Asmoro)
Rabu, 04 Maret 2009
Suara dari Ruang hampa
Para pialang uang Negara
Bercengkrama dalam hotel-hotel bintang lima
Mandi peluh dalam ruang-ruang spa
Berbicara seakan melepas dahaga
“Bagaimana melenyapkan orang miskin dan nestapa?”
Mereka yang merasa bisa menguasai surga
Terperangkap dalam menara-menara agama
Mencari formula tentang cara berdo’a
Dan saling melempar Tanya
“tuhan mana yang akan kita penjara?”
Riuh rendah para wakil negara
Mencoba menyensor semua ruang syahwat yang ada
Dan sesekali berkaca
“masih pantaskah punya simpanan yang ke-lima?”
Mereka yang merasa kuasa atas Negara
Duduk melingkar di atas hamparan mega
Mencoba merajut angan menjadi asa
“Bisakah pendidikan tanpa biaya?”
Serasa aku ada di ruang hampa
Terpaku dan terkesima
Saat mendengar suara
Hanya ada satu yang tanpa biaya
“derita manusia!”
Madiun,2 maret 2009
setelah banjir melanda
Bercengkrama dalam hotel-hotel bintang lima
Mandi peluh dalam ruang-ruang spa
Berbicara seakan melepas dahaga
“Bagaimana melenyapkan orang miskin dan nestapa?”
Mereka yang merasa bisa menguasai surga
Terperangkap dalam menara-menara agama
Mencari formula tentang cara berdo’a
Dan saling melempar Tanya
“tuhan mana yang akan kita penjara?”
Riuh rendah para wakil negara
Mencoba menyensor semua ruang syahwat yang ada
Dan sesekali berkaca
“masih pantaskah punya simpanan yang ke-lima?”
Mereka yang merasa kuasa atas Negara
Duduk melingkar di atas hamparan mega
Mencoba merajut angan menjadi asa
“Bisakah pendidikan tanpa biaya?”
Serasa aku ada di ruang hampa
Terpaku dan terkesima
Saat mendengar suara
Hanya ada satu yang tanpa biaya
“derita manusia!”
Madiun,2 maret 2009
setelah banjir melanda
Jangan kau jerat aku..
Jangan kau jerat aku dengan Kitab tafsirmu
karena aku tidak mau terhenti pada syariatmu
biarkan nafasku
menyelam dalam samudra
hakikat
Lepaskan belenggu Dogmamu
karena aku diberi jiwa pada mata
untuk bisa membedakan
mana cakrawala, bianglala, dan cahaya
kumohon jangan kau ikat aku dengan fatwamu
karena aku diberikan hati
untuk bisa saling berbagi
Dan
kumohon jangan kau paksa aku
untuk menyukai selera khutbahmu
karena
tuhan sedang mengajariku
menulis puisi untukmu
madiun, 24/02/2009
dalam gerimis
karena aku tidak mau terhenti pada syariatmu
biarkan nafasku
menyelam dalam samudra
hakikat
Lepaskan belenggu Dogmamu
karena aku diberi jiwa pada mata
untuk bisa membedakan
mana cakrawala, bianglala, dan cahaya
kumohon jangan kau ikat aku dengan fatwamu
karena aku diberikan hati
untuk bisa saling berbagi
Dan
kumohon jangan kau paksa aku
untuk menyukai selera khutbahmu
karena
tuhan sedang mengajariku
menulis puisi untukmu
madiun, 24/02/2009
dalam gerimis
Kotaku Tenggelam oleh kata-kata..
Kata-kata
Mengalir.membanjiri pusat kota
Mencium kesadaran kita dan
Berhenti menjelma di papan iklan pembersih wanita
“lembut untuk organ intim anda”
Di pinggiran kota
Kata-kata bagai pipa menyalurkan semua makna
Menempel pada poster dan baliho
Menempel pada kopiah dan kerudung mereka
Menempel pada senyum yang dipaksakan para wakil rakyat jelata
“Pilihlah saya maka kami wujudkan impian anda”
Di jalanan aspal datar menuju kota
Kata-kata berhamburan dari tasbih para alim ulama
Memenuhi semua rongga udara
“kamilah yang berhak mengatur urusan buah dada dan paha”
Masih adakah ruang yang tersisa?
Kucoba tengadahkan muka ke angkasa
Tapi kembali aku harus kecewa
Di angkasa berserakan kata dari butiran-butiran mega
“lima langkah menuju surga”
20/02/2009
Madiun, sebelum ada cahaya
Mengalir.membanjiri pusat kota
Mencium kesadaran kita dan
Berhenti menjelma di papan iklan pembersih wanita
“lembut untuk organ intim anda”
Di pinggiran kota
Kata-kata bagai pipa menyalurkan semua makna
Menempel pada poster dan baliho
Menempel pada kopiah dan kerudung mereka
Menempel pada senyum yang dipaksakan para wakil rakyat jelata
“Pilihlah saya maka kami wujudkan impian anda”
Di jalanan aspal datar menuju kota
Kata-kata berhamburan dari tasbih para alim ulama
Memenuhi semua rongga udara
“kamilah yang berhak mengatur urusan buah dada dan paha”
Masih adakah ruang yang tersisa?
Kucoba tengadahkan muka ke angkasa
Tapi kembali aku harus kecewa
Di angkasa berserakan kata dari butiran-butiran mega
“lima langkah menuju surga”
20/02/2009
Madiun, sebelum ada cahaya
kenangan-2 yg menyusun ingatan
Kenangan bertanya pada waktu..
kapankah kau bisa diam sejenak?
agar aku berhenti
tak menyusun sebuah ingatan
waktu berkata sambil berlalu
bukankah aku punya satu, dua, tiga, dan empat sayap
sedangkan kau hanya punya sayap beku
yang tersusun dari lintasanku
Kenangan menghampiri ingatan
andai aku punya lelap sepertimu
sebagai sebuah kebisuan
hingga lupa tentang esensiku
ingatan terdiam..memandang rapuh waktu silam
seperti sebuah Puzzle
ada air mata
gelak tawa
asap kenikmatan
seringai orgasme
desah rindu
aroma dendam
dan juga
kepalsuan yang menggumam...
kapankah kau bisa diam sejenak?
agar aku berhenti
tak menyusun sebuah ingatan
waktu berkata sambil berlalu
bukankah aku punya satu, dua, tiga, dan empat sayap
sedangkan kau hanya punya sayap beku
yang tersusun dari lintasanku
Kenangan menghampiri ingatan
andai aku punya lelap sepertimu
sebagai sebuah kebisuan
hingga lupa tentang esensiku
ingatan terdiam..memandang rapuh waktu silam
seperti sebuah Puzzle
ada air mata
gelak tawa
asap kenikmatan
seringai orgasme
desah rindu
aroma dendam
dan juga
kepalsuan yang menggumam...
Temaram senja di sebuah bandara.
Jauhkah perjalanan-perjalanan ini.
tidak!
Cuman selenggang kita berjalan
pada bunga bersemi aku pernah bertanya sendiri,
dan pada lagu yang melembut jadi melodi,
Aku tidak ingin kita bagai matahari rembulan
berlarian sepanjang waktu untuk mencoba berpelukan
tidak akan pernah bisa kesampaian,
Aku ingin kita bagai laut dan langit biru,
saling berkaca dan saling memberi warna,
kenapa
Senja terlalu cepat menjadi sunyi dan kelam
kenapa
Merah sinarmu tak kutemukan di waktu lalu
hingga bisa kunikmati segenap senyum, wajah, tubuh,
dan hatimu,
tapi, bukankah hidup penuh jalinan yang asing dan rahasia
tidak!
Cuman selenggang kita berjalan
pada bunga bersemi aku pernah bertanya sendiri,
dan pada lagu yang melembut jadi melodi,
Aku tidak ingin kita bagai matahari rembulan
berlarian sepanjang waktu untuk mencoba berpelukan
tidak akan pernah bisa kesampaian,
Aku ingin kita bagai laut dan langit biru,
saling berkaca dan saling memberi warna,
kenapa
Senja terlalu cepat menjadi sunyi dan kelam
kenapa
Merah sinarmu tak kutemukan di waktu lalu
hingga bisa kunikmati segenap senyum, wajah, tubuh,
dan hatimu,
tapi, bukankah hidup penuh jalinan yang asing dan rahasia
Waktu yang fana
Angin yang setia menyusuri waktu
serasa menampar semua kenangan
berjalan melipat hari
setelah tenggelam dalam kekhusyu'an yang syahdu
Berada ribuan kilometer jauh dari muka bumi dan laut
maka sayangku, kucoba menjabat tanganmu
mendekap wajahmu yang selalu ada dibenakku
meraih bibirmu yang selalu tersenyum
dengan sebuah ciuman putih segenap kalbu
kita pungut detik demi detik
merangkainya seperti sebuah bunga
karena yang fana adalah waktu
kalbu dan jiwa kita berdua abadi.
serasa menampar semua kenangan
berjalan melipat hari
setelah tenggelam dalam kekhusyu'an yang syahdu
Berada ribuan kilometer jauh dari muka bumi dan laut
maka sayangku, kucoba menjabat tanganmu
mendekap wajahmu yang selalu ada dibenakku
meraih bibirmu yang selalu tersenyum
dengan sebuah ciuman putih segenap kalbu
kita pungut detik demi detik
merangkainya seperti sebuah bunga
karena yang fana adalah waktu
kalbu dan jiwa kita berdua abadi.
Belajar pada Mahatma Gandhi..
Di dinding makam mahatma Gandhi ada tulisan kata-2 mutiara almarhum yang dipahat dengan judul “seven social sins” (tujuh dosa social), yang kira-2 penulis terjemahkan dengan bebas sebagai berikut :
- Politics without principle ( Politik tanpa prinsip)
- Wealth without work ( Kekayaan tanpa kerja)
- Pleasure without conscience ( Kenikmatan tanpa nurani )
- Knowledge without character ( Pengetahuan tanpa karakter )
- Commerce without morality ( Bisnis tanpa moralitas )
- Science without humanity ( Ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan )
- Worship without sacrifice ( ibadah tanpa pengorbanan )
Kata-kata mutiara tersebut adalah sebuah esensi dari kehidupan kita, baik sebagai pribadi maupun dalam kehidupan kenegaraan kita, sebuah petuah yang sangat luar biasa, dan keluar dari jiwa yang kita sama-sama tahu jernih dalam hati, jiwa, dan pikiran Almarhum.
Gandhi memimpin rakyat India melepaskan diri dari penjajahan inggris, tidak dengan darah dan kekuatan Militer, namun dengan Resistensi anti-kekerasan (non-cooperation non-violent, civil disobedience). India mencapai kemerdekaan tahun 1947, namun meninggal dengan tragis dibunuh oleh seorang hindu fanatic di tahun 1947 juga.
Kalau kita melihat apa yang terjadi di sekitar kita, masih banyak perilaku-perilaku yang sesuai dengan 7 social sins tersebut di atas.
Ibadah tanpa pengorbanan, banyak yang asyik ber-ibadah secara khusyuk dengan Tuhan-nya tapi sedikit sekali mau berkorban untuk lingkungan sekitarnya apalagi negaranya, hanya memburu surga dengan kenikmatan diri sendiri, tanpa peduli kelaparan dan penderitaan yang mendera tetangganya. Berkorban di sini bukan dalam pengertian harus dengan tetesan darah dan air mata, tapi bisa dengan sumbangan pemikiran, sumbangan materi, atau sumbangan tenaga sesuai dengan kemampuannya.
Bisnis tanpa moralitas, kita bisa lihat bagaimana silang sengkarut dari penanganan Lumpur lapindo, dan masih banyak lagi Bisnis yang banyak mengejar untung dan memburu rente..tanpa peduli tentang moral.
Diasosiasikan dengan Kekayaan tanpa kerja maka yang tumbuh subur di negeri ini adalah bukan pengusaha yang punya kompetisi dan kompetensi yang tangguh, tapi lebih pada pengusaha yang hidup karena Kolusi dan nepotisme. Dan juga pada akhirnya akan bisa menumpuk kekayaan tanpa kerja, yang sekarang sama-sama kita lihat menimbulkan jurang kesenjangan social yang menganga.
Politik tanpa prinsip, sudah dari dulu memang politikus kita tanpa prinsip yang jelas, hanya mengejar kepentingan-kepentingan sesaat dalam hubungannya dengan kursi kekuasaan. Padahal dengan ber-politik yang benar dan dengan prinsip buat kemajuan masyarakat akan bisa menghasilkan sebuah pondasi system politik yang bermuara pada system Negara dan system hukum yang credible.
Dengan system politik tanpa prinsip ini akan lahirlah manusia-manusia hedonisme yang hanya memburu kenikmatan tanpa nurani. Bagaimana mereka punya Nurani kalo saat membicarakan tentang kemiskinan mereka breakfast di sebuah hotel bintang lima yang biayanya setara dengan sarapan ratusan orang miskin. Dan inilah yang sesungguhnya terjadi di negeri ini.
Dan dengan Ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan yang ada hanyalah penguasa-penguasa tekhnologi yang cerdik pandai tapi berdiri di awing-awang. Sebuah Ilmu pengetahuan yang tidak bisa menyeimbangkan antara sisi tekhnologi dan sisi humanioranya. Sehingga yang muncul adalah pengetahuan tanpa punya karakter bangsa. Kita hanya menjadi User, pemakai tanpa pernah mencipta. Contoh yang sangat nyata di depan mata..berapa juta Ponsel yang membanjiri pasar kita, tapi tak satupun ada yang produk kita sendiri. Kita hanya menjadi penonton dalam hingar bingar industri selular.
Dan kita hanya berharap adakah akan lahir Gandhi di Negara kita, ataukah satrio piningit yang konon katanya bisa membuat kita sejahtera benar-benar ada. Ataukah hanya sebuah angan-2 yang selalu tertunda.
- Politics without principle ( Politik tanpa prinsip)
- Wealth without work ( Kekayaan tanpa kerja)
- Pleasure without conscience ( Kenikmatan tanpa nurani )
- Knowledge without character ( Pengetahuan tanpa karakter )
- Commerce without morality ( Bisnis tanpa moralitas )
- Science without humanity ( Ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan )
- Worship without sacrifice ( ibadah tanpa pengorbanan )
Kata-kata mutiara tersebut adalah sebuah esensi dari kehidupan kita, baik sebagai pribadi maupun dalam kehidupan kenegaraan kita, sebuah petuah yang sangat luar biasa, dan keluar dari jiwa yang kita sama-sama tahu jernih dalam hati, jiwa, dan pikiran Almarhum.
Gandhi memimpin rakyat India melepaskan diri dari penjajahan inggris, tidak dengan darah dan kekuatan Militer, namun dengan Resistensi anti-kekerasan (non-cooperation non-violent, civil disobedience). India mencapai kemerdekaan tahun 1947, namun meninggal dengan tragis dibunuh oleh seorang hindu fanatic di tahun 1947 juga.
Kalau kita melihat apa yang terjadi di sekitar kita, masih banyak perilaku-perilaku yang sesuai dengan 7 social sins tersebut di atas.
Ibadah tanpa pengorbanan, banyak yang asyik ber-ibadah secara khusyuk dengan Tuhan-nya tapi sedikit sekali mau berkorban untuk lingkungan sekitarnya apalagi negaranya, hanya memburu surga dengan kenikmatan diri sendiri, tanpa peduli kelaparan dan penderitaan yang mendera tetangganya. Berkorban di sini bukan dalam pengertian harus dengan tetesan darah dan air mata, tapi bisa dengan sumbangan pemikiran, sumbangan materi, atau sumbangan tenaga sesuai dengan kemampuannya.
Bisnis tanpa moralitas, kita bisa lihat bagaimana silang sengkarut dari penanganan Lumpur lapindo, dan masih banyak lagi Bisnis yang banyak mengejar untung dan memburu rente..tanpa peduli tentang moral.
Diasosiasikan dengan Kekayaan tanpa kerja maka yang tumbuh subur di negeri ini adalah bukan pengusaha yang punya kompetisi dan kompetensi yang tangguh, tapi lebih pada pengusaha yang hidup karena Kolusi dan nepotisme. Dan juga pada akhirnya akan bisa menumpuk kekayaan tanpa kerja, yang sekarang sama-sama kita lihat menimbulkan jurang kesenjangan social yang menganga.
Politik tanpa prinsip, sudah dari dulu memang politikus kita tanpa prinsip yang jelas, hanya mengejar kepentingan-kepentingan sesaat dalam hubungannya dengan kursi kekuasaan. Padahal dengan ber-politik yang benar dan dengan prinsip buat kemajuan masyarakat akan bisa menghasilkan sebuah pondasi system politik yang bermuara pada system Negara dan system hukum yang credible.
Dengan system politik tanpa prinsip ini akan lahirlah manusia-manusia hedonisme yang hanya memburu kenikmatan tanpa nurani. Bagaimana mereka punya Nurani kalo saat membicarakan tentang kemiskinan mereka breakfast di sebuah hotel bintang lima yang biayanya setara dengan sarapan ratusan orang miskin. Dan inilah yang sesungguhnya terjadi di negeri ini.
Dan dengan Ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan yang ada hanyalah penguasa-penguasa tekhnologi yang cerdik pandai tapi berdiri di awing-awang. Sebuah Ilmu pengetahuan yang tidak bisa menyeimbangkan antara sisi tekhnologi dan sisi humanioranya. Sehingga yang muncul adalah pengetahuan tanpa punya karakter bangsa. Kita hanya menjadi User, pemakai tanpa pernah mencipta. Contoh yang sangat nyata di depan mata..berapa juta Ponsel yang membanjiri pasar kita, tapi tak satupun ada yang produk kita sendiri. Kita hanya menjadi penonton dalam hingar bingar industri selular.
Dan kita hanya berharap adakah akan lahir Gandhi di Negara kita, ataukah satrio piningit yang konon katanya bisa membuat kita sejahtera benar-benar ada. Ataukah hanya sebuah angan-2 yang selalu tertunda.
Langganan:
Postingan (Atom)