Posisi usaha kecil yang kadang disebut sector usaha informal sangatlah penting saat krisis ekonomi melanda Indonesia . Karena masyarakat kecil dan pedesaan tentu lebih banyak yang ada di sector ini, yang tentunya sebagian besar penghuni penduduk Indonesia ini. Selain itu, pemerataan akan lebih efektif melalui pengembangan usaha kecil karena jumlahnya yang besar dan sifatnya yang padat karya. Dan kita sama-sama tahu industri kecil inilah yang selalu menjadi mascot saat para kandidat wakil rakyat berkampanye. Dan setelah selesai hingar bingar kampanye akan kembali sunyi tanpa ada yang peduli apa dan bagaimana yang terjadi dengan usaha kecil ini.
Pertanyaan yang menggelitik dalam hati, apakah di tataran konsep dengan mudah dapat cepat di eksekusi di tataran implementasinya. Sudahkah diperhitungkan aspek monitoring terhadap kemungkinan penyelewengan-penyelewengan terhadap dananya. Sejarah telah mengajarkan kepada kita bagaimana sebuah konsep pemberian kredit kepada UMKM dengan subsidi bunga seperti kredit kepada kelompok tani dan nelayan banyak yang macet, bukan karena itikad jelek dari petaninya, tetapi sudah didistorsi oleh para pengurus, konsultan, dan para pembuat kebijakannya.
Belum lagi JPS yang syarat dengan muatan politis, BLT (bantuan langsung tunai) yang menimbulkan pro kontra dalam implementasinya. Dimana secara statistik jumlah orang miskin tidak menurun secara signifikan. Menurut penulis alangkah lebih baik kalo program-program seperti di atas dalam taraf implementasi juga disinergikan dengan pembukaan akses yang luas terhadap UMKM dalam pemasaran hasil produksinya.
Selama ini jangankan akses menuju pasar, dalam hal sebuah informasi produkpun sudah terjadi informasi yang asimetris antara Pengusaha Kakap dan UMKM. Alangkah lebih baik kalo hasil produksi baik pertanian, perikanan, peternakan, kerajinan, dll difasilitasi oleh pemerintah bisa masuk ke Giant, carrefour, Hypermart, dll. Karena meskipun sudah bisa bankable dan dapat kredit, apabila sudah menghasilkan output produksi, mau dijual kemana?
Kalau Pengusaha besar sudah menguasai semua rantai proses produksi dari hulu ke hilir(mulai bahan mentah distribusi, proses produksi, pemasaran produksi, semua milik satu grup perusahaan). Sehingga para pengusaha UMKM bisa menikmati hasil usahanya, tidak hanya menjadi Penonton di kelas festival dalam konser Pembangunan ini.
Penelitian yang dilakukan yayasan AKATIGA sebuah pusat analisis social ternyata terdapat pola-pola relasi yang mengeksploitasi usaha kecil. Dalam hal ini ditemukan adanya sumber-sumber kekuatan yang akhirnya bermuara pada adanya hubungan yang mengeksploitasi usaha kecil.
Yang pertama, adalah kekuatan dari kebijakan Negara. Terdapat kebijakan-kebijakan baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah setempat yang memberikan hak privilege pada sekelompok actor untuk melakukan monopoli dalam perdagangan jenis komoditas tertentu. Dengan adanya monopoli maka pelaku monopoli akan bisa seenaknya dalam menentukan sebuah penawaran harga kepada usaha-usaha kecil yang melakukan relasi bisnis dengannya.
Yang kedua, adalah kekuatan politik yang berisi politik premanisme, ada sebuah mafia di dalam rantai perdagangan yang menciptakan pemusatan jalur pengangkutan dan transaksi perdagangan pada sedikit actor saja yang mampu membayar biaya kolusinya. Sebagai salah satu contohnya kita lihat praktik-praktik di lapangan adanya fenomena pungutan dan hambatan untuk masuk (barrier to entry) di jalur perdagangan dan akan sulit kita runut di mana sebenarnya asal kekuatan mafia ini, banyak memakai etnis tertentu setelah di ungkap ternyata mereka hanyalah orang suruhan dari sebuah kekuatan yang lebih besar lagi. Masih ada GODFATHER yang selalu “untouchable”.
Yang ketiga, adalah kekuatan informasi dan modal. Penguasaan dan penutupan akses terhadap informasi tentang harga yang sebenarnya atau juga di namakan sebuah informasi yang asimetris, hanya pengusaha yang dekat dengan kekuasaan lah yang selalu tahu akan naik turunnya harga komoditas.
Demikian juga tentang modal, sekian persen dari kredit yang disalurkan oleh bank hanya dinikmati pengusaha-pengusaha tertentu, sedangkan pengusaha kecil sangat sulit memperolehnya dengan alasan terbentur agunan dan lemahnya managemen usaha.
Yang keempat adalah kekuatan atas sumber daya social dan ekonomi. Kemiskinan dari pelaku-pelaku industri kecil terutama yang berada di pedesaan menjadi kondisi yang mengundang perilaku eksploitatif dari kelompok pedagang pengumpul yang berada di daerah yang sama. Melalui pola-pola relasi yang bersifat social dikombinasikan dengan motif ekonomi dari kedua sisi pelaku.
Tanpa kita mengetahui pola relasi yang eksploitatif di atas akan sulit kiranya membuat sebuah grand design untuk membuat industri kecil kita menjadi tangguh dan selanjutnya dapat digunakan sebagai salah satu penggerak roda ekonomi masyarakat .
Diperlukan sebuah kemauan politik yang tinggi dan tanpa pretense dari semua kekuatan yang ada di Indonesia untuk bisa setidaknya mengurangi pola-pola eksploitasi yang ada.
Tidak hanya sekedar program yang sesaat seperti pemberian BLT atau kredit bunga ringan, tapi diperlukan sebuah Program yang terus menerus dan konsisten untuk bisa memberdayakan usaha kecil ini.
Atau memang industri kecil dan kemiskinan hanyalah sebuah isu yang menarik untuk dihembuskan saat diperlukan seperti musim Pemilu ini? Sebagaimana iklan-iklannya yang setiap hari bersliweran di depan mata kita.
Yang menurut dosen ilmu komunikasi FISIPOL UGM Wisnu Martha Adipura, iklan politik kita tidak bikin masyarakat cerdas. Lho, memangnya ada kegiatan politik yang bukan iklan yang bisa bikin Masyarakat cerdas?
Madiun, 16/08/2009
Arif Gumantia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar