Masukan Nama Penyanyi - Judul Lagu

Mesin Cari Free Download Mp3 Gratis

Translate To Your Language

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

Minggu, 09 Agustus 2009

Kopi, Mbah Surip, Dan Sastrawan.


Artikel lepas ini dipersembahkan untuk mengenang kepergian Mbah Surip yang menjadi sosok seniman fenomenal. Memenuhi kategori fenomenologis karena kehadirannya juga sekaligus kepergiannya – meski banyak tafsir yang bisa digali dari sisi ini, seperti ketika Mbah Surip ‘menggendong’ wacana tentang Tak Gendong maka secara implisit mungkin dia ingin bercerita bagaimana kita ini menanggung tugas untuk ‘menggendong’ spirit humanisme tanpa sekat waktu dan ruang…Begitupun sebaliknya, bahwa pada setiap diri ini sebenarnya masing-masing ‘menggendong’ dosa-dosa yang konon tidak berkurang namun selalu bertambah…

Mengenang sosok Mbah Surip yang ‘maniak’ kopi ini, kita jadi teringat pada beberapa tokoh yang mencintai kopi seperti halnya ‘mencintai diri sendiri’ bahkan melebihinya…salah satu adalah Honore de Balzac. Dikisahkan bahwa Mbah Surip itu bisa menghabiskan berpuluh-puluh cangkir kopi dalam keseharianya, konon karena kopi yang sangat dicintai inilah – Mbah Surip lalu menemui Sang Maha Cinta. Kita semua berdoa yang terbaik untuknya. Semoga juga menjadi pengingat bagi para pecinta kopi, seperti dikisahkan berikut ini dalam sebuah narasi ringan tentang “Kopi dan Kedahsyatannya Mempengaruhi Sastra dari Masa ke Masa”.

Paris, April 1835. Kuncup musim semi baru saja merekah. Di rumahnya yang menghadap ke Sungai Rue Berton, Honore de Balzac tengah berendam di jacuzzi. Menikmati air panas seraya menyeruput secangkir kopi hitam pekat. Di depannya, sebilah kayu menyangga papan tulis kecil tempat ia meletakkan secarik kertas.

Begitulah Balzac lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mencari inspirasi menulis. Secangkir-dua cangkir kopi, hingga akhirnya mencapai 20, ia tandaskan dalam 10 jam. Sepanjang waktu itu pula ia mampu menghasilkan berpuluh-puluh halaman novel atau cerita pendek.

Kopi bagi Balzac tidak ubahnya air hujan bagi ladang tandus. Kesukaan penulis kelahiran Tours, Prancis, 20 Mei 1799, ini pada kopi memang tidak kepalang tanggung. Dalam banyak kesempatan, pencetus aliran sastra realisme di Eropa ini mengaku ia tidak dapat melepaskan ketergantungannya pada kopi.
Dalam tulisannya yang berjudul The Pleasures and Pains of Coffee, Balzac menulis dengan detail efek kopi bagi penulis: "This coffee plunges into the stomach... the mind is aroused, and ideas pour forth like the battalions of the Grand Army on the field of battle.... Memories charge at full gallop... the light cavalry of comparisons deploys itself magnificently; the artillery of logic hurry in with their train of ammunition; flashes of wit pop up like sharp-shooters."

Kecintaannya pada kopi membuat Balzac selalu menyertakan minuman yang ia gilai itu dalam banyak novel, novela, dan cerita pendeknya. Dalam Les Comédiens Sans Le Savoir (The Unwitting Actors [1847]) yang ia tulis hanya berselang tiga tahun sebelum kematiannya, Balzac menulis bagaimana komunitas kelas atas Paris di masa itu menjadikan ajang minum kopi sebagai cara untuk bersosialisasi dan menjalin lobi.

Kumpulan karyanya--95 esai analisis, cerita pendek, dan novel serta 48 karya yang tidak selesai--yang terhimpun dalam La Comedie Humaine, sebagian besar mencuplik bagaimana kopi mengubah dan mempengaruhi kehidupan tokoh-tokohnya.
Hidup dengan kopi, laki-laki yang lahir dari keluarga kelas menengah Prancis ini juga menemui ajal karena kopi. Balzac meninggal pada 1850 karena dehidrasi di Polandia. Hanya tiga bulan setelah ia menyunting Eveline Hanska, perempuan Polandia kaya yang menjadi teman penanya selama 15 tahun.

Dokter mendiagnosis kematiannya karena keracunan kafein, satu-satunya kasus yang pernah dicatat sejarah. Kepada dokter pribadi yang merawatnya dalam beberapa tahun menjelang kematiannya, Balzac dengan berang menanggapi larangan mengopi. "Anda bukan menyembuhkan, tapi membunuh saya."
Balzac bukan satu-satunya penulis yang dicatat sejarah tumbuh bersama perkembangan gaya hidup minum kopi. Gioacchino Rossini, seniman opera Italia, juga amat gemar minum kopi. Keduanya berteman akrab dan banyak menghabiskan waktu berdua di kedai-kedai kopi Paris.
"Kopi bagiku ibarat affair dua pekan, dan setelah itu Anda bisa menghasilkan sebuah karya opera," kata Rossini.

Kopi juga mempengaruhi T.S. Elliot. Dalam buku memoarnya, ia menulis bagaimana ia menakar hidup dengan "sesendok kopi".
Kebiasaan minum kopi dan menulis mulai berkembang pada abad pertengahan di Eropa. Itu setelah teh menguasai daratan Inggris. Di Amerika Serikat, pustaka universitas terkenal mulai mendekatkan diri pada kebiasaan kongko ala kedai kopi pada awal abad ke-19. Tidak mengherankan budaya ini kemudian melekat hingga sekarang dan menyeberang ke berbagai negara. Lihatlah kedai-kedai kopi luar negeri yang kian dekat ke lokasi toko buku, universitas, atau komunitas penulis.

Di Indonesia, meski tidak banyak, ada penulis yang juga mengibaratkan hidup dan lingkungannya dengan kopi. Dewi Lestari namanya. Penyanyi yang kemudian lebih diakui eksistensinya sebagai penulis ini bahkan meluncurkan kumpulan tulisan (esai, prosa liris, puisi, dan cerita pendek) berjudul Filosofi Kopi bulan silam.
Salah satu cerpennya, yang menjadi judul buku, merupakan cerita deskriptif tentang dua lelaki yang bersahabat dan sepakat membangun kedai kopi yang tidak biasa. Kedai Koffie Ben & Jody, itulah nama kafe yang menggunakan nama panggilan pemiliknya.

Ben, sebagai ahli minuman kopi, sebelumnya telah melanglang ke seluruh penjuru dunia hanya untuk mempelajari ramuan kopi ternikmat dari kafe-kafe kelas dunia. Kemampuannya memahami setiap rasa kopi yang memiliki efek sensasi sesuai dengan harapan peminumnya membuat kedainya ramai dikunjungi pelanggan, dan nama kedainya berganti menjadi Filosofi Kopi, Temukan Diri Anda di Sini.
Namun, dalam setiap perjalanan sukses selalu ada halangan. Suatu hari, seorang pengusaha, yang tidak menemukan tegukan kopi sebagai Wujud Kesempurnaan Hidup, telah membuat Ben menutup warungnya demi mencari ramuan itu. Lalu ada pula lelaki dari desa yang sangat polos dan masuk ke kedai Ben dan Jody untuk mencicipi ramuan Ben's Perfecto?

Jawaban lelaki Jawa itu membuat Ben frustrasi. Seolah-olah seluruh perjalanan panjangnya untuk mendapatkan rasa kopi terbaik di seluruh permukaan bumi jadi sia-sia, dinafikan oleh sepotong lidah laki-laki yang mungkin seumur hidupnya hanya merasakan kopi tiwus.

Kurnia Effendi, penulis cerita pendek produktif, pernah mendengar Dee--begitu Dewi biasa dipanggil--mengandaikan karya teman-temannya sesama perempuan penulis sebagai kopi. Karya Djenar Maesa Ayu ia umpamakan sebagai secangkir kopi tubruk. Memberi sensasi bagi peminumnya dan meninggalkan kesan yang luar biasa.

Sementara itu, Ayu Utami dipandangnya sebagai kopi yang diracik akurat sehingga takarannya pas dan menimbulkan rasa nikmat tidak terbantahkan. Adapun Dee mengandaikan karyanya ibarat kopi yang setelah diminum membuat orang mencari minuman lain. Artinya, setelah membaca karyanya, lanjutkan dengan membaca karya orang lain. Kecintaan pada kopi ini tidak heran membuatnya didapuk sebagai bintang iklan sebuah merek kopi terkemuka.

Semua penulis yang amat mencintai kopi ini seperti membenarkan apa yang pernah diungkapkan Bertrand Russell, sebelum ia mengembuskan napas terakhir. "Hidup ini layaknya secangkir kopi setelah bercangkir-cangkir yang sudah diminum. Tidak perlu mencari-cari lagi."

Tidak ada komentar: